You are on page 1of 229

1

TUGAS KELOMPOK MODUL ETIK


Modul ini di kerjakan untuk memenuhi Tugas Kelompok

DI SUSUN OLEH :
1 Rahma sintya susilowati 17 Tintawuriningtyas
2 Suryatur Rofi’ah 18 Mas’ad Rahakbauw
3 Erva Deviana 19 Kharisma safira alfiah
4 Arum sari dwi pramesti 20 Monica Cahyono
5. Shillatud Diniah 21 Lindarti Marsiyah
6 Anggi purwantika 22 Inten Pratiwi
7 Dorotul Fanny Hidayah 23 Shelly Caludia mahaputri
8 Meilia purnama putri 24 Elles Dwita Ratih
9 Eka Isma 25 Isfina
10 Hildasari 26 Annisa lailatul hamzah
11 Desi Trihartanti 27 nungki
12 Herni 28 Eka suryani
13 Sicilia liaswati simanjutak 29 Erik farisdiana
14 Hendri yuwandini 30 Mariatul M
15 Lindya putri kartika dewi 31 Syafrina
16 Nunung anggraini

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI TERAPAN KEBIDANAN KEDIRI
TAHUN 2018
2

KEGIATAN BELAJAR 1

ETIKOLEGAL DALAM PRAKTIK


KEBIDANAN

Tujuan pembelajaran umum


Setelah mempelajari buku ajar ini, diharapkan pembaca dapat menjelaskan dan
memahami tentang etikolegal dalam pelayanan kebidanan
Tujuan pembelajaran khusus
1. Mampu menjelaskan tentang etik
2. Mampu menjelaskan tentang etiket
3. Mampu menjelaskan tentang moral
4. Mampu menjelaskan tentang hukum
Pokok-pokok materi dan Uraian Materi
1.1 Etika
a. Pengertian Etika
“Etika” dalam profesi kebidanan dapat dimenegrti sebagai filsafat normal.
istilah “etika” berasal dari bahasa yunani kuno. kata yunani ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai arti kebiasaan-kebiasaan tingkah laku manusia; adat;
akhlak; watak;perasaan; sikap;dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak ta etha
mempunyai arti adat kebiasaan . menurut filsuf yunani aristoteles, istilah etika
sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. sehingga berdasarkan asal
usul kata, maka etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan.
Etika berasal dari bahasa inggris ethics, artinya pengertian, ukuran tingkah
laku atau perilaku manusia yang baik, yakni tindakan yang tepat yang harus
dilaksanakan oleh manusia sesuai dengan moral pada umumnya. Etika berasal
dari bahasa latin mos atau mores (jamak), artinya moral, yang berarti juga adat,
kebiasaan, sehingga makna moral dan etika adalah sama, hanya bahasa asalnya
berbeda. menurut kamus umum bahasa indonesia , etika artinya ilmu
pengetahuan tentang azas-azas akhlak (moral).
Bertens merumuskan arti kata etika sebagai berikut:
a. Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu sekelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, arti ini bisa dirumuskan sebagai sistem nilai. Sistem nilai
bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
b. Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. yang dimaksud disini adalah
kode etik.
c. Etika mempunyai arti ilmu tentang apa yang baik atau buruk.
3

b. Faktor-faktor yang melandasi etika adalah meliputi hal-hal tersebut


dibawah ini:
a. Nilai-nilai atau value
b. Norma
c. Sosial budaya, dibangun oleh kontruksi sosial dapat dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
d. Religius
a) Agama mempunyai hubungan erat dengan normal
b) Agama merupakan motivasi terkuat perilaku moral atau etik
c) Agama merupakan salah satu sumber nilai dan norma etis yang paling
penting
d) Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi pegangan bagi
perilaku para anggotanya
e. Kebijakan atau policy maker, siapa stake holdersnya dan bagaimana
kebijakan yang dibuat sangat berpengaruh atau mewarnai etika maupun
kode etik. Etika juga diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang
moralitas atau tentang manusia yang berkaitan dengan moralitas. Etika
merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral.
c. Terdapat tiga pembagian mengenai etika, yaitu sebagai berikut:
a. Etika deskripstif
Melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan,
anggapan-anggapan tentang baik buruk, tindakan-tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, etika deskriptif tidak memberi
penilaian tetapi menggambarkan moralitas pada individu-individu tertentu,
kebudayaan atau subkultur tertentu dalam kurun waktu tertentu.
b. Etika normatif
Pada etika normatif terjadi penilaian tentang perilaku manusia. Penilaian ini
terbentuk atas dasar norma. Etika normatif bersifat prespektif
(memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan benar atau
tidaknya tingkah laku. Etika normatif menampilkan argumentasi atau alasan
atas dasar norma dan prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional dan dapat diterapkan dalam praktik.
c. Metaetika
“meta” berasal dari bahasa yunani yang berarti melebihi atau melampui.
metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. pada
metaetika mempersoalkan bahasa normatif apakah dapat diturunkan
menjadi ucapan kenyataan. metaetika mengarahkan pada arti khusus dari
bahasa etika.
4

1.2 ETIKET
Etiket berasal dari bahasa inggris etiquette. etika berarti moral, sedangkan etiket
berarti sopan santun. persamaan etika dengan etiket yakni:
A. Sama- sama menyangkut perilaku manusia
B. Memberi norma bagi perilaku manusia, yakni menyatakan tentang apa yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan
untuk meningkatkan pemahaman kita tentang etika dan etiket, maka berikut
ini digambarkan mengenai perbedaan antara etiket dengan etika :
No Etiket Etika
1. Menyangkut cara Tidak terbatas pada cara
sesuatu perbuatan yang dilakukannya suatu
harus dilakukan perbuatan, memberi nilai
tentang perbuatan itu
sendiri
2. Hanya berlaku dalam Selalu berlaku, tidak
pergaulan, bila tidak tergantung hadir atau
ada orang lain tidak tidaknya seseorang
berlaku
3. Bersifat relative, tidak Bersifat absolut , contoh : “
sopan dalam satu jangan mencuri,” jangan
kebudayaan, sopan berbohong”
dalam kebudayaan lain
4. Memandang manusia Memandang manusia dari
dari segi lahiriyah segi bathiniah

