You are on page 1of 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan modal untuk bekerja dan hidup mengembangkan keturunan, sehingga

timbul keinginan yang bersumber dari kebutuhan hidup manusia. Seseorang yang kebutuhan

hidupnya sangat tergantung pada kesehatannya tentu akan mempunyai demand yang lebih

tinggi akan status kesehatannya. Pendekatan ekonomi menekankan bahwa kesehatan

merupakan suatu modal untuk bekerja. Pelayanan kesehatan merupakan suatu input dalam

menghasilkan hari–hari sehat dengan berbasis pada konsep produksi, pelayanan kesehatan

merupakan salah satu input yang digunakan untuk proses produksi yang menghasilkan

kesehatan. Demand terhadap pelayanan kesehatan tergantung terhadap demand akan

kesehatan (Trisnantoro, 2006).

Kegiatan pengembangan dan operasional sarana pelayanan kesehatan primer dipastikan

membutuhkan biaya. Biaya dapat berasal dari bermacam-macam sumber, misalnya

pemerintah, sumbangan maupun dari klien. Namun demikian seringkali kita tidak mengetahui

besaran biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan-kegiatan tersebut, juga berapa besar tarif

yang akan diberlakukan di sarana tersebut. Kebijakan penetapan tarif tanpa

memperhitungkan besarnya biaya satuan (unit cost) setiap pusat pendapatan akan

mengakibatkan kerugian yang tidak kecil.

Kegiatan analisis biaya mencakup analisis jumlah, sumber dan komponen biaya. Analisis

biaya ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai biaya total, sumber

pembiayaan, komponen biaya serta biaya satuan. Untuk melakukan penetapan tarif rasional

diperlukan pemahaman mengenai konsep dan jenis biaya, pengertian analisis biaya, manfaat

analisis biaya, manfaat analisis biaya, metode dan cara perhitungan dalam melakukan

analisis biaya, cost Recovery Rate, Abillity to pay, konsep demand dan elastisitas, serta

konsep pentarifan. Untuk mendapatkan suatu ukuran kemampuan membayar dan kemauan

membayar suatu keluarga atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dapat ditelusuri

dari pendapatan atau pengeluaran keluarga tersebut.

B. Tujuan

1. Mengukur kemampuan masyarakat khususnya yang bermatapencaharian sebagai kuli

bangunan dalam membiayai pelayanan kesehatan.


2. Mengukur kemauan masyarakat khususnya yang bermatapencaharian sebagai kuli

bangunan dalam membiayai pelayanan kesehatan.

C. Manfaat

1. Mengetahui kemampuan masyarakat khususnya yang bermatapencaharian sebagai kuli

bangunan dalam membiayai pelayanan kesehatan.

2. Mengetahui kemauan masyarakat khususnya yang bermatapencaharian sebagai kuli

bangunan dalam membiayai pelayanan kesehatan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ability to Pay (ATP)

Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan yang

diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal. Pendekatan yang digunakan

dalam analisis ATP didasarkan pada alokasi biaya untuk pemenuhan terhadap kebutuhan

sehari-hari dari pendapatan rutin. Secara garis besar ATP dapat dibagi menjadi 3 kelompok

yaitu ATP Non food expenditure, ATP non esensial expenditure, dan ATP esensial expenditure.

Dalam konsep ATP, besar kemapuan membayar untuk pelayanan kesehatan adalah jumlah

pengeluaran untuk barang non esensial tersebut. Asumsinya adalah kalau seseorang mampu

mengeluarkan belanja untuk barang – barang non esensial maka tentu ia juga mampu

mengeluarkan biaya untuk pelayanan kesehatan yang sifatnya essensial (Adisasmita, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi ATP, yaitu :

1. Harga barang (Biaya Kesehatan)

Kecenderungan biaya kesehatan yang konsisten dalam kenaikan biaya pemeliharaan

kesehatan dapat disebabkan antara lain oleh :

a. Kenaikan yang tajam dalam biaya pelayanan kesehatan, termasuk obat-obatan.

b. Perubahan dalam struktur penduduk.

c. Peningkatan utilisasi dari berbagai jenis pelayanan kesehatan.


d. Peningkatan kualitas tindakan medis, termasuk teknik pengujian dan diagnosis lanjut yang

semakin canggih, perlengkapan alat bantu, transplantasi organ dan teknologi perawatan

kesehatan lain yang semakin maju.

2. Pendapatan konsumen

Biaya pelayanan kesehatan umumnya meningkat sesuai dengan peningkatan pendapatan.

Disamping biaya dokter umumnya dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi pasien, responden

yang berpendapatan tinggi cenderung lebih sering dan lebih ekstensif dalam pelayanan

kesehatan, responden yang berpendapatan tinggi juga lebih sering memeriksa dan

memelihara kesehatan dibanding kelompok responden yang berpendapatan rendah. Begitu

pula dengan biaya pelayanan kesehatan, mereka menuntut lebih banyak pelayanan lanjutan

sehingga biaya kesehatan lebih tinggi faktor yang mempengaruhinya antara lain,

pengetahuan dan kesadaran terhadap kesehatan dari kelompok responden yang memiliki

pendapatan tinggi lebih baik dibandingkan yang berpendapatan lebih rendah.

3. Jumlah anggota keluarga

Semakin banyak jumlah anggota keluarga akan semakin banyak pula kebutuhan untuk

memenuhi kesehatannya dan secara otomatis akan semakin banyak alokasi dana dari

penghasilan keluarga per bulan yang harus disediakan.

