Professional Documents
Culture Documents
Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan dan kebutuhan pelanggan
dipenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi
kebutuhan dan harapan pelanggan. Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting
dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien dan lebih efektif. Apabila pelanggan
merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat
dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik.
Tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam
mengembangkan suatu sistim penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan
pelanggan, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap
populasi sasaran.
Terdapat beberapa cara untuk mengukur kepuasan pelanggan, tetapi makalah ini menguraikan
satu cara sederhana yang telah digunakan di subsektor peternakan, perdasarkan penilaian petani
terhadap dua isu penting yaitu: (1) tingkat kepentingan pelayanan yang diberikan, and (2) kinerja
pemberi pelayanan didalam memberikan pelayanannya.
Makalah ini menggali suatu metodologi yang pernah digunakan untuk menjajagi tingkat
kepuasan pelanggan (yaitu petani peternak) terhadap pelayanan yang diberikan terutama oleh
petugas pemerintah. Metodologi yang dirancang ini juga dapat dipergunakan bagi sektor
pertanian lainnya maupun sektor non-pertanian.
Oleh karena pendekatan partisipatif diperlukan didalam mengumpulkan data, maka sangat
direkomendasikan agar enumerator yang akan mengumpulkan data dibekali terlebih dahulu
dengan alat-alat PRA (Pemahaman Pedesaan secara Partisipatif).
Pendahuluan
Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang
lebih baik, lebih efisien dan lebih efektif. Apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu
pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak
efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Pada kondisi persaingan
sempurna, dimana pelanggan mampu untuk memilih di antara beberapa alternatif pelayanan dan
memiliki informasi yang memadai, kepuasan pelanggan merupakan satu determinan kunci dari
tingkat permintaan pelayanan dan fungsi/operasionalisasi pemasok. Namun bila hanya satu agen,
baik pemerintah maupun sektor swasta, yang merupakan penyedia tunggal pelayanan, maka
penggunaan kepuasan pelanggan untuk mengukur efektifitas dan efisiensi pelayanan sering tidak
kelihatan. Makalah ini menggali suatu metodologi yang pernah digunakan untuk menjajagi
tingkat kepuasan pelanggan (petani peternak) terhadap pelayanan yang diberikan terutama oleh
petugas pemerintah. Metodologi yang dirancang ini juga dapat dipergunakan bagi sektor
pertanian lainnya maupun sektor non-pertanian
Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan dan keperluan pelanggan
dipenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila ia dapat memenuhi kebutuhan dan harapan
pelanggannya. Ada beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan oleh pelanggan dalam menilai
suatu pelayanan, yaitu: ketepatan waktu, dapat dipercaya, kemampuan teknis, diharapkan,
berkualitas dan harga yang sepadan.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, pelanggan sendiri yang menilai tingkat kepuasan yang
mereka terima dari barang atau jasa spesifik yang diberikan, serta tingkat kepercayaan mereka
terhadap kemampuan pemberi pelayanan
Mengapa kita mengukur kepuasan pelanggan?
Tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam
mengembangkan suatu sistim penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan
pelanggan, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap
populasi sasaran.
Dalam rangka mengembangkan suatu mekanisme pemberian pelayanan yang memenuhi
kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan, perlu mengetahui hal-hal berikut
1. Mengetahui apa yang pelanggan pikirkan tentang anda, pelayanan anda, dan pesaing anda.
2. Mengukur dan meningkatkan kinerja anda.
3. Mempergunakan kelebihan anda kedalam pemilahan pasar.
4. Memanfaatkan kelemahan anda ke dalam peluang pengembangan – sebelum orang lain
memulainya.
5. Membangun wahana komunikasi internal sehingga setiap orang tahu apa yang mereka
kerjakan.
6. Menunjukkan komitmen anda terhadap kualitas dan pelanggan anda
Umpan balik dan informasi merupakan elemen yang penting dalam membangun sistem
pemberian pelayanan yang efektif, termasuk:
• Tingkat kepuasan pelanggan
• Kualitas pelayanan
Bagaimana mengukur kepuasan pelanggan?
Berikut ini adalah langkah-langkah yang telah dilakukan oleh konsultan program DELIVERI
didalam mengukur tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan peternakan di lokasi proyek.
1. Data yang dikumpulkan
• Jenis Pelayanan. Tanyakan kepada Pemberi pelayanan (baca: Petugas Dinas), yang akan diukur
tingkat kepuasan pemberian pelayanannya, tentang jenis-jenis pelayanan yang biasa diberikan,
siapa yang memberikan pelayanan dan kepada siapa pelayanan tersebut diberikan.
• Tuliskan setiap jenis pelayanan tersebut karena pelayanan inilah yang akan diukur kinerjanya di
dalam memberikan kepuasan terhadap pelanggan
• Kinerja Pelayan dan Tingkat Kepentingan Pelayanan. Diskusikan dengan pelanggan tentang:
o faktor-faktor yang akan dipergunakan di dalam mengukur kinerja pelayanan, misalnya: tingkat
keahlian, ketepatan waktu, kemudahan dihubungi, kemampuan menyelesaikan masalah dan
fasilitas yang dimiliki di dalam memberikan pelayanan.
o tingkat kepentingan pelayanan.
• Minta Pelanggan agar memberikan nilai terhadap kinerja dan tingkat kepentingan pelayanan
2. Bagaimana mengumpulkan data
a. Responden
• Respondent dipilih secara acak.
• Identifikasi pelanggan yang akan menjadi responden
• Lakukan wawancara perorangan menggunakan kuesioner untuk mengukur tingkat kepentingan
pelayanan dan kinerja pemberi pelayanan (lihat Lampiran 1).
b. Waktu
• Pilih waktu yang tepat bagi pelanggan. Ketahui saat saat sibuk kegiatan usaha tani (saat tanam
atau saat panen), sibuk adat dan agama.
• Jangan menentukan waktu sendiri, tetapi rundingkan dengan pelanggan kapan waktu luang
mereka, sehingga ada kesepakatan. Apakah siang atau malam hari?
• Jawaban yang akurat hanya dapat diperoleh bila pelanggan dengan senang hati memberikan
informasi.
c. Lokasi
• Penentuan lokasi pengukuran kepuasan pelanggan sangat tergantung dari cakupan kajian. Bisa
di tingkat kelompok tani, atau desa atau kabupaten.
• Untuk cakupan lokasi yang luas lakukan sampling pemilihan lokasi. Pilih lokasi yang
representatif. Banyak cara untuk melakukan sampling ini, tetapi itu bukan maksud dari
penyusunan manual ini.
3. Metoda analisis
• Kompilasikan angka-angka penilaian kepuasan pelanggan terhadap: (a) tingkat kepentingan
pelayanan menurut petani, dan (b) kinerja Pelayan di dalam memberikan pelayanan, menurut
faktor-faktor yang disepakati untuk diukur, ke dalam sel-sel di dalam Matriks Kepuasan
Pelanggan (lihat Lampiran 2).
