You are on page 1of 15

Review

Anestesi dan Pasien Lansia, Mencari Keluaran Neurologis Yang Lebih


Baik

Cristina Alexandra Benavides-Caro

Spesialis Anestesi, Spesialis Bioethics, Perkumpulan Professor


Neuroanestesi, Universitas Sanitas, Bogota, DC, Colombia

Abstrak

Perkenalan : pasien lansia yang melakukan pembedahan membutuhkan jenis


anestesi yang dapat memberikan keseimbangan kesehatan pasien tersebut
dengan mempertimbangkan faktor kondisi stres.

Objective : Review pada literatur ini bertujuan untuk mengingatkan spesialis


anestesi untuk memberikan pendekatan khusus pada pasien lansia, melakukan
pemeriksaan pada pasien ini terutama perubahan fisiologis pada pasien
mengingat faktor usia yang menua, efek anestesi yang timbul pasca
pembedahan (terutama kelainan neurologis yang timbul), monitoring pasien
dan mempertimbangkan komplikasi neurologis yang terjadi

Bahan dan Metode : Penelitian ini menggunakan bantuan data LILACS,


MEDLINE dan GOOGLE SCHOLAR dengan kata kunci jenis anestesi,
pasien lansia, keluaran neurologis, hal-hal tersebut dicari menggunakan
metode ambispektif snowball search dari tahun 2000 hingga hari ini
Kesimpulan : Institusi dan para staff bertanggung jawab terhadap
pengelolaan pasien lansia, institusi dan para staff harus dilatih dan diberikan
pengetahuan bahwa pentingnya penatalaksanaan bersama pada grup pasien
lansia ini, sehingga pasien lansia dapat dipertahankan kesehatan fisik dan
mental yang merupakan hal terpenting bagi mereka di fase kehidupan akhir
mereka.

Kata Kunci : Usia, Anestesi, Komplikasi Post-Operatif, Anestesi Konduksi,


Bedah Umum

Perkenalan

Dengan peningkatan fasilitas kesehatan dan peningkatan kondisi kesehatan di


dunia, rata-rata umur harapan hidup di dunia mengalami peningkatan. Hal ini
dapat meningkatkan pula umur harapan hidup pada pasien dengan usia lebih
dari 65 tahun yang mendapatkan terapi pembedahan.

Ketika mengelola grup pasien lansia ini, merupakan suatu hal yang penting
dan perlu diingat bahwa definisi penuaan dan pasien lansia sebagai suatu hal
yang telah ditetapkan dan bergantung pada lingkungan dimana pasien lansia
tersebut hidup. Karakteristik pasien lansia (dalam hal ini faktor-faktor risiko)
digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk mengetahui adakah keterkaitan
pasien lansia terhadap berbagai macam faktor sosial yang ada seperti usia
berapa pasien lansia tersebut berhenti melakukan pekerjaannya ataupun
aktivitas di masyarakat, berganti peranan dari dewasa menuju lansia, ataupun
kehilangan beberapa fungsi/hendaya. Definisi dari lansia yang sehat mengacu
kepada berbagai macam faktor, termasuk ada beberapa konsep dari lansia
yang sehat seperti aktivitas sehari-harinya, kesehatan jasmani, partisipasi
sosial dan kualitas hidup yang baik. Konsep ini dapat diterima pada pasien
dengan usia 65 tahun ataupun lebih.

Para lansia merupakan orang-orang yang terbilang kompleks dimana


penatalaksanaan pasien lansia berbeda dari usia dewasa maupun anak dan hal
ini penting diingat karena tujuan keluaran akhir pasien lansia terutama pasca
pembedahan adalah mempertahankan fungsi yang ada sebelum dan sesudah
pembedahan. Persentase pasien lebih dari umur 65 tahun yang memiliki
penyakit seperti Alzheimer, Parkinson, Lewy Body Demensia ataupun
penyakit cerebrovascular dapat menyebabkan perubahan fisiologis pasien dan
efek dari tindakan pembedahan serta tindakan anestesi dapat meningkatkan
komplikasi post-operatif pada pasien jika dibandingkan dengan usia dewasa.

Metode

Untuk review kali ini menggunakan bantuan data LILACS, MEDLINE dan
GOOGLE SCHOLAR dengan kata kunci jenis anestesi, pasien lansia,
keluaran neurologis, hal-hal tersebut dicari menggunakan metode ambispektif
snowball search dari tahun 2000 hingga hari ini.

Komplikasi post-operatif yang sering terjadi pada pasien lansia

Komplikasi yang terjadi pada pasien lansia sangatlah tinggi. Di Amerika


Serikat, sekitar 30 persen pasien yang hidup di panti jompo yang mendapatkan
tindakan kolektomi, meninggal pada 3 bulan awal pasca pembedahan dan 40%
pasien yang tidak meninggal mengalami gangguan fungsi organ. Insidensi ini
meningkat pula apabila pasien tersebut memiliki umur lebih tinggi, dimana 20
persen pasien dengan usia lebih dari 80 tahun memiliki komplikasi pasca
pembedahan lebih tinggi dan terjadi peningkatan angka mortalitas dengan
nilai antara 4% hingga 26 %.

Berdasarkan persentase tersebut, pada pasien lansia dibutuhkan tim fasilitas


kesehatan yang mumpuni untuk mengetahui secara jelas dan menjelaskan
apakah benar pasien lansia tersebut benar-benar membutuhkan tindakan
pembedahan dan memberikan prioritas penuh pada pasien untuk memilih opsi
dari tindakan yang akan mereka pilih, terutama juga dijelaskan pada
keluarganya. Pada pasien dekade 3 dan dekade 4 yang dirawat di ruang ICU di
seluruh rumah sakit di Amerika Serikat memilih untuk tidak dilakukan
interensi apapun mengingat adanya faktor risiko yang berat ataupun
mempertimbangkan kehilangan fungsi organ mereka.

Dua komplikasi neurologis pasca pembedahan yang sering terjadi dengan


dampak yang besar pada pasien yaitu delirium dan gangguan kognisi.

Delirium post-operatif didefinisikan sebagai gangguan akut dimana pasien


kehilangan kesadaran ditandai dengan gangguan pemusatan perhatian,
disorientasi dan kehilangan memori yang berfluktuasi dari waktu ke waktu.
Hal ini memang tidak berkaitan secara langsung terhadap angka kematian,
durasi lama rawat inap pasien, gangguan fungsi organ dan rata-rata
pembiayaan di rumah sakit. Hal ini biasanya terjadi pada hari pertama pasca
pembedahan dan hari ketiga pasca pembedahan dengan angka insidensi antara
5%-15% dan yang paling tertinggi pernah terjadi 33-62% pada grup pasien
lansia yang mengalami fraktur panggul. Etiologi kejadian penyakit ini masih
belum dapat diketahui tetapi berbagai macam faktor berperan penting pada
penyakit ini seperti penggunaan benzodiazepine, opioid ataupun penggunaan
steroid, pendidikan terakhir, jenis pembedahan yang dilakukan, anestesi yang
digunakan, dan penyakit komorbid seperti gagal ginjal stadium akhir ataupun
diabetes mellitus.

Gangguan fungsi kognisi pasca pembedahan merupakan kalimat yang sering


digunakan untuk menggambarkan kondisi pasien yang mengalami penurunan
level kesadaran, perhatian, persepsi, berfikir, daya ingat, perilaku dan
gangguan emosi yang terjadi setelah pembedahan. Komplikasi ini dapat
terlihat dalam beberapa hari ataupun minggu, dengan onset cepat sekitar 7 hari
dan onset terlambat mencapai 3 bulan. Insidensinya bervariasi terjadi dan
signifikan terjadi pada pasien bedah jantung, dengan rata-rata 30 hingga 80
persen kejadian dan pasien bedah selain bedah jantung mencapai 25 persen
pada onset cepat dan 9,9 persen pada onset lambat. Penyebab gangguan
kognisi pasca pembedahan tidak diketahui dan diakibatkan oleh kombinasi
dari berbagai macam faktor. Pada sebuah studi, Monk dan kawan-kawan
menemukan bahwa umur menjadi variabel tidak tergantung pada kejadian
gangguan fungsi kognisi pasca pembedahan dan ditemukan korelasi antara
peningkatan angka mortalitas pada 1 tahun pertama setelah pembedahan
dengan gangguan fungsi kognisi pasca pembedahan.

