You are on page 1of 21

Vivere Pericoloso

MANAJEMEN DAN MITIGASI BENCANA


BANTARAN KALI CODE
STUDI KASUS KAMPUNG BINTARAN

ERSAD ADE IRAWAN


C451124061
ENDANG EKOWATI
C451124061

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAHMADA
YOGYAKARTA
2015
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa
atas Berkat dan Rahmat-Nya sehingga Tugas ini dapat Penulis selesaikan
dengan baik.
Tugas ini diberikan kepada Mahasiswa Pascasarjana Hubungan
Internasional dengan maksud agar mahasiswa lebih memahami dan mendalami
teori-teori tentang manajamen dan mitigasi bencana.
Dalam penyusunan laporan Tugas Akhir ini Penulis banyak menerima
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Pimpinan Fakultas Fisipol Universitas Gadjah Mada.
1. Kepala Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
2. Dosen pengampu yang telah memberikan pengarahan selama penyusunan
3. Bapak Bambang Sulistianto selaku Deputi Bidang Logistik dan Peralatan
BNPB wilayah Yogyakarta serta tokoh masyarakat Kampung Bintaran sebagai
narasumber.
4. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional yang
telah memberikan bantuan dan semangat dalam penyusunan laporan ini.
5. Seluruh pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah
membantu kelancaran tugas akhir hingga terwujudnya laporan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tugas ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
Penulis harapkan. Semoga Tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan Penulis pada khususnya.

Yogyakarta, Juni 2015

Penulis
VIVERE PERICOLOSO: MANAJEMEN DAN MITIGASI BENCANA
BANTARAN KALI CODE
STUDI KASUS KAMPUNG BINTARAN
Ersad Ade Irawan dan Endang Ekowati

I. PENDAHULUAN
Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia,
terdapat lebih dari 13.466 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia mencapai 1.922.570 km² dan luas
perairannya 3.257.483 km². Panjang garis pantai Indonesia mencapai 95.181 km,
yang menempatkannya pada urutan keempat dalam daftar urutan negara dengan
garis pantai terpanjang didunia versi PBB pada tahun 2008. Pada wilayah daratan,
sebesar 27 % atau sekitar 0,54 juta km 2 merupakan perairan umum (sungai, rawa,
danau, dan waduk) (BNPB, 2011).
Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah menjadi tempat terjadinya dua
letusan gunungapi terbesar di dunia. Tahun 1815 Gunung Tambora yang berada di
Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, meletus dan mengeluarkan sekitar 1,7 juta
ton abu dan material vulkanik. Sebagian dari material vulkanik ini membentuk
lapisan di atmosfir yang memantulkan balik sinar matahari ke atmosfir. Karena
sinar matahari yang memasuki atmosfir berkurang banyak, bumi tidak menerima
cukup panas dan terjadi gelombang hawa dingin (Lestari, 2015). Gelombang hawa
dingin membuat tahun 1816 menjadi “tahun yang tidak memiliki musim panas”
dan menyebabkan gagal panen di banyak tempat serta kelaparan yang meluas.
Abad yang sama, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Erupsi Krakatau
diperkirakan memiliki kekuatan setara 200 megaton TNT, kira-kira 13.000 kali
kekuatan ledakan bom atom yang menghancurkan Hiroshima dalam Perang Dunia
II (Cayannis, 2001).
Secara geologis, wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng
tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia
di bagian utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur (BNPB, 2013) Ketiga
lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga Lempeng Indo-
Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia dan menimbulkan gempa bumi,
jalur gunung api, dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction) Lempeng
Indo-Australia yang bergerak relatif ke utara dengan Lempeng Eurasia yang
bergerak ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api
aktif sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (ring of fire)
sejajar dengan jalur penunjaman kedua lempeng. Di samping itu jalur gempa bumi
juga terjadi sejajar dengan jalur penunjaman, maupun pada jalur patahan regional
seperti Patahan Sumatera/Semangko. Indonesia merupakan bagian dari dua buah
rangkaian pegunungan besar di dunia, yaitu ra.ngkaian Pengunungan Mediteran
dan rangkaian Pegunungan Sirkum Pasifik. Negara Indonesia terletak pada tiga
daerah dangkalan, yaitu Dangkalan Sunda, Dangkalan Sahul dan Daerah Laut
pertengahan Australia Asia. Letak geologis inilah yang menyebabkan wilayah
Indonesia banyak dijumpai gunung berapi, sehingga banyak wilayah di Indonesia
yang kesuburannya cukup tinggi (BNPB, 2013)
Indonesia memiliki kepadatan penduduk tertinggi nomor 4 di dunia
dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 237. 641. 326 juta jiwa (BPS,
2010). Persebarannya tidak merata, dengan 60 % jumlah penduduk terpusat di
Jawa dan Bali. Demikian pula dengan pembangunan infrastruktur yang cenderung
terpusat di Jawa dan Bali.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) termasuk dalam kategori daerah rawan
bencana di Indonesia, dengan 68 persen daerahnya rawan bencana. Setidaknya
ada 12 ancaman yang diidentifikasikan berpotensi menyebabkan terjadinya
bencana terutama karena kekeringan, tanah longsor, banjir, erupsi gunung Merapi,
gempa bumi, tsunami, angin puting beliung, dan epidemi (BPBD DIY, 2014).
Meski demikian, nampaknya tidak semua daerah di DIY memiliki komitmen
dalam penanganannya. Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB, Bambang
Sulistianto, mengatakan, wilayah DIY di pesisir selatan berpotensi bencana
tsunami. Bantul juga pernah dilanda gempa dahsyat. Namun, dari lima kabupaten
dan kota di DIY, hanya Sleman yang masuk kategori rawan bencana tipe A.
Artinya, bantuan darurat dari pusat dapat diupayakan langsung secara on call.
Sementara daerah lainnya justru masih tipe B, yang berarti aliran bantuan harus
melalui provinsi. "Hal semacam itu tergantung komitmen daerahnya. Menjadi tipe
A atau B itu tergantung keaktifan daerahnya," ujar Bambang. Kepala BPBD DIY,
Gatot Saptadi, menjelaskan, 68 persen wilayah DIY memang merupakan daerah
rawan bencana. DIY bahkan masuk indeks rawan bencana Indonesia (IRBI) di
peringkat ke 18 dari 33 provinsi.
Masalah yang sering muncul di wilayah perkotaan sangat lekat dengan
kemacetan, kepadatan penduduk, dan banjir. Salah satu permasalahan yang paling
kursial yang harus di hadapi oleh kota yakni banjir, mengingat dampak yang akan
ditimbulkan akan sangat merugikan bagi lingkungan hidup penduduk di
perkotaan. Tantangan yang meluas dan selalu bergeser, telah menunjukan bahwa

2
masih banyak kebutuhan lain yang harus diperhatikan oleh pembuat kebijakan
untuk lebih memahami dan secara efektif mengelola resiko saat ini dan mendatang
(Jha, A K, Bloch R, & Lamond J, 2011). Sehingga pemerintah dalam hal ini tidak
hanya dihadapkan bagaimana menjalankan pemerintahan ketika normal saja,
melainkan perlu memikirkan ketika menjalakan pemerintahan dalam kondisi
abnormal yang menuntut pemerintah untuk meminimalisir resiko-resiko yang
hendak terjadi pada hari ini maupun di masa depan.
Yogyakarta juga mempunyai masalah dengan banjir. Banyak pemukiman
warga yang berdampingan dengan sungai yang ada di Yogyakarta. Mengingat
ketika terjadinya erupsi gunung merapi Kali Code merupakan daerah aliran lahar
dingin merapai yang tentunya berimplikasi pada hadirnya banjir lahar dingin di
kampung-kampung yang berdampingan dengan sungai Code. Meski demikian
hadirnya banjir di kampung ini tidak hanya terjadi pada saat erupsi merapi saja,
melainkan pasca erupsi dan sampai dengan pada hari ini masih sering terjadi
banjir yang diakibatkan luapan Kali Code, sebagai contoh adalah banjir akibat
luapan sungai Code pada 22-23 April 2015. Sehingga jika dibiarkan tentunya akan
berdampak pada kerusakan lingkungan hidup terutama lingkungan penduduk
disana. Untuk itu perlu dilakukan kajian komprehensip terkait manajemen dan
mitigasi bencana dalam mengatasi banjir di kampung-kampung yang
berdampingan dengan sungai code. Penelitian ini akan difokuskan pada
manajemen dan mitigasi bencana di kampung Bintaran karena kampung tersebut
merupakah daerah paling terdampak banjir Kali Code 22-23 April 2015 yang lalu.

II. POKOK PERMASALAHAN


- Bagaimana manajemen mitigasi bencana banjir di Sungai Code yang
dilakukan di DIY pada umumnya, dan kampung Bintaran pada khususnya
oleh BPBD DIY?
- Bagiamana manajemen dan mitigasi bencana banjir sungai code yang
dilakukan oleh warga?
- Faktor-faktor apa yang menyebabkan mitigasi tidak maksimal di kampung
bintaran?

3
III. LANDASAN TEORITIS
 Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU Penanggulangan Bencana)
Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-
komponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability)
bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko
(risk) pada komunitas/masyarakat (Collins, 2009). Bencana merupakan
fenomena sosial yang timbul akibat interaksi antara kerentanan dan bencana
alam maupun non/alam. Adapun kerentanan dipengaruhi oleh risiko dan
keterpaparan. Cara untuk mengurangi kerentanan adalah dengan
meningkatkan kapasitas dan mengurangi faktor penyebab kerentanan.
 Manajemen dan Mitigasi Bencana
Manajemen Bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek
perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat, dan sesudah
terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus manajemen bencana (Rahmat,
2006). Tujuan kegiatan ini untuk:
1. Mencegah kehilangan jiwa
2. Mengurangi penderitaan manusia
3. Memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko
Fungsi utama-fungi utama dalam manajemen termasuk dalam pengelolaan
bencana, meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
kepemimpinan (directing), pengoordinasian (coordinating), dan pengendalian
(controlling). Pengelolaan bencana yang efektif memerlukan kombinasi
empat konsep, yaitu atas semua bahaya, menyeluruh, terpadu dan kesiapan
masyarakat (Sugiantoro, 2010)
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana (UU PB)

4
 Banjir
Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan di dataran yang tidak
semestinya berada, atau lebih tepatnya hadirnya banjir diakibatkan oleh
luapan air sungai yang disebabkan debit aliran melebihi kapasitasnya. Selain
akibat luapan air sungai, banjir dapat terjadi akibat curah hujan yang cukup
tinggi dan minimnya daerah resapan dan aliran air. Fenomena banjir yang
terjadi menurut Waryono (2002,) pada dasarnya disebabkan oleh dua hal
yaitu: Pertama, kondisi dan peristiwa alam, yang meliputi: (a) intensitas curah
hujan yang terjadi pada bulan-bulan tertentu, hingga mencapai lebih dari 100
mm dalam 10 menit, (b) topografi wilayah yang merupakan dataran rendah
dengan lereng relatif landai, serta bentang cekungan sebagai kawasan tandon
air, (c) secara geologi tanah-tanah tertentu termasuk golongan tanah yang
kedap air sehingga air mengalami kesulitan untuk berinfiltrasi; (d)
penyempitan alur sungai dan pendangkalan sungai akibat pengendapan
material-material yang dibawa dari hulu ikut memberi andil penyebab banjir,
(e) pada saat terjadinya pasang naik air laut terjadi hujan dan air sungai yang
menuju laut terbendung oleh pasang naik akibatnya air melimpah kedaratan.
Kedua sebagai akibat dari aktivitas manusia, yang meliputi ; (a) perubahan
penggunaan tanah dari yang semula merupakan situ, rawa, sawah, kebun,
tanah kosong, dialih fungsikan menjadi penggunaan tanah menjadi
permukiman, atau bangunan sarana-sarana lainnya; (b) penebangan liar pada
hutan di wilayah hulu sebagai daerah tangkapan air (catchment area); hingga
bukan saja berakibat terhadap terjadinya banjir akan tetapi juga terhadap
kekeringan pada musim kemarau, (c) penyempitan bantaran sungai, sebagai
akibat dari okupasi penduduk, (d) penduduk berprilaku yang kurang
memahami pentingnya pernan fungsi sungai, serta saluran drainase, dan
pembuangan limbah (sampah), (e) kurangnya teknik penyerasian bentuk-
bentuk pembanghunan saluran drainase yang erat kaitannya dengan
karakteristik fisik wilayah perkotaan.
Fenomena banjir merupakan sebuah kerentanan dan ketidakpastian yang
memicu resiko yang tergolong kedalam resiko murni. Tampubolon (2004)
menyatakan bahwa resiko murni akan mendatangkan potensi kerugian lebih
besar dibanding keuntungannya. Banjir yang merupakan bencana yang
kedatangannya tak terduga ini merupakan jenis resiko statis yang tentu saja
mendatangkan kerugian (bersifat murni)

5
IV. PEMBAHASAN
 Profil Kampung Bintaran
Kampung Bintaran merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Mergangsan,
Kelurahan Wirogunan yang terbagi menjadi 3 RW yaitu RW 01, RW 02 dan
RW 03. Kampung Bintaran secara admnistrasi (Lampiran 1) berbatasan
dengan wilayah sebagai berikut :
 Utara : Kecamatan Danurejan
 Selatan : Kampung Surokarsan,Kelurahan Wirogunan
 Barat : Kampung Sayidan, KecamatanGondomanan
 Timur : Kecamatan Pakualaman.
Untuk jumlah penduduk, RW yang memiliki jumlah penduduk tertinggi
adalah RW 2 dengan jumlah 609, sedangkan untuk RW 3 memiliki jumlah
penduduk sebanyak 567 jiwa. Untuk RW 1 memiliki jumlah penduduk
terendah yaitu sebanyak 545 jiwa. Jumlah penduduk kampung Bintaran
disajikan pada Tabel 1. dan Gambar 2 berikut ini.

Tabel 1
Jumlah Penduduk Kampung Bintaran Tahun 2013
RW Jumlahpenduduk Persentase (%)
RW 1 545 31,67
RW 2 609 35,39
RW 3 567 32,95
Jumlah 1721
Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta, 2014

Grafik 1
Jumlah Penduduk Kampung Bintaran Tahun 2013

6
Kepadatan penduduk Desa Bintaran memiliki nilai yang bervariasi, RW yang
memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah RW 3 dengan kepadatan
penduduk 282 jiwa/ha. Sedangkan untuk RW 2 memiliki kepadatan penduduk
126 jiwa/ha. RW 1 memiliki kepadatan penduduk terendah dengan kepadatan
penduduk 126,45 jiwa/ha. Tingkat kepadatan penduduk Kampung Bintaran
disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2 berikut ini.