• Baris di dalam matriks menunjukkan tingkat kepentingan, sementara kolom menunjukkan
tingkat kinerja Pelayan. Contoh: bila tingkat kepentingan di nilai 4 atau 5, dan kinerja juga
dinilai 4 atau 5 maka penilaian ini ditempatkan pada sel-sel berwarna merah (sel-sel pertemuan
antara kolom dan baris) di dalam matriks, dan selanjutnya.
• Lakukan analisis deskriptif dari setiap jawaban yang terkumpul di masing-masing area pada
matriks. Misal: persentase jawaban yang terkumpul pada masing-masing area.
• Kumpulan data di setiap sel dapat pula disajikan dalam grafik tiga dimensi seperti diperlihatkan
pada Lampiran 3.
4. Survey Baseline dan Survey Lanjutan
• Apabila dibutuhkan untuk membandingkan data sebelum dan sesudah proyek – untuk
mengukur perubahan di dalam tingkat kepuasan p[elanggan – lakukan beberapa kali survey yang
sama. Biasanya, lakukan survey dasar dan survey lanjutan.
• Selang waktu antara dua survey tergantung dari tujuan survey dan juga masa proyek. Ini dapat
dilakukan terus menerus, secara periodik, atau pada awai dan akhir proyek.
5. Interpretasi
Tingkat kepuasan pelangan didefinisikan dengan parameter-parameter sebagai berikut:
• KEPUASAN PELANGGAN TINGGI: persentase responden yang melaporkan tingkat
kepentingan pelayanan lebih besar dari 3 (4 atau 5) dan menilai tingkat kinerja pelayanan lebih
besar dari 3 (4 atau 5). Pada kondisi ini pelanggan menemukan bahwa kinerja pemberi pelayanan
adalah baik didalam memberikan pelayanan yang penting bagi keputusan mereka didalam
menentukan produksi.
• KEPUASAN PELANGGAN SEDANG: persentase responden yang menilai kepentingan
pelayanan adalah sedang sampai tinggi (3, 4 atau 5) tetapi menilai kinerja pemberi pelayanan
hanya sedang (3); atau sebaliknya menilai kinerja pelayanan sedang sampai tinggi (3,4 atau 5)
tetapi menilai kepentingan hanya sedang (3).
• KEPUASAN PELANGGAN RENDAH: persentase responden yang menilai kepentingan
pelayanan sedang sampai tinggi (3, 4 or 5) tetapi kinerja pelayanan rendah dan sangat rendah (2
or 1).
• PELAYANAN TIDAK EFISIEN: area kunci dari matriks kepuasan pelanggan dari responden
yang menilai pelayanan tidak penting (2 atau 1) tetapi kinerja pemberi pelayanannya dinilai
sedang sampai sangat baik (3, 4 atau 5). Kategori ini menunjukkan dua kemungkinan skenario
yaitu sumberdaya pemerintah dibuang-buang (karena pelayanan yang tidak penting diberikan
secara baik) atau program dimana terjadi eksternaliti positif yang tidak dikenal petani.
• PELAYANAN ‘TIDAK BERGUNA’: persentase responden yang melaporkan tingkat
kepentingan pelayanan rendah atau sangat rendah (2 atau 1) dan kinerja pemberi pelayanannya
juga rendah dan sangat rendah (2 atau 1). Pada kondisi seperti ini, lupakan dan tinggalkan saja
pelayanan tersebut
6. Analisa Perbandingan
• Data kepuasan pelanggan dapat dianalisa berdasarkan setiap pelayanan atau lokasi geografis
(kabupaten atau propinsi) atau tingkat kesejahteraan, tergantung dari tingkat kepentingan dan
keinginan tim evaluasi.
• Matriks dapat diaplikasikan untuk data dari pelayanan khusus, misalnya pelayanan khusus
lintas area geografis atau antar tingkat kesejahteraan. Juga data dapat diagregasi untuk
mengindikasikan keseluruhan kepuasan dari kelompok yang diberikan pelayanan.
• Dengan demikian analisis dapat dilakukan untuk membandingkan tingkat kepuasan pelanggan
berdasarkan:
- Pelayanan ke pelayanan;
- Baseline dan kajian lanjutan;
- Sebelum dan sesudah proyek;
- Kabupaten dengan kabupaten lain;
- Tahun pertama agregasi dengan tahun berikutnya agregasi
Kesimpulan dan rekomendasi
Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang
lebih baik, lebih efisisen dan lebih efektif. Hal ini sangat esensial terutama dalam penyedianan
pelayanan publik. Dengan menggunakan metode yang sederhana –dikembangkan oleh
DELIVERI- tingkat kepuasan pelanggan di subsektor peternakan, berdasarkan penilaian petani
terhadap dua isu penting: (1) Tingkat kepentingan pelayanan yang disediakan, dan (2) Kinerja
pemberi pelayanan, telah berhasil dianalisis.
Metodologi yang dikembangkan ini dapat juga dipergunakan pada pelayanan sektor pertanian
lainnya dan juga untuk sektor-sektor di luar pertanian. Oleh karena pendekatan partisipatif
diperlukan didalam mengumpulkan data, maka sangat direkomendasikan agar enumerator yang
akan mengumpulkan data dibekali terlebih dahulu dengan alat-alat PRA (Pemahaman Pedesaan
secara Partisipatif).
Suka
Be the first to like this post.
http://triatmPelayanan prima
written by fatchurr on November 24th, 2011 | No Comments
Font size:
Share
Hari ini aku gak bisa membuka Web kata Sms yang bersangkutan. Sekarang posisiku di Hotel
Nadya Sukapura mengikuti Bintek dua hari 23-24 Nopember 2011. Topiknya ”Service excellent-
Ppelayanan prima”. Sebelum materi aku dapatkan, aku mencoba mencari bahan yang berbeda
sebagai berikut :
Sangat sering kita mendengar istilah service excellent dibicarakan. Pegawai atau frontliner yang
melayani dengan baik sering disebut servicenya excellent, misalnya seorang Customer Service
sebuah bank yang melayani dengan ramah, sopan, cepat dan tuntas. Sebenarnya apakah yang
dimaksud dengan service excellent ?
Mari kita telaah dengan bahasa sederhana istilah service excellent ini dalam dunia nyata bisnis
sehari-hari. Ada beberapa anggapan tentang definisi service excellent, seperti: layanan yang
sangat memahami kebutuhan customer, atau layanan yang menitik beratkan pada segi menepati
janji terhadap customer.
Ada yang berpendapat service excellent berarti memberi kepuasan lebih dari yang diharap
customer, sehingga dapat memenangkan hatinya. Dan ada yang memandang dari sisi emosional
seperti ketika customer merasa sangat diperhatikan oleh pemberi jasa, misal dengan menyebut
salah satu kesukaan atau hobi yang sangat berkesan bagi seseorang.
Jadi apabila poin-poin ini dilaksanakan dengan baik akan dinilai prima secara internal bank,
tetapi hal ini saja belum cukup. Mereka harus di validasi langsung oleh nasabah apakah
pelayanannya benar-benar prima, ditinjau dari sisi nasabah itu sendiri.
