You are on page 1of 17

TUGAS 3 ENTOMOLOGI

“PINJAL”

Kelas 1 A

Oleh

FITRI AYU RAMADHONNA

(161110010)

Dosen Pembimbing:

AIDIL ONASIS, S.KM. M.KES

Dr. WIJAYANTONO,SKM,M.KES

R.FIRWANDI MARZA SKM, M.KES

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG

PRODI D-III KESEHATAN LINGKUNGAN

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

TAHUN 2016/2017
A. Peran Pinjal Sebagai Vektor Penyakit
Di Indonesia saat ini ada 4 jenis pinjal yaitu: Xenopsylla cheopis, Culex iritans,
Neopsylla sondaica, dan Stivalus cognatus. Reservoir utama dari penyakit pes adalah hewan-
hewan rodent (tikus, kelinci). Kucing di Amerika juga pada bajing.
Secara alamiah penyakit pes dapat bertahan atau terpelihara pada rodent. Kuman-kuman pes
yang terdapat di dalam darah tikus sakit,dapat ditularkan ke hewan lain atau manusia, apabila
ada pinjal yang menghisap darah tikus yang mengandung kuman pes tadi, dan kuman-kuman
tersebut akan dipindahkan ke hewan tikus lain atau manusia dengan cara yang sama yaitu
melalui gigitan.
Bagan Penularan Penyakit :
1. Silvantic Rodent Flea Human
Penularan penyakit pes secara eksidental dapat terjadi pada orang-orang yang bila
digigit oleh pinja; tikus hutan yang infektif. Ini dapat terjadi pada pekerja-pekerja
dihutan,ataupun pada orang-orang yang mengadakan rekreasi/camping di hutan.
2. Silvatic Rodent Direct Contact Human
Penularan pes inidapat terjadi pada para pekerja yang berhubungan erat dengan
tikus hutan, misalnya para Biologi yang sedang mengadakan penelitian dihutan,
dimana ia terkena darah atau organ tikus yang mengandung kuman pes
3. Comersal Rodent Flea Human
Penularan pes pada orang yang terkena gigitan pinjal yang terinfeksi setelah
menngigit tikusdomestik/komersial yang mengandung kuman pes
4. Silvatic Rodent Flea Domestic Rodent Human Flea
Penularan pes dari tikus hutankomersial melalui pinjal. Pinjal yang terinfeksi
menggigit manusia
5. Human Hunal Flea Human
Penularan pes dari orang ke orang dapat pula terjadi melalui gigitan pinjal manusia
culex irritans (human flea)
6. Human droplet Human
Penularan pes dari orang yang menderita pes paru-paru kedapada orang lain
melalui percikan ludah atau pernapasan.

Penularan pes melalui gigitan pinjal akan mengakibatkan pes bubo. Pes bubo dapat
berlanjut menjadi pes paru-paru (sekunderpes). Selain pes, pinjal bisa menjadi vektor
penyakit-penyakit manusia, seperti murine typhus yang dipindahkan dari tikus ke manusia.
Disamping itu pinjal bisa berfungsi sebagai penjamu perantara untuk beberapa jenis cacing
pita anjing dan tikus, yang kadang-kadang juga bisa menginfeksi manusia.
Selain pada manusia pinjal juga dapat mempengaruhi kesehatan hewan peliharaan
seperti di bawah ini :
1. Flea Allergy Dermatitis (FAD).
Penyakit kulit alergi pinjal. Waktu seekor kutu menggigit hewan peliharaan, ia
memasukan ludah ke dalam kulit. Hewan peliharaan mendevelop reaksi alergi
terhadap ludah/saliva (FAD) yang menyebabkan rasa gatal yang amat gatal.
Tidak saja hewan peliharaan akan menggaruk atau mengigit-gigit berlebihan
di daerah ekor, selangkangan atau punggung, jendolan juga akan muncul di
sekitar leher dan punggung.
2. Cacing Pita; Dipylidium canium.
Cacing pita (tapeworm) disalurkan oleh pinjal pada tahap larva waktu makan
di lingkungan hewan peliharaan. Telur-telur tumbuh di dalam kehidupan yang
tidak aktif dalam perkembangan pinjal ini. Jika pinjal ini di ingested oleh
hewan peliharaan waktu digrooming, cacing pita dan terus menerus
berkembang menjadi cacing dewasa di usus hewan peliharaan.
3. Anemia
Terjadi pada yang muda, yang tua atau pun yang sakit jika terlalu banyak kutu
loncat yang menghisap darahnya. Gejala anemia termasuk, gusi pucat, lemas
dan lesu pada hewan peliharaan.