(Faiz, 2006)

Dua batasan ATP yang dapat digunakan sbb:

a. ATP 1 adalah besarnya kemampuan membayar yang setara dengan 5 % dari pengeluaran

pangan non esensial dan non makanan. Batasan ini didasarkan bahwa pengeluaran untuk

non makanan dapat diarahkan untuk keperluan lain, termasuk untuk kesehatan.

b. ATP 2 adalah besarnya kemampuan membayar yang setara dengan jumlah pengeluaran

untuk konsumsi alkohol, tembakau, sirih, pesta/upacara. Batasan ini didasarkan kepada

pengeluaran yang sebenarnya dapat digunakan secara lebih efesien dan efektif untuk

kesehatan. Misalnya dengan mengurangi pengeluaran alkohol / tembakau / sirih untuk

kesehatan.

(Adisasmita, 2008)

B. Willingnes to Pay (WTP)


Willingness to pay atau dikenal dengan WTP, yaitu besarnya dana yang mau dibayarkan

keluarga untuk kesehatan. Data pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan didalam data

susenas dapat digunakan sebagai proksi terhadap WTP.

Faktor – faktor yang mempengaruhi WTP, yaitu :

1. Harga barang

2. Pendapatan

Bila seseorang responden mempunyai pendapatan yang semakin meningkat tentunya

kemauan membayar tarif pelayanan kesehatan pun semakin besar. Hal ini disebabkan karena

alokasi biaya kesehatan lebih besar sehingga akan memberikan kemampuan dan kemauan

yang lebih besar pula untuk membayar tarif pelayanan kesehatan tersebut.

3. Selera

4. Persepsi terhadap barang/jasa (variabel non ekonomi)

Kondisi hubungan antara tarif resmi pelayanan kesehatan yang berlaku dengan menyertakan

fakor – faktor ATP dan biaya operasional.

1. Tarif lebih kecil dari ATP

Apabila terjadi kondisi ini maka kemampuan masyarakat sangat baik, karena tarif yang

diberlakukan ternyata lebih kecil dari daya beli masyarakat. Pada kondisi ini masyarakat

mampu membeli jasa dan barang yang ditawarkan tanpa memikirkan untuk mencari

alternatif lain.

2. Tarif hampir sama dengan ATP

Pada kondisi ini pemakai jasa berkemampuan hampir sama dengan tarif yang diberlakukan,

tidak semua masyarakat mampu membeli jasa dana barang tersebut, ada kemungkinan

sebagian masyarakat yang menggunakan alternatif lainnya.

3. Tarif lebih besar dari ATP


Apabila terjadi kondisi seperti ini maka kemampuan dari masyarakat sangat jelek, karena

tarif yang diberlakukan ternyata lebih besar dari daya beli masyarakat, maka sebagian besar

masyarakat tidak mampu membeli barang atau jasa yang ditawarkan (Hadi, 2008).

Dalam pelaksanaan untuk menentukan tarif sering terjadi benturan antara besarnya WTP dan

ATP, kondisi tersebut selanjutnya disajikan secara ilustratif yang terdapat pada gambar di

bawah ini :

Gambar 1. Kurva ATP dan WTP

1. ATP lebih besar dari WTP

Kondisi ini menunjukan bahwa kemampuan membayar lebih besar dari pada keinginan

membayar jasa tersebut. Ini terjadi bila pengguna mempunyai penghasilan yang relatif tinggi

tetapi utilitas terhadap jasa tersebut relatif rendah, pengguna pada kondisi ini

disebut choiced riders.

2. ATP lebih kecil dari WTP

Kondisi ini merupakan kebalikan dari kondisi diatas, dimana keinginan pengguna untuk

membayar jasa tersebut lebih besar dari pada kemampuan membayarnya. Hal ini

memungkinkan terjadi bagi pengguna yang mempunyai penghasilan yang relatif rendah

tetapi utilitas terhadap jasa tersebut sangat tinggi, sehingga keinginan pengguna untuk

membayar jasa tersebut cenderung lebih dipengaruhi oleh utilitas, pada kondisi ini pengguna

disebut captive riders.

3. ATP sama dengan WTP

Kondisi ini menunjukan bahwa antara kemampuan dan keinginan membayar jasa yang

dikonsumsi pengguna tersebut sama, pada kondisi ini terjadi keseimbangan utilitas pengguna

dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar jasa tersebut (Depkes, 2000).
Pada prinsipnya penentuan tarif dapat ditinjau dari beberapa aspek utama dalam sistem

pelayanan kesehatan. Aspek-aspek tersebut adalah:

1. Pengguna (User)

2. Operator (Pelayanan Kesehatan)

3. Pemerintah (Regulator)

Gambar 2. Kondisi ATP Lebih Rendah dari Tarif Berlaku

Bila parameter ATP dan WTP yang ditinjau, maka aspek pengguna dalam hal ini dijadikan

subyek yang menentukan nilai tarif yang diberlakukan dengan prinsip sebagai berikut:

1. ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar, sehingga nilai tarif yang diberlakukan,

sedapat mungkin tidak melebihi nilai ATP kelompok masyarakat sasaran. Intervensi/campur

tangan pemerintah dalam bentuk subsidi langsung atau silang dibutuhkan pada kondisi,

dimana nilai tarif berlaku lebih besar dari ATP, sehingga didapat nilai tarif yang besarnya

sama dengan nilai ATP.

2. WTP merupakan fungsi dari tingkat pelayanan kesehatan, sehingga bila nilai WTP masih

berada dibawah ATP maka masih dimungkinkan melakukan peningkatan nilai tarif dengan

perbaikan kinerja pelayanan.

3. Bila perhitungan tarif berada jauh dibawah ATP dan WTP, maka terdapat keleluasaan

dalam perhitungan/pengajuan nilai tarif baru (Depkes, 2000).

You might also like