Untuk sebuah lokasi peristirahatan seperi resort misalnya, maka keramahan, handling complaint
dan kreatifitas pelayanan termasuk makanan dan fasilitas yang disediakan seperti outbound, wi-
fi, spa dsb. Contoh keramahan salah satunya: ketika seorang pelayan di sebuah resort bertemu
dengan seorang Bapak – tamu yang pernah menginap sebelumnya di resort tersebut, dan disapa:
“Bapak Leo, maaf bapak sekitar dua bulan yang lalu menginap bersama dengan 4 orang teman
disini, bukan?”. Maka kalau diperhatikan ekspresi si customer kaget karena merasa diperhatikan
atau merasa dianggap penting, sehingga menjadi satu nilai plus bagi service yang kita diberikan
sehingga bisa dikategorikan service excellent.
Bagaimana mewujudkannya?
Sebuah perusahaan jasa mungkin tidak dalam sekejap atau secara instant langsung memberikan
service excellent, melainkan perlu cukup waktu dimulai dari mengenali tipe customer yang
dihadapi. Sebagai contoh, ada tipe customer yang tidak rewel, yang banyak maunya dan sering
membuat kita kalang kabut menyiapkannya, atau customer yang jika dilayani secara sangat baik
justru merasa kurang nyaman,dll.
Dan satu hal lagi yang sangat penting yaitu segera dipraktekkan dan kemudian dimonitor. Jadi,
secara garis besar dapat disimpulkan bahwa service excellent adalah upaya untuk memenangkan
hati customer atau calon customer. Yang dilakukan dengan tulus dan terus menerus.
Semoga saya masih bisa menyajikan lanjutannya. (Mohamad Imron; bahan dari MS/ET/mgf;
http://www.managementfile.com/journal.php?sub=journal&awal=0&page=services&id=178)
Latar Belakang
Pelayanan publik merupakan segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, lingkungan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk barang dan jasa..
Di Indonesia ada beberapa pelayanan publik yang strategis seperti air bersih dan listrik, telepon,
minyak dan gas, serta beberapa jasa transportasi seperti kereta api bus kota, kapal udara dan
sebagainya. Selain itu pelayanan publik dilakukan dalam berbagai bidang melalui administrasi
pemerintah atau lazim disebut administrasi publik. Pelayanan ini diselenggarakan baik dalam
upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun sebagai pelaksanaan ketentuan perundang–
undangan
Dalam banyak penelitian kualitas pelayanan publik dalam berbagai bidang belum memenuhi
seperti yang diharapkan . Rahayu (2003) mengutip pendapat Devas (1989) menyoroti bahwa
kegagalan pelayanan publik antara lain disebabkan (1) tidak adanya kebebasan manajemen, serta
campur tangan politik yang berlebihan dalam pengelolaan pelayanan publik (2) peran ganda
dalam pelayanan publik yakni antara tujuan komersial dan sosial serta (3) tenaga pelaksana yang
kurang cakap dan tidak professional dibidang pelayanan.Hasil survey yang dilakukan Komite
Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi tahun 2007 bekerja sama dengan MP3 (Masyarakat
Peduli Pelayanan Publik), menemukan setidaknya ada enam problem mendasar dalam layanan
publik. Pertama, rendahnya kualitas produk layanan. Kedua, rendahnya kualitas
penyelenggaraan pelayanan. Ketiga, minimnya akses bagi kelompok Keempat, minimnya
mekanisme komplain dan penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan ketidakpuasan
masyarakat terhadap penyelenggaran dan kualitas produk layanan. Kelima, minimnya ruang
partisipasi publik dalam penyelenggaraan layanan. Keenam, lemahnya evaluasi terhadap kinerja
penyedia layanan publik.
Pelayanan Publik
Pelayanan publik menurut Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No:
63/Kep/M.PAN/7/2003 adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
layanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima layanan maupun pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu di UU No 25 tahun 2009 tentang
pelayanan publik disebutkan bahwa Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Dalam salah satu kajian teoritis menurut Pope (2003) peranan pelayanan publik pada dasarnya
membantu pemerintah yang sah dalam menyusun kebijakan, melaksanakan keputusan dan
memberi pelayanan publik yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam etikanya pelayanan publik
dilakukan oleh pegawai negeri yang setia pada departemen tempat mereka bekerja. Pegawai
negeri ini dapat disebut dengan pejabat publik. Pegawai negeri ini harus memiliki integritas,
berprilaku adil dan jujur menjalankan tugas dengan melayani publik dengan ramah, efisien,
cepat tanpa prasangka atau salah urus.
Sementara itu Menteri Pendayagunaan Aparat Negara dalam Keputusan No. 6 Tahun 2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, menyatakan bahwa “Hakikat
layanan publik adalah pemberian layanan prima kepada masyarakat yang merupakan
perwujudan dari kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat”. Pernyataan ini
menegaskan bahwa pemerintah melalui instansi-instansi penyedia layanan publiknya
bertanggung jawab memberikan layanan prima kepada masyarakat. Pernyataan layanan prima
perlu digarisbawahi karena ini menyangkut standar kualitas layanan yang harus dipenuhi oleh
penyedia layanan publik haruslah berkategori “prima”. Karena pada dasarnya masyarakat adalah
warga negara yang harus dipenuhi hak-haknya oleh pemerintah. Dengan demikian kata “prima”
ini haruslah menjadi misi yang akan menjiwai setiap unit layanan publik. Konsekuensinya,
apabila kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat dirasakan tidak prima, maka pada
dasarnya penyedia layanan publik dianggap tidak mempunyai kinerja.
Kata ‘publik’ itu sendiri secara istilah umum dan garis besarnya dapat digolongkan dalam dua
bentuk:
Publik yang berada di wilayah ekstern, yaitu publik di luar lembaga, organisasi, instansi,
perusahaan yang memiliki kepentingan dengan lembaga tersebut.
Publik yang berada di wilayah intern, yaitu publik yang berada dalam lingkungan suatu
lembaga, organisasi, instansi atau perusahaan. Misalnya seluruh karyawan dalam
lembaga tersebut adalah merupakan publik intern dari lembaga tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menentukan suatu pelayanan itu dapat dikategorikan
sebagai pelayanan publik dan kapan pelayanan itu kehilangan sifatnya sebagai pelayanan
publik?.
Mengutip aapa yang disampaikan Agus Dwiyanto ( 2007) ada beberapa kriteria dalam
menentukannya. Kriteria pertama yang biasanya digunakan adalah sifat dari barang dan jasa itu
sendiri (Stiglitz, 2000: 128; Ostrom, Gradner, & Walker, 1994: 7). Barang dan jasa yang
termasuk dalam kategori barang publik atau barang yang memiliki eksternalitas tinggi biasanya
tidak dapat diselenggarakan oleh korporasi atau diserahkan kepada pasar karena mereka tidak
dapat mengontrol siapa yang mengkonsumsi barang dan jasa tersebut. Sementara barang dan jasa
tersebut sangat penting bagi kehidupan warga dan masyarakat luas. Misalnya, pendidikan dasar,
pelayanan kesehatan preventif dan dasar, pertahanan negara, pembersihan pencemaran udara,
dan pembangunan jalan umum. Semua pelayanan tersebut adalah pelayanan yang sangat penting
dan harus disediakan oleh negara, sehingga pelayanan tersebut seharusnya menjadi bagian dari
pelayanan publik.