B. Jenis-jenis Pinjal
Pinjal dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

a) Pinjal Kucing (Ctenocephalides felis)


 Klasifikasi:
Domain : Eukaryota

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Insecta
Ordo : Siphonaptera

Family : Pulicidae

Genus : Ctenocephalides

Species : C. felis

 Ciri-ciri pinjal kucing:


 Tidak bersayap, memiliki tungkai panjang, dan koksa-koksa sangat besar.
 Tubuh gepeng di sebelah lateral dilengkapi banyak duri yang mengarah ke
belakang dan rambut keras.
 Sungut pendek dan terletak dalam lekuk-lekuk di dalam kepala.
 Bagian mulut tipe penghisap dengan 3 stilet penusuk.
 Metamorfosis sempurna (telur-larva-pupa-imago).
 Telur tidak berperekat, abdomen terdiri dari 10 ruas.
 Larva tidak bertungkai kecil, dan keputihan.
 Memiliki 2 ktinidia baik genal maupun pronatal.

 Perbedaan jantan dan betina:


1. Jantan : tubuh punya ujung posterior seperti tombak yang mengarah ke atas,
antena lebih panjang dari betina.
2. Betina : tubuh berakhir bulat, antena lebih pendek dari jantan

 Morfologi
Kutu jenis ini memiliki ciri-ciri tidak bersayap, memiliki tungkai panjang,
dan koksa-koksa sangat besar, Tubuh gepeng di sebelah lateral dilengkapi banyak
duri yang mengarah ke belakang dan rambut keras, Sungut pendek dan terletak
dalam lekuk-lekuk di dalam kepala, Bagian mulut tipe penghisap dengan 3 stilet
penusuk, Metamorfosis sempurna (telur-larva-pupa-imago), Telur tidak
berperekat, abdomen terdiri dari 10 ruas, Larva tidak bertungkai kecil, dan
keputihan, Memiliki 2 ktinidia baik genal maupun prenatal. Perbedaan antara
jantan dan betina dapat dilihat dari struktur tubuhnya, yaitu jika jantan pada ujung
posterior bentuknya seperti tombak yang mengarah ke atas dan antenna lebih
panjang, sedangkan tubuh betina berakhir bulat dan antenna nya lebih pendek dari
jantan
Kutu kucing ini berwarna coklat kemerahan sampai hitam, dengan betina
yang warna nya sedikit berbeda. Selain dari sedikit perbedaan dalam ukuran dan
warna, fitur utama lainnya membedakan antara jantan dan betina adalah adanya
kompleks, alat kelamin berbentuk bekicot pada laki-laki. Ctenocephalides felis
dibedakan dari kutu lain dengan ctenidia karakteristik, atau sisir, tetapi memiliki
ctenidium pronotal dan ctenidium genal dengan lebih dari 5 gigi. Morfologi kutu
kucing adalah mirip dengan kutu anjing, canis Ctenocephalides, tetapi kutu kucing
memiliki karakteristik dahi miring. Tibia belakang juga berbeda dari spesies loak
lainnya dalam hal ini tidak memiliki gigi apikal luar. Semua anggota ordo
Siphonaptera memiliki otot yang kuat berisi bresilin, protein sangat elastis, di kaki
mereka, yang memungkinkan kutu melompat setinggi 33 cm.Larva kutu mirip
belatung kecil dengan bulu pendek dan rahang untuk mengunyah. Kepompong
hidup terbungkus dalam kepompong sutra-puing bertaburan.

