You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Aborsi di dunia dan di Indonesia khususnya tetap menimbulkan

banyak persepsi dan bermacam interpretasi, tidak saja dari sudut pandang

kesehatan, tetapi juga dari sudut pandang hukum dan agama. Aborsi

merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberi dampak pada

kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab kematian ibu

yang utama adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia.

Pendarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai keadaan akut

yang dapat membahayakan ibu dan anak, dan sampai dapat menimbulkan

kematian. Sebanyak 20% wanita hamil pernah mengalami pendarahan pada

awal kehamilan dan sebagian mengalami abortus.

Rata-rata terjadi 114 kasus abortus perjam. Sebagian besar studi

mengatakan kasus abortus spontan antara 15-20 % dari semua kehamilan. Jika

dikaji lebih jauh kejadian abortus sebenarnya bisa mendekati 50 %.

Kejadian abortus habitualis sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi

menunjukkan bahwa setelah satu kali abortus spontan, pasangan punya risiko

15 % untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali,

risikonya meningkat 25 %. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus

setelah 3 kali abortus berurutan adalah sekita 30-45 %.


Penyebab abortus sendiri multifaktorial dan masih diperdebatkan,

umumnya terdapat lebih dari satu penyebab. Penyebabnya seperti Faktor

genetik, kelainan kongenital uterus, autoimun, infeksi, defek luteal.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat

hidup diluar kandungan. WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilan kurang dari

22 minggu, namun beberapa acuan terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang

dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Jika usia kehamilan lebih dari

20 minggu atau berat janin 500 gram maka disebut persalinan premature ( partus

prematurus ).

Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu menurut terjadinya abortus dan

menurut gambaran klinis. Menurut terjadinya dibedakan atas abortus spontan yaitu

abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja dan tanpa menggunakan

tindakan apa-apa sedangkan abortus provokatus adalah abortus yang disengaja, baik

dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat.

Menurut gambaran klinis abortus dapat dibedakan kepada:

a) Abortus imminens yaitu abortus tingkat permulaan (threatened abortion)

dimana terjadi perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil

konsepsi masih baik dalam kandungan.


b) Abortus insipiens (inevitable abortion) yaitu abortus yang sedang mengancam

dimana serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi

hasil konsepsi masih dalam kavum uteri.

c) Abortus inkomplit (incomplete abortion) yaitu jika hanya sebagian hasil

konsepsi yang dikeluarkan, yang tertinggal adalah desidua atau plasenta.

d) Abortus komplit (complete abortion) artinya seluruh hasil konsepsi telah

keluar (desidua atau fetus), sehingga rongga rahim kosong.

e) Missed abortion adalah abortus dimana fetus atau embrio telah meninggal

dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu, akan tetapi hasil konsepsi

seluruhnya masih tertahan dalam kandungan selama 6 minggu atau lebih.

B. Etiologi

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya abortus yaitu :

B.1. Faktor genetik

Ada banyak sebab genetik yang berhubungan dengan abortus. Sebagian besar

abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip dari embrio. 3Data ini berdasarkan

pada 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik

yang berupa aneuploidi yang bisa disebabkan oleh kejadian nondisjuction meiosis
atau poliploidi dari fertilas abnormal dan separuh dari abortus kerana kelainan

sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom.3

Triplodi ditemukan pada 16% kejadian abortus di mana terjadi fertilisasi ovum

normal oleh 2 sperma (dispermi).3 Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya

usia. Trisomi (30% dari seluruh trisomi) adalah penyebab terbanyak abortus spontan

diikuti dengan sindroma Turner (20-25%) dan Sindroma Down atau trisomi 21 yang

sepertiganya bisa bertahan sehingga lahir.3 Selain kelainan sitogenetik, kelainan lain

seperti fertilisasi abnormal iaitu dalam bentuk tetraploidi dan triploid dapat

dihubungkan dengan abortus absolut.3

Kelainan dari struktur kromosom juga adalah salah satu penyebab kelainan

sitogenetik yang berakibat aborsi dan kelainan ini sering diturunkan oleh ibu

memandangkan kelainan struktur kromoson pada pria berdampak pada rendahnya

konsentrasi sperma, infertelitas dan faktor lainnya yang bisa mengurangi peluang

kehamilan.3

Selain itu, gen yang abnormal akibat mutasi gen bisa mengganggu proses

impantasi dan mengakibatkan abortus seperti mytotic dystrophy yg berakibat pada

kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus.3 Gangguan genetik seperti

Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos, hemosistenuri dan pseusoxantoma

elasticum merupakan gangguan jaringan ikat yang bisa berakibat abortus.3 Kelainan
hematologik seperti pada penderita sickle cell anemia, disfibronogemi, defisiensi

faktor XIII mengakibatkan abortus dengan mengakibatkan mikroinfak pada plasenta.3

B.2. Faktor anatomi

Defek anatomi diketahui dapat menjadi penyebab komplikasi obstetrik

terutamanya abortus. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali

uterus pada 27% pasien. Penyebab terbanyak abortus kerana kelainan anatomik uterus

adalah septum uterus akibat daripada kelainan duktus Mulleri (40-80%), dan uterus

bicornis atau uterus unicornis (10-30%). Mioma uteri juga bisa mengakibatkan

abortus berulang dan infertilitas akibat dari gangguan passage dan kontraktilitas

uterus. Sindroma Asherman bisa mengakibatkan abortus dengan mengganggu tempat

impalntasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Kelainan kogenital

arteri uterina yang membahayakan aliran darah endometrium dapat juga berpengaruh.

Selain itu, kelainan yang didapat misalnya adhesi intrauterin (synechia), leimioma,

dan endometriosis mengakibatkan komplikasi anomali pada uterus dan dapat

mengakibatkan abortus.

Selain kelainan yang disebut di atas, serviks inkompeten juga telah terbukti dapat

meyebabkan abortus terutama pada kasus abortus spontan. Pada kelainan ini, dilatasi

serviks yang “silent” dapat terjadi antara minggu gestasi 16-28 minggu. 1 Wanita

dengan serviks inkompeten selalu memiliki dilatasi serviks yang signifikan yaitu 2cm
atau lebih dengan memperlihatkan gejala yang minimal. 1 Apabila dilatasi mencapai 4

cm atau lebih, maka kontraksi uterus yang aktif dan pecahnya membran amnion akan

terjadi dan mengakibatkan ekspulsi konsepsi dalam rahim. 1 faktor-faktor yang

mengakibatkan serviks inkompeten adalah kehamilan berulang, operasi serviks

sebelumnya, riwayat cedera serviks, pajanan pada dietilstilbestrol, dan abnormalitas

anatomi pada serviks.1

Sebelum kehamilan atau pada kehamilan trimester pertama, tidak ada metoda

yang bisa digunakan untuk mengetahui bila serviks akan inkompeten namun, setelah

14-16 minggu, USG baru dapat digunakan untuk menilai anatomi segmen uterus

bahagian bawah dan serviks untuk melihat pendataran dan pemendekan abnormal

serviks yang sesuai dengan inkompeten serviks.1

B.3. Faktor endokrin

Ovulasi, implantasi dan kehamilan dini sangat bergantung pada koordinasi sistem

pengaturan hormonal martenal yang baik. Perhatian langsung pada sistem humoral

secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutamanya

kadar progesteron sangat penting dalam mengantisipasi abortus.3

Pada diabetes mellitus, perempuan dengan kadar HbA1c yang tinggi pada

trimester yang pertama akan berisiko untuk mengalami abortus dan malformasi janin.

IDDM dengan kontrol yang tidak adekuat berisiko 2-3 kali lipat untuk abortus.3
Kadar progesteron yang rendah juga mempengaruhi resptivitas endometrium

terhadap implantasi embrio. Kadar progenteron yang rendah diketahui dapat

mengakibatkan abortus terutamanya pada kehamilan 7 minggu di mana trofoblast

harus menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus

luteum pada usia 7 minggu akan berakibat abortus dan jika diberikan progesteron

pada pada pasien ini, maka kehamilan dapat diselamatkan.3

Penelitian pada perempuan yang mengalami abortus berulang, didapatkan 17%

kejadian defek luteal iaitu kurangnya progesteron pada fase luteal. Namum pada saat