Kriteria kedua yang dapat digunakan untuk mendefinisikan pelayanan publik adalah tujuan dari
penyediaan barang dan jasa. Penyediaan barang dan jasa yang dilakukan untuk mencapai tujuan
dan misi negara, walaupun barang dan jasa itu bersifat privat, dapat dikatakan sebagai pelayanan
publik. Tujuan dan misi negara biasanya diatur dalam konstitusi atau peraturan perundangan
lainnya. Contoh pelayanan untuk memenuhi tujuan dan misi negara adalah pelayanan
pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial
Jadi ruang lingkup layanan publik meliputi segala aktivitas layanan untuk pemenuhan hak-hak
dasar masyarakat sebagaimana yang tercantum dalam Konvenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diratifikasi dengan UU No. 11/2005, pada 28 Oktober 2005.
Terminologi layanan publik sekarang ini pun sudah mengalami perluasan makna. Manajemen
pelayanan pada sektor publik umumnya dipahami sebagai keseluruhan kegiatan pengelolaan
pelayanan yang dilakukan pemerintah yang secara operasional dilaksanakan oleh instansiinstansi
pemerintah atau badan-badan hukum lain milik pemerintah (Masyarakat Peduli Pelayanan
Publik: 2007). Layanan publik dimaknai sebagai dua pengertian:
Kepuasan masyarakat atau pengguna layanan publik akan berkorelasi positif dengan derajat
pelayanan yang mereka peroleh. Suatu layanan akan dianggap bernilai jika konsumen merasakan
kepuasan (Fitzsimmons dan Fitzsimmons: 2006). Tingkat kepuasan ini dipengaruhi oleh 5
variabel, yakni (1) service quality (kualitas pelayanan), (2) product quality (kualitas produk), (3)
price (harga), (4) situation (situasi), dan (5) personality (sikap personil pelayanan) (Subroto dan
Natalisa: 2004).
Pada dimensi kulitas pelayanan persepsi konsumen terhadap pelayanan terkait dengan lima aspek
yang spesifik yaitu: reliability (kemampuan dan keandalan dalam menyediakan layanan publik),
responsiveness (kesanggupan untuk membantu dan menyediakan layanan yang cepat, tepat serta
tanggap terhadap keinginan masyarakat/pelanggan/konsumen), assurance (kemampuan,
keramahan, dan sopan santun dalam meyakinkan kepercayaan masyarakat/
konsumen/pelanggan), empathy (sikap tegas tetapi ramah dalam memberikan pelayanan), dan
tangible (kualitas pelayanan yang terukur secara fisik berupa sarana perkantoran, komputerisasi
administrasi, ruang tunggu, tempat informasi), dan lain-lain (Parasuraman. et al. dalam Zeithaml
et al., 2006).
Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan publik harus jelas dan
diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.
Pengaturan setiap bentuk pelayanan publik harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan
dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada prinsip efektif dan
efisiens.
Mutu proses penyelenggaraan dan hasil pelayanan publik harus diupayakan agar dapat
memberi keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Praktek pelayanan publik tidak terlepas dari praktek administrasi publik yang diaplikasi di
banyak negara. Pelayanan publik merupakan salah satu isu atau tujuan penting dari administrasi
publik yang meliputi penyelenggaraan public services, public affairs (public interests and public
needs), and distribution of public service equally. Konsepsi pelayanan publik berkembang
seiring dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan, dan dalam hal ini setidaknya
ada 3 perspektif administrasi publik yang bisa kita gunakan untuk mengkaji pelayanan publik
(Janet Denhardt dan Robert Denhardt, 2007) yakni perspektif 1. Old Public Administration, 2.
New Public Management, and 3. New Public Service
Dari perkembangan teori tersebut, konsep pelayanan publik sudah bergeser dan berkembang
sedemikian rupa, sehingga esensi perubahannya sangat signifikan baik dalam tataran substansi
maupun teknis.
Kedua, pelayanan publik merupakan ranah dimana prinsip-prinsip good governance dapat
diartikulasikan dengan lebih baik. Sebagai contoh, aspek kelembagaan kualitas pelanyanan
publik dari prinsip-prinsip good governance adalah bagaimana interaksi antara pemerintah
dengan warga negara atau dengan pasar, yaitu bagaimana keterlibatan aktor di luar pemerintah
dapat memberi masukan, kritik atau respon terhadap bentuk pelayanan yang diberikan.
Sementara, nilai-nilai good governance seperti efektifitas, efisiensi, non-diskriminatif,
berkeadilan, berdaya tanggap tinggi dan akuntabilitas yang tinggi dapat direalisasikan dalam
penyelenggaraaan pelayanan publik. Nilai-nilai tersebut menjadi mudah terlihat dan
teraplikasikan pada pelayanan publik dalam kerangka good governance.
Ketiga, pelayanan publik melibatkan semua kepentingan yang berada di dalam negara.
Pemerintah, masyarakat, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan terhadap pelayanan publik
yang lebih baik. Nasib sebuah pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, tergantung dari
pelayanan publik yang dibangun. Kepercayaan dan legitimasi kekuasaan mereka berasal dari
pengguna layanan publik, yaitu masyarakat. Dalam iklim keterbukaan politik dan sistem
pemilihan pemimpin secara langsung saat ini, masyarakat dapat menentukan pilihan dan
dukungan kepada rezim yang mampu atau tidak mampu dalam memberikan pelayanan yang
terbaik kepada masyarakat. Legitimasi kekuasaan saat ini ditentukan pada keberpihakan
pemerintah kepada rakyatnya secara langsung. Bentuk pelayanan yang buruk menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat atas sebuah rezim pemerintahan.
1. Urgensi Pengawasan
Dalam pengertian yang sederhana, pengawasan bermakna proses pengukuran kinerja dan
pengambilan tindakan untuk menjamin agar hasil (output and outcomes) sesuai dengan yang
diinginkan serta menjamin segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan standar
yang ditetapkan (on the right track).
Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik yang disusun
MP3, setidaknya terdapat tiga hal penting untuk setiap sektor layanan yang menunjukkan bahwa
layanan publik adil dan berkualitas harus dicapai yakni:
Layanan publik yang adil dan berkualitas tentu merupakan dambaan masyarakat, sebab,selain
harus memenuhi standar minimum sebagaimana telah dirumuskan oleh penyelenggara, juga
tidak bertentangan dengan kontrak layanan yang merupakan hukum bagi pemberi dan penerima
layanan. Selain itu, pelayanan publik juga harus adil dalam arti pelayanan publik agar ia tidak
hanya melayani orang yang “mampu membayar” saja, tetapi juga melayanan orang yang “tidak
mampu membayar” dan kurang beruntung (dalam hal ini dikategorikan dalam kelompok
khusus). Sebab, pada prinsipnya layanan publik terutama yang berkaitan dengan hak-hak dasar,
merupakan hak publik di satu sisi dan kewajiban negara di sisi lain.
