You are on page 1of 3

Indonesia merupakan negara pengahasil biji kakao terbesar ketiga didunia sejak

2003 hingga 2007. Kakao atau nama ilmiahnya Theobroma cacao L. adalah salah
satu hasil perkebunan Indonesia yang diekspor atau di perdagangkan diberbagai
negara. Oleh karena itu kakao memiliki peranan penting sebagai penghasil devisa
negara. Banyaknya produksi kakao di Indonesia tidak diikuti juga dengan
tingginya kualitas kakao. Hal ini berkaitan dengan standar mutu dan juga
penanganan pra panen sertapasca panen. Rendahnya kualitas kakao di Indonesia
dikarenakan masih kurang pahamnya petani dalam menangani produksi kakao
terutama dalam proses fermentasi (Fadhil et al, 2015).
Harga biji kakao pada tahun 2005-2010 mengalami kenaiakan tetapi pada
pertengahan tahun 2012 cenderung mengalami penurunan yang signifikan (Dirjen
Perkebunan, 2014). Hal ini bisa terjadi karena semakin turunnya kualitas biji
kakao yang di produksi oleh para petani Indonesia. Turunnya kualitas pada biji
kakao dikarenakan banyaknya petani yang tidak melalui proses fermentasi pada
produksi biji kakao (Hatmi dan Rustijarno, 2012).
Proses fermentasi kakao sangat penting sebelum kakao diekspor ke berbagai
negara untuk meningkatkan mutu kakao. Alat yang digunakan untuk proses
fermentasi kakao adalah kotak fermentasi yang terbuat dari kayu jati yang
dilubangi pada sisi samping dan bawah sebagai tempat aerasi dan pengeluaran air
biji kakao. Selain kotak fermentasi, alat yang digunakan adalah karung goni yang
berfungsi untuk menaikkan suhu hingga 45oC-48oC dan menjaga permukaan biji
agar tidak kering. Apabila permukaan biji kakao kering maka fermentasi akan
tidak berjalan.
Daging buah kakao atau pulpa mengandung banyak glukosa, fruktosa, sukrosa,
dan asam sitrat yang membuat mikroorganisme tumbuh saat proses fermentasi.
Pada saat proses fermentasi, gula yang terdapat pada pulpa akan berubah menjadi
etanol dan energi yang berkaitan dengan kenaikan suhu. Dari etanol tersebut akan
diubah menjadi asam dan energi untuk menaikkan suhu. Asam yang dihasilkan
akan masuk dalam biji kakao yang menyebabkan biji kakao mati. Biji kakao yang
mati terjadi pada saat 30-40 jam pada waktu fermentasi dimulai.
Dari proses fermentasi akan dihasilkan perubahan warna dan flavor. Perubahan
warna terjadi karena antosianin teroksidasi menjadi gula dan sianidin yang
menyebabkan warna biji kakao dari ungu menjadi cokelat. Begitu pula polifenol
yang teroksidasi menghasilkan warna cokelat dan rasa sepah pada biji menjadi
berkurang. Hal yang sering terjadi apabila biji kakao tidak terfermentasi secara
sempurna adalah karena lama waktu pda proses fermentasi yang masih kurang
ideal yang mempengaruhi cita rasa dan aroma biji kakao yang dihasilkan.
Menurut Yusianto dkk (1995), fermentasi yang kurang sempurna dapat
menghasilkan biji yang bermutu rendah.
Terdapat beberapa syarat untuk menetukan mutu biji kakao tersebut bagus atau
sebaliknya yaitu tidak adanya serangga, kadar airnya tidak lebih dari 7,5%, biji
tidak berbau asing, dan tidak adanya kadar benda asing. Persyaratan mutu biji
kakao fermentasi tersebut sesuai dengan SNI 2323-2008 (Ariyanti, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti, M., dan Suprapti. 2016. Cemaran Mikrobiologis Biji Kakao Asal
Sulawesi Barat dan Tenggara dan Kaitannya dengan Keamanan Pangan.
Jurnal Standarisasi Vol.18 No. 1, hal 53-61.
Dinas Perkebunan Prov. SulSel. (2014). Data Luas Areal, Produksi, Produktivitas
dan Petani Perkebunan Rakyat Per Komoditi Per Kabupaten Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2014 (Angka Tetap).
http://disbun.sulselprov.go.id/files_download/Angka%20Tetap%202014.p
df. Diakses tgl 25 Agustus 2016.
Fadhil, R. 2015. Kualitas Biji Kakao (Theobroma cacao L.) dengan Variasi Lama
Fermentasi dan Hasil Pengeringan. Banda Aceh: Program studi Teknik
Pertanian Universitas Syiah Kuala.
Hatmi, R. U., & Rustijarno, S. (2012). Teknologi Pengolahan Biji Kakao Menuju
SNI Biji Kakao 01-2323-2008. Yogyakarta: BPTP.
Yusianto, H. Winarno dan T. Wahyudi, 1997. Mutu dan Pola Cita Rasa Biji
Beberapa Klon Kakao Lindak. Yogyakarta: Pelita Perkebunan.

You might also like