Tabel 2
Tingkat Kepadatan Penduduk Kampung Bintaran Tahun 2013
RW Luas Lahan (ha) LuasLahan Terbangun (ha) Kepadatan Penduduk (Jiwa/ha)
RW 1 8 4,31 126,45
RW 2 3,2 2,74 222,26
RW 3 2,3 2,01 282,09
Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta, 2014

Grafik 2
Tingkat Kepadatan Penduduk kampung Bintaran Tahun 2013

Dari segi tingkat pendidikan, 15,7% penduduk Kampung Bintaran tidak atau
belum sekolah dan 10,1% belum tamat SD/Sederajat sedangkan yang paling
banyak yaitu sebesar 30,3 % penduduk Kampung Bintaran adalah lulusan
SLTA/Sedarajat. Untuk lulusan perguruan tinggi ada sebesar 18,9 %, lulusan
SLTP/Sederajat ada sebesar 15,2 %, sedangkan lulusan SD/Sederajat ada
sebesar 10,1%. Profil Pendidikan penduduk Kampung Bintaran disajikan
pada Tabel 3 dan Gambar 3 berikut ini.

7
Tabel 3
Profil Pendidikan Penduduk Kampung Bintaran Tahun 2013
No Pendidikan Jumlah Persentase
1 Tidak/Blm Sekolah 271 15,7
2 Belum Tamat SD/Sederajat 174 10,1
3 Tamat SD/Sederajat 167 9,7
4 SLTP/Sederajat 262 15,2
5 SLTA/Sederajat 522 30,3
6 Sarjana 325 18,9
7 Jumlah 1721 100,0
Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta, 2014

Grafik 3
Profil Pendidikan Penduduk Kampung Bintaran Tahun 2013

Kondisi perekonomian masyarakat Kampung Bintaran didominasi dari


kalangan menengah ke bawah, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di
permukiman bantaran Kali Code. Menurut Ketua RW 2, Andi Maulana,
Kalau disini, istilah saya pekerjaan penduduk bantaran sungai adalah
“penjahat dan penjahit”. Rata-rata tidak jelas atau serabutan (Andi
Maulana,2015, Wawancara, 2015). Untuk mata pencaharian di Kampung
Bintaran, mayoritas warga bekerja di sektor informal dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Tenaga kerja bekerja pada segala jenis pekerjaan tanpa adanya
perlindungan negara
b. Modal terbatas
c. Jumlah pekerja tidak terlalu banyak
d. Pelaku biasanya memiliki kemampuan yang didapat bukan melalui
pendidikan formal

8
e. Teknologi yang digunakan sederhana
f. Kurang terorganisir
g. Pekerja tidak mendapat penghasilan yang tetap
h. Jenis usaha dalam bentuk kerajinan, perdagangan dan jasa.

Tabel 4
Profil Pendidikan Penduduk Kampung Bintaran Tahun 2013
No Sektor RW 1 RW 2 RW 3 Jumlah Persentase (%)
1 Formal 138 161 139 438 25,5
2 Informal 407 448 428 1283 74,5
3 Jumlah 545 609 567 1721 100
Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta, 2014

Grafik 4
Diagram Presentase Pekerja Formal dan Informal

Berdasarkan penuturan penduduk bantaran Kali Code, banjir Kali Code


adalah banjir tahunan. Namun demikian, banjir yang terjadi pada 22 April
2015 merupakan banjir yang berdampak paling parah terhadap kampung
bintaran, utamanya kawasan bantaran sungai. Menurut Ketua RW 2 Kampung
Bintaran;
“Saya sampai dengan usia 35 tahun, 15 tahun menjadi rw, banjir tgl 22 april
2015 ini merupakan banjir terbesar setelah banjir erupsi lahar dingin pada
tahun 2010. Di tahun 1984, saya masih ingat kejadiannya tidak separah ini.
Di tempat saya, di dalam rumah ketinggiannya sekitar 1.5-2 meter, itu yang
paling agak jauh, radius dari sungai sekitar 300an meter. Kalau yang lebih

