You are on page 1of 16

MINI CX

TIC FASIALIS

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Program Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Syaraf RS PKU Muhammadiyah Gamping

Disusun oleh :
Silvia Rakhmadani
20174011014

Diajukan Kepada :
dr. Zamroni, Sp.S.

BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF


RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH GAMPING
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Usia : 62 th
Alamat : Yogyakarta
Tanggal Periksa : 13 Juni 2018

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan mata sebelah kiri kedutan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan mata sebelah kirinya terasa berkedut sejak ± 7 tahun
yang lalu. Kedutan tersebut muncul terutama saat pasien kecapekan dan banyak
pikiran. Keluhan ini hilang timbul, kadang timbul 10-15 kali sehari dan timbulnya
bisa tiba-tiba tanpa rangsangan. Kedutan yang dirasakan pasien kadang juga bisa
terasa sampai mulut, merasa tertarik ke sisi kiri. Sebelumnya pasien sudah pernah
difisioterapi di RS Jogja namun belum membaik.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi (-), DM (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), DM (-), keluhan serupa (-)
e. Riwayat Pribadi
Pasien tidak merokok atau minum alkohol.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Presens
TD = 101/56 mmHg
T = 36,5 ◦C
HR = 77 x/m
RR = 20 x/m
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis

1
Status gizi : Cukup
b. Status Psikiatri
 Kesadaran : Compos Mentis
 Kuantitatif : GCS 15 (mata, bicara, motorik) = 4,5,6
 Kualitatif : Tingkah laku tenang
 Orientasi : (tempat) baik, (waktu) baik, (orang) baik
 Jalan Pikiran : Koheren
 Kemampuan Bicara : lancar (+)
 Sikap Tubuh : tremor (-), rigiditas (-), flaccid (-), bradikinesia (-)
c. Status Neurologi
1) Kepala : normocephal, simetris (+), NT (-), massa (-)
Px nervi cranialis
a) N. I (Olfactorius) : daya pembau kanan = kiri dalam batas normal
b) N. II (Opticus)
 Visus : tidak dilakukan
 Pengenalan warna : tidak dilakukan
 Medan penglihatan : normal +/+
 Px fundus okuli : tidak dilakukan
c) N. III (Occulomotorius), N. IV (Trochlearis), & N. VI (Abducen)
 Ptosis (-/-), nistagmus (-/-), exoftalmus (-/-), enoftalmus (-/-)
 Gerak bola mata ke atas : normal/normal
 Gerak bola mata ke bawah : normal/normal
 Gerak bola mata ke medial : normal/normal
 Pupil : isokor
 Strabismus : (-/-)
 Diplopia : (-/-)
 Reflek cahaya langsung : (+/+)
 Reflek cahaya tidak langsung : (+/+)

d) N. V (Trigeminus)

 Motorik : menggigit (+), membuka mulut (+)


 Sensorik : sensibilitas atas (+/+), tengah (+/+), bawah (+/+)
 Reflek : masseter (-), zygomaticus (-/-), kornea (+/+)

2
e) N. VII (Facialis)

Mengangkat alis +/+,


Menutup dan membuka mata +/+
Lipatan Nasolabial (Nasolabial fold) +/+
f) N. VIII (Vestibulocochlearis)

 Mendengar suara gesekan tangan : (+/+)


 Tes Rinne : tidak dilakukan
 Tes Weber : tidak dilakukan
 Tes Schwabach : tidak dilakukan

g) N. IX (Glossopharyngeus)

 Daya kecap lidah 1/3 belakang : tidak dilakukan


 Reflek muntah : tidak dilakukan
 Sengau : (-)

h) N. X (Vagus)

 Nadi : teraba/teraba
 Bersuara : normal
 Menelan : normal
i) N. XI (Accessorius)
 Memalingkan kepala : (+/+)
 Mengangkat bahu : simetris
 Atrofi otot bahu : (-/-)
j) N. XII (Hipoglossus)
 Sikap lidah : normal
 Artikulasi : jelas
 Tremor lidah : (-)
 Atrofi otot lidah : (-)
 Fasikulasi lidah : (-)
2) Badan
 Pulmo : vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)
 Cor : S1 S2 reguler
 Abdomen : BU (+), NT (-), timpani (+)