Layanan publik yang diberikan secara adil dan berkualitas mestinya menjadi fokus utama para
penyedia layanan. Layanan yang prima tersebut tentu saja akan menaikkan citra dan penting
dalam penilaian kinerja setiap unit layanan adalah kepuasan pelanggan atau warga penerima
layanan. Kepuasan merupakan wujud dari keberhasilan pemberi layanan.
Prinsip dari layanan atas hak-hak dasar masyarakat menjadi kewajiban bagi negara, maka semua
orang tanpa kecuali, berhak mendapatkan layanan tersebut. Hal ini, tentu akan mengurangi
kesenjangan sosial dan akan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Layanan yang adil, memberi
kesempatan setiap orang atau warga negara untuk menikmati jenis layanan yang terbaik untuk
perbaikan kehidupannya. Sehingga, apabila masyarakat telah mampu mendapatkan apa yang
menjadi kebutuhannya maka secara tidak langsung akan memberi kesempatan dalam
peningkatan taraf hidupnya di masa depan.
Pengawasan terhadap layanan publik menjadi penting untuk memastikan bahwa layanan publik
yang dijalankan negara, termasuk sektor swasta, telah cukup berkualitas sesuai standar layanan
yang ditetapkan. Pengawasan terhadap pelayanan publik mempunyai peran yang sangat strategis
yaitu:
• Memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan mandat, visi, misi, tujuan
dan target-target lembaga/instansi.
• Mengetahui tingkat akuntabilitas kinerja tiap instansi yang dapat dijadikan parameter
penilaian keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan dalam rencana strategis organisasi dan memberikan dampak
pelayanan yang baik kepada publik.
• Memastikan sistem penggunaan dana pembangunan sesuai dengan etika dan aturan hukum
yang memenuhi rasa keadilan publik, sehingga prinsip akuntabilitas terpenuhi.
• Memberikan informasi tentang dampak dari program atau intervensi yang perlu dilakukan
sehingga pengambil keputusan dapat belajar tentang bagaimana menciptakan program pelayanan
publik yang efektif sehingga lebih memuaskan bagi masyarakat.
Tahap pengawasan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya yakni:
a. Preliminary Control,
Merupakan pengawasan pendahuluan, salah satu peran pengawasan adalah meneliti setiap usulan
anggaran khususnya dari penyedia layanan publik, baik dari sisi harga layanan, output maupun
outcomes dari setiap jenis layanan. Sangat diharapkan diharapkan pengawasan dilakukan sejak
tahap perencanaan. Sebab apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, unit layanan teknis
pelayanan publik bisa diketahui dari rencana yang dibuat oleh pihak eksekutif. Dan dari alokasi
anggaran untuk pelayanan publik juga bisa diketahui apakah pemerintah daerah akan
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat secara memadai atau tidak. Misalnya, apabila
tidak ada alokasi dana yang cukup bagi Puskesmas untuk memberikan layanan pengobatan bagi
masyarakat, bisa dipastikan bahwa pemerintah daerah tidak akan memberikan layanan kesehatan
yang prima kepada masyarakat, terutama masyarakat miskin.
b. Interim Control,
dimaksudkan untuk memastikan layanan publik berjalan sesuai standar yang ditetapkan dan
memenuhi harapan masyarakat selama pelayanan dilakukan dalam jangka waktu tertentu.
Pengawasan juga bisa diarahkan terhadap pelaksanaan anggaran atas layanan publik atau masa
perjalannya sebuah peraturan.
c. Post Control,
Selain memastikan layanan publik berjalan sesuai harapan, juga diperuntukkan atas evaluasi
terhadap target yang direncanakan. Pengawasan diharapkan akan menghasilkan rekomendasi
mempertahankan, memperbaiki atau meningkatkan kualitas layanan.
Dengan demikian ruang lingkup pengawasan terhadap pelayanan publik terdiri dari pengawasan
preventif dan pengawasan represif.
1. Pengawasan Preventif, yaitu pengawasan yang dilakukan pada tahap persiapan dan
perencanaan suatu kegiatan terhadap sebuah lembaga layanan publik. Pengawasan ini bertujuan
pada aspek pencegahan dan perbaikan, termasuk pula pengusulan perbaikan atau pembentukan
regulasi baru untuk berbaikan standar kualitas terhadap layanan publik.
Dari sisi subjek, pengawasan dibedakan atas Pengawasan Fungsional, Pengawasan Legislatif,
serta pengawasan Masyrakat :
1. Pengawasan Fungsional, yaitu pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparat
pengawasan fungsional pemerintah, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektur
Jenderal Departemen/Lembaga Negara, Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) pemerintah
provinsi, kabupaten/kota serta Satuan Pengawas Intern (SPI) BUMN/BUMD.
2. Pengawasan Legislatif adalah pengawasan yang dilaksanakan oleh lembaga legislatif (
DPR, DPRD). Hal ini termaktub secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pengawasan legislatif dilakukan melalui dengar pendapat, kunjungan kerja, dan pembentukan
panitia khusus (Pansus) atau panitia kerja (Panja). Dan bukan tidak mungkin, bila dianggap
penting, DPRD dalam melakukan pengawasan bisa mengambil tindakan politik berupa
pemanggilan kepada Kepala Daerah, Hak Interplasi dan Hak Angket. Dengan demikian, DPRD
dalam menjalankan fungsinya dapat menempatkan diri sebagai publik service watch. Dalam
penyelenggaraan pendidikan gratis misalnya, DPRD harus melakukan pengawasan jika
pemerintah daerah atau SKPD membuat aturan yang melarang sekolah melakukan pungutan tapi
tidak mengalokasikan anggaran untuk pendidikan yang mencukupi di dalam APBD.
Sedangkan di UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pengawasan sendiri di bagia atas :
c. pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota
Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar
masyarakat. Dalam kerangka ini penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya yang di
selenggarakan oleh pemerintah semata tetapi juga oleh penyelenggara swasta. Maraknya
paradigma reinventing government yang dipromosikan Osborne dan Gabler1 mendorong
semakin maraknya pelimpahan pelayanan publik ke tangan pihak ketiga baik swasta ataupun
masyarakat. Sayangnya cita-cita efisiensi yang diharapkan oleh paradigma tersebut tak dapat
tercapai lantaran terjebaknya masyarakat ke dalam mekanisme pasar yang membuatnya
tersingkir. Imaji mengenai mekanisme pasar yang mengatasnamakan persaingan yang
berdampak memposisikan public as rational chooser dan peningkatan kualitas pelayanan gagal
ketika hanya memindahkan monopoli atas pelayanan dari pemerintah kepada swasta. Hal ini
terjadi karena swastanisasi menaikkan biaya yang harus ditanggung, sehinga masyarakat miskin
tidak mampu mengakses layanan swasta karena daya beli rendah.
