Professional Documents
Culture Documents
INVAGINASI
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Disusun oleh:
Miskah Chairani (1607101030167)
Zahara Juwita Sari (1607101030137)
Dokter Pembimbing:
dr. T. Yusrialdi, Sp.BA
4
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T. yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi dan berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas lapkas ini. Shalawat beriring salam penulis
sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW, atas semangat perjuangan dan
panutan bagi umatnya.
Adapun tugas lapkas ini berjudul “Invaginasi”. Diajukan Sebagai Salah
Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian /SMF
Bedah Fakultas Kedokteran Unsyiah RSUD dr. Zainoel Abidin – BandaAceh.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. T. Yusrialdi, Sp.BA yang
telah meluangkan waktu untuk memberi arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan
penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran
dan bekal di masa mendatang.
Penulis
5
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BABA I PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................. 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 12
Anatomi........................................................................................................ 12
Fisiologi........................................................................................................ 14
Definisi......................................................................................................... 14
Epidimiologi................................................................................................. 15
Etiologi dan Fraktor Predisposisi................................................................. 15
Klasifikasi..................................................................................................... 15
Patogenesis................................................................................................... 16
Diagnosis...................................................................................................... 18
Pemeriksaan Penunjang................................................................................ 19
Tatalaksanan................................................................................................. 22
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 31
BAB I
6
PENDAHULUAN
Menurut kepustakaan 90% invaginasi pada anak dibawah umur satu tahun
tidak dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai
“infatile idiophatic intussusceptions”.3 Pada waktu operasi hanya ditemukan pene
balan dari dinding ileum terminal berupa hyperplasia jaringan folikel submukosa
yang diduga sebagai akibat infeksi virus. Penebalan ini merupakan titik awal (lea
d point) terjadinya invaginasi. Pada penderita invaginasi yang berumur lebih 2
tahun biasanya ditemukan adanya kelainan usus sebagai penyebab terjadinya
invaginasi, seperti: Inverted Meckel’s Divertikulum, Hemangioma, Lymphoma,
Duplikasi usus, dan polip usus.3
BAB 2
7
LAPORAN KASUS
2.1 ANAMNESIS
Nama : SH
No. RM : 1.17.49.75
Agama : Islam
Lemas
Pasien merupakan pasien rujukan dari Rumah Sakit Daerah Cut Nyak
Dien Meulaboh dengan keluhan BAB lendir dan berdarah secara tiba-tiba sejak 1
hari SMRS. Pasien juga dikeluhkan lemas setelah mengalami BAB lendir dan
berdarah, namun pasien masih mau minum ASI. Pasien dengan riwayat berubah
pola makan sejak 2 bulan, dan makanan terakhir adalah pisang yang dihaluskan.
Pasien anak kedua dari dua bersaudara, ibu dengan riwayat ANC (+).
8
Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.
diberikan makanan pedamping ASI berupa pisang yang dihaluskan sejak pasien
berusia 2 bulan.
Keluarga pasien tidak ada yang sedang mengalami atau pernah mengalami
1. Kepala
2. Mata
9
3. Hidung
Bentuk normal, deviasi septum (-), krepitasi (-), rinorrhea (-), pernafasan
4. Mulut
5. Telinga
Bentuk normal, nyeri tekan tragus (-/-), sekret (-/-), perdarahan (-/-).
6. Leher
Pembesaran KGB dan tiroid (-/-), kaku kuduk (-), TVJ R-2 cm H2O.
7. Thoraks
Paru-paru
Jantung
8. Abdomen
Perkusi : Timpani
10
9. Genetalia dan Anus
Pada pemeriksaan colok dubur didapatkan sfingter ani ketat, mukosa licin,
ampula recti kolaps, dan pada hanscoon ditemukan adanya lendir (+) dan
darah (+).
10. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin - /- - /-
Edema - /- -/-
Sianosis - /- - /-
1. Hasil Laboratorium
HEMATOLOGI
Pemeriksaan Hasil Hasil Nilai Rujukan Satuan
(13/6/2018) (14/6/2018)
Hb 8,2* 13,2 12,0 – 14,5 g/dL
Ht 24 38 30 – 43 %
Eritrosit 4,2 5,4 3,6 – 5,5 106/mm3
Leukosit 21,3* 10,0 6,0 – 17,5 103/mm3
Trombosit 470* 269 150 – 450 fL
MCV 57* 70 80 – 100 Pg
MCH 20* 24* 27 – 31 %
MCHC 34 35 32 – 36 %
RDW 20,3* 11,5 – 14,5 fL
PDW 8,5 8,5
MPV 8,8* 9,1 7,2 – 11,1 fL
Hitung jenis:
Eosinofil 0 0 0–6 %
Basofil 1 1 0–2 %
Netrofil batang 0* 0 2–6 %
Netrofil segmen 52 54 50 – 70 %
Limfosit 38 38 20 – 40 %
Monosit 9* 7 2–8 %
KIMIA KLINIK
Hati & Empedu
Pemeriksaan Hasil (13/6/2018) Hasil (14/6/2018) Nilai Rujukan Satuan
Protein Total 4,84* 6,4 – 8,3 g/dL
Albumin 3,35* 3,01* 3,5 – 5,2 g/dL
Diabetes
Pemeriksaan Hasil (13/6/2018) Hasil (14/6/2018) Nilai Rujukan Satuan
11
GDS 128 < 200 mg/dL
Ginjal – Hipertensi
Pemeriksaan Hasil (13/6/2018) Hasil Nilai Rujukan Satuan
(14/6/2018)
Ureum 21 13 – 43 mg/dL
Kreatinin 0.23* 0,51 – 0,95 mg/dL
Elektrolit – Serum
Pemeriksaan Hasil (13/6/2018) Hasil (14/6/2018) Nilai Rujukan Satuan
Kesimpulan :
12
Kesimpulan : Ditemukan tanda obstruksi usus berupa distensi usus, air fluid level,
13
Kesimpulan :
kesan invaginasi
2.4 RESUME
14
yang dilakukan pada pasien tampak adanya target sign di hipokondrium kiri-
kanan yang terkesan invaginasi.
2.5 Follow Up
Tanggal S O A P
13/6/2018 BAB berlendir Ku : sedang Invaginasi -IVFD RL 750 cc/24 jam
dan darah HR : 120 x/i -Inj. Ceftriaxone 250 mg/12
RR : 48 x/i jam
T : 38,8 C -Inj. Novalgin 70 mg/8 jam
15
A : bunyi usus (+)
P : timpani
P : Banana Sign (+)
Dance sign (+)
16
A : bunyi usus (+)
P : timpani
P : soepell (+)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi
Usus halus merupakan tabung kompleks, berlipat-lipat yang membentang
sepanjang pylorus sampai katup ileosekal. Panjang usus halus sekitar 12 kaki.
Usus halus terbagi 3 bagian :5,6
17
a. Duodenum
Bentuknya melengkung menyerupai kuku kuda. Panjang sekitar 25 cm,
dimulai dari pylorus sampai jejunum. Dinding duodenum mempunyai
lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar brunner untuk
memprodukdi getah intestinum.
b. Jejunum
Panjannya sekitar 2-3 m dan berkelok-kelok, terletak disebelah kiri atas
intestinum minor. Dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk
kipas (mesentrium) memungkinkan keluar masuknya arteri dan vena
mesenterika superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara lapisan
peritoneum.
c. Ileum
Ujung batas antara ileum dan jejunum tidak begitu jelas, panjangnya
berkisara 4-5 m. Usus ini terletak disebelah kanan bawah berhubungan
dengan sekum melalui perantara lubang orifisium ileosekalis yang
diperkuat dengan sfingter dan katup valvula ceicalis (valvula bauchini)
yang berfungsi mencegah cairan dalam kolon agar tidak masuk lagi ke
dalam ileum.
18
Kantong tertutup yang menggantung di bawah area katup ileosekal
apendiks. Apendiks vermiformis, yaitu suatu tabung sempit yang berisi
jaringan limfosit, menonjol dari ujung sekum.
b. Kolon
Merupakan bagian usus besar dari sekum sampai rectum. Terbagi 3 divisi:
i. Kolon Ascendens
ii. Kolon Transversum
iii. Kolon Descendens
c. Rectum
Merukana bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12-13
cm. Rectum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus.