3
3) Ekstremitas
+5 │+5
Kekuatan :
+5 │+5

𝑁 │𝑁
Tonus :
𝑁 │𝑁

− │−
Trofi :
− │−

𝑁 │𝑁
Sensibilitas :
𝑁 │𝑁

+2 │+2
Refleks Fisiologis :
+2 │+2

− │−
Refleks Patologis :
− │−

− │−
Klonus :
− │−

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Mata dan pipi kedutan
Diagnosis Topis : Nervus Facialis
Diagnosis Etiologi : Tic Facialis

V. TERAPI
R/ Haloperidol 0,75 mg
Amitriptylin 10 mg
THP 1 mg
Mfla pulv dtd da in caps No XXX
S 2 dd cap I
___________________________________
R/ Neurodex Tab No XXX
S 1 dd tab I
___________________________________

4
BAB II
PEMBAHASAN

I. ANATOMI
Nukelus fasialis menerima serabut-serabut yang menyilang dan tidak
menyilang melalui traktus kortikobulbaris. Otot-otot wajah dibawah dahi
menerima persarafan korteks kontralateral (hanya serabut kortikobulbaris yang
menyilang). Apabila terdapat suatu lesi rostral dari nukleus fasialis akan
menimbulkan paralisis dari otot-otot fasialis kontralateral kecuali otot frontalis
dan orbikularis okuli. Karena otot frontalis dan orbikularis okuli menerima
persarafan dari kortikal bilateral, maka otot-otot tersebut tidak akan dilumpuhkan
oleh lesi yang mengenai satu korteks motorik atau jaras kortikobulbarisnya.
Saraf kranial N. VII (fasialis) mengandung 4 macam serabut, yaitu :
(Lumbantobing, 2000)

1. Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali M.


Levator palpebra (N. III)), M. Platisma, M. Digastrikus bagian posterior,
M. Stilohioid dan M. Stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa
faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilar
serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di
2/3 bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan
rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh nervus
trigeminus. Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf
(tumpang tindih)) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus elsterna
dan bagian luar gendang telinga.
Nervus fasialis terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi
otot-otot ekspresi wajah. Disamping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis
ke kelenjar ludah, kelenjar air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan
hidung. Dan ia juga menghantarkan berbagai jenis sensasi eksteroseptif dari
daerah gendang telinga, sensasi 2/3 depan lidah, dan sensasi viseral umum dari

5
kelenjar ludah, mukosa hidung, dan faring. Dan sensasi proprioseptif dari otot-
otot yang disarafinya.
Sel sensorik terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis
di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 depan lidah dihantar melalui saraf
lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang
menghantar sensasi eksteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion
genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti-inti akar desenden dari
saraf trigeminus. Inti motorik N. VII terletak di pons. Serabutnya mengitari inti
N. IV dan keluar di bagian lateral pons. N. VII bersama N. Intermedius dan N.
VIII kemudian memasuki meatus akustikus internus. Disini N. VII bersatu
dengan N. Intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis
fasialis dan kemudian masuk ke dalam Os mastoid. Ia keluar dari tulang
tengkorak melalui foramen stilomastoid dan bercabang untuk mensarafi otot-otot
wajah.

Gambar 1. Anatomi nervus fasialis

6
II. DEFINISI TIC FACIALIS
Tic fasialis berasal dari kata tic dan fasialis. Tic termasuk salah satu
bentuk hyperkinetic movement disorders, disamping athetosis, chorea, dystonia,
myoclonus, dan tremor. Tic merupakan gerakan involunter yang sifatnya,
mendadak, cepat, singkat, stereotipik, kompulsif dan tak berirama, dapat
merupakan bagian dari kepribadian normal. Sedangkan Fasialis merupakan syaraf
cranial ke VII (N.VII) yang mempersarafi daerah wajah.
Tic fasialis adalah suatu keadaan terjadinya gangguan gerakan wajah tidak
disadari, yang tidak terasa sakit yang disebabkan karena kerusakan syaraf cranial
VII (N. Fasialis). Gerakan pada tic fasialis bersifat setempat pada otot tertentu,
sejenak, namun berkali. Gerakannya dapat berupa wajah yang berkedut, meringis
atau mata yang berkedip-kedip. Tic fasialis tersebut kemungkinan disebabkan oleh
kelainan posisi arteri atau simpul pada arteri yang menekan syaraf cranial VII
dimana terdapat batang otak.