Pembahasan mengenai problem pelayanan seperti yang disinggung dalam latar belakan diatas
bahwa banyak penelitian yang mengatakan kualitas pelayanan publik dalam berbagai bidang
belum memenuhi seperti yang diharapkan . Rahayu (2003) mengutip pendapat Devas (1989)
yang menyoroti bahwa kegagalan pelayanan publik antara lain disebabkan (1) tidak adanya
kebebasan manajemen, serta campur tangan politik yang berlebihan dalam pengelolaan
pelayanan publik (2) peran ganda dalam pelayanan publik yakni antara tujuan komersial dan
sosial serta (3) tenaga pelaksana yang kurang cakap dan tidak professional dibidang pelayanan.
Beberapa catatan penting juga memberikan gambaran bahwa organisasi pelayanan publik pada
umumnya memiliki struktur yang tidak ramping dengan kualitas SDM yang rendah. Manajemen
day to day yang dijalankan secara tidak professional tidak terlihat pada keluhan masyarakat
tentang buruknya pelayanan mereka, seperti terlihat pada kasus-kasus yang sudah bukan
merupakan rahasia umum seperti sogokan(uang pelicin), suap dan korupsi.
Sementara Hasil survey yang dilakukan Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi tahun
2007 bekerja sama dengan MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik), menemukan persoalan
diantarannya :
• Lemahnya evaluasi terhadap kinerja penyedia layanan publik. Meski sejak tahun 2000
pemerintah telah membangun komitmen penyusunan dan pelaksanaan anggaran berbasis
kinerja1, namun dalam prakteknya kebijakan ini belum pernah diimplementasikan. Baik Kepala
Daerah maupun anggota DPRD, tidak memiliki alat atau perangkat evaluasi untuk menilai
kinerja penyedia layanan publik secara memadai. Beberapa instrumen pertanggungjawaban yang
dibuat secara sepihak, seperti Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), cenderung terkesan
hanya formalitas dan tidak cukup dapat diandalkan untuk menilai kinerja pelayanan publik
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat yang terkait dampak langsung
dengan pelayanan karena mereka yang akan menikmati pelayanan secara peraturan haknya
dalam menilai pelayanan diatur dengan adanya mekanisme laporan dan pengaduan. Selama ini
secara kelembagaan yang berperan dalam menerima dan menyalurkan serta menindaklanjuti
komplain masyrakat berkenaan dengan kinerja pelayanan adalah lembaga obudsman yang
meskipun masih disangsikan masyrakat efektifitasnya. Namun sedikitnya lembaga ini sudah
melakukan kerja dan melakukan invetarisir terhadap laporan pengaduan masyrakat tentang
kinerja pelayanan publik. Berikut gambaran tentang laporan kinerja pelayanan publik yang
dilaporkan oleh lembaga obudsman ( Suara Obudsman, 2008)
Sedangkan secara statistik instansi yang dilaporkan masyarakat hingga periode Triwulan III 2008
adalah Kepolisian yaitu sejumlah 160 (seratus enam puluh) laporan atau 28,93%. Disusul oleh
instansi Pemerintah Daerah sebanyak 138 (seratus tiga puluh delapan) laporan atau 24,95%,
Lembaga Peradilan sebanyak 72 (tujuh puluh dua) laporan atau 13,02%, Kejaksaan sebanyak 40
(empat puluh) laporan atau 7,23%, Instansi Pemerintah (Kementerian & Departemen) sebanyak
33 (tiga puluh tiga) laporan atau 5,97%, Badan Pertanahan Nasional sebanyak 32 (tiga puluh
dua) laporan atau 5,79%, BUMN/BUMD sebanyak 28 (dua puluh delapan) laporan atau 5,06%,
dan TNI sebanyak 14 (empat belas) laporan atau 2,53%. Provinsi Jawa Tengah merupakan
provinsi dengan instansi yang terbanyak dilaporkan oleh masyarakat yaitu sebanyak 115 (seratus
lima belas) laporan atau 20,80%. Disusul oleh DKI Jakarta sebanyak 70 (tujuh puluh) laporan
atau 12,66%, Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 68 (enam puluh delapan) laporan atau
12,30%, Provinsi Jawa Timur sebanyak 66 (enam puluh enam) laporan atau 11,93%, provinsi
Nusa Tenggara Timur sebanyak 65 (enam puluh lima) laporan atau 11,75%, dan Provinsi
Sumatera Utara sebanyak 56 (lima puluh enam) laporan atau 10,13%.
Dari berbagai laporan tersebut substansi maladministrasi yang terbanyak dilaporkan adalah
Penundaan Berlarut (Undue Delay) yaitu sebanyak 164 (seratus enam puluh empat) laporan atau
33,20%. Jumlah tersebut berbeda secara signifikan dengan substansi kedua terbanyak yang
dilaporkan masyarakat yaitu Bertindak Sewenangwenang sebanyak 68 (enam puluh delapan)
laporan atau 13,77%. Disusul kemudian oleh substansi Tidak Menangani sebanyak 54 (lima
puluh empat) laporan atau 10,93%, Penyimpangan Prosedur 43 (empat puluh tiga) laporan atau
8,70%, Bertindak Tidak Adil 38 (tiga puluh delapan) laporan atau 7,69%, Permintaan Imbalan
Uang/Korupsi 33 (tiga puluh tiga) laporan atau 6,68%, dan Tidak Kompeten 30 (tiga puluh)
laporan atau 6,07%. Substansi Tidak Menangani hanya berjumlah 36 laporan pada tahun lalu,
sedangkan pada tahun ini meningkat menjadi 48 laporan. Substansi Permintaan Imbalan
Uang/Korupsi pada tahun lalu berjumlah 25 laporan, pada tahun ini meningkat menjadi 33
laporan. Fenomena ini memperlihatkan bertambah buruknya kualitas pemberian pelayanan
publik oleh instansi pemerintah hingga mewujud pada tindakan ekstrim yaitu meminta imbalan
uang bahkan tidak melakukan pelayanan kepada masyarakat. Jika memang demikian
keadaannya, maka pemerintah perlu mengambil tindakan tegas
Sementara tanggapan Terlapor pada periode Triwulan III tahun 2008 mengalami penurunan
dibandingkan dengan pe periode yang sama tahun lalu. Jika pada tahun lalu dalam periode yang
sama terdapat 110 (seratus sepuluh) surat tanggapan dari 637 (enam ratus tiga puluh tujuh)
laporan masyarakat, pada periode ini ada sebanyak 81 (delapan puluh satu) surat tanggapan dari
553 (lima ratus tiga puluh tiga) laporan, atau mengalami penurunan sekitar 26,36%. Hal tersebut
dapat disebabkan karena masih banyaknya instansi yang belum memahami peran dan fungsi
lembaga Ombudsman dalam mengawasi pemberian pelayanan publik. Namun dapat pula
disebabkan karena instansi tersebut telah mengambil langkah penyelesaian tanpa
menginformasikannya kepada Ombudsman. Misalnya saja hingga periode ini Ombudsman telah
menerima informasi dari Pelapor secara lisan bahwa keluhan mereka telah diselesaikan oleh
instansi yang bersangkutan sebanyak 2 (dua) laporan. Belum lagi terhitung Pelapor yang telah
selesai permasalahannya namun tidak memberitahukan perkembangannya kepada Ombudsman.