1.3 Moral
Moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang berarti juga :
kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain termasuk bahasa
Indonesia (pertama kali dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,1988), kata
mores masih dipakai dalam arti yang sama.
Moral adalah nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Moral juga berarti mengenai apa
yang dianggap baik atau buruk dimasyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu
sesuai perkembangan atau perubahan norma atau nilai. Perbuatan seseorang tidak
bermoral artinya kita menganggap bahwa perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai
dan norma-norma etis yang berlaku di masyarakat, artinya orang tersebut
berpegang pada nilai dan norma yang tidak.
Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia.
Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia yang dilihat dari segi kebaikannya
5

sebagai manusia. Norma moral adalah tolak ukur untuk menentukkan benar
salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai
manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Norma moral adalah
tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang, oleh
sebab itu dengan norma moral kita benar-benar dinilai. Dengan norma moral, kita
dilihat sebagai manusia seutuhnya.
1.4 Hukum
Hukum berhubungan erat dengan moral. Hukum membutuhkan moral. Hukum
tidak mempunyai arti kalu tidak dijiwai oleh moralitas. Sebaliknya moral juga
berhubungan erat dengan hukum. Jika kita berbicara tentang hukum, pada
umumnya yang dimaksud adalah keseluruhan kumpulan peraturan atau kaedah
dalam suatu kehidupan bersama. Yang berarti, hukum merupakan keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku dalam suatu kehisupan bersama, yang dapat
dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
Hukum mengatur hubungan hukum. Hubungan hukum terdiri dari ikatan-ikatan
antara individu dan masyarakat dan antara individu itu sendiri. Ikatan –katan itu
tercemin pada hak dan kewajiban. Dalam usahanya mengatur, hukum
menyesuaikan kepentingan perorangan dengan kepentingan masyarakat dengan
sebaik-baiknya: berusaha mencari keseimbangan antara memberi kebebasan kepada
individu dan melindungi masyarakat terhadap kebebasan individu. Mengingat
bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu yang menyebabkan terjadinya
interaksi, akan selalu terjadi konflik atau ketegangan antara kepentingan atau
konflik ini sebaik-baiknya.
Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat
umum dan normatif. Umum berarti berlaku bagi setiap orang, dan normative berarti
menentukan apa yang yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan
atau harus dilakukan, serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan
kepatuhan kepada kaedah-kaedah.
Dalam fungsinnya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum
mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun
tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam
masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai
tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antarperorangan
didalam masyarakat, membagi wewenang, mengatur cara memecahkan masalah
hukum serta memelihara kepastian hukum.
Dengan mempelajari materi diatas kita dapat membedakan antara hukum dan
moral.
1. Hukum lebih dikodifikasi daripada moralitas, artinya dituliskan dan disusun
secara lebih sistematis didalam kitab undang-undang sehingga norma yuridis
mempunyai kepastian lebih besar dan bersifat lebih objektif.
6

2. Baik hukum maupun moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum
membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut
juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan
dengan moralitas, sanksi hukum sebagaian besar dapat dipaksakan, tetapi sanksi
norma-norma etis/moral tidak dapat di paksakan.
4. Hukum didasarkan pada kehendak masyarakat dan akhirnya kehendak Negara
( tidak secara langsung berasal dari Negara), sedangkan moralitas di dasarkan
pada norma-norma yang melebihi kekuasaan individu dan masyarakat. Dengan
cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah/
membatalkan suatu norma moral
Masyarakat betapapun sederhananya, selalu memerlukan penataan dan pengaturan
perilaku di dalam masyarakat yang kepatuhan dari penegakannya tidak dapat
sepenuhnya diserahkan kepada kemauan bebas masing-masing. Karena itu,
didalam masyarakat dengan sendirinya timbul sistem pengendalian sosial (social
Contol) terhadap para masyarakatnya yang dalam perkembangnya, sistem
pengendalian sosial ini telah mengalami perubahan dan memunculkan apa yang
sekarang di sebut dengan sistem hukum, yang kepatuhan dan penegakannya tidak
dapat sepenuhnya diserahakan kepada kemauan bebas masing-masing warga
masyarakat melainkan dapat dipaksakan secara terorganisasi oleh masyarakat
sebagai keseluruhan yaitu oleh masyarakat hukum yang terorganisasi secara
politikal berbentuk badan hukum publik yang disebut negara.
RANGKUMAN
“Etika” dalam profesi kebidanan dapat dimenegrti sebagai filsafat normal.
istilah “etika” berasal dari bahasa yunani kuno. kata yunani ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai arti kebiasaan-kebiasaan tingkah laku manusia; adat; akhlak;
watak;perasaan; sikap;dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak ta etha mempunyai
arti adat kebiasaan . menurut filsuf yunani aristoteles, istilah etika sudah dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. sehingga berdasarkan asal usul kata, maka etika
berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Persamaan etika dan etiket yakni Sama- sama menyangkut perilaku manusia dan
memberi norma bagi perilaku manusia, yakni menyatakan tentang apa yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang
etika dan etiket, maka berikut ini digambarkan mengenai perbedaan antara etiket
dengan etika. Sedangkan Moral adalah nilai-nilai dan norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Moral juga berarti mengenai apa yang dianggap baik atau buruk dimasyarakat
dalam suatu kurun waktu tertentu sesuai perkembangan atau perubahan norma atau
nilai. Perbuatan seseorang tidak bermoral artinya kita menganggap bahwa
perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku di
masyarakat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai dan norma yang tidak
7

sedangkan hukum Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi
yang bersifat umum dan normatif. Umum berarti berlaku bagi setiap orang, dan
normative berarti menentukan apa yang yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak
boleh dilakukan atau harus dilakukan, serta menentukan bagaimana caranya
melaksanakan kepatuhan kepada kaedah-kaedah. diantara 4 kategori tersebut saling
berkaitan satu sama lain.

SOAL-SOAL
1. Etika berasal dari bahasa yunani kuno yakni “ethos” yang berarti ....
a. Kebiasaan- kebiasaan tingkah laku manusia
b. Adat-istiadat
c. Tata krama
d. Ukuran tingkah laku
e. Perilaku manusia ynag baik
Jawaban : A
2. arti etika menurut bertens ialah:
a. Etika berarti nilai
b. Etika berarti norma
c. Etika mempunyai arti ilmu tentang apa yang baik atau buruk.
d. Etika berarti religius
e. Etika berarti sosial budaya
Jawaban c
3. Etika yang hanya memberikan gambaran tentang moralitas pada individu-individu
tertentu, kebudayaan atau subkultur tertentu dalam kurun waktu tertentu ialah
a. etika normatif
b. etika deskriptif
c. metaetika
d. etika asosiatif
e. etiket
Jawaban B
4. Berikut ini yang merupakan kesamaan dari etika dan etiket ialah
a. Memberi norma bagi perilaku manusia, yakni menyatakan tentang apa yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan
b. Menyangkut cara sesuatu perbuatan yang harus dilakukan
c. Hanya berlaku dalam pergaulan, bila tidak ada orang lain tidak berlaku
d. Bersifat relative, tidak sopan dalam satu kebudayaan, sopan dalam
kebudayaan lain
e. Memandang manusia dari segi bathiniah
Jawaban A
5. Berikut ini yang merupakan ciri dari etika ialah
a. Tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan, memberi nilai tentang
perbuatan itu sendiri
b. Hanya berlaku dalam pergaulan, bila tidak ada orang lain tidak berlaku
8

c. Bersifat relative, tidak sopan dalam satu kebudayaan, sopan dalam kebudayaan
lain
d. Memandang manusia dari segi lahiriyah
e. Memberi norma bagi perilaku manusia, yakni menyatakan tentang apa yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan

Jawaban A
6. Berasal dari bahasa apakah moral yang berarti kebiasaan, adat?

a. Yunani
b. Latin
c. Inggris
d. Belanda
e. Prancis

Jawaban B
7. Tolak ukur untuk menentukkan benar salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat
dari segi baik-buruknya sebagai manusia disebut ?
a. Etika
b. Etiket
c. Nilai
d. Norma
e. Hukum
Jawaban D