3.2 Fisiologi
Usus halus memiliki dua fungsi utama yaitu pencernaan dan penyerapan
bahan-bahan nutrisi, air, elektrolit, dan mineral. Isi usus digerakkan oleh
peristaltik yang terdiri atas dua jenis gerakan, yaitu segmental dan peristaltik yang
diatur oleh saraf autonom dan hormon. Pergerakan segmental usus halus
mencampur zat-zat dimakan dengan sekret pancreas, hepatobilier, sekresi usus,
dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainnya
dengan kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal. Absorbsi adalah
19
pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein (gula
sederhana, asam-asam lemak, dan asam-asam amino) melalui dinding usus ke
sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel di jaringan seluruh tubuh.5
Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan
proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah mengabsorbsi
air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon
sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah
dehidrasi sampai defekasi berlangsung.5,6
3.3 Definisi
Invaginasi (intussusception) adalah suatu keadaan masuknya suatu segmen
usus bagian proksimal (intussusceptum) ke segmen bagian distalnya
(intususcipiens) yang umumnya akan berakhir dengan obstruksi usus
strangulasi.7,8,9
3.4 Epidimiologi
Invaginasi atau intususepsi merupakan penyebab obstruksi usus yang
sering terjadi pada anak-anak. Invaginasi dapat terjadi pada setiap umur. Insidens
terbesar terjadi pada penderita usia 5 hingga 9 bulan, namun sebagian literatur
menyebutkan usia 3 hingga 6 bulan. Lebih dari separuh dari seluruh kasus terjadi
pada usia dibawah 1 tahun dan hanya 10-25% terjadi pada usia lebih dari 2 tahun.
Mayoritas dari pasien dengan invaginasi adalah bayi yang sehat, pria lebih sering
daripada wanita dengan perbandingan 2:1.9
20
3.5 Etiologi dan Faktor Predisposisi
3.6 Klasifikasi
3.7 Patogenesis
Lebih dari 80% kasus invaginasi berupa ileokolika. Meskipun jarang,
Invaginasi bisa juga terjadi secara ileoileal, sekokolika, kolokolika, dan
yeyunoyeyunal.9,10
21
Invaginasi terjadi ketika suatu segmen usus berikut mesenterium masuk ke
dalam lumen usus bagian distalnya oleh suatu kausa. 90% kausa tersebut masih
belum diketahui secara pasti, tetapi diduga oleh penebalan dinding usus,
khususnya ileum.8,11 Pada hampir setiap pemeriksaan usus saat operasi, ditemukan
hipertropi jaringan limfoid pada dinding ileal intususeptum. Invaginasi seringkali
terjadi pada saat penderita mengalami infeksi pernapasan atau suatu episode
gastroenteritis yang kemudian menyebabkan hipertropi plak Peyer, menginisiasi
terjadinya invaginasi. Adenovirus dan rotavirus diketahui berimplikasi pada 50%
kasus.9
22
disertai serangan muntah. Jika strangulasi tidak dapat diatasi, selanjutnya dapat
terjadi gangren dan perforasi.
3.8 Diagnosis
Manifestasi klinik dan temuan klinis sangat bergantung pada berapa lama
invaginasi telah berlangsung. Umumnya bayi dalam keadaan sehat, gizi baik.
Mungkin beberapa hari sebelumnya terdapat peradangan saluran nafas bagian atas
atau diare.
Awalnya, bayi dapat tiba-tiba menangis karena merasa sakit pada perut,
menarik kaki ke perut, dan muntah berisi makanan atau minuman yang masuk.
Beberapa menit kemudian jika serangan telah berlalu, bayi akan tampak normal,
bermain-main atau tertidur kembali. Hal ini seringkali disalahartikan oleh dokter
umum sebagai gastroenteritis, hingga kemudian timbul gejala lebih lanjut.