Tanggapan Terlapor terhadap tindak lanjut Ombudsman Republik Indonesia yang menjawab
untuk Melakukan Penelitian sebanyak 3 (tiga) surat atau 3,85%, Menindaklanjuti Laporan 8
(delapan) surat atau 10,26%, Penjelasan 67 (enam puluh tujuh) atau 82,72%.
Di samping itu Ombudsman juga menerima respon dari instansi terkait yang biasanya mendapat
surat tembusan atas tindak lanjut Ombudsman yaitu 1 (satu) surat atau 1,28%. Dengan
disahkannya Undang-Undang tentang Ombudsman Republik Indonesia, hal penyampaian
informasi kepada Ombudsman mengenai tindak lanjut dari klarifikasi atau rekomendasi
Ombudsman haruslah menjadi perhatian setiap instansi publik. Undang- Undang tentang
Ombudsman Republik Indonesia di dalam Pasal 33 menyebutkan bahwa apabila Terlapor tidak
memberi jawaban selama 2x14 hari, maka Terlapor dianggap tidak menggunakan hak untuk
menjawab, dan selanjutnya Ombudsman dapat mengeluarkan Rekomendasi yang wajib
dilaksanakan oleh Terlapor.
Sepert yang dijelaskan diawal bahwa pelayanan publik sebagai bagian dari upaya-upaya
mewujudkan good governance, dapat dilihat melalui 3 langkah strategis. Pertama, interaksi
antara Negara (yang diwakili pemerintah) dengan warganya, termasuk berbagai kelompok atau
lembaga di luar pemerintah dalam pelayanan publik. Idealnya, interaksi tersebut memaksa
pemerintah sebagai penyedia layanan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi warganya.
Kedua, pelayanan publik merupakan ranah dimana prinsip-prinsip good governance dapat
diartikulasikan dengan lebih baik. Nilai-nilai good governance seperti efektifitas, efisiensi, non-
diskriminatif, berkeadilan, berdaya tanggap tinggi dan akuntabilitas yang tinggi dapat
direalisasikan dalam penyelenggaraaan pelayanan publik. Nilai-nilai tersebut menjadi mudah
terlihat dan teraplikasikan pada pelayanan publik dalam kerangka good governance. Ketiga,
pelayanan publik melibatkan semua kepentingan yang berada di dalam negara. Pemerintah,
masyarakat, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan terhadap pelayanan publik yang lebih
baik. Nasib sebuah pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, tergantung dari pelayanan
publik yang dibangun. Kepercayaan dan legitimasi kekuasaan mereka berasal dari pengguna
layanan publik, yaitu masyarakat.Legitimasi kekuasaan saat ini ditentukan pada keberpihakan
pemerintah kepada rakyatnya secara langsung. Bentuk pelayanan yang buruk menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat atas sebuah rezim pemerintahan.
Atas asumsi tersebut salah satu upaya yang dilakukan dalam perbaikan kualitas pelayanan publik
adalah dengan mengeluarkan UU No 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. Berikut beberapa
ketentuan terutama berkenaan dengan pengawasan dalam penyelenggaraan.
1. Subyek Pengawasan
• pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal 35 UU No 25 Tahun 2009)
Salah satu bentuk pengawasan terutama pengawasan dari masyarakat adalah pengaduan. Adapun
sebagai respon dalam menindak lanjuti pengaduan Penyelenggara berkewajiban menyediakan
sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan
serta berkewajiban mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab pengelola pengaduan
serta sarana pengaduan yang disediakan. Penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan
yang berasal dari penerima pelayanan, rekomendasi ombudsman, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu. Penyelenggara berkewajiban menindaklanjuti hasil
pengelolaan pengaduan tsb. (Pasal 36 UU No 25 Tahun 2009).
3. Mekanisme Pengawasan/pengaduan
Meklanisme pengawasan dari masyrakat yang diatur diatas adalah melalui pengaduan. Adapun
pengaduan dilakukan oleh masyarakat apabila penyelenggaraan pelayanan publik :
• pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Pengaduan seperti dimaksud diatas diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak
lain yang menerima kuasa untuk mewakilinya. Pengaduan tsb dilakukan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan. Dalam pengaduannya, pengadu dapat
memasukkan tuntutan ganti rugi. Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pengadu dapat
dirahasiakan. Sedangkan mekanisme Pengaduan yang disampaikan secara tertulis harus memuat:
Pengaduan tertulis tersebut dapat disertai dengan bukti -bukti sebagai pendukung
pengaduannya. Dalam hal pengadu membutuhkan dokumen terkait dengan pengaduannya dari
penyelenggara dan/atau pelaksana untuk mendukung pembuktiannya itu, penyelenggara
dan/atau pelaksana wajib memberikannya. (Pasal 43 UU No 25 Tahun 2009).
4. Penerimaan Pengaduan
Dalam hal penyelenggara diduga melakukan tindak pidana dalam penyelenggaraan pelayanan
publik sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, masyarakat dapat melaporkan
penyelenggara kepada pihak berwenang. (Pasal 53 UU No 25 Tahun 2009)
Dalam peraturan tersebut pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik oleh DPR/DPR hanya
diatur bahwa DPR/DPRD menerima pengaduan dari masyarakat (pasal 40 ). Artinya apakah
pengawasan DPR/DPRD hanya sebatas bila ada pengaduan dari masyarakat? Ini yang kemudain
masih perlu dijelaskan lebih lanjut. Selama ini pengawasan oleh DPR/DPRD selama ini
mengundang banyak perdebatan termasuk di internal sendiri. Ada yang berpendapat bahwa
kewenangan DPR/DPRD dalam pengawasan hanya sebatas kebijakan dan bersifat makro
strategik sebagaimana diatur dalam PP 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Di sisi lain banyak praktisi berpandangan bahwa
perlunya anggota DPR/DPRD melakukan pengawasan secara lebih rinci menyeluruh, termasuk
dalam konteks manajemen.
Jika mengikuti uraian diatas Peran DPR/DPRD sebenarnya strategis bila mengikuti tiga tahapan
dalam proses pelayanan publik , dan ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya
yakni:
b. Interim Control, dimaksudkan untuk memastikan layanan publik berjalan sesuai standar
yang ditetapkan dan memenuhi harapan masyarakat selama pelayanan dilakukan dalam jangka
waktu tertentu. Pengawasan juga bisa diarahkan terhadap pelaksanaan anggaran atas layanan
publik atau masa perjalannya sebuah peraturan.
c. Post Control, selain memastikan layanan publik berjalan sesuai harapan, juga diperuntukkan
atas evaluasi terhadap target yang direncanakan. Pengawasan diharapkan akan menghasilkan
rekomendasi mempertahankan, memperbaiki atau meningkatkan kualitas layanan.