Munculnya gangguan fungsi kognisi pasca pembedahan dengan onset lambat


menjadi prediktor angka kematian pada pasien lansia yang menerima terapi
pembedahan. Terdapat berbagai macam tes yang dapat dengan mudah dan
cepat dilakukan serta dapat ditanyakan pada saat konsultasi dan setelah
pembedahan sehingga dapat mengetahui dua sindroma tersebut secara cepat.
Hanya saja, para staff kesehatan tidak dilatih secara khusus untuk mengetahui
assessment awal dan dilaporkan misdiagnosis delirium dengan persentase 33%
hingga 66%.

Patofisiologi Komplikasi Neurologis

Pada pasien lansia, mereka bergantung pada kondisi pre-operatif pasien lansia
tersebut dan penyakit komorbid, respon normal setelah menerima tindakan
pembedahan, disfungsi hemodinamik, respon endokrin dan respon imun.
Karena perubahan fisiologi pasien lansia, pasien lansia lebih rentan terhadap
komplikasi neurologi. Perubahan ini termasuk terjadinya atrofi korteks otak
(penurunan ketebalan korteks otak), terutama pada daerah prefrontal dan
parietal yang berfungsi sebagai memori dan orientasi, penurunan sinaps pada
pasien lansia, penurunan fungsi dendritic pada sel pyramidal di daerah
prefrontal dimana daerah prefrontal bertanggung jawab terhadap area
integritas yang dibantu kerjanya oleh nucleus di thalamus; penurunan angka
neurotransmitter dan neuroreseptor, hal-hal tersebut menunjukkan faktor
risiko kejadian depresi dan neurodegenerative seperti Alzheimer dan
peningkatan susceptibilitas efek stress oksidatif serta efek samping reaksi
inflamasi pada pasien lansia.

Terdapat hubungan antara penuaan dan kejadian penyakit kronik seperti


diabetes melitus tipe 2, kanker, penyakit hati dan penyakit ginjal dimana
seluruh penyakit tersebut berpengaruh terhadap komplikasi post-operatif. Pada
pasien lansia dan dewasa menuju lansia dengan diabetes dan hipertensi,
Terdapat kelainan pada daerah periventricular dan substansia alba daerah
frontal.

Perubahan-perubahan tersebut berhubungan terhadap berbagai macam faktor


sosial seperti tidak adanya dukungan keluarga dan terisolasi, sehingga menjadi
dampak besar bagi pasien tersebut demi keberhasilan keluaran yang lebih baik
pasca pembedahan. Faktor-faktor lain yang tidak kalah penting, bagi individu
pasien lansia antara lain malnutrisi, manajemen terapi yang inadekuat dan
gangguan kognitif.

Kerentanan Pada Lansia

Frailty atau kerentanan pada lansia wajib dipertimbangkan pada grup pasien
lansia. Frailty didefinisikan sebagai keadaan cadangan fisiologis yang
berkurang dan kerentanan terhadap efek stress; ketika pasien lemah terpapar
suatu tindakan yang dapat menyebabkan stress fisiologis, maka pasien lansia
tersebut sulit untuk melakukan kompensasi. Pasien yang rentan tersebut dapat
meningkatkan efek samping pasca pembedahan, lama rawat inap di rumah
sakit bertambah, penurunan fungsi, kecacatan dan peningkatan mortalitas
pasien. Patofisiologi dari kerentanan pada lansia ini masih belum diketahui
secara jelas, tetapi faktor seperti reaksi inflamasi, stress oksidatif berlebihan
dan perubahan fisiologis serta imunologis menjadi faktor yang dapat
memperberat pasien lansia. Pasien yang memiliki kerentanan biasanya
mengalami disregulasi sistem kekebalan tubuh, hormonal dan endokrin
terganggu, reaksi sitokin inflamasi yang tinggi disertai biomarker peradangan
yang meningkat seperti interleukin-6, C-reaktif protein yang meningkat.
Tanda-tanda tersebut dikaitkan erat dengan kejadian delirium dan disfungsi
kognitif serta diteliti terjadi peningkatan insidensi pada lansia.