8. Tujuan pokok dari hukum adalah


a. Memberikan kebebasan pada masyarakat
b. Memaksa masyrakat
c. Menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan
keseimbangan.
d. Membatasi diri pada tingkah laku dan juga sikap batin seseorang.
e. Mengatur kepentingan perorangan
Jawaban C
9. Suatu sistem yang terbentuk untuk menata dan mengatur perilaku didalam
masyarakat yang terorganisasi secara politikal berbentuk badan hukum publik yang
di sebut negara adalah?
a. Etika
b. Etiket
c. Nilai
d. Norma
e. Hukum
Jawaban E
10 Perbedaan moral dan hukum dalam hal sanksi dimasyarakat adalah
9

a. Sanksi hukum sebagaian besar dapat dipaksakan, tetapi sanksi norma-norma


etis/moral tidak dapat di paksakan
b. Hukum didasarkan pada kehendak masyarakat dan akhirnya kehendak Negara
( tidak secara langsung berasal dari Negara), sedangkan moralitas di dasarkan
pada norma-norma yang melebihi kekuasaan individu dan masyarakat
c. Hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral
menyangkut juga sikap batin seseorang.
d. Hukum lebih dikodifikasi daripada moralitas, artinya dituliskan dan disusun
secara lebih sistematis didalam kitab undang-undang sehingga norma yuridis
mempunyai kepastian lebih besar dan bersifat lebih objektif.
e. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat
umum dan normatif.
Jawaban A
10

KEGIATAN BELAJAR 2

DASAR-DASAR ILMU HUKUM

Tujuan Pembelajaran Umum


Memahami prinsip etika dan moralitas dalam pelayananan kebidanan
Tujuan Pembelajaran Khusus
Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip etika dan moralitas dalam pelayananan kebidanan
Pokok-Pokok Materi dan uraian Materi
a. Fungsi Etika dalam Pelayanan Kebidanan
Memberi arah bagi perilaku manusia tentan apa yang baik dan buruk, apa yang
benar atau salah, hak dan kewajiban moral (akhlak), apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan.
b. Kode Etik Kebidanan
1. Tujuan secara umum merumuskan kode etik adalah untuk kepentingan
anggota dan organisasi, meliputi :
a) Menjunjung tinggi martabat dan citra profesi
b) Menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota
c) Meningkatkan pengabdian para anggota profesi
d) Meningkatkan mutu profesi
2. Dimensi kode etik meliputi :
a) Anggota profesi dan klien
b) Anggota profesi dan sistem
c) Anggota profesi dan profesi lain
d) Semua anggota profesi
3. Prinsip kode etik
a) Menghargai otonomi
b) Melakukan tindakan yang dapat merugikan
c) Memperlakukan manusia secara adil
d) Menjelaskan dengan benar
e) Menepati janji yang telah disepakati
f) Menjaga kerahasiaan
4. Kode Etik Profesi Bidan
Kode etik profesi bidan hanya ditetapkan oleh organisasi profesi, Ikatan
Bidan Indonesia (IBI). Kode etik profesi bidan akan mempunyai pengaruh
dalam menegakkan disiplin di kalangan profesi bidan.
Kode etik bidan Indonesia pertama kali disusun tahun 1986 dan disyahkan
dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia (IBI) X tahun 1988, dan
petunjuk pelaksanaannya disyahkan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas)
IBI tahun 1991. Kode etik bidan Indonesia terdiri atas 7 bab, yang
dibedakan atas tujuh bagian: 10
11

a) Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir)


b) Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir)
c) Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2
butir)
d) Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir)
e) Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (2 butir)
f) Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa bangsa dan tanah air (2
butir)
g) Penutup (1 butir)
Menurut Standar Profesi Bidan tahun 2007, terdapat beberapa
perubahan kata dan penambahan 1 butir pada bagian 5, yaitu kewajiban
terhadap diri sendiri (dari 2 butir menjadi 3 butir)
c. Kode Etik Bidan Indonesia
Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/
SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan, didalamnya terdapat kode etik
bidan Indonesia. Deskripsi kode etik bidan Indonesia adalah suatu cirri profesi
yang bersumber dari nilai-nilai internal dan eksternal suatu disiplin ilmu dan
merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntutan
bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi. Berikut ini merupakan
kode etik Bidan Indonesia.
MUKADIMAH
Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan didorong oleh keinginan yang luhur
demi tercapainya :
1) Masyarakat Indonesia yang adil dan makmurr berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
2) Pembangunan manusa Indonesia seutuhnya
3) Tingkat kesehatan yang optimal bagi setiap warga Negara Indonesia
Sesuai dengan wewenang dan peraturan kebijaksanaan yang berlaku bagi
bidan, kode eti ini merupakan pedoman dalam tata cara dan keselarasan
dalam pelaksanaan pelayanan professional.

Bagian II
KEWAJIBAN TERHADAP KLIEN DAN MASYARAKAT
12

1. Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan


sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya
2. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya profesinya menjunjung tinggi
harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan
3. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada
peran, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga
dan masyarakat
4. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien,
menghormati hak klien dan menghormati nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat
5. Setiap bidan dalam menjalankan tugas senantiasa mendahulukan
kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang sama
sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya
6. Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan
pelaksanaan tugasnya, dengan mendorong pasrtisipasi masyarakat untuk
meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal

Bagian II
KEWAJIBAN TERHADAP TUGASNYA
1. Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada klien,
keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang
dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat
2. Setiap bidan berkewajiban memberikan pertolongan sesuai dengan
kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk keputusan mengadakan
konsultasi dan atau rujukan
3. Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat dan atau
dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau
diperlukan sehubungan dengan kepentingan klien
13

Bagian III
KEWAJIBAN BIDAN TERHADAP SEJAWAT DAN TENAGA
KESEHATAN LAINNYA
1. Setiap bidan harus menjalin hubungan yang baik dengan teman sejawatnya
untuk menciptakan suasana kerja yang serasi
2. Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati baik
terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.

Bagian IV
KEWAJIBAN BIDAN TERHADAP PROFESINYA
1. Setiap bidan wajib menjaga nama baik dan menjunjung tinggi cirri
Kprofesinya dengan menampila
an kepribadian yang tinggi dan memberikan pelayanan yang bermutu
kepada masyarajkat
2. Setiap bidan wajib senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan
kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
3. Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan
kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya

Bagian V
KEWAJIBAN BIDAN TERHADAP DIRI SENDIRI
1. Setiap bidan wajib memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan
tugas profesinya dengan baik.
2. Setiap bidan wajib meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
3. Seiap bidan wajib memelihara kepribadian dan penampilan diri

Bagian VI
KEWAJIBAN BIDAN TERHADAP PEMERINTAH NUSA, BANGSA
DAN TANAH AIR
1. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan
ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidan kesehatan khususnya
pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga
2. Setiap bidan melalui profeinya berpartisipasi dan menyumbangkan
pemikirannya kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu jangkauan
pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga

BAB VII
14

PENUTUP
Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari senantiasa menghayati
dan mengamalkan Kode Etik Bidan Indonesia

Test Formatif
1. Dimensi kode etik meliputi
a. Anggota profesi dan klien
b. Anggota profesi dan sistem
c. Anggota profesi dan profesi lain
d. Semua anggota profesi
e. Semua benar
2. Prinsip kode eik
a. Menghargai otonomi
b. Melakukan tindakan yang meragukan
c. Melakuakan manusia secara adil
d. Menjaga kerahasiaan
e. Semua benar
3. Tujuan merumuskan kode etik adalah
a. Meningkatkan mutu profesi
b. Meningktkan pengabdian para anggota profesi
c. Menjaga kesejahteraan para anggota
d. Menjujung tinggi martabat dan citra profesi
e. Semua benar
4. Menjujung tinggi martabat dan citra merupakan kode etik kebidaan
a. Tujuan kode etik
b. Dimensi kode etik
c. Prinsip kode etik
d. Kode etik profesi bidan
e. Semua benar
5. Menjaga kerahasian merupakan kode etik kebidaan
a. Tujuan kode etik
b. Dimensi kode etik
c. Prinsip kode etik
d. Kode etik profesi bidan
e. Semua benar
6. Meningkatkan mutu profesi merupakan kode etik kebidaan
a. Tujuan kode etik
b. Dimensi kode etik
c. Prinsip kode etik
d. Kode etik profesi bidan
e. Semua benar
7. Melakuakan manusia secara adil merupakan kode etik kebidaan
a. Tujuan kode etik
b. Dimensi kode etik
c. Prinsip kode etik
d. Kode etik profesi bidan
15

e. Semua benar
8. Menjaga kesejahteraan para anggota
a. Tujuan kode etik
b. Dimensi kode etik
c. Prinsip kode etik
d. Kode eteik profesi bidan
e. Semua benar
9. Meningkatkan mutu profesi
a. Tujuan kode etik
b. Dimendsi kode etik
c. Prinsip Kode etik
d. Kode etik profesi bidan
e. Semua benar
10. Melakuakan manusia secara adil
a. Tujuan kode etik
b. Dimensi kode etik
c. Prinsip kode etik
d. Kode etik profesi bidan
e. Semua benar
16

KEGIATAN BELAJAR 3

ETIKOLEGAL DALAM PRAKTIK


KEBIDANAN

Tujuan pembelajaran umum :


Mampu menjelaskan etika moral dan kode etik profesi kebidanan
Tujuan pembelajaran khusus
Mahasiswa mampu memahami prinsip etika dan moralitas dalam pelayanan kebidanan
Pokok materi dan uraian materi :
3.1 Pengertian-Pengertian Dasar
Etika berasal dan bahasa Yunani Kuno. Yang berasal dañ kata “Ethos”
dalam bentuk tunggal rnempunyai arti kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku manusia,
adat akhlak, watak, perasaan. sikap dan cara berpikir. Arti terakhir inilah yang
menurut Aristoteles menjadi latar belakang usul kata-kata ini, Etika” berarti ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaaan.
Faktor—faktor yang melandasi etika (sumber etika) adalah meliputi
hal-hal
tersebut di bawah ini:
1.Nilal-nilal atau value.
2.Norma.
3.Sosial budaya, dibangun oleh kontruksi sosial dan dipengaruhi oleh
perkernbangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4.Religius
a. Agama mempunyai hubungan erat dengan moral.
b. Agama merupakan motivasi terkuat perilaku moral atau etik.
c. Agama merupakan salah satu sumber fluai etis yang paling penting.
d. Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para
anggotanya.
Kebijakan atau policy maker, siapa stake hokiersnya dan bagaimana
kebijakan yang dibuat sangat berpengaruh atau mewarnai etika maupun kode etik.
16
Terdapat tiga pembagian mengenai etika, yaitu sebagai berikut:
17

1. Etika Deskriptif
Etika deskriftit melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat
kebiasaan, anggapan—anggapan tentang baik buruk, tindakan—tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriftif tidak memberi penilaian tetapi
menggarnbarkan rnoralitas pada individu—individu tertentu, kebudayaan atau
subkultur tertentu dalam kurun waktu tertentu.
2. Etika Normatif
Pada norma etika normatif terjadi penilaian tentang penlaku manusia. Penilaian ini
terbentuk atas dasar norma. Etika normatif bersifat preskriptif (memerintahkan), tidak
melukiskan melainkan menentukan benar atau tidaknya tingkah laku. Etika normatif
menampilkan argumentasi atau alasan atas dasar norma dan prinsip etis
3.2 Metaetika
“Meta” berasal dan bahasa Yunani yang berarti melebihi atau melarnpaui.
Metaetika mempelajari logika khusus dañ ucapan—ucapan etis. Pada metaetika
mempersoalkan bahasa normatif apakah dapat diturunkan menjadi ucapan kenyataan,
Metaetika rnengarahkan pada arti khusus dan bahasa etika. Moral adalah kata yang sangat
dekat dengan etika, yang berasal dan bahasa Latin mos (amak; mores) yang berarti juga
kebiasaan, adat. Dalam bahasa lnggns dan banyak bahasa lain. termasuk bahasa
Indonesia, kata mores masih digunakan dalam anti yang sarna. Jadi etimologi kata “etika”
sama dengan etimologi kata “moral”, karena kecluanya berasal dan kata yang berarti aciat
kebiasaan, hanya
bahasa asalnya berbeda (etika berasal dan bahasa yunani. sedangkan moral dan bahasa
Latin). Moral juga bisa diartikan nilai—nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Moral juga berarti apa
yang dianggap baik atau buruk di masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu sesuai
perkernbangan norma atau nilai.
Etiket berasal dan bahasa lnggris Etiquette. Etika berarti moral. Sedangkan etiket
berarti sopan santun. Persamaan etika dengan etiket antara lain sebagai berikut:
a. Sama-sama menyangkut perilaku manusia
b. Memberi norma bagi perilaku manusia, yaitu menyatakan tentang apa yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
18

Kode etik adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap profesi didalam
hidupnya di masyarakat. Kode etik juga diartikan sebagai suatu ciri profesi yang bersumber
dan nilai-nilai internal dan eksternal suatu disiplin ilmu dan merupakan pengetahuan
komprehensif suatu profesi yang rnemberikan tuntunan bagi anggota dalarn melaksanakan
pengabdian profesinya. Hukum berhubungan erat dengan moral. Hukum membutuhkan
moral. Hukum tidak mempunyai arti, kalau tidak dijiwai oleh morahtas. Sebaliknya moral
juga berhubungan dengan hukum. Moral hanya sebatas hal yang abstrak saja tanpa adanya
hukum. Contohnya mongambil barang yang bukan milik kita atau dengan kata lain
mencuri adalah moral yang tidak baik, supaya prinsip etis ini berakar di masyarakat maka
harus diatur dengan hokum