 Siklus Hidup
Telur akan menetas 2-10 hari menjadi larva yang makan darah kering (yang
dikeluarkan pinjal dewasa), feses, bahan organik lainnya. Larva juga membuat pupa
dengan menyilih 2 kali. Stadium larva berlangsung 1-24 minggu. Pupa dapat hidup
selama 1 minggu sampai 1 tahun tergantung faktor lingkungan.Pinjal ini dapat sebagai
hospes intermedier dari Dypillidium caninum, dan menyebabkan gatal dan iritasi pada
tubuh hospes (kucing).

 Habitat
Kutu kucing hidup di sarang dan tempat beristirahat dari host mereka ketika
mereka tidak makan, dan tuan rumah mereka ketika mereka makan. Mereka hidup di
hampir semua jenis habitat, selama itu hangat dan lembab cukup untuk
mempromosikan pembangunan. (Roberts dan Janovy, 2000).Hewan ini ditemukan di
daerah yang beriklim tropis, terestrial biomes, seperti padang pasir atau gundukan,
savana atau padang rumput, kaparal, hutan hujan, hutan belukar, perkotaan, pinggiran
kota, serta pertanian
b) Pinjal anjing (Ctenocephalides canis)
 Klasifikasi:
Domain : Eukaryota

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Insecta

Ordo : Siphonaptera

Family : Pulicidae

Genus : Ctenocephalides

Species : C. Canis

 Ciri-ciri :
1. Berukuran sekitar 1-2 mili meter dan terlihat tipis (gepeng).
2. Mampu bergerak cepat di antara bulu anjing.
3. Pinjal hidup dari menghisap darah induk semangnya.
4. Seekor pinjal betina harus menghisap darah agar bisa betelur dan mereka
bisa menghasilkan 50 butir telur sehari di badan anjing.
5. Telur pinjal tidak lengket sehingga mudah lepas dari badan anjing dan
menetas 2- 5 hari kemudian.
6. Seumur hidupnya, pinjal betina mampu menghasilkan 1.500 butir telur.
7. Setelah telur menetas, mereka menjadi larva dan kemudian setelah cukup
besar membuat kepompong.
8. Masa kepompong merupakan masa bertahan paling awet bagi pinjal,
bahkan pestisida pun tidak berpengaruh. Mereka sanggup menunggu
bertahun-tahun sampai waktu yang tepat untuk keluar dari kepompong.
Suhu ruangan yang hangat dan lembab mendorong mereka cepat keluar dari
kepompong dan mencari induk semang baru.
 Pinjal pada anjing bersifat mengganggu karena dapat menyebarkan
Dipylidium caninum. Mereka biasanya ditemukan di Eropa. Meskipun mereka
memakan darah anjing dan kucing, mereka kadang-kadang menggigit
manusia. Mereka dapat hidup tanpa makanan selama beberapa bulan, tetapi
spesies betina harus memakan darah terlebih dahulu sebelum menghasilkan
telur.

 Morfologi
Tidak bersayap, memiliki tungkai panjang, dan koksa-koksa sangat besar,
Tubuh gepeng di sebelah lateral dilengkapi banyak duri yang mengarah ke
belakang dan rambut keras, Sungut pendek dan terletak dalam lekuk-lekuk di
dalam kepala, Bagian mulut tipe penghisap dengan 3 stilet penusuk, Metamorfosis
sempurna (telur-larva-pupa-imago), Telur tidak berperekat, abdomen terdiri dari
10 ruas, Larva tidak bertungkai kecil, dan keputihan,. Perbedaan antara jantan dan
betina dapat dilihat dari struktur tubuhnya, yaitu jika jantan pada ujung posterior
bentuknya seperti tombak yang mengarah ke atas dan antenna lebih panjang,
sedangkan tubuh betina berakhir bulat dan antenna nya lebih pendek dari jantan.
Kutu dewasa berwarna hitam kecoklatan, tapi tampak hitam kemerahan setelah
makan darah. Kutu dewasa panjangnya 3-4mm. Memiliki baik ctenidia genal dan
pronatal, memiliki mata, pada koksa kaki ke-2 (mesopleuron) ditemukan batang
pleural (batang meral).
 Siklus Hidup
Ada empat tahap utama dari siklus hidup kutu: telur, larva, pupa dan
dewasa. Dibutuhkan sekitar 30 sampai 40 hari untuk kutu anjing dalam
mengerami telur menjadi telur yang sempurna,meskipun ada beberapa kasus yang
menunjukkan siklus ini berlangsung selama satu tahun.Kutu betina mulai bertelur
dalam waktu 2 hari makan darah pertamanya. Telur yang putih dan kecil (0.5mm)
tetapi yang terlihat dengan mata telanjang. Telur diletakkan pada rambut, bulu
atau dalam habitat hospesnya, mereka kemudian jatuh ke tempat-tempat seperti
tempat tidur, karpet atau perabot. Beberapa kutu meletakkan 3-18 telur sekaligus
di dalam tubuh anjing tersebut,hal ini berpotensi memperbanyak telur hingga 500
telur selama beberapa bulan. Telur menetas dalam 1-12 hari setelah disimpan
kemudian memproduksi larva seperti cacing yang tidak memiliki kaki dan tidak
ada mata.
Larva berwarna putih dan 1,5-5mm panjang dengan pelindung dari bulu
tipis. Mereka jarang tinggal di tubuh inang mereka, kemudian mereka segera
mencari daerah tertutup seperti tempat tidur hewan peliharaan , serat karpet dan
retakan pada lantai di mana mereka mencari makanan sementara menghindari
cahaya. Larva memakan berbagai bahan organik termasuk kulit-kulit yang
terjatuh, kotoran hewan dan kotoran dewasa (terdiri dari darah ). Larva
memungkinkan untuk mengganti kulit mereka untuk tumbuh dan berubah menjadi
kepompong sutra selama 5-15 hari. Sisa larva sebagai pre-pupa selama 3 hari
sebelum molting lagi untuk membentuk pupa.
Pupa mengembangkan dalam kokon dari lima hari sampai lima minggu.
Dalam kondisi normal, bentuk dewasa siap untuk muncul setelah kira-kira 2
minggu tetapi pada temperatur yang lebih tinggi perubahan akan lebih cepat.
Mereka kadang-kadang tetap tinggal di kokon sampai getaran atau kebisingan
dirasakan (yang mengindikasikan keberadaan manusia atau binatang) yang berarti
- karena tidak ada gerakan bentuk dewasa dapat tinggal di kokon sampai dengan 6
bulan.

Kutu dewasa, tidak bersayap, ukuran 2-8mm panjang dan lateral


dikompresi. Mereka tercakup dalam bulu dan sisir yang membantu mereka untuk
menempel pada host dan memiliki antena yang dapat mendeteksi dihembuskannya
karbon dioksida dari hewan. Antena mereka juga sensitif terhadap panas, getaran,
bayangan dan perubahan arus udara. Semua kutu bergantung pada darah untuk
nutrisi mereka tetapi mampu hidup dalam waktu yang lama tanpa makan, biasanya
sekitar 2 bulan. Dalam kondisi yang menguntungkan dan disertai dengan sumber t
makanan (darah) yang memadai, kutu dapat hidup sampai satu tahun.
 Habitat
Kutu selalu ditemukan dekat host, baik dalam kontak langsung seperti di
antara bulu atau rambut atau dalam sarang mereka.

c) Pinjal manusia (Pulex irritans)


 Klasifikasi:
Kingdom : Animali

Phylum : Arthropoda

Class : Insecta

Ordo : Siphonaptera

Family : Pulicidae

Subfamily : Pulicinae

Genus : Pulex

Species : P. Irritans

 Siklus Hidup
Metamorfosis sempurna, pinjal dewasa dapat hidup 58 hari tanpa makan
dan 234 hari bila dapat makan. Pinjal betina bertelur berukurannya kecil
berbentuk ovoid, berwarna keputihan dengan panjang 0,5 mm berjumlah 3 – 18
butir setiap hari (sejumlah 448 selama hidupnya, biasanya diletakkan dicelah
kandang atau tubuh hospes definitif (tetapi pada umumnya sebelum menetas akan
jatuh. Dari dalam telur akan keluar larva berbentuk seperti cacing bergerak aktif
untuk mencari makan berupa bahan-bahan organik atau darah yang mengering.
Larva terdiri dari 14 segmen yang ditutupi oleh bulu-bulu. Larva akan mengalami
ekdisis (menyilih) selama 3 kali dan pergantian kulit yang terakhir terjadi di dalam
kokon. Didalam kokon yang biasanya tertutup oleh partikel kotoran, terbentuk
pupa yang berwarna keputihan dan akhirnya terbentuk pinjal dewasa. Sampai
terbentuknya kokon itu diperrlukan waktu 14-21 hari, lalu menjadi dewasa. Pinjal
bisa hidup selama 1 – 2 tahun dan tahan hidup tanpa menghisap darah selama 6
minggu.

