You are on page 1of 16
c Human Immunodeficiency Virus terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun tanpa diketahui penyebabnya. Oleh karena jumlah kasus defisiensi imun makin meningkat secara relatif cepat disertai angka kematian yang mencemaskan, maka dilakukanlah pengamatan dan penelitian yang intensif sehingga akhimya penyebab defisiensi imun ini ditemukan. Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu virus yang kemudian dikenal dengan nama human immunodeficiency virus tipe-1 (HIV- 1), pada tahun 1985. Pada pengamatan selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini dapat menimbulkan rentangan gejala yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala hingga gejala yang sangat berat dan progresif, dan umumnya berakhir dengan kematian. Dengan meningkat dan menyebarnya kasus defisiensi imun oleh virus ini pada orang dewasa secara cepat 4iseluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak mendapat perhatian dan penanganan yang memadai, dalam waktu dekat diperkirakan jumlah kasus defisiensi imun pada anak juga akan meningkat. [= oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang relatif baru, Batasan Sampai saat ini belum dijumpai adanya batasan yang memuaskan untuk sindrom yang Ssebabkan oleh infeksi HIV-1 ini oleh karena rentangan gejalanya yang sangat luas. Batasan yang ada adalah batasan yang diberikan untuk bentuk Klinis yang paling berat, yang ikenal dengan nama sindrom defisiensi imun yang didapat atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), yang diberikan oleh CDC (Centers for disease control) di Amerika Serikat, yang terbatas hanya untuk anak di bawah usia 13 tahun dan untuk kepentingan survai epidemiologis semata. Batasan ini pun telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada awalnya, sebelum virus penyebab AIDS ini ditemukan, batasan yang diberikan adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital. Pada tahun 1985, ditambahkan pneumonitis interstisial limfositik atau Symphocytic interstitial pneumonitis (LIP) sebagai tanda tambahan dari AIDS. Akibat batasan yang diberikan oleh CDC tersebut, dikenal adanya istilah AIDS-related complex (ARC), yaitu 243 sindrom defisiensi imun yang tidak dapat memenuhi seluruh kriteria yang diberikan oleh CDC. Pada tahun 1987, dilakukan perubahan lagi dengan dimasukkannya uji diagnostik ke dalam batasan. Dengan cara ini, sindrom yang termasuk ke dalam ARC dapat tercakup sehingga istilah ARC tidak diperlukan lagi. Epidemiologi Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat terjadi melalui transfus! darah atau komponennya yang tercemar. Makin sering transfusi dilakukan makin besar kemungkinan terjadinya infeksi. Menurut CDC Amerika, 13% kasus AIDS pada anak adalah penerima transfusi darah atau komponennya, 5% di antaranya ternyata terinfeks dalam pengobatan hemofilia atau gangguan pembekuan darah yang lain. Dengan diterapkan sistem uji tapis yang lebih ketat terhadap donor darah, penularan melalui transfusi ini telah berkurang, sehingga penularan pada umumnya lebih sering terjadi akibat infeksi perinatal (vertikal), yaitu sekitar 50-80% baik intra uterin, melalui plasenta, selama persalinan melalui pemaparan dengan darah atau sekreta jalan lahir, maupun yang terjadi setelah lahir (pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI). Penularan pasca natal terjadi melalui pemaparan yang erat dengan darah, ekskreta atau sekreta, masih belum dapat dipastikan oleh karena angka kejadiannya terlampau kecil, Penularan melalui plasenta (intra natal), diduga dapat terjadi pada periode kehamilan yang sangat dini, oleh karena pernah ditemukan adanya antigen terhadap virus pada janin yang berusia 13-20 minggu, disamping ditemukannya dismorfisme seperti kelainan kraniofasial, mikrosefali, dahi yang menonjol dan berbentuk kotak, hipertelorisme okuler, jembatan hidung yang datar, mata yang miring, fisura palpebralis yang panjang dan lain-lainnya. Sayang sekali tidak diketahui adanya faktor predisposisi yang mempermudak terjadinya penularan infeksi pada janin. Penularan melalui air susu ibu diduga dapat terjadi oleh karena pernah ditemukan adanya virus di dalam ASI. Pada anak yang lebih besar, terutama remaja, penularan dapat terjadi dengan cara yang sama seperti, pada orang, dewasa, yaitu sebagai akibat perilaku seksual yang menyimpang (terlampau aktif, homoseksual atau biseksual), penyalahgunaan obat dengan suntikan dan lain-lainnya. Etiologi Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human immuno-deficiency virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari farnili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal 2 serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated vires type-2 (LAV-2) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum penyakit yang menimbulkannya belum banyak diketahui, HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai Inman T cell-Iymphotrophic virus type IE (HTLV-II), lymphadenopathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus. Secara morfologik HIV-1 berbentuk bulat dan terdiri atas bagian inti (core) dan selubung (envelope). Inti dari virus terdiri dari suatu protein sedang selubungnya terdiri dari suate glikoprotein. Protein dari inti terdiri dari genom RNA dan suatu enzim yang dapat 244 ‘Buku Ajor infeks! dan Pediatr Tropss mengubah RNA menjadi DNA pada waktu replikasi virus, yang disebut enzim reverse transcriptase. Genom virus yang pada dasarnya terdiri dari gen, bertugas memberikan kode baik bagi