3.3 Sistematika Etika


A. Etika Umum:
1.Hati nurani
Hati nurani akan memberikan penghayatan tentang baik atau buruk berhubungan
dengan tingkah laku nyata kita. Hati nurani memerintahkan atau melarang kita untuk
melakukan sesuatu sekarang dan disini. Ketika kita tidak mengikuti hati nurani berarti
kita rnenghancurkan integritas kepribadian kita dan mengkhianati martabat terdalam
kita. Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai
kesadaran. Berikut contoh yang sesuai dengan pengalama bidan dalam tugasnya.
Seorang bidan menjalankan praktik pelayanan kebidanan di Klinik atau Rumah
Bersalin, kemudian ada seorang remaja datang diantar kekasihnya. Kemudian diperoleh
data hash anamnese bahwa rernaja tersebut hamil diluar nikah atau unwanted
pregnancy. kemudian atas permintaan kekasih rernaja ini diminta untuk menggugurkan
janin yang sedang dikandung pacarnya. Dengan menawarkan sejumlah besar uang yang
menggiurkan bila si Bidan bersedia menggugurkan kandungan pacarnya. Bidan tersebut
pada dasarnya menyadari bahwa perbuatan tersebut melanggar kode etik profesi bidan
dan aspek legal dalam pelayanan kebidanan. Tapi bidan tersebut tergiur oleh uang yang
begitu besar, Bidan tersebut akhirnya memutuskan untuk menggugurkan kandungan si
remaja tersebut, mendapat uang yang banyak, namun dalam batinnya merasa gelisah. la
19

merasa rnalu pada dirinya sendiri, batinnya tidak tenang. Kisah tersebut diatas
merupakan contoh yang dapat menjadi bahan retleksi perenungan rnengenai seperti apa
hati nurani itu. Dalam hati nurani ada suatu kesadaran bahwa ada yang turut mengetahui
tentang perbuatan-perbuatan kita. Hati nurani merupakan semacam sanksi terhadap
perbuatan moralkita. Hati nurani merupakan penilaian terhadap perbuatan yang telah
berlangsung di masa lampau (retrospektif). Hati nurani juga bisa merupakan penilaian
perbuatan yang sedang dilaksanakan saat ini atau penilaian terhadap perbuatan kita di
masa yang akan datang (prospektif).
2.Kebebasan dan tanggung jawab
Terdapat hubungan timbal balik antara kebebasan dan tanggung jawab, sehingga
pengertian manusia bebas dengan sendirinya menerima juga bahwa manusia itu
bertanggung jawab. Tidak rnungkin kebebasan tanpa tanggung jawab dan tidak
mungkin tanggung jawab tanpa kebebasan. Adapun batas-batas kebebasan meliputi:
a. Faktor internal
b. Lingkungan
c. Kebebasan orang lain
d. Generasi penerus yang akan datang.
Tanggung jawab dalam arti sempit berarti bahwa seseorang harus
mampumrnenjawab, tidak boleh rnengelak bila dimintai penjelasan tentang
perbuatannya. Tanggung jawab rneliputi tanggung jawab terhadap perbuatan yang
sedang dilaksanakan dan tanggung jawab terhadap perbuatan yang akan datang.
3.Nilai dan Norma
Nilai merupakan sesuatu yang baik. sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari. sesuatu
yang rnenyenangkan, sesuatu yang disukai, sesuatu yang diinginkan. Menurut filsuf
Jerman Hanh Jonas nilai adalah the address of a yes, sesuatu yang ditujukan dengan ya
kita. Sesuatu yang kita iyakan Nilai mempunyai konotasi yang positif. Nilai
mempunyai 3 ciri:
a. Berkaitan dengan subyek.
b. Tampil dalam suatu nilai yang praktis karena subyek ingin membuat sesuatu.
20

c. Nilai menyangkut pada sifat yang ditambah oleh subyek pada sifat yang dimiliki
objek.

4.Hak dan Kawajiban


Hak barkaitan dengan manusia yang bebas, terlepas dari segala ikatan dengan hukum
objektif. Hak merupaikan pangakuan yang dibuat oleh orang atau sekelompok orang
tarhadap orang atau sekelompok orang lain. Ada beberapa macam hak, antara lain
sebagai berikut:
a. Hak legal
b.Hak moral
c. Hak individu
d.Hak sosial
e. Hak positif
f. Hak negatif
Hak Legal marupakan hak yang didasarkan atas hukum. Hak Moral adalah
didasarkan pada prinsip atau atis. Satiap kawajiban seseorang berkaitan dangan hak
orang lain dan setiap hak seseorang barkaitan dangan kawajiban oraang lain. Manurut
John Stuart Mill bahwa kawajiban maliputi kawajiban sempurna dan kawajiban tidak
sempurna. kewajiban senpurna artinya kawajiban didasarkan atas keadilan, selalu tarkait
dengan hak orang lain. Sedangkan kawajiban tidak sampurna tidak tarikat dengan hati
orang lain tatapi bisa didasarkan atas kamurahan hati atau niat barbuat baik.
5. Amoral dan Immoral
Menurut Oxford Dictionary kata amoral dijelaskan sebagai unconcerned with, out of
spere of moral, non moral, di luar etis, non moral. berarti tidak berhubungan dengan
konteks moral, diluar etis, non moral. Sedangkan immoral berarti opposed to morality,
morally evil yang berarti bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral
buruk, tidak etis.
6.Moral dan Agama
Agama mempunyai hubungan erat dengan moral. Dasar terpenting dan tingkah laku
moral adalah agarna. Agarna mengatur bagaimana cara kita hidup. Setiap agama
21

mengandung aaran moral yang menjadi pegangan bagi setiap penganutnya. Dalam
agama kesalahan moral adalah dosa, tetapi dan sudut tilsafat moral. kesalahan moral
adalah pelanggaran prinsip etis, Bagi penganut agama. Tuhan adalah jaminan
berlakunya tatanan moral.
B. Etika Profesi
Merupakan etika khusus yang dikhususkan pada profesi tertentu, misalnya Etika
Kedokteran, Etika Rumah Sakit, Etika Kebidanan, Etika Keperawatan, dan lain lain.
Kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota
profesi yang bersangkutan di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk bagi
anggota profesi tentang bagaimana mereka harus menjalankan profesinya, dan larangan-
larangan, termasuk ketentuan- ketentuan apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat atau
dilaksanakan oleh anggota profesi, tidak hanya dalam
menjalankan tugas prolesinya, melainkan berkaitan juga dengan tingkah Iakunya secara
umum dalam pergaulan sehari-hari di rnasyarakat. Guna etika adalah memberi arah bagi
perilaku manusia tentang apa yang baik atau buruk, apa yang benar atau salah. hak dan
kewajiban moral (akhlak). apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.Secara umum
tujuan rnerumuskan kode etik adalah untuk kepentingan anggota dan organisasi, meliputi:
a. Menjunjung tinggi martabat dan citra protesi.
b. Menjaga dan mernelihara kesejahteraan para anggota
c. Meningkatkan perìgabdian para anggota profesi
d. Meningkatkan mutu profesi.
e. Prinsip kode etik terdiri dan
f. Menghargai otonomi
g. Melakukan tindakan yang benar
h. Mencegah tindakan yang dapat merugikan
i. Memperlakukan manusia secara adil
j. Menjelaskan dengan benar
k. Menepati janji yang telah disepakati
l. Menjaga kerahasiaan
22

Standar pelayanan juga sangat penting untuk menentukan apakah seseorang telah
melanggar kewajibannya dalam men jalankan tugasnya.