 Habitat
Pulex irritans mempunyai habitat di berbagai jenis hewan, termasuk manusia.

 Pulex irritans adalah pinjal manusia. Pinjal ini umum terdapat di California
dan kadang-kadang terdapat di kandang-kandang ayam. Pinjal tersebut dapat
menyerang banyak hewan lain termasuk babi, anjing, kucing dan tikus. Pinjal
ini membawa tifus endemic.
Pulex irritans yang makan pada inangnya bisa hidup selama 125 hari dan tanpa
makan tetapi tinggal pada lingkungan yang lembab dan dapat hidup selama
513 hari (Soviana, ).
 Spesies ini banyak menggigit spesies mamalia dan burung, termasuk yang
jinak. Ini telah ditemukan pada anjing liar, monyet di penangkaran, kucing
rumah, ayam hitam dan tikus Norwegia, tikus liar, babi, kelelawar, dan spesies
lainnya. Pinjal spesies in ini juga dapat menjadi inang antara untuk cestode,
Dipylidium caninum.

d) Pinjal Tikus
a. Pinjal tikus utara (Nosopsyllus fasciatus)
 Klasifikasi:
Domain : Eukaryota

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda
Class : Insecta

Ordo : Siphonaptera

Family : Ceratophyllidae

Genus : Nosopsyllus

Species : N. fasciatus

 Fasciatus Nosopsyllus memiliki tubuh memanjang, panjangnya 3 hingga 4 mm.


Memiliki pronotal ctenidium dengan 18-20 duri tapi tidak memiliki ctenidium
genal. Pinjal tikus utara memiliki mata dan sederet tiga setae di bawah kepala.
Kedua jenis kelamin memiliki tuberkulum menonjol di bagian depan kepala.
Tulang paha belakang memiliki 3-4 bulu pada permukaan bagian dalam.

b. Pinjal Tikus Oriental (Xenopsylla cheopis)


 Klasifikasi:
Kingsdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Insecta

Ordo : Siphonaptera

Family : Pulicidae

Genus : Xenopsylla

Species : X. Cheopis

 Morfologi
Kutu pada tikus tidak memiliki sisir genal atau pronotal. Karakteristik ini
dapat digunakan untuk membedakan kutu tikus oriental dari kutu kucing, kutu
anjing,dan kutulainnya.Tubuh kutu adalah hanya sekitar sepersepuluh dari satu inci
panjang (sekitar 2,5 mm).
Kutu memilki dua fungsi, yaitu untuk menyemprotkan air liur atau sebagian
darah dicerna ke dalam gigitan dan untuk menyedot darah dari tuan rumah. Proses ini
memancarkan secara mekanis patogen yang dapat menyebabkan penyakit kutu
mungkin. Kutu menghela napas bau karbon dioksida dari manusia dan hewan dan
melompat dengan cepat ke sumber untuk memberi makan pada host yang baru
ditemukan. kutu adalah bersayap sehingga tidak bisa terbang, tapi bisa lompat jauh
dengan bantuan kaki kuat kecil. Sebuah kaki kutu terdiri dari empat bagian. Bagian
yang paling dekat dengan tubuh adalah coxa tersebut. Berikutnya adalah femur, tibia
dan tarsus.