Leung dan kawan-kawan menemukan hubungan antara delirium dan


kerentanan pasien lanjut usia selama periode awal waktu pasca-operasi.
Insidensi meningkat pada pasien dengan usia yang lebih tinggi sebagai faktor
independen terkait dengan komplikasi pasca operasi. Pada populasi pasien
lansia yang menerima terapi pembedahan, ditemukan insidensi dengan nilai
signifikan mencapai 41,8%-50,3% kasus yang ditemukan pada pasien lansia
yang rentan dan menerima tindakan pembedahan. Negara Colombia tidak
memiliki persentase angka akurat mengenai pasien yang memiliki kerentanan
dan mendapat terapi pembedahan. Curcio dalam penelitiannya yang dilakukan
di sebuah desa terpencil, dimana terdapat pasien dengan usia lebih 60 tahun,
15,2% diantaranya memiliki kerentanan, dimana angka tersebut sangat mirip
juga ditemukan di daerah negara amerika latin. Manajemen pasien yang
memiliki kerentanan tinggi membutuhkan kesigapan seluruh tim dan
berintegrasi untuk merawat pasien lansia tersebut, kesiapan fasilitas kesehatan,
termasuk memberikan edukasi kepada para staff kesehatan, melakukan
pelatihan khusus untuk mengetahui sindroma-sindroma penyakit yang dapat
muncul pada pasien lansia.

Efek dari Anestesi

Hubungan antara jenis anestesi, tindakan pembedahan dan kejadian disfungsi


kognisi pada beberapa penelitian in vitro dan hewan pejantan menunjukkan
adanya efek perkembangan saraf. Ditemukan bahwa agen volatile dan
intravena yang digunakan sebagai anestesi umum (general anestesi) memiliki
efek negatif pada struktur seperti struktur pertumbuhan, pembentukan akson
jaringan saraf, apoptosis, kelainan telomere dan perubahan pada area otak
yang berperan dalam daya ingat. Studi tentang disfungsi kognitif pasca
operasi, ISPOCD1, menyimpulkan bahwa tindakan anestesi dan tindakan
pembedahan dapat menghasilkan gangguan kognisi jangka panjang pada
pasien lansia dan risikonya meningkat seiiring bertambahnya usia.

Meskipun hal ini belum dapat dijelaskan patofisiologinya seperti apa. Dalam
ulasan topic tentang anestesi dan neurotoksisitasnya, penelitian Lin dan
kawan-kawannya sedikit ditemukannya dampak buruk tindakan anestesi yang
digunakan terhadap pasien lansia, meskipun ada beberapa pasien yang
mengalami perubahan neuronal seiring bertambahnya usia. Dalam studi yang
menilai fungsi kognisi dan performance pada tikus, Callaway dan teman-
teman menemukan perubahan memori dan kemampuan belajar pada tikus
tersebut, Hal tersebut bergantung pada usia tikus, dosis yang digunakan pada
tikus usia yang sudah dewasa, berbeda halnya dengan tikus yang masih muda
tidak ditemukannya perubahan memori dan kemampuan belajar.

Di sisi lain, penelitian mengemukakan bahwa ada hubungan antara tindakan


general anestesi dan penyakit Alzheimer. Ada dua penanda histopatologi pada
penyakit ini yaitu plak amyloid ekstraseluler yang terdiri dari peptide amyloid
beta dan neurofibrilar interneuronal yang terbuat dari protein. Penelitian telah
menunjukkan bahwa tindakan anestesi memiliki peranan penting dalam
mempercepat patogenesis dengan cara meningkatkan pembentukan protein
dan dipengaruhi oleh faktor hipotermia pada probandus. Hal ini bukan
merupakan faktor definitif, pada suhu yang normal pun dapat terjadi, terjadi
peningkatan hipofosforilasi protein. Adapun hubungan antara hipotermia,
peningkatan protein dan disfungsi kognitif pasca operasi masih belum dapat
dijelaskan secara jelas, penelitian terhadap tikus tersebut membuktikan adanya
gangguan memori akibat faktor hipotermia dan tindakan anestesi umum
(general anestesi).

Anestesi Regional

Beberapa penelitian dimana cedera neurologis pasca pembedahan pada pasien


lansia yang menggunakan tindakan anestesi baik regional maupun umum
belum menunjukkan hasil signifikan. Beberapa penelitian bahkan tidak dapat
menunjukkan komplikasi yang muncul pada pasien lansia meliputi kelainan
kardiovaskular, perawatan di ruang ICU yang lama, ataupun peningkatan
biaya rawat inap pada lansia terhadap penggunaan regional maupun general
anestesi. Dalam meta-analisis dari 18 studi acak pada delirium dan disfungsi
kognitif, penelitian Bryson tidak menunjukkan hasil yang signifikan, dengan
membandingkan perbedaan antara pemakaian anestesi regional ataupun
anestesi umum. Hal ini dapat digarisbawahi bahwasannya sulit mencegah
penyakit-penyakit pasca komplikasi pembedahan terutama cedera neurologis.

Peneliti bernama Putih dalam penelitian observasional dengan melibatkan


65.535 pasien, tidak ditemukan perbedaan angka kematian pada operasi
fraktur panggul dengan menggunakan tindakan anestesi regional maupun
umum. Satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap kematian pasien lansia
dengan fraktur panggul tersebut adalah penggunaan prosthesis. Dalam
menganalisis efek fisiologis dari anestesi regional, efek terparah yang
ditimbulkan pada anestesi regional ini meliputi penyakit kronik seperti
hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung coroner, hipertrofi ataupun dilatasi
jantung, mengurangi fraksi ejeksi jantung, dan perubahan fisiologis pada
pasien lansia tersebut. Ada juga hubungan dosis dan efek obat pada sistem
susunan saraf pusat ataupun susunan saraf perifer sebagai akibat dari
deteriorasi sistem myelin dan jumlah cairan liquor cerebro spinal (LCS) yang
berkurang.

Alat Monitoring Cedera Saraf Pada Periode Intra-Operatif

Alat yang digunakan untuk mengukur kedalaman anestesi yang digunakan


telah digunakan selama beberapa tahun belakangan ini. Berdasarkan
perubahan EEG pada pasien, kita dapat memonitor bispectral index monitor,
modul entropi dan monitor narcotrend, dimana teorema fourier digunakan
untuk melihat gelombang sinyal EEG diubah dan diinterpretasikan menjadi
sebuah angka. Meskipun penelitian tersebut masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut apa saja dampak pemakaian dari alat tersebut. Terdapat bukti
penelitian terkini yang mengemukakan manfaat dari penggunaan alat tersebut,
dimana dapat dilihat faktor risiko neurologi ataupun organ vital yang berisiko
terkena dampak. Hal ini bermanfaat dan dapat digunakan pada pasien lansia.

Dari perspektif spesialis anestesi, alat ini digunakan untuk mengontrol dengan
ketat efek kedalaman anestesi yang berpengaruh di dalam otak pasien, dimana
spesialis anestesi melakukan observasi terhadap sinyal EEG tersebut untuk
memprediksi keluaran dari pasien pasca dilakukan pembedahan.

Sessler menunjukkan bahwa adanya peningkatan angka mortalitas, durasi


rawat inap yang lama pada pasien dengan menggunakan bispectral index
values (BIS) dengan nilai dibawah 45, penggunaan konsentrasi anestesi yang
rendah, penurunan konsenstrasi rata-rata alveolar (MAC) dan penurunan
tahanan arteri.

