Professional Documents
Culture Documents
SISTEM KEPARTAIAN
1
Ramlan Surbakti, 2010, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. hlm. 158.
2
Ibid, hlm. 159.
3
Ibid, hlm. 160.
4
Ibid, hlm. 161.
karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis
tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan”.
Sedangakn menurut pandangan Neumann (Budiardjo, 1981: 14), “Partai politik
adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam
masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan
pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa
kelompok lain yang mempunyai pandangan berbeda-beda. Dengan demikian parpol
merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-
ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya
dengan aksi politik di dalam masyarakat yang lebih luas”.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka basis sosiologis parpol adalah ideologi dan
kepentingan yang diarahkan sebagai usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan. Tanpa
kedua elemen tersebut parpol tidak akan mampu mengidentifikasikan dirinya dengan para
pendukungnya. Dengan demikian menunjukkan kedudukan parpol sebagai:
a) Salah satu wadah atau sarana partisipasi politik rakyat.
b) Perantara antara kekuatan-kekuatan sosial dengan pemetintah.
5
Abdul Mukthie Fadjar, 2012, Partai Politik Dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia,
Malang: Setara Press, hlm. 18-20.
pemerintah, sedangkan di pihak lain juga berfungsi menjelaskan dan
menyebarluaskan kebijaksanaan pemerintah kepada masyarakat (khususnya
anggota parpol yang bersangkutan.
2. Sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu proses dimana seseorang memperoleh
pandangan, orientasi dan nilai-nilai dari masyarakat di mana dia berada. Proses
tersebut juga mencakup proses di mana masyarakat mewariskan norma-norma dan
nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3. Sebagai sarana rekrutmen politik (instrument of political recruitment), yakni
proses melalui mana partai mencari anggota baru dan mengajak orang yang
berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rekrutmen politik akan
menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, dan sekaligus merupakan salah satu
cara untuk menyeleksi para calon pimpinan partai atau pemimpin bangsa.
4. Sebagai sarana pengatur konflik, yakni bahwa dalam negara demokratis yang
masyarakatnya terbuka dan plural, perbedaan dan persaingan pendapat sangatlah
wajar, akan tetapi sering menimbulkan konflik sosial yang sangat luas. Oleh
karena itu, konflik harus bisa dikendalikan atau dijinakan agar tidak berlarut-larut
yang bisa menggoyahkan dan membahayakan eksistensi bangsa. Dalam hal ini,
parpol dapat berperan menekan konflik seminimal mungkin.
6
Ibid, hlm. 18-19.
untuk kesejahteraan bersama. Sehingga memobilisasi massa merupakan hal penting didalam
perpolitikan di Indonesia, untuk dapat memobilisasi massa adalah dengan social cleavage
atau pembilahan sosial dimana partai politik dengan sengaja “membelah diri” demi
mendapatkan dukungan dari massa yang memang menjadi basis utama dukungan mereka.
Adanya pembilahan ini sah-sah saja untuk dilakukan karena memang sistem demokrasi
mengijinkan hal tersebut untuk terjadi. Apalagi jika melihat dari kultur masyarakat Indonesia
yang lebih cenderung hidup berkelompok sehingga upaya pemilahan ini juga secara tidak
langsung mendapat dukungan dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu agar kelompok
mereka dapat memiliki perwakilan di parlemen maupun pemerintahan yang nantinya juga
akan dapat memperjuangkan kepentingan mereka.
Jika melihat dari sejarah partai politik Indonesia, sudah puluhan bahkan ratusan partai
politik yang melakukan pembilahan. Contohnya pada partai yang berbasis nasionalis di
Indonesia, tercatat lebih dari 30 partai politik yang memiliki afiliasi ideologi nasionalis.
Mulai dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno hingga
melakukan pembilahan sedemikian rupa yang membentuk partai-partai berbasis nasionalis
lainnya seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), hingga PNI Massa Marhaen,
PNI Front Marhaenis, dan lain sebagainya.