III. ETIOLOGI
Penyebab tic fasialis yaitu:
a. Herediter/diwariskan (inherited)
1. Distonia torsi
2. Neuroakantosis
3. Penyakit Huntington
4. Penyakit Wilson
b. Didapatkan/diperoleh (acquired)
1. Infeksi (misal: chorea sydenham, ensefalitis).
2. Obat-obatan
Dicetuskan misalnya oleh:
a. Stimulan
b. Levodopa (obat parkinson)
c. Antikonvulsan (antikejang): karbamazepin, lamotrigin.
d. Neuroleptik
3. Pertumbuhan/perkembangan (developmental)
4. Stroke

7
5. Toksin (misal: karbon monoksida)
6. Trauma kepala

IV. KLASIFIKASI
Tic fasialis diklasifikasi menjadi:
1. Tic Motor
Tic motor dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh, tetapi mereka sering
melibatkan otot-otot wajah, mata, kepala dan leher. Gerakan-gerakan ini
menghasilkan seperti, wajah berkedut, meringis, berkedip, mengangkat bahu.
a. Simple/sederhana
Biasanya tiba-tiba, singkat, berarti gerakan yang biasanya hanya melibatkan
satu kelompok otot, seperti mata berkedip, sentakan kepala, atau mengangkat
bahu, wajah meringis, berjongkok dan melompat, menjentikkan jari,
mengangkat bahu.
b. Kompleks/kronik
Tic motorik kompleks biasanya lebih terarah-muncul dan yang bersifat lebih
lama. Melibatkan lebih dari satu kelompok otot atau mereka terdiri dari
serangkaian tics motor sederhana. Contoh tic motorik yang kompleks yang
menarik-narik baju, menyentuh orang, menyentuh benda, echopraxia dan
copropraxia.
2. Tic vokal (Phonic)
Tic Phonic adalah suara disengaja dihasilkan oleh udara yang bergerak melalui
hidung, mulut, atau tenggorokan.
a. Simple/sederhana
Tic phonic sederhana melibatkan membuat suara dengan menggerakkan
udara melalui hidung atau mulut. Contohnya membersihkan tenggorokan,
sniffing, atau mendengkur, batuk, dan desis.
b. Kompleks/kronik
Tic phonic kompleks termasuk echolalia, palilalia, lexilalia, dan coprolalia.
Coprolalia adalah gejala yang sangat dipublikasikan Tourette Sindrom (TS),
namun hanya sekitar 10% dari pasien TS menunjukkan coprolalia.
3. Sindrome Tourete

8
V. PATOGENITAS
Sebagian besar kasus tic fasialis sebelumnya yang dianggap idiopatik
mungkin disebabkan oleh pembuluh darah yang menyimpang (misalnya cabang
distal dari arteri anterior inferior cerebellar atau arteri vertebralis) mengompresi
nervus fasialis dalam cerebellopontine angle.Lesi kompresi misalnya pada tumor
mungkin dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus fasialis.
Gerakan involuntar pada tic timbul akibat lesi difus pada putamen dan globus
palidus; disebabkan oleh terganggunya kendali atas refleks-refleks dan rangsang
yang masuk, yang dalam keadaan normal ikut memengaruhi putamen dan globus
palidus. Ini disebut release phenomenon, yang berarti hilangnya aktivitas inhibisi
yang normal.
Gerakan klonik berlangsung untuk kontraksi tonik berkelanjutan dari otot
yang terlibat. Iritasi kronis pada nervus fasialis atau nukleus fasialis merupakan
penyebab yang mungkin daritic fasialis. Iritasi dari nucleus nervus fasialis
diyakini menyebabkan hipereksitabilitas dari nucleus nervus fasialis, sementara
iritasi pada segmen proksimal saraf dapat menyebabkan ephatic transmisi dalam
nervus fasialis.
Gerakan otot wajah involunter pada tic bisa bangkit sebagai suatu
pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut
mulut dapat terangkat dan kelopak mata memejam secara berlebihan. Gerakan
otot wajah sebagai gerakan kebiasaan sering dijumpai pada anak atau orang
dewasa yang psikolabil. Nervositas dan kurang kepercayaan diri sering terlihat
pada wajah seseorang. Adakalanya gerakan involunter kebiasaan sangat keras dan
bilateral, sehingga raut muka saling berubah. Meringis, mencucu, memejamkan
mata merupakan gerakan involunter kebiasaan pada kebanyakan psikopat.
Adakalanya kata-kata yang kotor atau ludah dikeluarkan pada waktu yang
bersamaan pada saat gerakan involunter terjadi. Sindrom tic fasialis yang disertai
koprolalia (mengelurkan kata-kata kotor) dikenal sebagai tic gilles de la tourette.

VI. MANIFESTASI KLINIS


Gerakan involunter pada wajah hanya sebuah gejala. Lelah, anxietas, dan
membaca mungkin merangsang gerakan tersebut. Otot pada salah satu bagian
wajah tidak sengaja kejang, biasanya diawali dengan kelopak mata, kemudian

9
menyebar menuju pipi dan mulut. Gangguan tersebut pada hakekatnya tidak
menyakitkan tetapi bisa memalukan.

Tic mempunyai ciri khas, yaitu:


1. Bergelombang; menguat dan melemah
2. Di-eksaserbasi (diperburuk) oleh stres, cemas dan kelalahan
3. Tidak terjadi saat tidur, namun terdeteksi dengan pemeriksaan polisomnogram.
Pendapat lain mengatakan bahwa tik dapat muncul saat tidur dengan intensitas
yang lebih ringan.
4. Meskipun dapat ditekan atau dicegah sebentar, namun berakibat meningkatnya
"dorongan dari dalam". Dengan kata lain, tik sering didahului oleh "sensasi
aneh", dorongan beraksi yang sulit ditahan. "Sensasi aneh" yang merupakan
sensasi sensoris ini mungkin melibatkan sistem limbik dalam interaksi jalur
motorik dan sensorik.
5. Setelah tik muncul, penderita merasa lebih lega.

Gejala dari tic fasialis antara lain yaitu:


1. Berkedut intermitten dari otot kelopak mata
2. Mata berkedip secara berlebihan
3. Wajah yang berkedut
4. Ekpresi wajah seperti meringis atau mencucu
5. Sudut mulut terangkat

Wajah tic fasialis

10
VII. DIAGNOSIS
Tic fasialis secara karakteristik ditandai adanya kontraksi involunter otot
wajah yang dipersarafi N.VII (N. fasialis),tidak disadari, yang tidak terasa sakit
yang bersifat setempat pada otot tertentu, sejenak, namun berkali. Tempat
terjadinya biasanya di satu sisi saja misalnya pada pipi, mulut,atau kelopak mata.
Gerakannya dapat berupa wajah yang berkedut, meringis atau mata yang
berkedip-kedip.
Tic dapat dibedakan dengan fasial myokimia.Secara klinis karakteristik facial
myokimia berupa suatu gerakan menyerupai getaran otot muka yang menetap dan
berlanjut. Gambaran EMG berupa salah satu cetusan (discharge) spontan yang
asinkron dari motor unit yang berdekatan.
Pada tic, gerakan biasanya bersifat tiba-tiba, sesaat,stereotipik dan
terkoordinasi serta berulang dengan interval yang tidak teratur. Penderita biasanya
merasakan keinginan untuk melakukan gerakan-gerakan tersebut. Dengan
demikian penderita merasa lega. Penderita tic biasanya berhubungan dengan
penyakit obsesive compulsive.
Diagnosa pasti penyebab tic fasialis sulit ditegakkan. Menegakkan diagnosis
tic fasialis dapat dengan pemeriksaan fisik saja, tidak ada pemeriksaan penunjang
khusus yang diperlukan. Namun pada keadaan khusus diperlukan EEG
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kejang. Ada beberapa penyebab yang
dapat menimbulkan tic fasialis yaitu tumor, malformasi pembuluh darah dan
proses infeksi lokal yang semuanya dapat menimbulkan penekanan pada nervus
VII.
Sebagai penyebab terbanyak dan telah dibuktikan yaitu adanya penekanan
oleh pembuluh darah . Dari 140 kasus tic fasialis yang dilakukan tindakan
mikrovaskular dekompresi didapatkan copressing vessel yang paling sering adalah
Anterior Inferior Cerebellar Artery ( AICA) pada 73 kasus ( Madjid S.dkk,1998).