 Siklus Hidup
 Tahap Telur
Seekor kutu betina dapat bertelur 50 telur per hari di hewan peliharaan anda.
Telurnya tidak lengket, mereka mudah jatuh dari hewan peliharaan anda dan menetas
dalam dua atau lima hari. Seekor betina dapat bertelur sekitar 1.500 telur di dalam
hidupnya.
 Tahap Larva
Setelah menetas, larva akan menghindar dari sinar ke daerah yang gelap
sekitar rumah anda dan makan dari kotoran kutu loncat ( darah kering yang
dikeluarkan dari kutu loncat). Larva akan tumbuh, ganti kulit dua kali dan membuat
kempongpong dimana mereka tumbuh menjadi pupae.
 Tahap Pupa
Lama tahap ini rata-rata 8 sampai 9 hari. Tergantung dari kondisi cuaca,
ledakan populasi biasanya terjadi 5 sampai 6 minggu setelah cuaca mulai hangat.
Pupa tahap yang paling tahan dalam lingkungan dan dapat terus tidak aktif sampai
satu tahun. Tahap Dewasa Kutu loncat dewasa keluar dari kepompong nya waktu
mereka merasa hangat, getaran dan karbon dioksida yang menandakan ada host di
sekitarnya. Setelah mereka loncat ke host, kutu dewasa akan kawin dan memulai
siklus baru. Siklus keseluruhnya dapat dipendek secepatnya sampai 3-4 minggu.

 Habitat
Xenopsylla cheopis biasanya mendiami habitat tropis dan subtropis, meskipun
telah dilaporkan dalam zona sedang juga. Cheopis Xenopsylla jarang ditemukan di
tempat yang dingin karena membutuhkan iklim / tropis subtropis untuk menjadi
kepompong. Kutu yang lazim di kota-kota besar banyak. Spesies Rattus biasanya
ditemukan dalam sistem saluran pembuangan kota dan habitat terkait manusia adalah
host yang sangat baik untuk cheopis X.. Pelabuhan laut dan daerah tikus-penuh lainnya
juga habitat umum untuk cheopis X..
Kutu adalah parasit nidiculous, mereka tinggal di sarang tuan rumah. Pakaian,
tempat tidur dan sofa membuat rumah sempurna untuk banyak dari kutu. Kutu hanya
melampirkan menjadi tuan rumah sementara mereka sedang menghisap darah; di lain
waktu mereka bebas-hidup di sarang tuan rumah. (Brown, 1975; James dan Harwood,
1969)

 Xenopsylla cheopis adalah parasit dari hewan pengerat, terutama dari genus Rattus,
dan merupakan dasar vektor untuk penyakit pes dan murine tifus. Hal ini terjadi
ketika pinjal menggigit hewan pengerat yang terinfeksi, dan kemudian menggigit
manusia. Pinjal tikus oriental terkenal memberikan kontribusi bagi Black Death.
 Xenopsylla cheopis adalah pinjal tikus tropis. Pada tikus pinjal ini lebih umum
daripada Nosopsyllus fasciatus di Negara tropis dan banyak menyerang orang.
Pinjal ini sangat penting karena memerlukan pes (disebabkan kuman Pasteurella
pestis) dari tikus kepada manusia. Bakteri tersebut berkembang biak di dalam
proventikulus pinjal sampai dapat memenuhinya. Kemudian bila pinjal terinfeksi
bakteri ini dan pinjal menggigit korban lain, pinjal tersebut tidak dapat menghisap
darah tetapi memuntahkan bakteri ke dalam luka. Pinjal ini juga menularkan
thyphus endemic (disebabkan oleh Rickettsia typhi) dari tikus kepada manusia.
X.cheopis merupakan pinjal kosmopolitan atau synathropic murine rodent yang
mempunyai ciri-ciri pedikel panjang, bulu antepidigidal panjang dan kaku.
Receptakel seminalis besar dan berkitin dengan sudut ekor meruncing. Xenopsylla
cheopis yang makan pada inangnya bisa hidup selama 38 hari dan tanpa makan
tetapi tinggal pada lingkungan yang lembab dan dapat hidup selama 100 hari
(Soviana, ).
A. Cara Pengendalian Pinjal
a) Pencegahan
Langkah-langkah di bawah ini dapat dilakukan untuk mencegah keberadaan pinjal
yaitu:

1. Menyedot menggunakan vaccum

Seringlah menyedot di daerah dimana saja hewan peliharaan kunjungi,


khususnya di mobil jika sering berpergian, daerah berkarpet, dan perabotan
yang sering dikunjungi oleh hewan peliharaan supaya semua kutu termasuk
telur, dan pupa nya dibersihkan sebanyak mungkin.