23
Beberapa jam kemudian, serangan akan timbul semakin sering dan bayi menjadi
letargik. Bayi defekasi berupa feses disertai darah segar dan lendir, selanjutnya
hanya darah dan lendir (currant-jelly stools). Muntah yang pada awalnya berisi
makanan yang belum dicerna, berlanjut menjadi muntah hijau (bilious emesis) jika
obstruksi telah lanjut.10,11
Pada suatu kondisi yang jarang, ujung invaginasi dapat juga teraba saat
pemeriksaan colok dubur. Ujung invaginasi tersebut teraba seperti perabaan pada
portio, yang disebut sebagai pseudoporsio.8 Kadang, ujung invaginasi tersebut
dapat mengalami prolaps hingga ke dalam anus. Hal ini merupakan keadaan
gawat, khususnya jika warna dari intususeptum adalah biru-kehitaman. Prolaps
ileum ke dalam rektum atau anus megindikasikan adanya suplai darah yang sangat
kompromais serta kerusakan usus yang parah. Pada pasien yang demikian tanda-
tanda sistemik pasti sudah terjadi. Sayangnya, prolaps invaginasi ke anus ini dapat
dikira sebagai prolaps rektum biasa. Untuk membedakannya, spaltel tongue yang
sudah dilubrikasi dimasukkan ke dalam anus menyusuri bagian tepi antara massa
prolaps dan rektum. Jika ujung dari spaltel tongue dapat dimasukkan lebih dari
24
satu atau dua sentimeter, diartikan sebagai invaginasi. Selain itu, prolaps rektum
tidak disertai muntah ataupun tanda-tanda sepsis.9
3. Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG dapat ditemukan gambaran karakteristik
invaginasi berupa lesi target dan gambaran pseudokidney. Lesi target terlihat pada
potongan transversal, terdiri atas dua cincin hipoekoik di antara sebuah cincin
hiperekoik. Gambaran pseudokidney terlihat pada potongan longitudinal dan
terlihat sebagai lapisan-lapisan hipoekoik dan hiperekoik yang saling tumpang-
tindih, menandakan adanya edema pada dinding usus. Pemeriksaan USG ini
cukup akurat, sayangnya sangat bergantung pada operator sehingga gambaran
yang diberikan tergantung dari kemampuan operator melakukan pemeriksaan
USG. Pemeriksaan USG juga tidak memerlukan kontras enema serta tidak ada
paparan radiasi.9
25
Gambar 2. (a) posisi supinasi memperlihatkan gambaran gas usus
nonobstruktif. (b) posisi dekubitus memperlihatkan kolon ascendens lebih
jelas mengalami intususepsi caekal.
Gambar 3. (a) gambaran radiologi target sign. (b) pseudokidney sign pada
USG
4. Computed Tomography
Invaginasi pada pemeriksaan CT scan tampak sebagai massa intraluminal
dengan lapisan yang karakteristik. Mesipun demikian, pemeriksaan CT scan
ini memiliki risiko terkait dengan pemberian kontras, paparan radiasi, dan
sedasi. 9,12
26
Gambar 4. CT scan menunjukkan target sign
27
dengan gizi baik dan gemuk. Jika akan dilakukan tindakan operatif,
sebaiknya bayi sudah terehidrasi dalam empat atau enam jam, ditandai
dengan keluaran urin 1-2 cc/kgBB/jam.
3. Pemasangan kateter urin untuk memonitor produksi urin
ditandai dengan keluaran urin normal anak 1-2 cc/kg/bb/jam.
4. Pemberian antibiotik ”broad spectrum” sebagai profilaksis
terjadinya infeksi nosokomial
5. Obat-obat penenang untuk penahan sakit, misal
phenobarbital dan valium.
6. Lakukan pemeriksaan darah perifer lengkap dan
elektrolit.10,11
Tindakan Non-Operatif
1. Reposisi Dengan Enema Barium (Reduksi Hidrostatik)
Reposisi dengan enema Barium dikerjakan dengan tekanan hidrostatik
untuk mendorong bagian usus yang masuk (intususeptum) ke arah proksimal.
Tindakan ini dikerjakan jika belum terdapat tanda-tanda obstruksi usus yang jelas
seperti buncit abdomen dan muntah hijau atau fekal. Peritonitis merupakan
kontraindikasi melakukan reposisi dengan enema Barium.8
28
terjadi reduksi, yang ditandai dengan terdorongnya invaginasi secara retrograd
melewati valvula ileosekal dan kontras mengalir bebas mengisi ileum terminalis.
Jika reposisi dengan enema barium mengalami kegagalan, dapat diulangi lagi
hingga dua-tiga kali.9
29
kontras ke dalam ileum terminalis. Prosedur kedua dapat dilakukan beberapa jam
sesudah yang pertama jika pasien tidak menunjukkan tanda abdomen akut dan
gejala-gejala berkurang.
Tindakan Operatif
Tindakan bedah berupa laparotomi dilakukan pada pasien dengan gejala
syok atau peritonitis, kegagalan tindakan reduksi hidrostatik atau pneumatik, 3 atau
pasien dengan gejala-gejala obstruksi yang jelas.8 Persiapan preoperatif antara
lain adalah dekompresi dengan NGT, resusitasi intravena, dan pemberian
antibiotik profilaksis. Insisi transversal dilakukan pada kuadaran kanan bawah.