9
dekat dengan sungai, yang lokasinya lebih ledok, bisa mencapai kurang lebih
2.5 meter. (Andi Maulana 2015, Wawancara, 4 Juni)”
 Mitigasi BPBD DIY-Kota Yogyakarta
Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, lembaga utama yang khusus menangani penanggulangan bencana di
tingkat provinsi adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Provinsi dan di tingkat kota/kabupaten adalah Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kota/Kabupaten. BPBD merupakan Satuan Perangkat Kerja
Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Daerah Nomor 10 Tahun 2010. SKPD ini bertugas untuk merumuskan dan
menetapkan kebijakan terhadap usaha penanggulangan bencana yang
mencakup pencegahan dan mitigasi bencana, kesiapsiagaan, penanganan
darurat, rehabilitasi serta rekonstruksi secara adil dan setara, serta melakukan
pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Upaya-upaya penanggulangan bencana perlu dilakukan secara utuh. Upaya
pencegahan (prevention) terhadap munculnya dampak adalah perlakuan
utama. Pada tahap pencegahan bencana dilaksanakan dengan memberikan
perlakuan pada sumber bencana yang dapat menghilangkan atau mengurangi
ancaman sehingga kejadian bencana dapat dihilangkan. Walaupun
pencegahan sudah dilakukan, sementara peluang adanya kejadian masih ada,
maka perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi (mitigation), yaitu upaya-upaya
untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Mitigasi bencana dilaksanakan dengan membangun zona penghalang antara
potensi bencana dengan faktor risiko yang ada. Mitigasi bencana merupakan
kegiatan yang sangat penting dalam penanggulangan bencana, karena
kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya bencana yang
dimaksudkan untuk mengantisipasi agar dampak yang ditimbulkan dapat
dikurangi. Mitigasi bencana alam dilakukan secara struktural dan non
struktural. Secara struktural yaitu dengan melakukan upaya teknis, baik
secara alami maupun buatan mengenai sarana dan prasarana mitigasi,
contohnya dengan memperkuat bangunan dan insfrastruktur yang berpotensi
terkena bencana seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa dan lain-
lain. Secara non-struktural adalah upaya non-teknis yang menyangkut
penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai
dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya Contohnya dengan
meningkatkan pemahaman akan besarnya potensi bencana, menjaga kepekaan

10
dan kesiapsiagaan agar melakukan tindakan akurat sebelum atau ketika
bencana.
Upaya-upaya tersebut perlu didukung dengan upaya kesiagaan
(preparedness), yaitu melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengantisipasi
bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif dan
siaga. Upaya kesiapsiagaan sudah dilakukan pemerintah dengan melakukan
upaya mitigasi struktural dan non-struktural. Mitigasi struktural yaitu dengan
pembangunan talut yang dilakukan oleh SKPD terkait yaitu
Kementrian/Dinas Pekerjaan Umum. BPBD Kota juga memasang alat yang
berfungsi untuk memberikan informasi lebih awal/early warning system
(EWS) terkait dengan posisi ketinggian air sungai yang bertujuan untuk
memberikan peringatan agar penerima informasi dapat segera siap siaga dan
bertindak sesuai kondisi, situasi dan waktu yang tepat karena prinsip utama
dalam EWS adalah memberikan informasi cepat, akurat, tepat sasaran, mudah
diterima, mudah dipahami, terpercaya dan berkelanjutan.
Pemasangan EWS ini hanya di titik-titik tertentu yang dianggap tepat oleh
BPBD dan dilakukan bertahap berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
BPBD. EWS dipasang untuk menindaklanjuti banjir lahan hujan yang dapat
terjadi sewaktu-waktu karena pada saat ini sisa lahar dingin erupsi merapi
masih mengendap di puncak yang sewaktu-waktu ketika hujan mengalir ke
sungai yang dapat mengancam warga. BPBD juga mempunyai pos pantau di
daerah hulu. Apabila terdapat resiko banjir, informasi itu akan dibagikan
kepada masyarakat melalui EWS berupa horn yang dipasang di beberapa titik
bantaran yang dekat dengan komunitas masyarakat. Harapannya apabila
masyarakat mendapat informasi lebih awal, mereka dapat menuju ke titik
evakuasi yang sudah disepakati melalui forum-forum kampung tangguh
bencana.
Kampung Tangguh Bencana dibentuk oleh BPBD Kota dalam pelaksanaan
mitigasi yang bersifat non-struktural yaitu melalui pemberdayaan masyarakat.
Harapannya masyarakat dapat melakukan upaya mandiri ketika menghadapi
ancaman yang ada sekaligus bisa menjadi wadah sosialisasi bahwa fungsi
sungai adalah untuk daerah aliran sungai dan bukan sebagai tempat
pemukiman, sehingga BPBD kota dapat bekerjasama dengan komunitas yang
ada di bantaran. Tetapi belum semua kampung di bantaran kali Code berstatus
Kampung Tangguh Bencana, pembentukannya dilakukan secara bertahap oleh
BPBD Kota.