2. Pencucian

Cucilah tempat tidur hewan peliharaan, kasur, selimut dan barang lainnya
dengan air panas jika memungkinkan.

3. Penyemprotan Lingkungan

Ada beberapa macam spray/semprotan yang tersedia yang bertujuan


membunuh kutu loncat di lingkungan sekitarnya.

b) Pengobatan

Pengobatan dilakukan dengan obat anti kutu. Obat anti kutu hanya membunuh
pinjal dewasa, pemberian obat anti kutu perlu disesuaikan agar siklus hidup pinjal
bisa kita hentikan. Pemberian obat perlu diulang agar pinjal dewasa yang
berkembang dari telur dapat segera dibasmi sebelum menghasilkan telur lagi.
c) Pengendalian
Untuk mencegah penyebaran penyebaran penyakit yang disebabkan oleh pinjal
maka perlu dilakukan tindakan pengendalian terhadap arthopoda tersebut. Upaya
yang dapat dilakukan, antara lain melalui penggunaan insektisida, dalm hal ini
DDT, Diazinon 2% dan Malathion 5% penggunan repllent (misalnya, diethyl
toluamide dan benzyl benzoate) dan pengendalian terhadap hewan pengerat
(rodent).

Selain itu, dapat juga dengan cara:

 Mekanik atau Fisik

Pengendalian pinjal secara mekanik atau fisik dilakukan dengan cara


membersihkan karpet, alas kandang, daerah di dalam rumah yang biasa
disinggahi tikus atau hewan lain dengan menggunakan vaccum cleaner
berkekuatan penuh, yang bertujuan untuk membersihkan telur, larva dan pupa
pinjal yang ada. Sedangkan tindakan fisik dilakukan dengan menjaga sanitasi
kandang dan lingkungan sekitar hewan piaraan, member nutrisi yang bergizi
tinggi untuk meningkatkan daya tahan hewan juga perlindungan dari kontak
hewan peliharaan dengan hewan liar atau tidak terawat lain di sekitarnya.

 Kimia

Pengendalian pinjal secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan


insektisida. Repelen seperti dietil toluamide (deet) atau benzilbenzoat bisa
melindungi orang dari gigitan pinjal. Sejauh ini resistensi terhadap insektisida
dari golongan organoklor, organofosfor, karbamat, piretrin, piretroid pada
pinjal telah dilaporkan di berbagai belahan dunia. Namun demikian insektisida
masih tetap menjadi alat utama dalam pengendalian pinjal, bahkan saat ini
terdapat kecenderungan meningkatnya penggunaan Insect Growth Regulator
(IGR).
Secara umum untuk mengatasi pinjal, formulasi serbuk (dust) dapat
diaplikasikan pada lantai rumah dan tempat jalan lari tikus. Insektisida ini
dapat juga ditaburkan dalam lubang persembunyian tikus. Diberbagai tempat
Xenopsylla cheopis dan Pulex irritans telah resisten terhadap DDT, HCH dan
dieldrin. Bila demikian, insektisida organofosfor dan karbamat seperti
diazinon 2 %, fention 2%, malation 2%, fenitrotion 2%, iodofenfos 5%, atau
karbaril 3-5% dapat digunakan.Insektisida fogs atau aerosol yang mengandung
malation 2% atau fenklorfos 2% kadang-kadang juga digunakan untuk
fumigasi rumah yang mengandung pinjal. Insektisida smoke bombs yang
mengandung permetrin atau tirimifos metal dapat juga digunakan untuk
desinfeksi rumah.