Pembilahan partai politik ini tentu bukannya tanpa sebab, PDIP yang diketuai oleh
Megawati Soekarnoputri sebagai putri kandung Ir. Soekarno memiliki basis massa yang besar
serta dukungan yang kuat, bahkan ada kesan bahwa PDIP merupakan partainya “trah
Soekarno” dimana saat ini ketika kharisma seorang Megawati perlahan mulai memudar,
justru Puan Maharani yang notabene anak kandungnya yang terkesan dipersiapkan untuk
menggantikan dirinya saat memundurkan pensiun dari panggung politik nanti.
Hal inilah yang menyebabkan beberapa kelompok dalam internal partai menganggap
peluangnya tipis untuk berkembang sehingga mereka memutuskan untuk lebih baik
mengundurkan diri dan membentuk partai baru dengan basis ideologi yang sama-sama
nasionalis namun memiliki perbedaan dalam golongan massa yang dimobilisasi dalam partai.
Perpektif pembilahan partai ini juga hampir serupa terjadi pada partai-partai yang berbasis
massa Islam.
Dalam sejarahnya, partai berbasis massa Islam memiliki banyak afiliasi politik pada
tahapan awal pemilu di Indonesia seperti Masyumi, Partai NU, PSII, dan lain-lain. Namun
ketika masa orde baru, partai-partai ini kemudian digabungkan kedalam Partai Persatuan
Pembangunan. Barulah ketika masa reformasi, partai-partai Islam kembali melakukan
pembilahan karena merasa keterwakilan golongannya masih kurang apabila hanya terdapat
satu partai berbasis Islam. Dalam pemilu 2014 nanti saja ada setidaknya ada 4 partai berbasis
Islam yang berkompetisi, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sosial
(PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Motif pembilahan partai politik hampir semuanya sama, yaitu untuk memobilisasi
massa yang mewakili golongannya. Seperti PKB yang memiliki basis massa kaum Nadhatul
Ulama (NU). Bahkan PKB sendiri pernah mengalami gejolak yang berawal dari perebutan
kekuasaan partai yang sah antara Muhaimin Iskandar dan Yenni Wahid yang merupakan putri
dari KH. Abdulrachman Wahid atau Gus Dur. Hingga akhirnya Yenni Wahid mengundurkan
diri dari PKB dan mendirikan partai baru yaitu Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru
(PKBIB) namun partai ini gagal ikut pemilu 2014 karena tidak lolos verifikasi oleh KPU.
Dari contoh-contoh diatas, jelas dapat dikatakan bahwa pembilahan dalam partai
politik cenderung memiliki motif untuk meraih kekuasaan atas keterwakilan golongan atau
massa tertentu sehingga yang terjadi saat ini adalah banyaknya partai politik yang ada di
Indonesia tidak menunjukkan bahwa ada bnyak ideologi yang tertanam dalam partai-partai
tersebut, tetapi lebih mengarah kepada golongan atau kelompok massa siapa yang berkuasa di
dalam partai tersebut.
7
Ramlan Surbakti, 2010, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, hlm. 162-165.
Berdasarkan penjelasan diatas, Giovanni Sartori yang membagi sistem kepartaian
berdasarkan jarak ideologi jika dianalisa pembagiannya berhubungan erat dengan
pembentukan stabilitas sistem pemerintahan. Jika suatu negara menganut sistem pluralisme
sederhana dengan tidak terpolarisasi serta bipolar dimana negara penganut sistem kepartaian
ini hanya memiliki tumpuan kepartaian pada dua kutub ideologi yang meskipun dalam
penerapannya terdapat lebih dari dua partai politik. Ciri lain dari sistem pluralisme sederhana
adalah sifatnya yang sentripetal yaitu arah perilaku politik setiap partai mengarah kepada
integrasi nasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem kepartaian pluralisme sederhana
dapat menjamin adanya stabilitas pemerintahan dengan adanya subsistem-subsistem yang
telah dijelaskan diatas.