VIII. PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
a. Alfa 2 agonis
Alpha-2-agonis memiliki efikasi moderat untuk tics. Meskipun
clonidine adalah alpha agonist yang paling umum digunakan di masa lalu,
guanfacine sekarang disukai karena cenderung menyebabkan kurang sedasi

11
dan biasanya dapat diberikan sekali (tidur) atau dua kali (pagi, tidur)
dibandingkan dengan tiga hingga empat dosis harian yang diperlukan untuk
clonidine. Guanfacine juga cenderung menghasilkan sedasi kurang. Patch
transdermal klonidin mungkin berguna untuk anak-anak yang tidak dapat
menelan pil. Efek samping potensial yang paling umum dari guanfacine
termasuk sedasi, sakit kepala, pusing, lekas marah, dan mulut kering.
b. Dopamine-Blocking Agents
Jika agonis alfa memberikan manfaat yang tidak mencukupi, biasanya
kita menambahkan atau menggantinya dengan penghambat reseptor
dopamin. Ini adalah obat penekan tic yang paling kuat dan dapat diduga
efektif. Antipsikotik neuroleptik klasik, termasuk haloperidol, pimozide, dan
fluphenazine, telah mendokumentasikan keberhasilan dalam uji klinis
terkontrol.
 Haloperidol
Haloperidol adalah satu-satunya obat yang secara resmi disetujui
untuk perawatan gangguan tic di Eropa (dari usia tiga tahun).
Haloperidol memiliki aksi antidopaminergik yang kuat dan
menghasilkan pengurangan tics di sekitar 80% kasus. Namun, reaksi
yang merugikan tersebut sebagai gejala ekstrapiramidal terjadi cukup
sering, yang membuat haloperidol bukan pilihan pertama.
 Tiapride
Tiapride adalah antagonis reseptor D2 selektif yang menunjukkan
hampir tidak ada tindakan antipsikotik. Ini memiliki profil efek
samping yang baik dan ditoleransi dengan baik dengan beberapa
gejala ekstrapiramidal. Efek samping yang paling sering adalah rasa
kantuk, hiperprolaktinemia sementara ringan, dan kenaikan berat
badan. Tidak ada bukti efek negatif pada kinerja kognitif anak-anak.
Tiapride saat ini adalah obat pilihan pertama untuk pengobatan
sindrom Tourette di Jerman.
 Risperidon
Risperidone adalah agen antipsikotik generasi kedua dengan afinitas
tinggi untuk reseptor D2 dan 5-HT2. Efikasi mirip dengan haloperidol
tetapi dengan profil efek samping yang lebih menguntungkan.