3.4 Kode Etik Kebidanan


Perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang sernakin maju telah
membawa manfaat yang besar untuk terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang
optimal. Perkembangan ini juga diikuti dengan perkembangan hukum di bidang
kesehatan, sehingga secara bersamaan, petugas kesehatan menghadapi masalah hukum
terkait dengan aktivitas, perilaku, sikap, dan kemampuannya menjalankan profesi
kesehatan. Kode etik profesi penting diterapkan, karena sernakin meningkatnya tuntutan
terhadap pelayanan kesehatan dan pengetahuan serta kesadaran hukum tentang prinsip
dan fluai moral yang terkandung dalam pelayanan profesional. Kode etik profesi
mengandung karakteristik khusus suatu profesi. Hal ini berarti bahwa standar profesi
harus dipertahankan dan mencerminkan kepercayaan serta tanggung jawab yang
diterima oleh profesi dalam kontrak hubungan professional antara tenaga kesehatan dan
masyarakat.
1. Definisi Kode Etik Bidan
Kode etik kebidanan merupakan suatu pernyataan komprehensif professional
yang menuntut bidan melaksanakan praktik kehidanan baik yang herhuhungan dengan
kesejahteraan keluarga, masyarakat teman sejawat, profesi dan dirinya sendiri.
(Yanti&Fko.N, 2010). Kode etik profesi bidan hanya ditetapkan oleh organisasi
profesi, Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Penetapan kode etik IBI harus dilakukan dalam
kongres IBI. Kode etik profesi bidan akan mempunyai pengaruh dalam menegakkan
disiplin di kalangan profesi bidan.
Kode etik bidan Indonesia pertama kali disusun tahun 1986 dan di sahkan
dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia (IBI) X tahun 1988, dan petunjuk
pelaksanaannya disahkan aalam Rpat KerJa Nasional (Rakernas) 151 tahun 1991,
Kode etik bidan Indonesia terdiri atas 7 bab, yang dibedakan atas tujuh bagian:
a. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir)
b. Kewajiban bidan terhadap Iugasnya (3 butir).
23

c. Kewapban b.dan terhadap seawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir).


d. Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir).
e. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (2 butir).
f. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa bangsa dan tanah air (2 butir).
g. Penutup (1 butir).
Menurut Standar Profesi Bidan 2007, terdapat beberapa perubahan kata dan
penambahan I butir pada bagian 5. yaitu kewajiban bidan terhadap diri sendiri (dan 2
butin menjadi 3 butir).
2. Kode Etik Bidan Indonesia
Sesuai Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
369JMenkesISK/III/2007 Tentang Standar Provesi Bidan. didalamnya terdapat Kode
Etik Bidan Indonesia. Deskripsi Kode Etik Bidan Indonesia adalah merupakan suatu
profesi yang bersumber dari nilai-nilai internal dan eksternal suatu disiplin Imu dan
merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntutan bagi
anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi.

Tes Formatif
1. Faktor—faktor yang melandasi etika (sumber etika) adalah meliputi hal-hal
tersebut di bawah ini, kecuali :
a. Nilal-nilal atau value.
b. Norma.
c. kebiasaan
d. Sosial budaya
e. Religius
2. Berikut ini kode etik bidan indonesia yang sesuai Keputusan Mentri Kesehatan Republik
Indonesia adalah?
a. Nomor 369JMenkesISK/III/2008
b. Nomor 369JMenkesISK/III/2007
c. Nomor 369JMenkesISK/IV/2007
d. Nomor 369JMenkesISK/IV/2006
e. Nomor 369JMenkesISK/II/2007
3. Kode etik bidan Indonesia pertama kali disusun tahun?
24

a. 1986
b. 1987
c. 1988
d. 2002
e. 2003
4. Kode etik bidan Indonesia terdiri atas 7 bab, yang dibedakan atas tujuh bagian,
Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat terdiri dari berapa butir?
a. 6 butir
b. 3 butir
c. 2 butir
d. 1 butir
e. 5 butir
5. Kebidanan merupakan suatu pernyataan komprehensif professional yang menuntut bidan
melaksanakan praktik kehidanan baik yang herhuhungan dengan kesejahteraan keluarga,
masyarakat teman sejawat, profesi dan dirinya sendiri. Merupakan pengertian dari?
a. Kode etik bidan
b. Kode etik profesi
c. Moral
d. Etika
e. Etiket
25

KEGIATAN BELAJAR 4

PELAYANAN KEBIDANAN DARI


ILMU HUKUM

Tujuan Pembelajaran Umum


Memahami dasar hukum dan aspek legal dalam pelayanan kebidanan
Tujuan Pembelajaran Khusus
Mahasiswa mampu menjelaskan pelayanan kebidanan ditinjau dari ilmu hukum
Pokok-pokok Materi dan Uraian materi
Pelayanan kebidanan dari ilmu hukum
4.1 Aspek Legal Dan Issue Etik Dalam Pelayanan Tik Dalam Pelayanan Kebidanan
Seorang bidan harus mengenali beberapa konflik dan isu yang berkembang di
masyarakat serta mulai memberdayakan klien dalam pengambilan keputusan terkait
pelayanan yang akan mereka terima. Selain itu, bidan harus dapat menerapkan aspek legal
dalam pelayanan kebidanan melalui persetujuan klien atau keluarga atas tindakan yang akan
mereka terima.
1. Aspek Legal Dalam Pelayanan Kebidanan
Latar Belakang Sistem Legislasi Tenaga Bidan Bidan merupakan profesi yang
berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia, memiliki pertanggung jawaban dan
tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan yang dilakukannya, sehingga semua
tindakan yang dilakukan oleh bidan harus berbasis kompetensi dan didasari suatu
evidence based. Accountability diperkuat dengan satu landasan hukum yang mengatur
batas-batas wewenang profesi yang bersangkutan.
Beberapa dasar dalam otonomi dan aspek legal yang mendasari dan terkait dengan
pelayanan kebidanan antara lain sebagai berikut:
a. Permenkes No. 1464/MENKES/ X/2010 Tentang Registrasi dan Praktik Bidan
b. PP No 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
c. Kepmenkes Republik Indonesia 25
1144/Menkes/Per/VIII/2010 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kemenkes
26

d. UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan


e. Kepmenkes Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/ 2007 Tentang
Standar Profesi Bidan
f. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
g. UU Tentang Aborsi, Adopsi, Bayi Tabung, dan Transplantasi
h. KUHAP, dan KUHP, 1981
i. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 585/Menkes/Per/IX/
1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medi.
j. UU yang terkait dengan Hak Reproduksi dan Keluarga Berencana
k. UU No. 10/1992 Tentang Pengembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera
l. UU No. 23/2003 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di
Dalam Rumah Tangga
m. Undang-Undang Tentang Otonomi daerah
2. Legislasi, Registrasi, Lisensi
a. Legislasi
1) Legislasi adalah proses pembuatan undang-undang atau penyempurnaan
perangkat hukum yang sudah ada melalui serangkaian kegiatan sertifikasi
(pengaturan kompetensi), registrasi (pengaturan kewenangan), dan lisensi
(pengaturan penyelenggaraan kewenangan).
2) Tujuan Legislasi Tujuan legislasi adalah memberikan perlindungan kepada
masyarakat terhadap pelayanan yang telah diberikan. Bentuk perlindungan
tersebut adalah meliputi :
 Mempertahankan kualitas pelayanan
 Memberi kewenangan
 Menjamin perlindungan hukum
b. Meningkatkan profesionalisme STR (Surat Tanda Registrasi) adalah bukti
Legislasi yang dikeluarkan oleh Majlis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) atas
nama Kementrian Kesehatan menyatakan bahwa bidan berhak menjalankan
pekerjaan kebidanan.
27