pem-bentukan protein inti, enzim reverse transcriptase maupun glikoprotein dari selubung, Sebenarnya masih ada gen lain yang berfungsi_ mengatur sintesis, kemampuan infeksi (infeksisitas), replikasi dan fungsi yang lain dari virus. Bagian envelope yang terdiri dari glikoprotein, ternyata mempunyai peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh Karena mempunyai afinitas yang besar terhadap reseptor spesifik dari sel pejamu. Patogene: Untuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul D4, Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekull CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada limfosit-T. Setelah penempelan, terjadi diskontinyuitas dari membran sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi seuntai DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-ase H, RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polimerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel linafosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung kepada aktivitas dan deferensiasi sel pejamu (T-CD,) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi dengan kecepatan yang tinggi (Gambar 2). Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi virus, yaitu pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat ini masih belum jelas, walaupun umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan mitogen atau antigen yang mungkin bekerja melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak semua sitokin dapat memacu replikasi virus oleh karena sebagian sitokin malah dapat menghambat replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang, umumnya ikut serta mengatur respons imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis factor a. dan , interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor dan macrophage colony-stimulating factor. Yang bersifat menghambat adalah interleukin-4, trans- forming growth factor B, dan interferon a dan B. Hal lain yang dapat memacu replikasi HIV adalah adanya ko-faktor yang terdiri dari infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cyfomegalovirus, virus hepatitis B, virus herpes simplex, ltwman herpesvirus 6, dan human T-cell Lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh ‘kuman seperti mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan bekerja lokal di dalam jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus meningkat untuk dapat menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam jaringan. Oleh karena itu, pada keadaan adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan (terutama di dalam kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi Human immunodeficiency Virus 245 virus. Pada penelitian dengan hibridasi in situ dan polymerase chain reaction (PCR), organ limfoid (kelenjar limfe, adenoid dan tonsil), tampaknya memang merupakan tempat hidup dan berkembang (reservoir) HIV yang terpenting, baik pada periode akut maupun periode laten yang panjang. Hipotesis yang berkembang hingga saat ini schubungan dengan peran organ limfoid dapat dipaparkan sebagai berikut:setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui sirkulasi atau melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe regional. Disini terjadi replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang Jain (multipel) yang dapat menimbulkan limfadenopati subklinis (lihat Gambar 2), HIV + Mukosa/darah t eae gl Virus ber-replikasi + Viremia Organ limfoid ‘Gambar 1. Infeksi HIV Sehingga Terjadi Invasi Organ Limfoid Sementara itu, sel limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum germinativum jaringan Jimfoid juga memperikan respons imun yang spesifik terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya limfadenopati yang nyata akibat hiperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai oleh mengingkatnya sel dendrit folikular di dalam sentrum germinativum dan sel limfosit T-CD4, Akumulasi sel limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain akibat proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi limfosit dari luar. Migrasi sel T-CD4 dari luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel ‘T-CDé di dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang imerupakan gejala yang khas dari sindrom infeksi HIV akut. Di samping itu, sel limfosit-B menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel T-CD4. Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan komplemen terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik folikular ini, pada respons imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang terdapat di lingkungan sentrum germinativum dan menyajikannya kepada sel imun yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi. Seperti telah dikemukakan, HIV didalam sel T- CD4 dapat tinggal laten untuk waktu yang panjang sebelum kemvudian mengalami replikasi kembali akibat berbagai stimulasi. Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan partikel HIV yang bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat diamati adalah 246 Buku Ajar infeks! dan Pediat Tropis dengan progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit folikular sehingga hilanglah Kemampuan organ limfoid untuk menjerat partikel HIV yang berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi. Hal ini sudah tentu meningkatkan penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh (gambar 2). HIV L Organ limfoid Organ limfoid Organ limfoid (subklinis) (hiperplasia) (invotusi) sel B zat imun (sitokin) zat imun sel dendrit sel dendrit sel dendrit sel T-CD4 sel T-CD4 sel T-CD4 1 ‘ virus terikat virus dilepas L viremia Gambar 2. Invasi, Hiperplasi dan Involusi Organ Limfoid Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa infeksi HIV pada sel limfosit T-CD4 tidak saja berakhir dengan replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan fungsi sel T-CD4 dan sitolisis, hingga populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi (perubahan fungsi dan penurunan jumlah) sel limfosit T-CD4 ini diduga berlangsung sebagai yang tertera sebagai berikut. Pengaruh sitopatik langsung HIV (single-cell killing) Pembentukan sinsitium Respons imun spesifik Limfosit-T sitolitik yang spesifik untuk HIV Sitotoksisitas selular akibat adanya antibodi Sel killer alami Apoptosis (kematian yang terprogram) Mekanisma autoimun Anergi yang disebabkan oleh pengiriman isyarat yang tidak sempurna yang diakibatkan oleh interaksi molekul gp 120-CD4 Gangguan fungsi (perturbation) subkelompok sel-T akibat adanya suatu super antigen Pengaruh sitopatik langsung Kematian sel inang dapat disebabkan oleh karena terjadinya akumulasi DNA virus yang tidak mengalami integrasi, atau oleh karena sintesis protein sel inang mengalami hambatan. Virus HIV, dengan cara yang sama, tidak saja dapat melisiskan sel limfosit T-CD4 yang matang, tetapi juga sel-sel yang merupakan T-CD4 cadangan (gambar 2). Human immunodeficiency vis 247 Virus HIV juga dapat menginduksi sel CD4 tertentu hingga menghasilkan bahan yang bersifat toksik untuk sel limfosit T-CD4. 2. Pembentukan sinsitium Adanya molekul gp120 virus pada permukaan sel T-CD4 dapat menyebabkan sel tersebut dapat menyatu dengan sel T-CD4 yang sehat dengan membentuk sinsitium sehingga terbentuk sel datia dan kemudian menyebabkan kematian sel. Keadaan ini jarang dijumpai in vivo. Keadaan in vivo ini mungkin terjadi akibat pengaruh molekul LFA-1 (lymphocyte-function-associated antigen-1), yang mempengaruhi adesi leukosit, yang dihasilkan oleh limfosit T-CD4 yang terinfeksi HIV. 3. Respons imun yang spesifik Penurunan populasi sel T-CD4 dapat pula terjadi akibat respons imun yang spesifik terhadap bagian tertentu dari selubung virus. Molekul gp120 dari selubung virus yang bebas misalnya, dapat terikat pada sel T-CD4, dan menimbulkan zat imun yang dapat menyebabkan sitotoksisitas atau kematian sel T-CDé4 setelah berikatan dengan sel pembunuh alami (natural killer cells). Pada fase awal, proses ini tampaknya dapat membantu mengatasi bahkan mengeliminasi infeksi HIV (protektif), akan tetapi pada fase yang lanjut eliminasi sel yang terinfeksi HIV ini (sel T-CD4, sel dendrit folikular dan sel makrofag) malah dapat menyebabkan gangguan sistem imun yang makin berat. 4. Apoptosis Yang dimaksud apoptosis adalah terjadinya kematian sel T-CD4, sebagai reaksi tethadap adanya aktivasi sel T-CD4 oleh suatu antigen atau superantigen (gambar 3). 5, Mekanisme autoimun Molekul klas-Il dari MHC (ajor-histocompatibility-complex) dari sel penyaji antigen ternyata memiliki struktur yang homolog dengan protein selubung HIV (gp120 dan gpl), hingga zat imun terhadap_ protein selubung HIV ini dapat berkaitan dengan molekul klas-II dari MHC hingga menghalangi fungsi dari sel penyaji antigen maupun sel T-CD4, 6. Anergi Molekul CD4 dari sel T-CD4, apabila telah berikatan dengan molekul protein gp120 dari virus atau dengan kompleks gp120 anti gp120, akan menyebabkan sel T-CD4 tidak dapat diaktifkan atau tidak dapat me-laksanakan fungsinya lagi (menjadi refrakter) melalui molekul CD3 dengan anti CD3. Keadaan refrakter atau anergi ini juga dapat jadi pada sel mononuklar yang terdapat dalam darah perifer yang terinfeksi HIV. Keadaan ini diduga terjadi sebagai akibat adanya signal negatif yang diberikan pada sel T-CD4 setelah molekul CD4-nya terikat. 7. Superantigen Superantigen yang berasal dari kuman atau virus (baik dari golongan retrovirus atau bukan) yang hanya berikatan dengan rantai beta dari reseptor antigen sel limfosit-T. Ikatan ini akan mengakibatkan stimulasi yang berlebihan (masif) yang diikuti oleh anergi dari sel-sel yang memiliki rantai beta, termasuk sel limfosit T-CD4. Oleh karena itu, bila terdapat superantigen, infeksi HIV dapat terjadi lebih mudah. Aktivasi pertama sel T-CD4 terjadi sebagai akibat terjadinya ikatan molekul CD4 dengan gp120 dari virus atau dengan kompleks gp120-anti gp120. Aktivasi kedua yang akhimya 248 Buku Alam infeksi dan Pediatr Tropis menyebabkan kematian sel T-CD4 adalah sebagai akibat reseptor antigen sel T-CD4 berikatan dengan klas-II MHC dari sel penyaji antigen yang telah mengikat antigen atau superantigen (gambar 4). Manifestasi is Setelah terjadi infeksi HIV tidak segera timbul gejala, oleh karena diperlukan waktu untuk terjadinya replikasi virus yang kemudian memegang peran dalam timbulnya berbagai gejala Klinis dan laboratorium. Dengan demikian ini berarti masa inkubasi infeksi HIV sangat berbeda-beda tergantung kepada dosis infeksi dan daya tahan tubuh inang, Menurut Apradi dan Caspe (1990), pada infeksi yang terjadi vertikal, lebih dari 50% masa inkubasinya sekitar satu tahun, 78% sekitar dua tahun. Pada anak lebih besar, masa inkubasi ini umumnya lebih panjang, walaupun lebih pendek jika dibandingkan dengan masa inkubasi pada orang dewasa. Pada 5% kasus, dijumpai masa inkubasi yang lebih dari 6-9 tahun. Setelah masa inkubasi timbul gejala prodromal yang bersifat non spesifik setelah suatu selang waktu yang berbeda-beda. Gejala Non Spesifik (prodromal) Infeksi HIV Demam Gangguan pertumbuhan Kehilangan berat badan (10% atau lebih) Hepatomegali Limfadenopati (diameter lebih dari 0,5 cm pada 2 tempat atau lebih) Splenomegali Parotitis Diare Gejala Spesifik Infeksi HIV 1. Gangguan tumbuh kembang dan fungsi intelek 2. Gangguan pertumbuhan otak 3. Defisit motoris yang progresif yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala berikut, paresis, ‘tonus otot yang abnormal, refleks patologis, ataksi atau gangguan melangkah Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP) Infeksi sekunder yang terdiri dari: a. Infeksi oportunistik seperti pneumonia oleh Prewanocystis carinii, kandidiasis, infeksi cryptococcus, infeksi mikobakteria yang atipik. b. _Infeksi sekunder oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis, Salmonella enteritidis yang menimbul-kan sepsis, meningitis, pneumonia dan abses organ interna. c. _Infeksi virus yang berat dan berulang, stomatitis herpes yang kronik dan berulang, herpes zoster multidermatomal atau luas. 6. Keganasan sekunder seperti limfoma susunan saraf pusat primer, Hodgkin's B cell dan. non Hodgkin’s lymphoma, sarkoma Kaposi (umumnya pada orang dewasa) oie Human immunodeficiency Virus 249 7. Penyakit tertentu yang lain seperti kardiomiopati dengan gagal jantung atau aritmia, beberapa kelainan hematologik (tersering, anemia dan trombositopenia), glomerulo- nefropati, kelainan kulit seperti eksim, seborrhoe, molluscum contagiosus yang berat dan berjalan Jama. Perlu dikemukakan bahwa sebelum timbul gejala, umumnya telah dapat dijumpai adanya gangguan fungsi imun Kelainan Imunologik pada Awal Infeksi HIV 1. Hipo atau hiper-gamaglobulinemia 2. Jumlah sel limfosit T-CD4 menurun 3. Menurunnya rasio sel limfosit T-CD4(Th) : T-CD8(Ts) 4, Limfopenia absolut Berdasarkan gejala-gejala di atas, maka secara klinis infeksi HIV oleh Apradi dan Caspe (1990) dianjurkan untuk dibagi atas beberapa kelas seperti tertera berikut ini. Klasifikasi Infeksi HIV pada Anak KELAS P-O = Infeksi belum jelas KELAS P-1 = Infeksi tanpa gejala Subklas A - fungsi imunologik nermal Subklas B - fungsi imunologik abnormal Subklas C - fungsi imunologik belum diperiksa KELAS P-2 = Infeksi dengan gejala Subklas A - gejala nonspesifik Subklas B - gejala neurologik yang progresif Subklas C- lymphoid interstitial pneumonitis (LIP) Subklas D - penyakit infeksi sekunder Subklas E - keganasan sekunder SubklasF - penyakit lain yang mungkin oleh karena infeksi HIV Diagnosis Seperti penyakit lain, diagnosis HIV juga ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan Klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya. 1. Lahir dari ibu dengan risiko tinggi 2. Lahir dari ibu dengan pasangan berisiko tinggi 3. Penerima transfusi darah atau komponennya, lebih-lebih berulang dan tanpa uji tapis HIV 4. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika) 5. Homoseksual atau biseksual 6. Kebiasaan seksual yang keliru, Gejala Klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit yang ‘menular secara seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya ensefalopati yang menetap atau progresif, penyakit paru interstisial, keganasan sekunder, kardio-miopati dan lain-lainnya. Untuk diagnostik yang pasti dikerjakan pemeriksaan 250 Buku Alar inteksi don Pediat Tropis laboratorium mulai dari yang relatif sederhana hingga yang relatif sulit dan mahal, yaitu mulai dengan menentukan adanya antibodi anti-HIV misalnya dengan ELISA (enzyme linked immunosorbant assay) sebagai uji tapis, yang dilanjutkan dengan uji yang lebih pasti seperti Western blot assay dan lain-lainnya. Pada uji ELISA dipakai lisat seluruh tubuh virus dengan nilai cut off yang direndahkan untuk meningkatkan sensitivitas tes. Sudah tentu ini akan berakibat meningkatnya kemungkinan reaksi positif palsu. Uji Western blot, merupakan uji yang lebih spesifik karena menentukan adanya bagian-bagian protein yang, dikandung oleh HIV yaitu p24, gp41 dan gp120/160, Dikatakan positif apabila ditemukan 2 atau 3 protein yang ditentukan ini. Reaksi negatif yang palsu dapat terjadi pada anak, walaupun sangat jarang, lebih- lebih bila dilakukan uji ELISA sebagai uji tapis dan uji Western blot sebagai uji pemasti. Pada orang dewasa hal ini biasanya terjadi yaitu 6-12 minggu setelah infeksi, dan disebut sebagai window period. Antibodi yang negatif ini dapat juga disebabkan oleh penyakit hipo- gamaglobulinemia atau karena fase lanjut penyakit (anergi). Pada keadaan ini diagnosis dibuat berdasarkan kriteria yang ditentukan yang telah disepakati atau berdasar atas ditemukan virus didalam darah atau jaringan dengan kultur atau biakan. Perlu dikemukakan, pada bayi dan anak usia muda, oleh karena adanya IgG dari ibu, diagnosis infeksi HIV menjadi lebih sulit. Untuk mengatasinya perlu dilakukan uji ELISA dan Western blot beberapa kali berturut-turut. Apabila uji menjadi negatif, berarti antibodi berasal dari ibu. Serokonversi ini biasanya terjadi 12-15 bulan setelah lahir. Oleh karena itu, untuk bayi dan anak di bawah usia 15 bulan, bila kemungkinan adanya antibodi dari ibu tidak mungkin disingkirkan, diagnosis dapat dilakukan dengan menunjukkan adanya defisiensi imun selular atau humoral seperti imunoglobulin yang meningkat, menurunnya sel limfosit T-CD4 (T helper), menurunnya rasio sel limfosit T-CD4 terhadap sel T-CD8 (I supresor), atau limfopenia yang absolut. Dalam hal terdapat kesulitan, bayi atau anak yang di bawah 15 tahun ini sebaiknya dimasukkan ke klas P-O dan diperlakukan sebagai penderita infeksi HIV walaupun tidak perlu mendapat pengobatan. Sebenarnya