ini, masih blum ada metode yang bisa terpercaya untuk mendiagnosa kelainan ini.3

Faktor humoral terhadap imunitas desidua juga berperan pada kelangsungan

kehamilan. Perubahan endometrium menjadi desidua mengubah semua sel pada

mukosa uterus.3 Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung proses

implantasi, proses migrasi trofoblas, dan mencegah invasi yang berlebihan pada

jaringan ibu.3 Di sini interaksi antara trofoblas ekstravillus dan infiltrasi leukosit pada

mukosa uterus berperan penting di mana sebahagian besar leukosit adalah large

granular cell, dan makrofag dengan sedikit sel T dan sel B.3 Sel NK dijumpai dalam

jumlah yang banyak terutama pada endometrium yang terpapar progesteron. 3

Perannya adalah pada trimester 1 adalah akan terjadi peningkatan sel NK untuk

membunuh sel target dengan sedikit atau tiada ekspresi HLA.3 Trofoblast

ekstravillous tidak bisa dihancurkan oleh sel NK kerana sifatnya yang cepat
menghasilkan HLA1 sehingga terjadinya invasi optimal untuk plasentasi yang

optimal oleh trofoblas extravillous.3 Maka, gangguan pada sistem ini akan

berpengaruh pada kelangsungan kehamilan.

Selain itu, hipotiroidisme, hipoprolaktinemia, dan sindrom polikistik ovarium

dapat merupakan faktor kontribusi pada keguguran dengan menggangu balans

humoral yang penting pada kelangsungan kehamilan.6

B.4. Faktor infeksi

Ada pelbagai teori untuk menjelaskan keterkaitan infeksi dengan kejadian

abortus. Antaranya adalah adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, dan

sitokin yang berdampak langsung pada janin dan unit fetoplasenta. 3 Infeksi janin yang

bisa berakibat kematian janin dan cacat berat sehingga janin sulit untuk bertahan

hidup.3

Infeksi plasenta akan berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian

janin.3 Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genetalia bawah yang bisa

mengganggu proses implantasi. Amnionitis oleh kuman gram positif dan gram negatif

juga bisa mengakibatkan abortus.3 Infeki virus pada kehamilan awal dapat

mengakibatkan perubahan genetik dan anatomik embrio misalnya pada infeksi rubela,

parvovirus, CMV, HSV, koksakie virus, dan varisella zoster.3

Di sini adalah beberapa jenis organisme yang bisa berdampak pada kejadian abortus
-
Bakteria: listeria monositogenes, klamidia trakomatis, ureaplasma

urealitikum, mikoplasma hominis, bakterial vaginosis.3


-
Virus: CMV, HSV, HIV dan parvovirus.3

-
Parasit: toksoplasma gondii, plasmodium falsifarum.3

-
Spirokaeta: treponema pallidum.3

B.5. Faktor imunologi

Beberapa penyakit berhubungan erat dengan kejadian abortus. Antaranya adalah

SLE dan Antiphospholipid Antibodies (aPA).3 ApA adalah antibodi spesifik yang

ditemukan pada ibu yang menderita SLE.3 Peluang terjadinya pengakhiran kehamilan

pada trimester 2 dan 3 pada SLE adalah 75%. 3 Menurut penelitian, sebagian besar

abortus berhubungan dengan adanya aPA yang merupakan antibodi yang akan

berikatan dengan sisi negatif dari phosfolipid.3 Selain SLE, antiphosfolipid syndrome

(APS) dapat ditemukan pada preemklamsia, IUGR, dan prematuritas. 3 Dari

international consensus workshop pada tahun 1998, klasifikasi APS adalah:3

-
trombosis vaskular (satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau

kapiler yang dibuktikan dengan gambaran Doppler, dan histopatologi)3

-
komplikasi kehamilan (3 atau lebih abortus dengan sebab yang tidak jelas,

tanpa kelainan anatomik, genetik atau hurmonal/ satu atau lebih kematian

janin di mana gambaran sonografi normal/ satu atau lebih persalinan prematur
dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengan preeklamsia

berat,atau insufisiensi plasenta yang berat)3

-
kriteria laboratorium (IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi

pada 2 kali atau lebih dengan pemeriksaan jarak lebih dari 1 atau sama dengan

6 minggu)3

-
antobodi fosfolipid (pemanjangan koagulasi fospholipid, aPTT, PT, dan CT,

kegagalan untuk memperbaikinya dengan pertambahan dengan plasma platlet

normal dan adanya perbaikan nilai tes dengan pertambahan fosfolipid)3

aPA ditemukan 20% pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari 33%

pada perempuan yang mengalami SLE. Pada kejadian abotus berulang, ditemukan

infark plasenta yang luas akibat adanya atherosis dan oklusi vaskular.3

B.6. Faktor trauma

Trauma abdominal yang berat dapat menyebabkan terjadinya abortus yang

yang diakibatkan karena adanya perdarahan, gangguan sirkulasi maternoplasental,

dan infeksi.1 Namun secara statistik, hanya sedikit insiden abortus yang disebabkan

karena trauma .