c. Registrasi
1) Pengertian
Menurut Permenkes No 1464/Menkes/X/2010, registrasi adalah proses
pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan terhadap bidan, setelah
dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar penampilan
minimal yang ditetapkan, sehingga secara fisik dan mental mampu
melaksanakan praktik profesinya.
2) Tujuan Registrasi
 Meningkatkan kemampuan tenaga profesi dalam mengadopsi kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat.
 Meningkatkan mekanisme yang obyektif dan komprehensif dalam
penyelesaian kasus mal praktik.
 Mendata jumlah dan kategori melakukan praktik
3) Syarat Registrasi
 Fotokopi ijasah bidan
 Fotokopi transkrip nilai akademik
 Surat keterangan sehat dari dokter
 Pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak2 (dua) lembar.
 ertifikat Uji kompetensi.
d. Lisensi
1) Pengertian
Lisensi adalah proses administrasi yang dilakukan oleh pemerintah atau
yang berwenang berupa surat ijin praktik yang diberikan kepada tenaga
profesi yang telah teregistrasi untuk pelayanan mandiri.
2) Tujuan
 Tujuan umum lisensi adalah melindungi masyarakat dan pelayanan
profesi.
 Tujuan khusus lisensi adalah memberikan kejelasan batas wewenang.
Menetapkan sarana dan prasarana. Aplikasi Lisensi dalam praktik
28

kebidanan adalah dalam bentuk SlPB (Surat Ijin Praktik Bidan).


Menurut Permenkes No. 1464/ MENKES/X/2010 SIPB berlaku
sepanjang STR belum habis masa berlakunya dan dapat diperbaharui
kembali.
3. Issue Etik dalam Pelayanan Kebidanan
a. Pengertian Issue Etik dan Dilema
 Isu adalah masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau suatu
lingkungan yang belum tentu benar, serta membutuhkan pembuktian.
 Issue etik dalam pelayanan kebidanan merupakan topik yang penting yang
berkembang di masyarakat tentang nilai manusia dalam menghargai suatu
tindakan yang berhubungan dengan segala aspek kebidanan yang
menyangkut baik dan buruknya.
 Issue moral adalah topik yang penting berhubungan dengan benar dan
salah dalam kehidupan sehari – hari.
 Dilema yaitu suatu keadaan dimana dihadapkan pada dua alternatif
pilihan, yang kelihatannya sama atau hampir sama dan membutuhkan
pemecahan masalah. Dilema muncul karena terbentur pada konflik moral,
pertentangan batin, atau pertentangan antara nilai-nilai yang diyakini
bidan dengan kenyataan yang ada.
4.2 Pengambilan Keputusan Dalam Pelayanan Kebidanan Kebidanan
Seorang bidan sebagai provider kesehatan harus kompeten dalam menyikapi dan
mengambil keputusan yang tepat untuk bahan tindakan selanjutnya sesuai standar asuhan
dan kewenangan bidan.
1. Pengambilan Keputusan Engambilan Keputusan Engambilan Keputusan
a. Pengertian Pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku tertentu
dari dua atau lebih alternatif yang ada (George R. Terry).
1) Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yaitu :
 Fisik : rasa yang dirasakan oleh tubuh
 Emosional : perasaan / sikap
 Rasional : pengetahuan
29

 Praktik : keterampilan dan kemampuan individu


 Interpersonal : jaringan sosial dan hubungan antar individu
 Struktural : lingkup sosial, ekonomi dan politik
 Posisi atau kedudukan
 Masalah yang dihadapi
 Situasi dan kondisi
 Tujuan
2) Hal Pokok dalam Pengambilan Keputusan
 Intuisi : berdasarkan perasaan, lebih subjektif dan mudah terpengaruh
 Pengalaman : pengetahuan praktis, seringnya terpapar suatu kasus
meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan
 Fakta : keputusan lebih riil, valid dan baik
 Wewenang : lebih bersifat rutinitas
 Rasional : keputusan bersifa objektif, transparan dan konsisten
3) Ciri keputusan yang etis yaitu :
 Mempunyai pertimbangan tentang apa yang benar dan apa yang salah
 Sering menyangkut pilihan yang sukar
 Tidak mungkin dielakkan
 Dipengaruhi oleh norma, situasi, iman dan tabiat serta lingkungan sosial
4) Teori-Teori Pengambilan Keputusan
a) Utilitarisme
 Mengutamakan adanya konsekuensi kepercayaan adannya kegunaan
semua manusia memiliki perasaan senang dan sakit.
 Bentuk utilitarisme ada 2, yaitu: Berdasarkan tindakan, bahwa setiap
tindakan ditujukan untuk keuntungan Berdasarkan aturan, bahwa
setiap tindakan didasarkan pada prinsip kegunaan dan aturan moral
b) Deontologi
 Menurut Immanuel Kant : sesuatu dikatakan baik apabila semua
potensi digunakan di jalan yang baik oleh kehendak manusia 2
30

 Menurut W.D. Ross : setiap manusia punya intuisi akan kewajiban dan
semua kewajiban berlaku langsung pada diri kita
c) Hedonisme
 Menurut Aristippos, sesuai kodratnya, manusia mencari kesenangan
dan menghindari ketidaksenangan. Hal terbaik adalah menggunakan
kesenangan dengan baik dan tidak terbawa oleh kesenangan.
 Menurut Epikuros, menilai bukan hanya kesenangan (hedone)
inderawi tetapi juga kebebasan rasa sakit dan keresahan jiwa
d) Eudemonisme Menurut Aristoteles, dalam setiap kegiatan manusia
mengejar suatu tujuan ingin mencapai sesuatu yang baik. Semua orang
akan setuju bahwa tujuan hidup akhir manusia adalah kebahagiaan
(eudemonia). Keutamaan dalam mencapai kebahagiaan melalui keutamaan
intelektual dan moral
e) Bentuk pengambilan kebijakan dalam kebidanan
 Strategi pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh kebijakan
organisasi/pimpinan, fungsi pelayanan dan lain-lain
 Cara kerja pengambilan keputusan dengan proses pengambilan
keputusan yang dipengaruhi pelayanan kebidanan klinik dan
komunitas, strategi pengambilan keputusan dan alternatif yang
tersedia
 Pengambilan keputusan individu dan profesi yang dipengaruhi standar
praktik kebidanan, peningkatan kualitas kebidanan.
 Kerangka pengambilan keputusan dalam asuhan kebidanan :
 Bidan harus mepunyai responsibility dan accountability
 Bidan harus menghargai wanita sebagai individu dan melayani
dengan rasa hormat
 Pusat perhatian pelayanan bidan adalah safety and wellbeing
mother
 Bidan berusaha menyokong pemahaman ibu tentang kesejahteraan
dan menyatakan pilihannya pada pengalaman situasi yang aman
31

