You are on page 1of 10

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Serangan jantung, disebut juga infark miokard terjadi ketika bagian otot jantung

tidak menerima aliran darah yang cukup. Semakin lama jika tidak ditangani

dengan mengembalikan aliran darah menjadi normal, semakin besar kerusakan

yang terjadi pada otot jantung,. Setiap 43 detik seseorang mengalami serangan

jantung di Amerika Serikat (Mozaffarian D. et al, 2015).

Menurut data WHO 2011 Diseluruh dunia, penyakit arteri coroner merupakan

penyakit yang paling sering menyebabkan kematian. Lebih dari 7 juta orang

setiap tahunnya meninggal akibat penyakit arteri coroner, dihitung dari 12.8%

pada seluruh kematian yang terjadi (Steg G. et al, 2015).

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi sindroma

koroner akut di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar

883.447 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5%

atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang.

Akut miokardial infark disebabkan oleh adanya rupture plak dan formasi

thrombus pada artery coroner yang menyebabkan gangguan aliran darah pada

otot jantung secara tiba-tiba dan menyebabkan kematian jaringan jantung. IMA

dapat di klasifikasikan kedalam ST Segmen Elevasi Miokard infark (STEMI)

1
2

dan Non STEMI Segmen Elevasi Miokard Infark (NSTEMI), dimana

pembedanya berdasarkan temuan pada gambaran elektrokardiogram (ECG)

(Kingsbury, 2013).Terapi awal pada infarct miokard akut yaitu merestorasi

aliran darah secepatnya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin miokardium.

Hal ini dapat dilakukan melalui aspek medik atau mekanik, seperti Percutaneous

Coronary Intervention (PCI) atau tindakan bedah Coronary Artery Bypass Graft

(CABG) (Zafari. M, 2017). Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dikenal

juga sebagai angioplasty coroner, merupakan teknik nonsurgical dalam

tatalaksana sumbatan arteri coroner, termasuk Unstable angina, infark miokard

akut, dan penyakit arteri coroner yang multivessel. (Stouffer G.A, 2016)

Komplikasi vascular pada (PCI) Percutaneous Coronary Intervention paling

utama berkaitan dengan akses vaskuler. Komplikasi penting yang ditemukan

pada komplikasi vaskuler yaitu hematoma, hematoma retroperitoneal,

pseudoaneurisma, arteriovenous fistula, dan disekti arteria atau oklusi. Insiden

komplikasi vaskuler tersebut berbagai macam laporan dengan hasil yang berbeda

namun berada pada angka 2%-6% dan semakin menurun seiring dengan waktu.

(Levine et al, 2011).

(PCI) Percutaneous Coronary Intervention dengan menggunakan akses radial

dibandingkan dengan akses arteri femoralis dapat menurunkan angka komplikasi

pada studi observasi dan percobaan secara random (Ludman P.,

Gavalova.L.,2014).

Potensi komplikasi vaskuler biasanya dapat ditekan melalui pembatasan aktifitas

yaitu 5-6 jam bed rest pada klien paska angiografi coroner dengan akses femoral.
3

Tindakan ini berdasarkan alasan empiris dan kebiasaan dan sering menimbulkan

ketidaknyamanan pada klien (Gallagher. Et al, 2014). Imobilisasi atau bed rest

selama 6 jam pasca tindakan (PCI) Percutaneus Coronary Intervention

diketahui dapat menurunkan kejadian komplikasi pembuluh darah ( Schis et al,

2008), tetapi disisi lain imobilisasi lebih dari 6 jam memiliki banyak kompilkasi

yang berkaitan dengan tingkat kenyamanan dan kesehatan umum ( ChairYa

choi, Wong Sit & lp, 2012). Bedrest yang lama yaitu lebih dari 6 jam pasca

tindakan (PCI) Percutaneous Coronary Intervention meningkatkan resiko

kejadian Low Back Pain dan ketidaknyamanan berkemih, dan menurunkan

tingkat kenyamanan serta kesehatan umum (Augustin et al, 2010 & Chair et al,

2012).