11
Konsep Kampung Tangguh Bencana ini hampir sama dengan Desa Tangguh
Bencana yang diinisiasi oleh BPBD Provinsi. Perbedaannya terletak pada hak
otonom yaitu masalah regulasi dan anggaran. Tujuan dari pembentukan forum
Kampung Tangguh Bencana ini adalah bahwa komunitas sebagai pelaku
utama dalam menggali informasi, menganalisis, menyimpulkan,
merencanaan, melaksanaan, memantau dan mengevaluasi kegiatan untuk
mengurangi kerentanannya sekaligus meningkatkan kemampuannya. Prakarsa
atau inisiatif lokal dari masyarakat dipercaya efektif untuk mengurangi risiko
bencana, sebab masyarakatlah yang memahami wilayah dan kebutuhannya
serta mampu menggunakan kemampuannya bagi perubahan diri dan
lingkungannya. Pengembangan Kampung Tangguh Bencana dilaksanakan
untuk mencapai komunitas yang mampu mengelola risiko dengan
memaksimalkan sumber daya yang ada di komunitas tersebut. Komunitas
yang tangguh diartikan sebagai komunitas yang dapat mengelola tekanan atau
kekuatan yang menghancurkan (menyerap, mengurangi, menahan,
mengalihkan, menghindar, adaptasi) dengan mempertahankan struktur dan
fungsi aset penghidupan untuk memulihkan diri setelah bencana.
Pembentukan Kampung Tangguh Bencana didasarkan pada Pengurangan
Resiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). PRBBK merupakan
cerminan dari kepercayaan bahwa komunitas mempunyai hak sepenuhnya
untuk menentukan jenis dan cara penanggulangan bencana di konteks
mereka. Hal ini muncul dari implikasi atas kepemilikan hak dasar pada orang-
perorangan dan komunitas yang melekat dengan hak untuk melaksanakan hak
itu dalam bentuk kesempatan untuk menentukan arah hidup sendiri (self
determination). Mengikuti alur pikir ini, maka sejauh diizinkan oleh peraturan
hukum dan perundangan, komunitas mempunyai hak sepenuhnya untuk
menentukan apa dan bagaimana mengelola risiko bencana di kawasannya
sendiri-sendiri.
Makna berbasis komunitas dalam PRBBK bisa diperluas sebagai adanya
partisipasi penuh yang melibatkan pula partisipasi pihak rentan, laki-laki dan
perempuan; anak-anak, kelompok lanjut usia, orang-orang yang berkebutuhan
khusus, ras marjinal, dan sebagainya. Tujuan PRBBK adalah mengurangi
risiko bencana dengan cara mengurangi kerentanan dan meningkatkan
kapasitas individu rumah tangga, dan komunitas dalam mengelola risiko
bencana, menghadapi dampak merusaknya bencana.

12
Mitigasi non-struktural yang dilakukan BPBD Kota selain pemberdayaan
masyarakat melalui Kampung Tangguh Bencana adalah memberikan
pendidikan, penyuluhan dan atau pelatihan kepada masyarakat berupa:
1. Pertolongan pertama gawat darurat (PPGD) yang bekerjasama dengan
PMI.
2. Pelatihan peralatan yaitu pemanfaatan alat yang sudah BPBD
distribusikan ke Kampung Tangguh Bencana.
3. Pelatihan komunikasi (belum terlaksana karena ketidakcocokan jadwal
dengan narasumber). Pelatihan ini bertujuannya untuk penggunaan alat
komunikasi dan etika berkomunikasi di frekuensi.
4. Pelatihan kemanfaatan alat evakuasi.
Untuk mengatasi masalah bencana perlu dilakukan upaya mitigasi yang
komprehensif yaitu kombinasi upaya struktur (pembuatan prasarana dan
sarana pengendali) dan non struktur yang pelaksanaannya harus melibatkan
instansi terkait. Seberapa besarpun upaya tersebut tidak akan dapat
membebaskan terhadap masalah bencana alam secara mutlak. Oleh karena itu
kunci keberhasilan sebenarnya adalah keharmonisan antara
manusia/masyarakat dengan alam lingkungannya
 Manajemen dan Mitigasi Bencana Banjir Sungai Code oleh Warga
Sudah tiga kali di tahun yang berbeda yakni 1984, 2010, dan 2015 Kampung
Bintaran terdampak banjir yang cukup dahsyat. Dari ketiga tahun yang
berbeda tersebut terdapat dua pola penanganan manajemen dan mitigasi
bencana yang berbeda-beda yang ditawarkan oleh pemerintahan maupun
aktor lain diluar pemerintah. Pembanunan Palut (Palutisasi) sebagai bentuk
manajemen dan mitigasi yang pertama kali di lakukan pemerintah di
Kampung Bintaran.
Sungai Code merupakan salah satu daerah aliran utama yang dilewati lahar
dingin erupsi Merapi. Sehingga masyarakat disepanjang bantaran Kali Code
termasuk rumah warga yang berada di tanah patikenser (tanah tak bertuan)
harus bersiap-siap dengan keadaan tersebut. Pasca banjir lahar dingin 2010,
penduduk kampung Bintaran telah meninggikan talut setinggi satu meter.
Akan tetapi, air sungai Code tetap meluap karena air luapan sungai melebihi
talut yang sudah ditinggikan.
Penduduk kampung Bintaran telah aktif melakukan manajemen dan mitigasi
bencana secara swadaya.Hal ini dikarenakan, menurut penduduk Bintaran,