Pengendalian pinjal di dalam ruangan terutama ditujukan terhadap pinjal


dewasa, baik pada inang maupun diluar inang. Keefektifan insektisida pada
pinjal dewasa ternyata bervariasi tergantung jenis permukaan tempat aplikasi.
Pada permukaan kain tenun dan karpet, insektisida organofosfat paling efektif,
selanjutnya berturut-turut karbamat > pirethrin sinergis > pirethtroid.
Penurunan pinjal dewasa dapat mencapai 98% selama 60 hari pada aplikasi
semprot campuran 0,25% propetamfos dan 0,5% diazinon microencapsulated.
Upaya pengendalian pinjal di daerah urban pada saat meluasnya kejadian pes
atau murinethyphus, diperlukan insektisida dan aplikasi yang terencana dengan
baik agar operasi berjalan dengan memuaskan. Pada saat yang sama ketika
insektisida diaplikasikan, rodentisida seperti antikoagulan, warfarin dan
fumarin dapat digunakan untuk membunuh populasi tikus. Namun demikian,
bila digunakan redentisida yang bekerja cepat dan dosis tunggal seperti zink
fosfid, sodium fluoroasetat, atau striknin atau insektisida modern seperti
bromadiolon dan klorofasinon, maka hal ini harus diaplikasikan beberapa hari
setelah aplikasi insektisida. Jika tidak dilakukan maka tikus akan mati tetapi
pinjal tetap hidup dan akan menggigit mamalia termasuk orang dan ini akan
menongkatkan transmisi penyakit.

Sementara itu, berbagai formulasi insektisida untuk mengendalikan pinjal


dewasa pada hewan piaraan telah banyak dipasarkan mulai dari shampoo,
spray, bahan dipping (berendam), sabun foam untuk mandi, serbuk bedak,
hinggga yang bekerja sistemik seperti spoton untuk aplikasi diteteskan/ tuang
langsung ke tubuh hewan inang, collar (kerah/kalung anti pinjal), dan oral
berupa tablet oral. Akan tetapi, pemilihan jenis dan formulasi insektisida harus
memperhatikan jenis dan unur hewan inang, tingkat investasi C. felis yang
terjadi, potensi reinfeksi, perlakuan pengendalian pinjal di lingkungan sekitar
hewan juga tingkat resistensi populasi pinjal di sekitar.

Dengan semakin tingginya kesadaran untuk meminimalkan penggunaan


insektisida kimia, perhatian pengendalian terutama ditujukan dengan memutus
siklus hidup pinjal. Penggunaan bahan pengatur perkembangan serangga
(IGR) memunculkan paradigm baru dalam pengendalian pinjal. Paradigm ini
berfokus pada pengendalian stadium pra dewasa pinjal dengan aplikasi IGR,
baik pada inang maupun lingkungan. Efek kerja IGR dapat berupa
penghambatan pembentukan kitin (benzoylphenyl ureachitin siynthesis
inhibitors), seperti alsistin, siromazine, diflubenzuron dan lufenuron, atau
berupa peniru hormone juvenile (mimic insect juvenile hormone), seperti
piriproksifen, fenoksikrb dan metophrene. Kedua jenis IGR tersebut
diaplikasikan baik secara kontak maupun sebagai racun perut larva.

Kemampuan beberapa jenis IGR ternyata juga berbeda-beda tergantung pada


tahap pra dewasa maupun umur setiap stadium. Metophrene sangat efektif
terhadap telur pinjal berumur muda, sebaliknya tidak terhadap telur berumur
24-42 jam pada konsentrasi yang sama. Piriproksipen dan metophrene
memiliki efek ovisidal terhadap pinjal dewasa yang kontak dengan hewan
yang telah diaplikasikan kedua bahan ini, karena kedua bahan tersebut
membunuh tahapan embrio pinjal dalam perut. Hewan yang dimandikan
dengan 26 mg metophrene dapat mencegah menetasnya telur pinjal hingga 34
hari. Saai ini telah banyak beredar produk IGR di pasaran baik dalam bentuk
shampo, spray maupun collar bahkan oral, yang berupa tablet yang
diminumkan pada hewan piara yang bekerja secara sistemik pada darah. Tablet
yang mengandung fenuron diberikan sekali sebulan dengan dosis 30 mg/kg
berat badan. Maka pinjal betina yang menghisap darah dari kucing akan
menghasilkan telur-telur steril selama 2 minggu.

d) Pengelolaan lingkungan

Mengendalikan populasi tikus di daerah pedesaan dan perkotaan melalui


sanitasi lingkungan, pengelolaan sampah yang baik, dan memperbaiki sanitasi
lingkungan yang rusak yang dapat dijadikan sebagai sarang tikus.

You might also like