Setelah kejadian infark miokard, target utama yaitu mobilisasi klien sesegera

mungkin jika secara klinis stabil. Klien di nilai stabil jika tidak ada nyeri dada

baru atau berulang selama 8 jam terakhir, cretinin dan atau troponin tidak

meningkat, tidak terdapat tanda-tanda gagal jantung dekompensasi, dan tidak

ada gangguan irama yang signifikan selama 8 jam terakhir. (Contractor. A. S,

2011). Mobilisasi dini menurunkan frekuensi terjadinya komplikasi/ morbiditas

(seperti dekompensasi pernapasan / pneumonia, (DVT) Deep Vein Trombosis

emboli paru, Infeksi saluran perkemihan, sepsis dan infeksi), dan lama rawat di

rumah sakit (Eipstein, 2014). Mobilisasi dini dikaitkan dengan upaya untuk

meningkatkan kekuatan otot, stimulasi sirkulasi darah untuk mencegah statis

vena dan tromboemboli vena, dan meningkatkan kemampuan fungsi pernapasan

dan meningkatkan fungsi system gastrointestinal dan genitourinaria (Chatterley,

2017).
4

Edukasi klien sebelum prosedur diagnostic, selama prosedur dan setelah

prosedur pada kateterisasi jantung via arteri femoral maupun arteri radialis

secara efektif meningkatkan tingkat pengetahuan dan kepuasan klien (Mahgoub,

et al, 2013).

Data dari RS Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional “Harapan Kita” rata-
rata Klien yang dilakukan PCI (Percutaneus Coronary Intervention) sekitar 25-
30 klien perhari, dan sekitar 2-3 klien mendapatkan perawatan di ruang ICVCU
Intensif Cardio Vaskuler Care Unit post tindakan PCI (Percutaneus Coronary
Intervention) dengan penyulit seperti adanya riwayat aritmia pada saat tindakan ,
syok kardiogenik dan perdarahan . Klien tersebut mendapatkan perawatan
selama 2-3 hari. Sedangkan data klien yang mengalami kejadian DVT Deep
Vein Trombosis di RS Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional “Harapan
Kita” adalah 36 klien pada tahun 2015 dan 41 klien pada tahun 2017.

Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti selama satu minggu

dari tanggal 21 september 2017 sampai 27 september 2017 klien post PCI

(Percutaneus Coronary Intervention) di Ruang Intensif Cardio Vaskuler Care

Unit (ICVCU) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dari 20

responden didapat 10 orang tidak melakukan mobilisasi dini karena kurangnya

pengetahuan, 6 orang tidak melakukan mobilisasi dini karena kecemasan

terjadinya perdarahan dan 4 orang tidak melakukan mobilisasi dini karena masih

adanya rasa nyeri pada lokasi penusukan. Dengan hal tersebut diatas salah satu

tujuan pendidikan kesehatan adalah memotivasi klien post PCI (Percutaneus

Coronary Intervention) untuk melakukan mobilisasi dini yang disesuaikan

dengan kondisi klien. Hal ini sesuai dengan penelitian dengan tema Impact of

Knowledge about Early Ambulation on Patients' Satisfaction Post Percutaneous


5

Coronary Intervention, at Assiut University Hospital by Asmaa A. Mahgoub,

Warda Y. Mohamed, Mona A. Mohammed, Mervat A. Abdel-Aziz, Yahia T.

Kishk tahun 2013.

