Professional Documents
Culture Documents
1
ventilasi dan penerangan yang cukup memadai baik lampu ataupun sinar matahari. Pasien
mengaku ada tetangga yang menderita batuk-batuk seperti pasien dan sedang menjalani
pengobatan selama 6 bulan.
Daftar Pustaka :
1. De Jong, Wim. 2004. Apendisitis 1. Mansjoer, A. 2000. Kapita selekta kedokteran. Edisi II.
Jakarta : Media Aesculapius FKUI.
2. Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.Jakarta : EGC.
3. The Indonesian Asosiation of Pulmonologist. Hasil Konferensi Kerja VIII, Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. Jakarta 28-29 November 1998
4. Direktorat Jendral PPM, dan PLP, Departemen Kesehatan; Gerakan Terpadu Nasional
Penanggulangan TB. Jakarta, Mei 1999
5. Brawnwald. HIV : HARRISON”S Principle of Internal Medicine. 15th edition. Volume2.
Page 1852-1913. 2001. USA. The McGraw-Hill Companies
Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis TB paru BTA (+) dengan efusi pleura.
2. Regimen terapi TB
1. Subjektif :
Pasien mengeluhkan sesak sejak 4 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien juga
mengeluhkan batuk yang dirasa sudah selama + 1 bulan, demam (+), keringat malam
tidak ada, penurunan berat badan (+) selama sebulan terakhir, dari 54 kg menjadi 42 kg,
riwayat kontak (+) dengan tetangga. Sebelumnya pasien belum pernah menjalani
pengobatan TB. Hanya obat batuk dan demam saja, namun keluhan yang dirasakan tidak
berkurang. Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan seperti pasien.
2. Objektif :
Status Generalis
Keadaan Umum : sakit sedang
2
Kesadaran : Compos mentis, E4 V5 M6
Antoprometri : BB : 42 kg, TB : 159 cm
Tanda-tanda Vital :
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 149 x/menit, reguler, equal, isi cukup
Frekuensi Napas : 52 x/menit
Temperatur : 39,1oC
SpO2 : 92%
Kepala/leher
Umum
Ekspresi : sakit sedang
Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Cyanosis (-), Dyspneu (+), Pupil isokor
diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+), pernafasan cuping hidung (+).
Thorax
Umum
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dada simetris
Retraksi otot pernapasan (+)
Pulmo : I = bentuk dada simetris, gerak napas simetris, retraksi ICS (+), P = fremitus raba
Dextra > Sinistra
suara napas vesikuler, rhonki (+/+), wheezing (-/-)
Cor : I = Ictus cordis tidak terlihat
P = Ictus cordis teraba
P = kanan : ICS III parasternal line dextra
Kiri : ICS VI 2 jari lateral midclavicula line S
A = S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
domen
Abdomen :
I = Flat, sikatriks (-)
P = Nyeri tekan (+) pada region epigastrium, organomegali (-)
P = Timpani, shifting dullness (-)
A = Bising usus (+) normal
3
Laboratorium:
Hb : 10 gr/dl
Leukosit : 8.200/mm3
Trombosit : 277.000/mm3
Hematokrit : 37%
LED : 98 mm/jam
GDS : 121 mg/dl
OT/PT : 28/ 14
Sputum BTA S/P/S : +/+/+
4
diminum, tidak sebanyak dibandingkan dengan pemberian OAT dalam tablet yang terpisah.
Mual muntah yang terjadi pada pasien merupakan efek samping yang terjadi akibat
penggunaan obat TB yang diminum pasien selama ini. Efek samping yang muncul kemungkinan
merupakan efek dari INH dan pirazynamid yang dapat menimbulkan gangguan pada GI tract dan
hepar. Tetapi pada pasien ini belum ditemukan adanya tanda-tanda gangguan fungsi hati.
4. Plan :
DIAGNOSIS KERJA
- TB Paru BTA (+)
- Efusi Pleura Sinistra
TERAPI
- O2 3 lpm nasal canul
- IVFD RL/D5 20 tpm
- Inj. Ranitidin 2 x 1 gr iv
- Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr iv
- Combivent 2 x 1 amp
- OAT FDC 1 X 3 tab
- Paracetamol 3 x 1 tab prn, Ambroxol 3 x 1 tab, Salbutamol 3 x 2 mg
RENCANA PENGOBATAN
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif
(awal) pasien mendapat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif ini diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Jenis-jenis tablet FDC dikelompokkan menjadi 2, yaitu: FDC untuk dewasa dan FDC untuk
anak-anak. Tablet FDC untuk dewasa terdiri tablet 4FDC dan 2FDC. Tablet 4FDC mengandung 4
macam obat yaitu: 75 mg Isoniasid (INH), 150 mg Rifampisin, 400 mg Pirazinamid, dan 275 mg
Etambutol. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk
5
sisipan. Tablet 2 FDC mengandung 2 macam obat yaitu: 150 mg Isoniasid (INH) dan 150 mg
Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dalam tahap
lanjutan. Baik tablet 4FDC maupun tablet 2FDC pemberiannya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Untuk melengkapi paduan obat kategori II tersedia obat lain yaitu: tablet etambutol @400
mg dan streptomisin injeksi (vial @750 mg).
Dosis dan aturan pakai FDC disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk pasien TB
dewasa yang masuk dalam kategori I dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Edukasi:
Pencegahan terhadap penyakit TB dapat dilakukan dengan hidup sehat dengan makan
makanan bergizi dan teratur, istirahat yang cukup, olah raga teratur, hindari rokok, minuman
beralkohol, hindari stress. Kemudian untuk mencegah terjadinya penularan TB, maka para pasien
TB diharapkan menutup mulut saat batuk dan tidak meludah di sembarang tempat. Usaha
pencegahan lainnya yaitu dengan melakukan imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin) yang akan
memberikan kekebalan aktif pada penyakit TB. Selain itu menjaga daya tahan tubuh juga penting
dalam mengantisipasi penyakit TB. Dengan daya tahan tubuh yang kuat maka tidak mudah untuk
terserang infeksi oportunistik (TB).
Selain itu pasien TB juga diharuskan memiliki PMO (Pengawas Minum Obat) sehingga
dapat menjamin kepatuhan pasien dalam minum OAT. Pada pasien ini PMOnya adalah istri pasien
itu sendiri. Setiap pasien TB harus memiliki kartu pengobatan dan kartu identitas pasien. Kedua
kartu tersebut diperoleh saat pasien berobat di unit pelayanan kesehatan. Adapun fungsi kedua kartu
tersebut yaitu sebagai laporan terhadap hasil pengobatan pasien sehingga jalannya pengobatan dapat
terkontrol dengan baik.
6
KONSULTASI:
Konsultasi pada spesialis penyakit dalam diperlukan jika terdapat efek samping dari pengobatan TB
yang dilakukan dan terjadinya multi resisten terhadap obat.