13
pemerintah kurang maksimal dalam melakukan manajemen dan mitigasi
bencana di Kampung Bintaran. Hal ini diungkap oleh warga ketika
menjelaskan tentang pelatihan evakuasi saat tejadi banjir:
“Kalau secara serius saya anggap belum, karena hanya menggugurkan
kewajiban, maksudnya hanya karena kepentingan, mempunyai anggaran
yang harus dihabiskan, maka mereka mengadakan sosialisasi tetapi hanya
setengah-setengah saja, tidak betul-betul difokuskan atau diseriuskan.
Pernah ada tapi hanya setengah-setengah, hanya sekali, itupun dalam kurun
waktu beberapa tahun (Andi Maulana, 2015, Wawancara, 4 Juni)”
Keterlibatan masyarakat, merupakana hal yang penting karena kegiatan
komunitas berakar sangat dalam pada masyarakat dan budaya sebuah wilayah
(Purnomo, 2010). Mitigasi struktrural dan non struktrual telah dilakukan
secara swadaya oleh penduduk Kampung Bintaran. Berikut adalah mitigasi
struktural maupun non struktural yang telah dilakukan secara swadaya:
1. Penutupan gorong-gorong dan swadaya dari masyarakat untuk membuat
pintu-pintu air.
2. Kesadaran masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan. Warga
membayar sendiri petugas pembuang sampah serta kami galakkan gotong
royong.
3. Warga membuat jalur evakuasi dan pembuatan peta terdampak.
4. Posko untuk bencana warga menentukan sendiri wilayahnya, lalu dalam
pembukaan dapur umum warga bekerjasama dalam satu kampung
bintaran. Kampung yang tidak terdampak itu di RW.01 yang nantinya
mengelola dapur umum.
5. Berkaitan dengan penataan kawasan lingkungan, dalam waktu dekat,
warga mendapat dana dari Kementerian Sosial lewat fasilitas lingkungan,
akan digunakan untuk penataan kawasan agar lebih bagus. Asumsinya
kalau bantaran itu bagus, orang akan merasa sungkan untuk membuang
sampah sembarangan.
6. Kaitannya dengan rumah tidak layak huni, agar tidak kumuh, bersih dan
sehat, warga bekerjasama dengan Kementerian Sosial dalam pemberian
unit rumah. Tahun ini mendapat 50 unit rumah, lalu dengan PU ESDM
DIY tahun ini mendapat 32 rumah. Tapi ini cakupannya adalah kelurahan
atau desa Wirogunan.

14
Dalam rangka antisipasi terhadap banjir, masyarakat kampung terbantu
dengan adanya komunitas Pareanom, Mergansang Radio Community, dan
komunitas sejenis yang berada di bantaran Sungai Code. Komunitas
Pareanom sendiri berdiri pada tahun 2008 atas dasar inisiatif dari warga
kampung Purwokinanti yang pada mulanya hanya untuk memantau kondisi
air di Sungai Code dan Kali Mbelik. Namun demikian seiring dengan
berjalanya waktu kominitas ini semakin berkembang dan mulai mempunyai
banyak anggota dan simpatisan, dengan anggota tetap sendiri mencapai 250
orang. Untuk anggota sendiri tidak hanya berasal dari warga lokal, tetapi
malah lebih banyak orang dari lokasi yang cukup jauh, hal ini terungkap
berdasar.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan dalam rangka melakukan manajemen dan
mitigasi banjir di permukiman warga Kampung Bintaran selain
mengandalkan kerjasama lintas aktor antara pemerintah, warga kampung
Bintaran juga berkerjasama komunitas-komunitas warga dan berbasis pada
penduduk itu sendiri. Nampaknya peran masyarakat sejauh ini menjadi faktor
terpentinf dalam setiap proses penanggulangan bencana. Rakyat selalu bisa
memosisikan diri dengan baik, sebgai subyek penanggulangan bencana
maupun objek penganggulangan bencana (Isnaini, 2009)
Faktor Penyebab Manajemen dan Mitigasi Bencana Tidak Maksimal di
Kampung Bintaran
1. Meski EWS ditempatakan di beberapa tempat di sepanjang daerah aliran
sungai Code, namun EWS tidak dipasang di kampung Bintaran.
2. Pemerintah kota tidak membuat jalur evakuasi
3. Tidak ada pelatihan evakuasi maupun flood preparedness yang dilakukan
secara serius, jikapun ada sifatnya hanya untuk menghabiskan
anggaran/menggugurkan kewajiban
4. Pemerintah merespon dengan cepat laporan warga jika ada kerusakan
pada talut dan tanggul sehingga warga memperbaikinya sendiri
5. Meski pemerintah-BPBD Kota mempunya program Kampung tangguh
bencana, namu Pemerintah tidak menjadikan kampung bintara sebagai
kampung tanggguh bencana. Menurut warga hanya berdasar pada
‘kedekatan’ dengan pejabat atau politisi, sedangkan menurut Pemerintah,
penetapan kampung bencana berdasar berbagai macam jenis ancaman,
tidak hanya banjir, sehingga kampung Bintaran bisa terlewatkan
6. Tidak ada tindak lanjut grand design penataan Kali Code