12
 Aripiprazole
Aripiprazole telah menunjukkan efek yang menjanjikan khususnya
pada pasien yang tidak menanggapi, atau tidak mentoleransi obat lain
dengan baik. Aripiprazole memiliki afinitas tinggi untuk reseptor D2
tetapi, berbeda dengan antipsikotik generasi kedua lainnya, ia juga
merupakan agonis parsial reseptor 5HT1A dan antagonis poten pada
reseptor 5HT2A. Profil ini telah meningkatkan harapan bahwa itu
mungkin lebih baik daripada obat lain. Ini juga memiliki keuntungan
bahwa berat badan rendah. Mual dan sedasi merupakan efek samping
yang paling sering dilaporkan.
2. Non Farmakoterapi
Terapi Perilaku
Ada sejumlah jenis terapi perilaku yang berbeda:
a. Terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif sangat populer. Ini menggabungkan terapi
perilaku dengan terapi kognitif. Perawatan dipusatkan pada bagaimana
pikiran dan keyakinan seseorang memengaruhi tindakan dan suasana hati
mereka. Ini sering berfokus pada masalah seseorang saat ini dan cara
mengatasinya. Sasaran jangka panjangnya adalah mengubah pola
berpikir dan perilaku seseorang menjadi pola pikir yang lebih sehat.
b. Terapi bermain perilaku kognitif
Terapi bermain perilaku kognitif biasanya digunakan pada anak-anak.
Dengan menonton anak-anak bermain, terapis dapat memperoleh
wawasan tentang apa yang anak tidak nyaman mengekspresikan atau
tidak dapat mengekspresikannya. Anak-anak dapat memilih mainan
mereka sendiri dan bermain dengan bebas. Mereka mungkin diminta
untuk menggambar atau menggunakan mainan untuk membuat adegan di
kotak pasir. Terapis dapat mengajari orang tua cara menggunakan
bermain untuk meningkatkan komunikasi dengan anak-anak mereka.
c. Desensitisasi sistem
Desensitisasi sistem sangat bergantung pada pengkondisian klasik. Itu
sering digunakan untuk mengobati fobia. Orang diajarkan untuk
mengganti respons ketakutan terhadap fobia dengan respons relaksasi.
Seseorang pertama diajarkan teknik relaksasi dan pernapasan. Setelah
13
dikuasai, terapis perlahan akan memaparkan mereka pada ketakutan
mereka dalam dosis tinggi saat mereka berlatih teknik ini.
d. Terapi aversion
Terapi aversion sering digunakan untuk mengobati masalah seperti
penyalahgunaan zat dan alkoholisme. Ini bekerja dengan mengajarkan
orang untuk mengasosiasikan stimulus yang diinginkan tetapi tidak sehat
dengan stimulus yang sangat tidak menyenangkan. Stimulasi yang tidak
menyenangkan mungkin sesuatu yang menyebabkan ketidaknyamanan.
Misalnya, seorang terapis mungkin mengajarkan Anda untuk
mengasosiasikan alkohol dengan memori yang tidak menyenangkan.

IX. EDUKASI
Edukasi kepada pasien dan keluarga bahwa keluhan tic muncul ketika pasien
kelelahan, cemas, dan marah. Dengan demikian, pasien disarankan untuk tidak
terlalu capek dan relaks. Ketika keluhan itu muncul, pasien diminta untuk
istirahat.

X. PROGNOSIS
Tic merupakan gangguan yang kronik namun beberapa penderita akan
mengalami remisi spontan atau menunjukkan perbaikan dengan pengobatan
medikamentosa. Tic yang cepat menjadi berat merupakan prediktor yang buruk.

14
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

David Shprecher, DO and Roger Kurlan, MD. 2009. The Management of Tics. National
Institutes of Healths
Greenstain, B. & Greenstein, A. The Brain Stem. Color Atlas of Neuroscience. New
York: Thieme, 2000:222.
Health Line. 2018. Behavioral Therapy. https://www.healthline.com/health/behavioral-
therapy diakses tanggal 18 Juni 2018
Mardjono M., Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, NEUROLOGI KLINIS
DASAR, ed. 9, Jakarta: Dian Rakyat, 2003
Metzger H, Wanderer S, Veit Roessner V. Tic disorders. In Rey JM (ed), IACAPAP e-
Textbook of Child and Adolescent Mental Health. Geneva: International Association for
Child and Adolescent Psychiatry and Allied Professions 2012.

15

You might also like