untuk mengatasi hal seperti ini sedang dikembangkan uji yang dapat memberikan deteksi dini terhadap adanya infeksi HIV seperti tes polymerase chain reaction (PCR). Hingga kini tes ini masih dapat menimbulkan tes positif palsu. Diharap suatu saat uji PCR ini dapat lebih dikembangkan lagi hingga dapat memberikan diagnosis yang pasti. Diagnosis Banding Untuk diagnosis banding infeksi HIV yang berat yang perlu diingat di antaranya ialah severe combined immunodeficiency disease (SCID) dan hipo-gamaglobulinemia. Oleh karena secara klinis infeksi HIV yang berat sulit dibedakan dengan SCID, maka harus diperiksa adanya HIV, Walaupun sebagian kecil dari infeksi HIV disertai hipo-gamaglobulinemia, sebagian infeksi HIV pada anak disertai oleh hipergama-globulinemia. Tatalaksana Talaksana yang perlu dan harus dilakukan terhadap anak dengan infeksi HIV pada dasamnya ditujukan untuk mengeliminasi virus penyebab, mencegah dan menanggulangi Human immunodeficiency Virus 251 infeksi bakteri dan infeksi oportunistik yang, terjadi dan mengatur kembali sistem imun yang terganggu. Oleh karena berbagai upaya tersebut kerapkali tidak memberikan hasil yang memuaskan hingga penyakit berjalan lama, progresif dan kerapkali berakhir dengan kematian, maka masalah dan dampak yang ditimbulkannya, termasuk masalah psikososial, dapat sangat luas, baik bagi pasien, keluarga maupun masyarakat lingkungannya, maka penatalaksanaan infeksi HIV ini kerapkali perlu dan harus melibatkan berbagai disiplin ilmu dan organisasi kemasyarakatan. Berbagai upaya yang bersifat suportif tidak boleh dilupakan malah kerapkali merupakan hal yang sangat penting. i. Tindakan Suportif Anak dengan infeksi HIV kerapkali harus dirawat dirumah sakit oleh _karena untuk evaluasi atau pemberian obat termasuk antibiotik. Perlu diketahui dan diwaspadai pada pasien kerapkali dapat terjadi reaksi ikutan atau toksik akibat pemberian obat terutama oleh Karena trimetoprim-sulfametosazol. Masalah nuttisi perlu mendapat perhatian teratama bila terdapat diare yang berulang atau menetap, hingga tidakjarang diperlukan alimentasi intravena yang lama. Pemberian darah atau kandungannya perlu mendapat perhatian oleh karena tidak boleh menimbulkan reaksi ikutan atau mengandung sitomegalovirus yang dapat mempersulit keadaan. Oleh karena infeksi HIV umumnya terjadi pada keluarga miskin dan kurang terdidik sedang penyakitnya sulit disembuhkan, maka keluarga akan menghadapi berbagai masalah emosional dan finansial, seperti misalnya rasa bersalah, hilang kepercayaan diri, dikucilkan dan lain-lainnya, Dalam hal ini diperlukan bantuan berbagai pihak untuk membangun pengertian serta ke-waspadaan keluarga dan masyarakat, kepercayaan diri orang tua dan keluarganya, bantuan untuk perawatan serta pengobatan pasien dan lain- lainnya. 2. Penanggulangan Infeksi Bakteri Anak dengan infeksi HIV, mudah terjangkit infeksi bakteri terutama oleh kuman yang memiliki kapsul seperti salmonela, Pada anak dengan penyakit yang berat dapat terjadi sepsis oleh Staphylococcus aureus, Staphylococcus coagulase negatif, Streptokokus, Enterobasil, dan Pseu-domonas, lebih-lebih bila anak dipasang kateter vena sentral atau mendapat pengobatan parenteral lainnya. Untuk infeksi bakteri ini perlu diberikan antibiotik yang sesuai. Untuk mencegah resistensi, antibiotik sebaiknya diberikan dalam waktu pendek, yaitu segera dihentikan apabila biakan darah negatif. Selanjutnya, perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan terjadinya infeksi bakteri ini. Walaupunpenelitianbelumbanyak dilakukan, dikatakanpemberianimunoglobulin dapat menurunkan kemungkinan infeksi bakteri karena pemberian imunoglobulin ini dapat menyebabkan meningkatnya limfosit-T helper, respons proliperatif limfosit, penurunan kompleks imun dan jumlah laktat dehidrogenase dalam sirkulasi dan perbaikan imunoglobulin mempunyai pengaruh imunomodulator di samping fungsi opsonisasi dan antibakteri. Pemberian imunoglobulin terutama dianjurkan apabila terdapat gangguan fungsi sel B in-vitro atau terdapat infeksi yang berulang. Dosisnya masih belum jelas. Beberapa rumah sakit menggunakan dosis 200-300 mg/kgBB dua kali seminggu. 252 Buku Ajorinfeksi dan Pediat Tropis Untuk mencegah penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi, perlu dipertimbangkan berbagai faktor, seperti prevalens, morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi tersebut, kemampuan anak yang terjangkit HIV untuk membentuk antibodi, risiko pemberian vaksin virus hidup pada anak dengan defisiensi imun dan juga adanya kemungkinan bahwa antigen yang diberikan dapat meningkatkan replikasi HIV, Akhir-akhir ini dinyatakan bahwa kepada semua anak yang terinfeksi HIV dapat diberikan toksoid tetanus dan difteria, vaksin pertusis dan Haemophilus influenzae tipe B. Di samping itu dapat dipertimbangkan juga pemberian vaksin campak, parotitis dan rubela sesuai dengan jadwal anak yang normal, Untuk polio sebaiknya dipakai vaksin mati. Untuk saudara dan keluarga pasien yang masih sehat, juga sebaiknya diberikan vaksin mati. Oleh karena efektivitas vaksin yang diberikan umumnya lebih. rendah akibat adanya gangguan fungsi sel limfosit-B atau oleh karena pemberian terapi imunoglobulin kepada pasien, maka apabila terjadi pemaparan dengan campak atau varisela zoster, maka hendaknya diberikan juga imunoglobulin spesifik. 