Reduksi secara manual dilakukan dengan lembut, yaitu secara milking
menggunakan jari-jari tangan ke arah proksimal. Seringkali suplai darah ke
apendiks berkurang, sehingga dilakukan apendiktomi setelah proses reduksi
berhasil. Meskipun proses reduksi berhasil, adakalanya viabilitas usus masih
meragukan. Hal ini bisa dikurangi dengan cara pengaplikasian normal saline
hangat sehingga meningkatkan sirkulasi dan mengurangi keraguan apakah perlu
dilakukan reseksi.9
30
Baru-baru ini mulai dikembangkan teknik laparoskopi sebagai tatalaksana
invaginasi dengan menggunakan laparoskop 5 mm yang diletakkan melalui
umbilikus dan dua laparoskop tambahan di kuadran kanan dan kiri bawah. Usus
kemudian diinspeksi, dan jika tampak viabel, maka dilakukan milking dengan
menggunakan traksi.13
Diet
Setelah beberapa jam reduksi non-operatif, bayi mulai diberi makanan
sesuai dengan usianya. Jika reduksi dilakukan secara operatif, pemberian makanan
dimulai sama seperti pada pasien pascaoperasi secara umum.16
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada anamnesis, didapatkan riwayat buang air besar berupa darah dan
lendir sejak satu hari yang lalu. Pasien sudah mulai diberi makan pendamping ASI
berupa pisang yang dihaluskan sejak usia pasien 2 bulan. Menurut ibu pasien,
pasien awalnya rewel dan lemas namun pasien masih mau minum ASI. Dari
31
anamnesis dipikirkan kemungkinan diagnosis non-infeksi berupa invaginasi
dengan diagnosis banding infeksi berupa gastroenteritis, disentri.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam didasarkan pada tidak
ditemukannya komplikasi berupa peritonitis atau sepsis yang dapat mengancam
nyawa. Prognosis quo ad fungsionam bonam karena hasil produksi pasien yang
terus membaik. Prognosis quo ad sanactionam adalah bonam.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi JH, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,
Matthews JB. Intussusception in Schwartz Principles of Surgery. 9th ed.
the McGraw-Hill Companies, Chapter 39; 2010.
2. De Jong, W, Sjamsuhidajat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Bab 35:h 627-629, 2005.
33
3. Fallat ME. Intussusception. In: Ashcraft KW, Holcomb GW, Murphy JP,
editors Pediatric surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders,
2005.p.533-42
4. Kartono D. Invaginasi. Dalam: Reksoprodjo S,dkk, penyunting.
Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Binarupa
Aksara.1995.h.119-21
5. James Jiang, Baoming J, Umesh P, Trang N, Julie B, Manish M. P.
Childhood Intussusception: A Literature Review. 8(7): e68482; 2013.
6. Nail Aydin, Andrew R, Subhasus M. Surgical Versus Conservative
Management of Adult Intussusception: Case Series and Review.
International Journal of Surgery Case Report 20 (2016) 142-146.
7. Kuppermann N, O’Dea T, Pinckney L, Hoecker C. Predictors of
intussusception in young children. Arch Pediatr Adolesc Med
2000;154;250-5.
8. Kartono D. Invaginasi. Dalam: Reksoprodjo S, dkk, penyunting.
Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara, 1995.
h.119-21.
9. Fallat ME. Intussusception. In: Ashcraft KW, Holcomb GW, Murphy JP,
editors. Pediatric surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2005. p.
533-42.
10. Grosfeld JL, Coran AG, O’neill JA. Pediatric Surgery. 6 th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier. 2006. p. 1316-1318.
11. Holcomb GW, Murphy JP, Oslie DJ. Ashcraft’s Pediatric Surgery. 6 th ed.
USA: Sauders Elsevier. 2014. p. 531-538
12. Chahine A. Intussusception. Emedicine 2006 Apr (cited 2007 Okt 6).
Available from: URL: http://www.emedicine.com.
13. Spitz L, Coran AG. Operative Pediatric Surgery. 7th ed. London: CRC
Press. 2013. p. 469-477.
14. Hackam DJ, Newman K, Ford HR. Pediatric surgery. In: Brunicardi FC,
et.al, editors. Schwartz’s principles of surgery. 8th ed. New York:
McGraw-Hill, 2005. p. 1493-4.
15. King L. Pediatrics, intussusception. Emedicine 2007 Okt (cited 2007 Okt
6). Available from: URL: http://www.emedicine.com.
34
16. West KW, Grosfeld JL. Intussusception. In: Wyllie R, Hyams JS, editors.
Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis,
management. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1993. p. 633-40.
35