Pada sebuah studi penelitian, Monk dan kawan-kawan mengemukakan bahwa


penelitian mereka menunjukkan peningkatan angka mortalitas 1 tahun setelah
dilakukan tindakan pembedahan, terdapat korelasi antara penyakit komorbid,
rendahnya nilai bispectral index dan nilai tekanan darah intra-operatif.
Keterkaitan antara mortalitas dengan rendahnya nilai bispectral index dapat
menjadi faktor sekunder dari keadaan intrinsic pasien yang sensitive terhadap
agen obat anestesi, dimana dapat terjadi dosis berlebihan (overdosis) dapat
terjadi pada pasien, ataupun rendahnya dosis anestesi / dosis anestesi yang
tidak adekuat terlihat pada pengukuran EEG otak, peningkatan komplikasi
post-operatif dan peningkatan mortalias jangka pendek. Monitor Bispectral
mencegah nilai menjadi kurang dari 40 dalam kurun waktu lebih dari 5 menit
dapat meningkatkan keselamatan pada pasien lansia tersebut.

Menggunakan near-infrared spectroscopy (NIRS), pengukuran oksimeter otak


dengan mengabsorbsi gelombang cahaya dan melepaskannya pada frekuensi
tertentu dengan proporsi vena/arteri 70 % dan 30% , secara langsung supaya
terdapat oksigenasi dan tercapainya pembentukan hemoglobin yang baik.

Nilai oksimeter itu relatif dan bergantung pada keadaan pasien tersebut serta
wajib diperiksa secara menyeluruh.

Oksimetri pada otak digunakan untuk membantu mengenali level basal dari
oksigenasi otak dan melihat perubahan perfusi otak selama pembedahan,
mengoptimalisasi potensi kejadian cedera saraf. Hoppenstein menganalisis
perubahan aliran darah regional yang diukur dengan oksimetri pada otak
selama anestesi pada pasien dengan fraktur pelvis menggunakan general
anestesi maupun spinal anestesi serta ditemukan desaturasi lebih tinggi pada
pasien yang menggunakan anestesi spinal dibandingkan dengan pasien yang
menerima anestesi general.
Penulis menyimpulkan bahwa observasi pada pasien bergantung dengan
patofisiologi yang terjadi dan kemampuan pasien dalam merespon perubahan
aliran darah. Pada suatu penelitian, pasien yang menerima tindakan anestesi
general, Burkhat mengobservasi rendahnya kapabilitas autoregulasi pada
pasien lansia yang dibandingkan pada pasien usia lebih muda,menggunakan
cerebral oximetri sebagai marker efektifitas autoregulasi pasien tersebut. Pada
pasien geriatric, digunakan anestesi general pada pasien dengan fraktur
panggul, Papadopoulus mengamati hubungan antara desaturasi pada otak
dengan gangguan fungsi kognitif pasca operasi.

Casati juga menemukan adanya hubungan antara desaturasi oksigen terhadap


gangguan fungsi kognisi pasca pembedahan dan lama rawat inap pasien.
Pengaruh desaturasi serebral sebagai suatu pengukuran yang baku dari
autoregulasi otak dapat mempengaruhi hasil keluaran dari pasien,
mencerminkan bahwa suplai oksigen dan konsumsi oksigen di otak bisa saja
berkurang. Cerebral Oximetri dapat dijadikan sebagai monitor penting untuk
aliran oksigen ke otak.

Kesimpulan

Pasien lanjut usia memerlukan pendekatan yang berbeda berdasarkan pada


pemahaman tentang fisiologis, anatomi, sosial dan perbedaan tanda vital yang
terjadi pada pasien usia lanjut. Sebaiknya ditawarkan pilihan terapeutik terbaik
yang kadang tidak memerlukan kemajuan teknologi dan lebih dekat ke bentuk
dukungan/suportif pada tanda vital. Contohnya dengan mendengarkan dan
memperhatikan pasien lansia tersebut. Perawatan yang memadai untuk pasien
lanjut usia bertujuan untuk pengurangan komplikasi yang biasanya
mengakibatkan lebih tinggi biaya yang dikeluarkan untuk sistem kesehatan
dan sebaiknya memberikan keuntungan untuk masyarakat.

Sebaiknya lebih memperbanyak program yang berfokus pada perawatan


pasien lansia dan mengedepankan program-program sosial yang
mempromosikan pemeliharaan kehidupan yang sehat dan fungsional pada
lansia. Hal tersebut harus dibentuk pada tingkat faskes primer sampai faskes
tingkat akhir.

You might also like