3. Penanggulangan Infeksi Opotunistik Belum banyak dilakukan penelitian tentang pengobatan infeksi oportunistik ini, pengobatan yang pernah dicoba tertera sebagai berikut. Tabel 1. Pengobatan Infeksi Oportunistik Organisme Manifestasi Klinis Pengobatan Pneumocystis carinii Pneumonia Kotrimoksazol atau pentamidinisotionat Toxoplasma gondii Abses otak Sulfadiazin dan pirimetamin Kandida Moniliasis, esofagitis Nistatin, Klotrimasol, ketokonasol, amfoterisin B Kriptosporidium Gastroenteritis Suportf Cryptococcus Meningitis, fungemia, pneumonia Amfoterisin B neoformans Sitomegelovirus __Koreoretintis, pneumonia, hepatitis, Gansiklovir kolitis, esofagitis, ensefalits, dl Herpes simpleks Stomatitis, infeksi perianal Asiklovir Varisela-Zoster. ——_Varisela primer, zoster Asiiovir Mikobakteum avium/ Infeksi tulang, hati, sal. cerna, Etambutol,isoniasid, etionamid, intra- selular kelenjar, il ansamisin, klofasimin, amikasin. Infiltrat pada paru dapat disebabkan oleh lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP) yang, bersifat kronik atau oleh karena infeksi bakteri akut termasuk oleh kuman tahan asam, virus, Kriptokokus dan Preuntocystis carinii, Untuk menentukan diagnosis etiologi kelainan para yang dijumpai dapat dilakukan berbagai cara termasuk pemeriksaan sputum yang diperoleh dengan bantuan nebulisasi larutan garam hipertonis, bronkoskopi dan pengumbahan (lavage), bahkan kalau perlu dengan biopsi paru. Berbagai obat telah dicoba termasuk trimetoprim-sulfametoksazol, pentamidin, trimetoprim-dapson, trimetreksat, diflormetilomitin, _ pirimetamin-sulfadiazin, Kortikosteroid, dengan hasil yang kurang memuaskan. Diare yang sering berulang pada anak dengan infeksi HIV dapat disebabkan oleh parasit (Giardia dan lain-lain), bakteri (Clostridium difficile, Mycobacterivem aoium-intracellulare), virus (sitomegalo-virus, Human immunodeficiency Virus 253 HIV) atau jamur (Kriptospodium). Diagnosis etiologi dikerjakan dengan pemeriksaan laboratorium biasa walaupun kadang-kadang perlu cara tertentu seperti pengecatan tahan asam yang dimodifikasi atau sugar flotation methode untuk kriptosporidium. Untuk diare oleh karena Kriptosporidium ini belum ditemukan obat yang efektif. Dapat dicoba golongan spiramisin, walaupun hasilnya tidak tentu. Kelainan susunan sataf pusat pada umumnya lebih sering disebabkan oleh HIV. Walaupun demikian kelainan dapat terjadi oleh karena infeksi oportunistik seperti kriptokokus, sitomegalovirus, papovavirus, meningitis bakteti, perdarahan otak, limfoma, abses otak non-protozoa, tuberkulosis dan lain-lain, Cara diagnosis meliputi pemeriksaan cairan Iumbal dan kalau perlu pemeriksaan scanning dengan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging=MRI). Peng-obatan, tergantung kepada penyebabnya, Untuk toksoplasmosis diberikan pirimetamin-sulfadiazin seumur hidup dengan asam folinik, atau klindamisin dan trimetreksat. Infeksi jamur pada anak umumnya terjadi lokal dalam bentuk kandidiasis oral atau esofagus. Pada anak dengan infeksi HIV , infeksi jamur lebih tersebar bahkan dapat keseluruh tubuh (darah, sumsum tulang, paru, otak) seperti pada infeksi oleh Kriptokokosis. Diagnosis dalam hal ini ditegakkan dengan biakan. Untuk terapi, Kandida dapat diatasi dengan nistatin, kotrimaksol atau ketokonasol. Untuk Kriptokokus diberikan amfoterisin-B tanpa atau dengan flusitosin atau flukonasol dalam jangka panjang. Pada pasien HIV, infeksi oleh virus varisela-zoster dan herpes simpleks kerapkali lebih berat atau sering berulang. Untuk kedua virus ini dapat digunakan antivirus asiklovir. Sitomegalovirus yang kerapkali dapat ditemukan pada urin dan saliva dan kadang-kadang dari buffy coa!, serta dapat menimbulkan retinitis, pneumonitis dan infeksi gastrointestinal, dapat dicoba gansiklovir yang dapat menimbulkan leukopenia Sekarang sedang dicoba anti sitomegalovirus yang lain yailu foskarnet yang tidak menyebabkan leukopenia Infeksi Mycobacterium avium-in tracellulare, M. tuberculosis dan M. kansassii kerapkali perlu dipikirkan pada kasus infeksi HIV berat. Infeksi oleh Mikobakterium ini dapat menimbulkan infeksi ekstrapulmonal yang tersebar luas, hingga kuman dapat ditemukan di dalam darah, sumsum tulang, jaringan, sekresi paru, urin dan tinja Infeksi M. avium-intracellulare kerapkali menimbulkan demam, gejala konstitusi, limfadenopati, hepatitis, kelainan gastrointestinal dan diare. Untuk diagnostiknya dapat dicoba uji tuberkulin walau sering negatif, biakan, dan lain-lain, 4. Pengobatan LIP (lymphocytic interstitial pneumonitis) Untuk lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP) tidak terdapat obat yang khusus. Untuk yang, progresif yang disertai oleh hipoksemia, dicoba kortikosteroid. Dalam hal ini, yang perlu diamati adalah kemungkinan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri atau virus, atau yang lebih jarang infeksi pneumosistis. 