Dalam melakukan pergerakan klien, perawat sebagai pemberi asuhan

keperawatan mempunyai peranan penting untuk mencapai tingkat kesehatan

yang optimal dalam mencegah komplikasi pada klien dengan post PCI

(Percutaneus Coronary Intervention). Di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh

Darah Harapan kita setiap klien yang akan dilakukan prosedur tindakan medis

akan mendapatkan edukasi dari tindakan medis tersebut, dan pemberian edukasi

ini sudah dijadikan ketetapan yang dibuat dalam bentuk suatu kebijakan atau

Standar Prosedur Operational (SPO) dengan No Dokumen

OT.02.01/1.3.3.2/019/2014 tentang “Pendidikan kesehatan Pre Tindakan

Intervensi Non Bedah dan Bedah”, namun dalam hal pelaksanaannya terdapat

suatu kekurangan diantaranya tidak adanya media penyuluhan yang digunakan

oleh pemberi pelayanan kesehatan dalam memberikan edukasi. Sehingga

kurang dalam memotivasi klien untuk melakukan mobilisasi dini .

Berdasarkan latar belakang diatas penelitian ingin mengetahui sejauh mana

Pengaruh edukasi terhadap kemampuan mobilisasi dini pada klien pasca

Percutaneous Coronary Intervention PCI.

B. Masalah penelitian

Infark miokard akut merupakan masalah kesehatan yang sangat penting, dan

merupakan penyebab kematian paling tinggi pada penyakit gangguan sistem


6

kardiovaskuler, tindakan yang utama bertujuan untuk merestorasi aliran darah

coroner yaitu melalui fibrinolitik, percutaneous coronary intervention dan bedah

coronary artery bypass graft.

Percutaneous Coronary Intervention PCI masih merupakan terapi modalitas

unggulan untuk tatalaksana Infark miokard akut, dilakukan melalui akses artery

femoral dan radial. Setelah tindakan umumnya klien dianjurkan immobilisasi

selama 6 jam. Namun perilaku mobilisasi dini tidak seperti diharapkan terbukti

dari 20 responden didapat 10 orang tidak melakukan mobilisasi dini karena

kurangnya pengetahuan, 6 orang tidak melakukan mobilisasi dini karena

kecemasan terjadinya perdarahan dan 4 orang tidak melakukan mobilisasi dini

karena masih adanya rasa nyeri pada lokasi penusukan.

Berdasarkan fenomena ini peneliti tertarik ingin mengetahui lebih dalam tentang

Pengaruh edukasi terhadap kemampuan mobilisasi dini pada klien paska

Percutaneous Coronary Intervention ( PCI) di ruang ICVCU Intensif Cardio

Vaskuler Care Unit RS Jantung Harapan Kita.

C. Pertanyaan penelitian

Adakah Pengaruh edukasi terhadap kemampuan mobilisasi dini pada klien

paska Percutaneous Coronary Intervention (PCI) ?


7

D. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui Pengaruh edukasi terhadap kemampuan mobilisasi dini pada

klien pasca Percutaneous Coronary Intervention (PCI).

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik responden

b. Mengetahui kemampuan mobilisasi sebelum dilakukan edukasi

c. Mengetahui kemampuan mobilisasi setelah dilakukan edukasi

d. Mengetahui pengaruh terhadap kemampuan mobilisasi dini sebelum dan

setelah diberikan edukasi

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan kita

Hasil penelitian dapat menjadi masukan dan informasi baru khususnya

tentang tingkat pengetahuan terhadap kemampuan mobilisasi dini pada klien

paska Percutaneus coronary Intervention di ruang ICVCU Intensif Cardio

Vaskuler Care Unit Rumah sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita

2. Bagi Ilmu Keperawatan

Penelitian ini memberikan tambahan kepustakaan dalam pengembangan ilmu

keperawatan khususnya dalam bidang ilmu keperawatan medical bedah.

3. Bagi Keluarga Klien

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada keluarga

untuk memberikan dukungan dan perhatian kepada klien paska percutaneous

coronary intervention dalam upaya pencegahan komplikasi yang paska

tindakan.
8

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini bisa dijadikan dasar untuk melakukan penelitian

selanjutnya.
10

You might also like