B.6. Faktor nutrisi dan lingkungan


Diperkirakan 1-10% malformasi janin adalah akibat dari paparan obat, bahan

kimia atau radiasi yang umumnya akan berakhir dengan abortus.6 faktor-faktor yang

terbukti berhubungan dengan peningkatan insiden abortus adalah merokok, alkohol

dan kafein.

Merokok telah dipastikan dapat meningkatkan risiko abortus euploid. 1 Pada

wanita yang merokok lebih dari 14 batang per hari, risiko abortus adalah 2 kali lipat

dari risiko pada wanita yang tidak merokok.1 Rokok mengandung ratusan unsur toksik

antara lain nikotin yang mempunyai sifat vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi

uteroplasenta.6 Karbon monoksida juga menurukan pasokan oksigen ibu dan janin

dan dapat mamacu neurotoksin.6 Meminum alkohol pada 8 minggu pertama

kehamilan dapat meningkatkan risiko abortus spontan dan anomali fetus.1 Kadar

abortus meningkat 2 kali lipat pada wanita yang mengkonsumsi alkohol 2 kali

seminggu dan 3 kali lipat pada konsumsi tiap-tiap hari dibandingkan dengan wanita

yang tidak minum.1

Mengkonsumsi kafein sekurangnya 5 gelas kopi perhari atau 500mg caffiene

satu hari dapat sedikit menambah risiko abortus dan pada mereka yang meminum

lebih dari ini, risikonya meningkat secara linier dengan tiap jumlah tambahan gelas

kopi.1 Pada penelitian lain, wanita hamil yang mempunyai level paraxantine

(metabolit kafine), risiko abortus spontan adalah 2 kali lipat daripada kontrol.

B.6. Faktor kontrasepsi berencana


Kontrasepsi oral atau agen spermicidal yang digunakan pada salep dan jeli

kontrasepsi tidak berhubungan dengan risiko abortus.1 Namun, jika pada kontrasepsi

yang menggunakan IUD, intrauterine device gagal untuk mencegah kehamilan, risiko

aborsi khususnya aborsi septik akan meningkat dengan signifikan

C. PATOFISIOLOGI

Abortus dimulai dari perdarahan ke dalam decidua basalis yang diikuti dengan

nekrosis jaringan disekitar perdarahan.1 Jika terjadi lebih awal, maka ovum akan

tertinggal dan mengakibatkan kontraksi uterin yang akan berakir dengan ekpulsi

karena dianggap sebagai benda asing oleh tubuh.1 Apabila kandung gestasi dibuka,

biasanya ditemukan fetus maserasi yang kecil atau tidak adanya fetus sama sekali dan

hal ini disebut blighted ovum.

Pada abortus yang terjadi lama, beberapa kemungkinan boleh terjadi. Jika fetus

yang tertinggal mengalami maserasi, yang mana tulang kranial kolaps, abdomen

dipenuhi dengan cairan yang mengandung darah, dan degenarasi organ internal. 1

Kulit akan tertanggal di dalam uterus atau dengan sentuhan yang sangat minimal. 1

Bisa juga apabila cairan amniotik diserap, fetus akan dikompress dan mengalami

desikasi, yang akan membentuk fetus compressus.1 Kadang-kadang, fetus boleh juga

menjadi sangat kering dan dikompres sehingga menyerupai kertas yang disebut fetus

papyraceous.1
Pada kehamilan di bawah 8 minggu, hasil konsepsi dikeluarkan seluruhnya,

karena vili korialis belum menembus desidua terlalu dalam; sedangkan pada

kehamilan 8-14 minggu, vili korialis telah masuk agak dalam, sehingga sebagian

keluar dan sebagian lagi akan tertinggal.6 Perdarahan yang banyak terjadi karena

hilangnya kontraksi yang dihasilkan dari aktivitas kontraksi dan retraksi miometrium.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang ini diperlukan dalam keadaan abortus imminens,

abortus habitualis dan missed abortion :

1. Pemeriksaan ultrasonographi atau Doppler untuk menentukan apakah janin

masih hidup atau tidak, serta menentukan prognosis.

2. Pemeriksaan kadar fibrinogen pada missed abortion.

3. Tes kehamilan.

4. Pemeriksaan lain sesuai dengan keadaan dan diagnosis pasien.

E. DIAGNOSIS BANDING

1. KET : nyeri lebih hebat dibandingkan abortus.

2. Mola Hidantidosa : uterus biasanya lebih besar daripada lamanya anmenore

dan muntah lebih sering.

3. Kehamilan dengan kelainan serviks seperti karsinoma servisi uteri, polipus

uteri, dsb.
F. PEMANTAUAN PASCA ABORTUS

Sebelum ibu diperbolehkan pulang, diberitahu bahwa abortus spontan hal yang

biasa terjadi dan terjadi pada paling sedikit 15% dari seluruh kehamilan yang

diketahui secara klinis. Kemungkinan keberhasilan untuk kehamilan berikutnya

adalah cerah kecuali jika terdapat sepsis atau adanya penyebab abortus yang dapat

mempunyai efek samping pada kehamilan berikut.

Semua pasien abortus disuntik vaksin serap tetanus 0,5 cc IM. Umumnya

setelah tindakan kuretase pasien abortus dapat segera pulang ke rumah.Kecuali bila

ada komplikasi seperti perdarahan banyak yang menyebabkan anemia berat atau

infeksi.Pasien dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari.Pasien dianjurkan kembali

ke dokter bila pasien mengalami kram demam yang memburuk atau nyeri setelah

perdarahan baru yang ringan atau gejala yang lebih berat. Tujuan perawatan untuk

mengatasi anemia dan infeksi. Sebelum dilakukan kuretase keluarga terdekat pasien

menandatangani surat persetujuan tindakan.

G. KOMPLIKASI ABORTUS

1) Perdarahan.

Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil

konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah.Kematian karena

perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan.Perdarahan

yang berlebihan sewaktu atau sesudah abortus bisa disebabkan oleh atoni
uterus, laserasi cervikal, perforasi uterus, kehamilan serviks, dan juga

koagulopati.

2) Perforasi.

Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam

posisi hiperretrofleksi.Terjadi robekan pada rahim, misalnya abortus

provokatus kriminalis. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya

perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya

perlukaan pada uterus dan apakah ada perlukan alat-alat lain. Pasien

biasanya datang dengan syok hemoragik.

3) Syok.

Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan

karena infeksi berat.Vasovagal syncope yang diakibatkan stimulasi canalis

sevikalis sewaktu dilatasi juga boleh terjadi namum pasien sembuh dengan

segera.

4) Infeksi.

Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang

merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu

staphylococci, streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma,

Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis,


sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram

negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur.

Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas padsa desidua.Pada

abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke

perimetrium, tuba, parametrium, dan peritonium.

Organisme-organisme yang paling sering bertanggung jawab terhadap

infeksi paska abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus,

Streptococci anaerob, Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus,

dan Clostridium perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah

Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium tetani.

Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena dapat membentuk

gas.

5) Efek anesthesia.

Pada penggunaan general anestesia, komplikasi atoni uterus bisa terjadi

yang berakibatkan perdarahan. Pada kasus therapeutic abortus, paracervical

blok sering digunakan sebagai metode anestesia. Sering suntikan

intravaskular yang tidak disengaja pada paraservikal blok akan

mengakibatkan komplikasi fatal seperti konvulsi, cardiopulmonary arrest

dan kematian.

H. PROGNOSIS
Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi aborsi spontan

sebelumnya.Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang

rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %.Pada wanita keguguran

dengan etiologi yang tidak diketahui, kemungkinan keberhasilan kehamilan sekitar

40-80 %. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas jantung

janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih aborsi

spontan yang tidak jelas.

I. PENATALAKSANAAN

I.1. Tatalaksana Umum

1. Penilaian keadaan umum ibu secara cepat,termasuk TTV (TD,N,RR,S)

2. periksa tanda tanda shock (akral dingin, pucat, takikardi, tekana sistolik

<90 mmHg) Jika terdapat syok lakukan tatalaksana awal syok.

Jika tidak terdapat tanda tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat

penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu Karena kondisinya dapat

memburuk dengan cepat.

3, bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi

(abortus septik).
Berikan kombinasi antibiotic sampai ibu bebas demam untuk 48 jam :
a. Ampisilin 2gr IV/IM kemudian 1 gr setiap 6 jam
b. Gentamicin 5mg/kgBB IV setiap 24 jam
c. Metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam
Abortus Septik, merupakan komplikasi dari prosedur abortus yang tidak steril

sehingga terjadi infeksi

2. Segera rujuk ibu ke rumah sakit


3. Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan

konseling kontrasepsi pasca keguguran


4. Lakukan tatalaksana selanjutnya ssesuai jenis abortus
9.2 tatalaksana khusus
a. Abortus Imminents
 Pertahankan kehamilan
 Tidak perlu pengobatan khusus. Namun dapat diberikan

pngobatan untuk suportif : Tokolitik + Progesteron + Vitamin


 Jangan melakukan aktivitas fisik yang berat
 Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada

pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar Hn dan

USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan penilian ulang

bila perdarahn terjadi lagi.


 Jika perdarahan tidak terhenti, nilai kondisi janin dengan USG.

Nilai kemungkinan ada penyebab lain.


5.

BAB III

KESIMPULAN

Penyebab utama kematian maternal adalah disebabkan oleh 3 hal, yaitu

perdarahan dalam kehamilan, pre-eklampsia/eklampsia dan infeksi.

Perdarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai keadaan akut yang

dapat membahayakan ibu dan anak, dan sampai dapat menimbulkan kematian.

Sebanyak 20% wanita hamil pernah mengalami perdarahan pada awal kehamilan dan

sebagian mengalami abortus.

Pada kasus perdarahan pada masa kehamilan, dengan usia kehamilan dibawah

20 minggu selain dicurigai sebagai abortus tapi perlu juga dipikirkan diagnosa

banding lainnya seperti adanya KET dan mola hidatidosa.

Pada abortus diperlukan penanganan yang segera, untuk mengatasi

perdarahan, maupun untuk mencegah terjadinya syok dan komplikasi lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Hadijanto B. Perdarahan pada kehamilan muda. Dalam: Sarwono Prawirohardjo.

Ilmu Kandungan. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;

2009 : 460-73.

2. Wiknjosastro H, Safiudin AB, Rachimahadhi T, editor. Ilmu Kebidanan. Bina

Pustaka Sarwono Prawihardjo, Jakarta, 2000.

3. Mochtar R, Lutan D. Sinopsis Obstetri. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta,

1998.

4. F. G Cunningham, KJ. Leveno, SL. Bloom. Abortion in William Obstetrics, 22nd

edition. Mc-Graw Hill, 2005

5. McPhee S, Obsterics and obstretrics disoders,Current medical diagnosis and

treatment, 2009 edition, Mc Graw Hill, 2008

6. Mansjoer A, TORCH. Editor Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI,

Setiowulan W, dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga, Jilid pertama,

Media Auesculapius FKUI, Jakarta, 2001.

7. Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Bandung. Obstetri Fisiologi. Bandung: Elemen, 1983.


8. Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Bandung. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar, 1982.


9. Trupin SR. Abortion. Emedicine Health. Editor: Stoppler MC. Available at

http://www.emedicinehealth.com/abortion/article_em.htm. Accessed on October

31st 2015.
10. Griebel CP, et all. Management of Spontaneous Abortion. University of Illinois

College of Medicine. Peoria.


11. Ware Branch, M.D. Recurrent Miscarriage. N Engl J Med 2010; 363: 1740-1747.

Available at http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp1005330. Accessed

on October 31st 2015.


REFERAT
SMF ILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI
ABORTUS SPONTANEUS

Disusun oleh :
M. FANDY SIDHARTA KURNIAWAN
NPM : 16710395

Pembimbing
dr. Wasis Nupikso Sp.OG
KEPANITERAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
WIJAYA KUSUMA SURABAYA DI RSUD KABUPATEN SIDOARJO

2017

You might also like