15
Menurut peneliti dari Pusat Studi Bencana Alam UGM, sesungguhnya
pemerintah seperti menghadapi delima dalam pembangunan di kawasan
Bantaran Sungai Code. Karena sebenarnya pemerintah tidak mengizinkan
dijadikannya daerah bantaran sungai sebagai hunia, sehingga akan seperti
dualisme jika pemerintah membangun kawasan tersebut. Akan tetapi, dari
sudut pandang citizen right, pemerintah tetap harus menyediakan rasa aman
dari bahaya apapun termasuk becana. Oleh karena itu alasan yang demikian
tidak dapat diterima.

V. KESIMPULAN
Mitigasi bencana struktural dan non struktural di daerah aliran sungaiCode
telah dilakukan oleh Pemerintah DIY, dalam hal ini adalah BPBD DIY & Kota
Yogyakarta. Mitigasi struktural berupa pembangunan talut/tanggul dan
pemasangan EWS. Mitigasi non struktural dilakukan dengan cara pembentukan
kampung tangguh bencana, sosialisasi bencana banjir, pelatihan, penyusunan
rencana kontijensi banjir dan peta kawasan bencana banjir 2014. Namun demikian
mitigasi bencana tersebut kurang efektif karena Pemerintaha melewatkan daerah
rawan bencana yaitu Kampung Bintaran. Mitigasi struktural dan non struktural
tidak dijalankan secara maksmal di kampung tersebut, sehingga hal tersebut
menyebakan banyaknya kerugian warga akibat banjir kali code 22-23 April 2015.
Penelitian ini juga menemukan fakta bahwa baik aktor formal
(pemerintah) dan non formal (warga) telah melakukan upaya mitigasi dalam
rangka pengurangan resiko bencana banjir. Bahkan warga bisa secara mandiri
melakukan mitigasi bencana. Oleh karena itu, bisa juga disimpulkan adanya
mitigasi yang bersifat top down maupun bottom up.

16
Daftar Pustaka

Wawancara

Buku dan Jurnal


Hillhorst, D., & Bankoff, G., ‘Introduction: Mapping Vulnerability’, in Bankoff,
G., Frerks, G. & Hillhorst, D. (eds), Mapping Vulnerability, Earthscan,
UK, 2004

Isnaini, G. Penanggulangan Bencana, Antara Regulasi danImplementasi, Jurnal


Transisi, Volume 3 No 2 ,2009

Jha, A K, Bloch R, & Lamond J 2011, Kota dan Banjir: Panduan Pengelolaan
Terintegrasi untuk Risiko Banjir Perkotaan di Abad 2, The World Bank &
GFDRR

Ozerdem, A. & Jacoby, T., Disaster Management and Civil Society, I.B. Tauris,
New York, 2006

Purnomo, H. Manajemen Bencana: Respon dan Tindakan terhadap Bencana,


MedPress, Yogyakarta, 2010

Ramli, S, Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster Mangement), Dian


Rakyat, Jakarta, 2010

Tampubolon, R, Risk Management: Manajemen Risiko Pendekatan Kualitatif


untuk Bank Komersial, Gramedia, Jakarta, 2004

Artikel Internet
Lestari, S., ‘Menelusuri jejak letusan Gunung Tambora dua abad lalu’, BBC
Indonesia (daring), 7 April 2015,
<http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/04/150406_sainst
ambora>, diakses tanggal 19 Mei 2015

Pararas-Cayannis, G., The Great Explosion of the Krakatau Volcano(‘Karakatoa’)


of August 26,1883, in Indonesia (daring), 2001,
<www.drgeorgepc.com/Volcano1883Krakatoa.html>, diakses tanggal 17
Mei 2015

Waryono, T 2002, Fenomena Banjir di Wilayah Perkotaan: Studi Kasus Banjir


DKI Jakarta 2002, Jakarta, daring 2002 24 Desember 2012,

<http://staff.ui.ac.id/internal/131671356/publikasi/FenomenaBanjirdiWilay
ahPerkotaan .pdf>, diakses tanggal 5 Juni 2015

17
Lampiran 1. Peta Administratif Lokasi Penelitian

18
Lampiran 2. Dokumentasi Wilayah Penelitian

FASILITAS PENDIDIKAN

SARANA PEMUKIMAN

KEJADIAN BANJIR TERDAHULU

PENANGANAN OLEH MASYARAKAT TERDAHULU

19

You might also like