Dalam peraturan ini tentunya relevan juga untuk dijelaskan detilnya bentuk pengawasan
DPR/DPR tidak hanya sebatas menerima pengaduan sebagaimana dijelaskan pasal 40 atau cukup
hanya dijelaskan dalam peraturan intern tentang fungsi pengawasan DPR/DPRD
Mekanisme penyelesaian pengaduan atas pelayan publik di undang-undang yang diatur adalah
penyelesaian pengaduan oleh ombudsman (pasal 46) dan oleh penyelenggara pelayanan publik
(pasal47). Sedangkan bila didasarkan pasal 40 dijelaskan bahwa pengaduan masyarakat bisa
disampaikan ke selain dua lembaga tersebut adalah ke DPR/DPRD. Pertanyaannya bagaimana
penyelesaian pengaduan oleh DPR/DPRD sendiri apakah relevan di bahas di peraturan ini atau
cukup di atur dimekanisme pengawasan oleh DPR/DPRD. Naamun harus diperhatikan
pengalaman bahwa pengaduan ke DPR/DPRD cenderung tidak ada tindak lanjutnya dengan
alasan tidak paham mekanismenya atau pemahaman itu sudah menjadi kewenagnan lembaga
lain.
Selebihnya hal-hal yang berkenaan dengan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik yang
belum jelas diatur dalam UU No 25 tahun 2009 bisa menggunakan rujukan pada peraturan
pelaksanaan ombudsman hal ini perlu dilakukan supaya tidak terjadi tumpang tindih dalam
penerapan aturan
eSharianomics
HOME
PROFILE
PUBLICATIONS
GALLERY
FAQ
EVENTS
INFO
NEWS
ARTICLES
Customer Service (CS) adalah pelayanan nasabah atau yang sering kita dengar sebagai Customer
Service Officer (CSO) berasal dari dua kata yaitu Customer yang berarti pelanggan dan Service
yang berarti pelayanan. Pelayanan diartikan sebagai tindakan atau perbuatan seseorang atau
organisasi untuk memberian kepuasan kepada pelanggan atau nasabah.
Sedangkan Pelayanan nasabah atau Customer Service Officer menurut dalam perbankan adalah
kelompok kerja pelayanan yang merupakan himpunan dari pegawai yang profesional di bidang
pelayanan dan ditujukan untuk meningkatkan kepuasan kepada nasabah, dengan cara memenuhi
harapan dan kebutuhannya.
Customer Service Officer dituntut untuk selalu berhubungan dengan nasabah dan menjaga
hubungan itu tetap baik. Hal ini tentu saja harus dilakukan karena menjaga hubungan yang baik
dengan nasbah juga berarti menjaga citra bank agar citra bank dapat terus meningkat di mata
nasabah.
Customer Service Officer harus memiliki kemampuan melayani nasabah secara tepat dan cepat
serta memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Customer Service Officer yang baik harus
diikuti dengan tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung kecepatan, ketepatan, dan
keakuratan pekerjaannya.
Selain itu, Customer Service Officer dituntut untuk memberikan pelayanan yang prima kepada
nasabahnya, agar pelayanan yang diberikan dapat memuaskan nasabah. Untuk itu seorang
Customer Service Officer harus memiliki dasar-dasar pelayanan yang kukuh seperti etiket
pelayanan, pengenalan produk, dan dasar-dasar lainnya.
Pelayanan yang diberikan akan berkualitas jika setiap petugas Customer Service Officer dibekali
pengetahuan tentang dasar-dasar pelayanan yang sesuai dengan bidang pekerjaan yang akan
dihadapinya, termasuk kemampuannya menguasai pengetahuan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan bank dan produk yang ditawarkan.
johttp://esharianomics.com/esharianomics/bank/05-operasional/definisi-customer-service-
cs/.wordpress.com/2006/09/24/mengukur-kepuasan-pelanggan/
Membuat sebuah perencanaan strategis untuk RS milik pemerintah menjadi sebuah pengalaman
menarik. Teknik fasilitasi dan pendampingan teknis sekaligus berbaur dengan peran sebagai nara
sumber memerlukan pendekatan yang berbeda dibandingkan jika kita hanya murni sebagai
fasilitator atau sebaliknya nara sumber saja.
Pengalaman yang telah kami terapkan di RSUD Brebes sekitar 3 tahun yang lalu saat
memfasilitasi penyusunan Renstra mereka, paling tidak membutuhkan waktu sekitar 3 bulan
dengan tahapan kegiatan sebagai berikut:
1. Pra survey : untuk analisis situasi dan up dating data terakhir terutama untuk
mendapatkan informasi kinerja pelayanan dari laporan/profil RS
2. Survey Pendahuluan: Penajaman terhadap hasil pra survey sebelumnya yaitu dengan
melakukan survey kepuasan terhadap pasien yang dirawat/berobat di RS sebanyak 30
pasien.
3. Workshop I : dititik beratkan untuk menyamakan persepsi tentang agenda penyusunan
renstra RSUD dari para stakholders kunci internal RS ( perwakilan dari direksi, komite
medik, keperawatan, laboratorium dan penunjang lain, adminsitrasi-keuangan. Selain itu
juga memaparkan hasil temuan survey sebagai salah satu bentuk triangulasi dan kros cek.
Otuput utamanya adalah merancang Plan Of Action secara partisipatif untuk penyusunan
renstra dan terbentuknya Tim Penyusun Renstra RSUD Brebes.
4. Workshop II : dengan fokus untuk memperoleh masukan dan menjaring harapan dari
stakeholders kunci eksternal RSUD (Sekretaris Daerah, DPRD dan tokoh masyarakat
yang terhimpun dalam Dewan Penyantun RS). Out putnya adalah mendapatkan
komitmen dari stakeholder kunci untuk mendukung penyusunan renstra RSUD
5. Pendampingan teknis untuk pengumpulan dan analisis data: dilakukan dengan melibatkan
secara aktif Tim Penyusun Renstra RSUD sesuai dengan tugas dan tanggung jawab
masing-masing.
6. Pendokumentasian dan presentasi hasil analisis: dilakukan setelah hasil analisis
sementara dibuat dan dipaparkan untuk memperoleh perbaikan & konfirmasi dengan
pihak-pihak yang terkait/ berkompeten di internal RS.
7. Workshop 3 : sosialisasi rancangan Renstra RSUD kepada stakholders kunci eksternal
untuk mendapatkan tanggapan dan masukan.
8. Perbaikan dan penyempurnaan berdasarkan hasil workshop dan penyusunan menjadi
sebuah dokumen akhir Renstra RSUD Brebes tahun 2007-2012.
Beberapa tools dan bahan presentasi serta hasilnya saat memfasilitasi dapat di lihat dalam
lampiran berikut ini :
http://spjati.wordpress.com/2009/03/31/fasilitasi-penyusunan-renstra-rsud-brebes/