5. Pengobatan Retrovirus Untuk infeksi HIV sendiri sedang dicoba berbagai obat yang bertujuan menghambat replikasi virus dan mencegah kelainan sistem imun yang sudah terganggu. Penelitian yang sampai sekarang banyak dilakukan adalah terutama untuk menghambat enzim 254 Buku Ajar Infeksi dan Pediat Tropis reverse transcriptase. Dari beberapa obat yang dicoba, di antaranya adalah ribavirin, suatu analog guanosin yang bekerja post transkripsi, tampaknya tidak memberi hasil yang memadai. Pada penelitian yang selanjutnya dicoba berbagai analog nukleosida, di antaranya dideoksisitidin, yaitu suatu inhibitor reverse transcriptase, masih terus dikaji, oleh karena walau efektif in vitro ternyata masih menimbulkan efek samping. Obat lain yang dicoba adalah AZT (3'~azido-2'3" dideoxythymidine, azidotimidin, zidofudin, yang dipasarkan dengan nama Retrovir). Obat ini juga suatu analog nukleosida yang di dalam sel akan mengalami fosforilasi oleh enzim kinase menjadi AZT-trifosfat yang aktif. Obat ini bekerja dengan menghambat enzim reverse franscriptase atau dengan mengakhiri rantai transkripsi-nya yaitu setelah obat ini bersenyawa dengan DNA dari virus. Obat ini mempunyai bioavability yang baik dengan pemberian oral di samping dapat masuk dengan baik kedalam jaringan otak. Pada orang dewasa, obat ini dapat menurunkan atau mengurangi angka kematian, kejadian infeksi oportunistik dan gejala Klinis, di samping memperbaiki beberapa fungsi imunologik (yang dapat diamati dari timbulnya reaktivitas uji kulit dan meningkatnya sel helper dalam sirkulasi). Sayang sekali masih ditemukan banyak efek samping sehubungan dengan dosis dan lama pemberian obat ini, terutama pada pasien dengan sel limfosit-T helper, hemoglobin, dan neutrofil yang menurun atau rendah. Di antara efek samping yang terjadi misalnya adalah nyeri kepala, mual, mialgia, insomnia dan kelainan neutropenia, pansitopenia yang persisten, dan hipoplasi sumsum tulang. Efek samping ini tampaknya meningkat apabila diberikan bersama obat yang metabolismenya dilaksanakan oleh glokuronidase hati. Bila diberikan bersama asetaminofen dapat meningkatkan kejadian supresi sumsum tulang. Pada pasien dengan vitamin B12 yang rendah juga terlihat efek toksik hematologik yang meningkat. Perlu pula diketahui, oleh karena obat ini tidak berpengaruh pada virus yang laten, yang berarti hanya bersifat virustatik dan bukan virusidal, maka tampaknya harus diberikan seumur hidup. Kekurangan lain yang dimiliki oleh AZT adalah tidak dapat mencegah infeksi oportunistik atau penyulit atau penyulit infeksi HIV yang lain, di samping harganya yang mahal dan harus diberikan dengan infus dalam waktu yang lama. Di samping itu, pada pengobatan jangka panjang, gejala klinis penyakit ternyata terus berkembang, sel T-helper menurun dan dapat terbentuk variant HIV yang suseptibilitasnya terhadap AZT menurun in vitvo. Jadi dengan demikian, disimpulkan bahwa penggunaan AZT terbatas oleh karena toksisitasnya dan oleh karena hilangnya efektivitasnya pada pengobatan jangka panjang. Resistensi ini timbul oleh karena terjadi mutasi dari enzim reverse transcriptase dari virus. Untuk memperbaiki kekuranganini, AZT telah dicoba diberikan bersama didanosin (dal, 2,,3'-dideoxyinosine, dideoksiinosin, videx), suatu analog nukleosida yang juga dapat menghambat enzim reverse transcriptase, akan tetapi juga meningkatkan sel-T helper dan memperlambat progresi_penyakit. Dengan kombinasi ini ternyata diperoleh aktivitas inhibisi yang sinergis terhadap HIV in-vitro, terbukti dari peningkatan sel- T helper yang lebih tinggi dan lebih lama, dan penurunan titer HIV dalam plasma yang lebih sering, dengan gambaran hematologik yang lebih stabil. Di samping itu kombinasi obat ini lebih dapat diterima (ditoleransi) pasien. Dosis AZT yang diberikan pada pengobatan kombinasi ini sama dengan dosis pada Human immunodeficiency Virus 255 pengobatan tunggal, yaitu 90-180 mg/m2tiap 6jam, sedang dosis didanosin 90-180 mg) m2 tiap 12 jam. Kedua obat diberikan per-oral, Pada laporan terakhir, didanosin jug= ternyata dapat menyebabkan terjadinya mutasi pada enzim reverse transcriptase dari HIV, akan tetapi hanya menimbulkan penurunan sensitivitas yang ringan. Di samping didanosin juga dikenal zalsitabin (dC, 23'-dideoxycytidine) yang mirip, diberikan per oral, dosis 0,02-0,04 mg/kgBB, tiap 6 jam dalam kombinasi dengan AZT. Tampaknya dengan pengobatan dengan analog nukleosida ini, adanya mutasi enzim reverse transcriptase perlu diawasi dan diteliti hingga perkembangan strate gi pengobatan yang paling efektif. 6. Pengaturan Kembali Sistem Imun Upaya pengembalian fungsi imun dengan obat anti retrovirus saja ternyata tidak memadai. Oleh karena itu sedang dicoba berbagai upaya menambahkan obat-obat lain selain anti retrovirus, seperti bahan-bahan yang berasal dari timus, granulocyte- macrophage colony-stinuulating factor dan lain-lain, akan tetapi masih belum berhasil 7. Pengobatan lain Untuk trombositopenia yang terjadi sebagai akibat reaksi imun pada infeksi HIV. dicoba kortikosteroid, splenektomi dan imunoglobulin. Hasilnya masih tidak tetap. Pencegahan 1. Pemberian Vaksin Pengembangan suatu vaksin untuk mencegah infeksi HIV ternyata masih banyak mengalami kesulitan oleh karena berbagai hal, di antaranya belum diketahuinva dengan jelas peranan kekebalan humoral dan selular pada pencegahan infeksi HIV, sulitnya memperoleh hewan percobaan yang cocok, sulitnya memilih antigen yang tepat, termasuk cara memperolehnya, Kesulitan mengevaluasi kemampuan vaksin dan lain-lainnya. Walaupun demikian, upaya tersebut terus dilakukan, Salah satu di antaranya ialah vaksin rekombinan yang dibuat dari selubung HIV. 2. Pencegahan Penularan Vertikal Untuk mencegah penularan vertikal, perlu dilakukan berbagai usaha yang tidak selalu mudah dilaksanakan, yang bertujuan menghindarkan ibu dari infeksi HIV, seperti pemeriksaan atau uji tapis bagi wanita yang mempunyai risiko tinggi, penyuluhan dan bimbingan untuk mencegah penggunaan jarum suntik bersama, untuk menggunakan proteksi pada waktu melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berisiko tinggi dan kalau perlu mencegah kehamilan. Beberapa penulis yang menganggap penularan HIV melalui plasenta umumnya minimal menganjurkan pembersihan jalan lahir dengan seksama dan memandikan bayi dengan segera setelah lahir dengan baik dan segera akan dapat mengurangi kemungkinan bayi terinfeksi HIV pada waktw persalinan atau segera setelah lahir. Oleh karena penularan melalui air susu ibu sangat jarang walaupun dapat terjadi, timbul pandangan yang menganjurkan pemberian air susu ibu di samping yang menganjurkan penghentian sama sekali. 3. Pencegahan Penularan Horisontal Di antara upaya untuk mencegah penularan horisontal yang perlu dilakukan adalah Uji tapis serologik bagi darah donor dan pengawasan serta perlakuan yang lebih 256 Buky Alor infeksi dan Pediat Tropis ketat bagi bahan-bahan yang berasal dari darah, terutama yang akan diberikan untuk anak yang perlu mendapat transfusi atau pemberian bahan yang berasal dari darah berulang-ulang, lebih-lebih di daerah dengan prevalens infeksi HIV yang tinggi. Untuk anak dan remaja lebih-lebih yang memiliki aktivitas seksual berlebihan atau kelainan atau yang terlibat penyalahgunaan obat perlu dilakukan penyuluhan serta pembinaan yang terus menerus agar memahami cara dan risiko penularan HIV. Untuk dapat ‘mencapai keberhasilan yang maksimal perlu dilakukan penelitian tentang spektrum infeksi HIV pada anak termasuk penelitian tentang sifat epidemiologik dari anak yang tertular, bentuk penularannya, riwayat alami dari penyakit pada infeksi kongenital dan seroprevalens pada neonatus. Di samping itu perlu pula penyebarluasan pengetahuan tentang sifat HIV, cara penyebarannya, cara perawatan dan penanggulangannya termasuk tentang pengetahuan dan obat-obat yang baru. Dengan semua upaya ini diharapkan infeksi HIV dapat ditanggulangi, paling tidak dibatasi penyebaran dan akibat yang dapat ditimbulkannya. Prognosis Infeksi HIV pada umumnya berjalan progresif akibat belum ditemukannya cara yang efektif untuk menanggulanginya, maka pada umumnya penyakit berjalan progresif hingga prognosisnya pada umumnya buruk. Daftar Bacaan L Andrews CA, Sullivan JL, Brettler DB. Isolation of human immunodeficiency virus from hemophiliacs : Correlation with clinical symptoms and immunologic abnormalities. J Pediatr 1987; 111:672-7. Apradi 8, Caspe WB. Diagnosis and classification of HIV infection in children. Ped Annals 1990; 19:409-20. De Rossi A. Giaquinto C, Ometto L. Replication and tropism of human immuno deficiency virus type 1 as predictors of disease outcome in infants with vertically acquired infection. J Pediatr 1993; 123:929-36, Falloon J, Eddy J, Wiener L, Pizzo PA. Human immunodeficiency virus infection in children. J Pediatr 1989; 114:1-30. Gabiano C, Tovo PA, de Martino M. Mother to child transmission of human immuno deficiency virus type-1 : Risk of infection and correlates of transmission. Pediatrics 1992; 90:369-74. Hira SK, Mangrola UG, Mwale C, Apparent vertical transmission of human immuno deficiency virus type-I by breast-feeding in Zambia. J Pediatr 1990; 117 421-4 Husson RN, Mueller BU, Farley M. Zidovudine and didanosine combination therapy in children with human immunodeficiency virus infection, Pediatrics 1994; 93:316-22. Husson RN, Shirasaka T, Butler KM. High-level resistance to zidovudine but not to zalcitabine or danosine in human immunodeficiency virus from children receiving antiretroviral therapy. J Pediatr 1993; 123:9-16. Krivine A, Yakudima A, Le May M. A comparative study of virus isolation, polymerase chain reaction, and antigen detection in children of mothers infected with human immunodeficiency virus, J Pediatri 1990; 116:372-6. Human immunodeficiency Virus 257 10, Lederman SA. Estimating infant mortality from human immunodeficiency virus and causes in breast-feeding and bottle-feeding populations. Pediatrics 1992; 82:290-6. 11. Mattern CFT, Murray K, Jensen A. Localization of human immunodeficiency virus core ant in term human placentas. Pediatrics 1992; 89:207-9. 12, Mendez H. Ambulatory care of infants and children born to HIV-infected mothers. Pe annals, 1990; 19:439.47. 13. Msellati P, Lepage P, Hitimana DG. Neurodevelopmental testing of children born to hi immunodeficiency virus type-t seropositive and seronegative mothers: A prospective study in Kigali, Rwanda. Pediatrics 1993; 92:843-8, 14. Ochs HD. Intravenous immunoglobulin in the treatment and prevention of acute infections pediatrics acquired immunodeficiency syndrome patients. Pediatr Infect Dis J 1987; 6:509-11 15. Ogino MT, Dankner WM, Spector SA. Development and significance of zidovudine res inchildren infected with human immunodeficiency virus. J Pediatr 1993; 123:1-8, 16, Pantaleo G, Graziosi C. The immunopathogenesis of human immunodeficiency virus infection, New Engl J Med 1993; 328:327-36. 17. Saulsburg F, Wykoff RF, Boyle RJ. Transfusion-acquired human immuno-deficiency vires infection in twelve neonates: epidemiologic, clinical and immunologic features. Pediatr Infect Dis 1987; 6:544-9. 18. Shannon KM, Ammann AJ. Acquired immune deficiency syndrome in childhood. J Pediatr 1985; 106:332-42. 19. Srugo I, Brunell PA, Chelyapov NV. Virus burden in human immunodeficiency virus type infected children: Relationship to disease status and effect of antiviral therapy. Pediatrics 198% 87:921.5. 20. Suarez MZ, Blanco B, Brion LP. A rapid test for the detection of human immunodeficiency vires antibodies in cord blood. J Pediatr 1993; 123:259-61, 21. Subowo : Imunologi klinik. Bandung, Angkasa, 1993. 2. Trowbridge GL, Marshall GS, Falmer JB, Barbour SD, HIV: recognizing and managing the infant at risk, Contemporary. Pediatrics 1991.h.118-35. 258 Buku Ajar infels! don Pediat Tome

You might also like