Sistem kepartaian pluralisme moderat juga memiliki penjabaran subsistem yang
hampir sama persis dengan sistem pemerintahan pluralisme sederhana. Bedanya mungkin
hanya terletak pada jumlah partai yang berpartisipasi dalam pemilihan umum. Jika pluralisme
sederhana cenderung menggunakan sistem dwipartai seperti yang terjadi di Amerika Serikat,
sistem pluralisme moderat menggunakan sistem multipartai sebagaimana penerapannya di
Belanda. Namun sistem pluralisme moderat ini juga menawarkan stabilitas pemerintahan
yang lebih terjamin karena polaritas ideologi yang kecil serta bersifat sentripetal yang
mengarah kepada integrasi nasional sehingga meskipun terdiri atas banyak partai namun
untuk membentuk sebuah koalisi partai-partai dalam pemerintahan tidaklah sulit dikarenakan
polaritas yang kecil itu tadi dan pada akhirnya memudahkan pemerintah untuk menstabilkan
pemerintahannya.
Sistem kepartaian selanjutnya adalah sistem kepartaian pluralisme ekstrim dimana
dalam sistem kepartaian ini, partai-partai yang ada (multipartai lebih dari 2 partai) memiliki
polaritas yang besar dan jamak (multipolar) sehingga perilaku partai cenderung
mengembangkan sistem tersendiri dan menjauhi integrasi nasional. Seperti penerapannya di
Italia, sistem kepartaian ini menciptakan sistem pemerintahan yang cenderung kurang stabil
mengingat polaritas yang besar antarpartai sehingga menyulitkan terciptanya integrasi
diantara partai-partai yang ada dan kemudian partai yang berkuasa tidak memiliki koalisi
yang kuat dalam pemerintahan sehingga pemerintahannya menjadi tidak stabil.
Sistem kepartaian yang terakhir adalah sistem kepartaian hegemoni yang ciri-cirinya
hampir sama dengan sistem kepartaian pluralisme ekstrim yang bercirikan banyak partai
dengan polaritas besar dan multipolar serta partai memiliki perilaku cenderung menjauhi
integrasi nasional. Bedanya adalah jika dalam pluralisme ekstrim, partai-partai yang ada
dibiarkan dalam kompetisi yang bebas dalam meraih kekuasaan, namun dalam sistem
kepartaian hegemoni hanya ada satu partai yang menguasai pemerintahan meskipun partai
yang lain tetap diizinkan untuk ikut berpartisipasi. Sebagai contoh dalam pemerintahan masa
orde baru di Indonesia, hanya Golkar yang mampu berkuasa selama kurang lebih 32 tahun
pemerintahannya. Dalam kurun waktu tersebut, pemerintahan cenderung stabil karena
memang oposisi ditekan seminimal mungkin keberadaannya sehingga pemerintahan yang ada
menjadi stabil. Namun ketika masyarakat mulai bosan dengan hegemoni partai yang ada, hal
dapat menciptakan sebuah goncangan yang hebat dalam pemerintahan sebagaimana
tercermin dalam peristiwa di tahun 1998.
PENUTUP
Sistem kepartaian sebagai analisis politik di Indonesia dapat terlihat secara jelas
dengan banyaknya partai politik di Indonesia dengan demikian partai politik merupakan
peranan penting didalam kondisi perpolitikan di Indonesi. Mengingat Indonesia merupakan
negara demokrasi yang artinya memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk bergabung
didalam partai politik maupun mendirikan partai politik dengan demikian kandidat politik
yang mencalonkan diri dalam Pemilu dapat melalui partai politik meskipun ada diantaranya
yang mencalonkan diri melalui independen.
Dan karenanya, partai politik memiliki peranan sebagai media penyampaian pesan,
melainkan posisinya semakin menguat sebagai perangkat pembentuk opini yang ampuh,
terutama dalam proses politik yang sedang atau akan berjalan. Dengan demikian partai politik
berada dalam posisi utama meskipun masyarakat juga memiliki peranan penting dalam
menentukan baik kebijakan atau mengendalikan politik di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA