You are on page 1of 3

LGBT DAN AIDS? APA HUBUNGANNYA?

Bulan Desember kita peringati sebagai hari AIDS sedunia, peringatan yang ditujukan untuk
menyadarkan kepada kita semua tentang penyakit AIDS dan upaya bersama dalam
penanggulangannya, serta seruan untuk berempati dan menghindari diskriminasi terhadap
orang dengan HIV-AIDS (ODHA) sebagai sesama manusia.

Penanggulangan HIV-AIDS telah banyak diusahakan di seluruh dunia termasuk di Indonesia,


namun ada sebuah ironi dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS di beberapa tahun terakhir
ini, yakni merebaknya komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender). Atas
nama hak asasi manusia, globalisasi dan liberalisasi, komunitas ini terus berkembang dan
menampakkan eksistensinya di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Filosofi dari gerakan LGBT adalah kebebasan, artinya setiap manusia bebas apa saja asal
tidak merugikan orang lain termasuk dalam orientasi seksual mereka, tanpa harus ada tekanan
dari pihak manapun, karena ini dianggap sebagai hak asasi manusia maka komunitas ini terus
memperjuangkannya agar keberadaan mereka diakui dan dilindungi.

Perjuangan komunitas LGBT ini cukup panjang, melelahkan dan banyak kemajuan yang
mereka dapatkan, sebagai bukti saat ini ada 14 negara telah memperbolehkan pernikahan
sejenis, dan hanya 3 negara yang melarang, sedangkan sebagian besar negara lain (termasuk
Indonesia) tidak ada aturan yang melarang atau memperbolehkan.

Keberhasilannya komunitas LGBT semakin mendapat angin segar saat Badan Kesehatan
Dunia (WHO) menghapus LGBT dari daftar kelainan jiwa di Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders V (DSM-V). Keberhasilan besar ini kemudian didorong oleh
komunitas LGBT ini dijadikan “Hari Gay Sedunia”.

Bagaimana di Indonesia? Komunitas LGBT di Indonesia sudah ada sejak tahun 1982,
Kondisi politik dan sosial yang masih ketat memaksa mereka untuk tidak menampakkan diri.
Namun beberapa tahun terakhir para komunitas ini semakin berani menampakkan diri,
beberapa kegiatan komunitas mereka seolah ingin memberi pesan ke masyarakat bahwasanya
mereka semakin eksis dan terus berkembang bahkan beberapa publik figur dan artis secara
terus terang dan tanpa malu menyatakan sebagai kaum gay.

HIV-AIDS meningkat
Namun meningkatnya jumlah LGBT ternyata seiring dengan peningkatan jumlah penderita
HIV-AIDS di komunitas tersebut, Data dari Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) Amerika serikat tahun 2010 memaparkan dari 50.000 infeksi HIV baru ternyata 2/3
dari mereka adalah kelompok gay-MSM (male sex male). Dan yang mengejutkan 1 di antara
5 gay yang terinfeksi HIV tidak peduli penyakit HIV-AIDS, artinya tidak ada usaha untuk
mencegah HIV tertular ke orang lain dan ini sangat berpotensi menular ke partner seks
lainnya. Dan yang mengejutkan tahun 2010 terjadi peningkatan penularan HIV pada
kelompok gay sebesar 20% bila dibanding tahun 2008.

Data terbaru tahun 2013 lebih mengerikan lagi, dari hasil skrining terhadap semua LGBT usia
di atas 13 tahun didapatkan 81% gay-MSM terinfeksi HIV dan 55% terdiagnosis AIDS.
Penelitian lain juga memaparkan wanita transgender ternyata mempunyai risiko terinfeksi
HIV 34 kali lebih tinggi dibanding wanita biasa.

Selaras dengan kejadian di Amerika, peningkatan penularan HIV di komunitas LGBT di


Indonesia juga menunjukkan peningkatan yang cukup bermakna, data Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional menunjukkan peningkatan jumlah penderita HIV di
kelompok homoseksual dari 6% (2008) menjadi 8% (2010) dan terus menjadi 12% (2014).
Data KPA menunjukkan jumlah ODHA kelompok wanita pekerja seksual komersial (PSK)
sebesar 8-9% (angka ini relatif tetap/tidak naik). Yang menggembirakan penularan ibu ke
anak dalam kandungan dan dilahirkan cenderung menurun bermakna dalam 3 tahun terakhir.

Beberapa penelitian medis menjelaskan mudahnya HIV masuk ke dalam tubuh seseorang
melalui anal seks dikarenakan sangat tipisnya mukosa (jaringan pelapis) dan adanya cairan
tubuh di daerah rektum (dekat anus) yang sangat potensial membantu perkembangan virus
HIV, serta ada “ reseptor HIV” di daerah rektum yang sangat mudah menangkap virus HIV.
Maka tidak salah bila risiko penularan HIV lewat anal seks meningkat 40-50 kali lebih tinggi
bila dibanding seks normal.

Jangan dikucilkan

Apapun penyebabnya, ODHA tidak boleh dikucilkan, pendampingan dan menghindari stigma
negatif akan memberi kekuatan kepada mereka untuk senantiasa mencari pengobatan dan
kesembuhan.

Pengalaman penulis yang merawat puluhan pasien AIDS menunjukkan hubungan yang kuat
antara “kesembuhan” pasien AIDS dengan tingkat dukungan keluarga dan lingkungannya, hal
ini dikarenakan pengobatan menggunakan ARV harus jangka panjang bahkan seumur hidup
maka dibutuhkan dorongan moral agar mereka tetap patuh mengonsumsi obat tersebut.
Memberi stigma negatif akan memperburuk proses penanggulangan HIV-AIDS karena
mereka akan tidak mau melakukan program pengobatan dan akan terus menjadi sumber
penularan ke orang lain. Mereka juga manusia seperti kita yang tentunya ingin diperlakukan
seperti pasien dengan penyakit lainnya, tanpa stigma dan tanpa diskriminasi.

Namun untuk pencegahan tetap diperlukan kesadaran bagi masyarakat untuk menghindari
faktor risiko yang bisa menyebabkan tertularnya HIV. Salah satunya menghindari dan
mencegah homoseksual atau LGBT di samping mengenal dan menghindari sumber penularan
lain seperti seks bebas/seks tidak aman, penggunaan jarum suntik pengguna narkoba,
penularan dari ibu ODHA ke anak yang dikandung/disusui dan lainnya.

You might also like