 Sumber proses pengambilan keputusan dalam kebidanan adalah


knowledge, ajaran intrinsik, kemampuan berfikir kritis,
kemampuan membuat keputusan klinis yang logis
f) Dimensi Etik dan Peran Bidan
Dilihat dari sejarah kebidanan, dulu bidan tidak memiliki peran dalam
mengambil keputusan karena :
 Sistem pelayanan kesehatan yang bersifat paternalistik dokter yang
paling ahli
 Keengganan bidan : pengambilan keputusan mengandung risiko dan
tanggung jawab Keterlibatan bidan dalam pengambilan keputusan
sangat penting karena :
 Menunjang pelayanan antara bidan dan klien
 Meningkatkan sensitivitas pada klien
 Women centered care (berfokus pada ibu) dan total care
(asuhan secara total) Peran bidan secara menyeluruh meliputi
beberapa aspek : praktisi, penasehat, konselor, teman, pendidik
dan peneliti atau garis besarnya adalah pelaksana, pengelola,
pendidik dan peneliti dalam pelayanan kebidanan.
2. Informed Choice Dan Informed Consent
a. Informed Choice
Pengertian Informed choice Informed choice yaitu membuat pilihan setelah
mendapat penjelasan dalam pelayanan kebidanan tentang alternatif asuhan yang
akan dialaminya. Peran Bidan dalam Informed Choice tidak hanya membuat
asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak
wanita untuk memilih asuhan danekeinginannya terpenuhi. Sebagai seorang bidan
dalam memberikan Informed Choice kepada klien harus:
1) Memperlakukan klien dengan baik.
2) Berinteraksi dengan nyaman
3) Memberikan informasi obyektif, mudah dimengerti dan diingat serta tidak
berlebihan.
32

4) Membantu klien mengenali kebutuhannya dan membuat pilihan yang sesuai


dengan kondisinya.
5) Mendorong wanita memilih asuhannya. Selain itu, beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam proses Informed Choice :
 Bidan harus terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
 Bidan wajib memberikan informasi secara rinci, jujur dan dimengerti
klien
 Bidan harus belajar untuk membantu klien melatih diri dalam
menggunakan haknya dan menerima tanggung jawab untuk keputusan
yang mereka ambil
 Asuhan berpusat pada klien.
 Tidak perlu takut pada konflik tetapi menganggapnya sebagai suatu
kesempatan untuk saling memberi dan mungkin suatu penilaian ulang
yang objektif, bermitra dengan klien dan suatu tekanan positif terhadap
perubahan
Prinsip Informed Choice Hal yang harus diingat dalam Informed Choice :
1) Informed Choice bukan sekedar mengetahui berbagai pilihan namun mengerti
manfaat dan risiko dari pilihan yang ditawarkan
2) Informed Choice tidak sama dengan membujuk / memaksa klien mengambil
keputusan yang menurut orang lain baik (“....biasanya saya / rumah sakit.....”)
Contoh Informed Choice Dalam Pelayanan Kebidanan Beberapa jenis
pelayanan kebidanan yang dapat dipilih oleh klien :
 Pemeriksaan laboratorium dan screening antenatal
 Tempat melahirkan dan kelas perawatan
 Masuk kamar bersalin pada tahap awal persalinan
 Pendamping waktu melahirkan
 Percepatan persalinan / augmentasi
 Diet selama proses persalinan
 Mobilisasi selama proses persalinan
33

 Pemakaian obat penghilang sakit


 Posisi ketika melahirkan
 Episiotomi
b. Informed Consent
Pengertian Informed Consent Ada beberapa pengertian Informed Consent yaitu :
1) Secara etimologis : informed (sudah diberikan informasi) dan consent
(persetujuan atau izin)
2) Persetujuan dari pasien atau keluarganya terhadap tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap dirinya atau keluarganya setelah mendapat penjelasan
yang kuat dari dokter / tenaga medis
3) Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “Informed Consent” dirumuskan
sebagai “suatu kesepakatan / persetujuan pasien atas upaya medis yang akan
dilakukan dokterterhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai
informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.
Dasar Hukum Dasar hukum proses informed consent :
1) PP No. 32/1998 tentang Nakes
2) Permenkes Ri No. 159b/Menkes/SK/Per/II/1998 tentang RS
3) Permenkes RI No. 749A/Menkes/ Per/IX/1989 tentang Rekam Medis /
Medical Report
4) Permenkes RI No. 585/Menkes/ Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan
Medis 5) Kepmenkes I No. 466/Menkes/ SK dan Standar Pelayanan Medis di
RS
5) Fatwa Pengurus IDI No. 319/ PB/A.4/88 tanggal 22 Februari 1988 tentang
Informed Consent Aspek hukum persetujuan tindakan medis :
 Pasal 1320 KUH Perdata syarat sahnya persetujuan
 KUH Pidana pasal 351 3) UU No. 36 Th 2009 tentang Kesehatan
 UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat 1-6
Bentuk Informed consent Informed consent terdiri dari 2 bentuk yaitu :
34

1) Implied consent yaitu persetujuan yang dianggap telah diberikan walaupun


tanpa pernyataan resmi yaitu pada keadaan darurat yang mengancam jiwa
pasien, tindakan penyelamatan kehidupan tidak memerlukan persetujuan
tindakan medik
2) Expressed consent yaitu persetujuan tindakan medik yang diberikan secara
explisit baik secara lisan maupun tertulise
Fungsi informed consent yaitu :
1) Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2) Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3) Membantu kelancaran tindakan medis sehingga diharapkan dapat
mempercepat proses pemulihan
4) Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
(rangsangan pada profesi medis untuk instrospeksi / evaluasi diri) sehingga
dapat mengurangi efek samping pelayanan yang diberikan
5) Menghindari penipuan oleh dokter
6) Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
7) Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
8) Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan (keterlibatan masyarakat)
9) Meningkatkan mutu pelayananhat
Tujuan Informed Consent
Tujuan Informed Consent yaitu untuk melindungi pasien dan tenaga kesehatan
dalam memberikan tindakan medik baik tindakan pembedahan, invasif, tindakan
lain yang mengandung risiko tinggi maupun tindakan medik / pemeriksaan yang
bukan pembedahan, tidak invasif, tidak mengandung risiko tinggi, pasien tidak
sadar, dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien. Dimensi
Informed Consent Dimensi dalam informed consent yaitu :
1) Dimensi hukum, merupakan perlindungan baik untuk pasien maupun bidan
yang berperilaku memaksakan kehendak, memuat keterbukaan informasi
35

antara bidan dengan pasien, informasi yang diberikan harus dimengerti


pasien, memberi kesempatan pasien untuk memperoleh yang terbaik
2) Dimensi Etik, mengandung nilai – nilai sebagai berikut menghargai
kemandirian / otonomi pasien, tidak melakukan intervensi melainkan
membantu pasien bila diminta atau dibutuhkan sesuai dengan informasi yang
diberikan, bidan menggali keinginan pasien baik secara subyektif atau hasil
pemikiran rasional
Pembuatan dan Penggunaan Informed Consent Hal yang harus diperhatikan dalam
pembuatan Informed consent :
1) Tidak harus selalu tertulis
2) Tindakan bedah (invatif) sebaiknya dibuat tertulis
3) Fungsi informed consent tertulis untuk lebih memudahkan pembuktian bila
kelak ada tuntutan
4) Informed consent tidak berarti sama sekali bebas dari tuntutan bila dokter
melakukan kelalaian Menurut Culver and Gert ada 4 (empat) komponen yang
harus dipahami pada suatu consent atau persetujuan :
 Sukarela (Voluntariness)
 Informasi (Information)
 Kompetensi (Competence)
 Keputusan (decision)
4.3 Aspek Hukum Praktik Kebidanan
Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal yang penting
dan dituntut dari suatu profesi, terutama profesi yang berhubungan dengan keselamatan
jiwa manusia, adalah pertanggung jawaban dan tanggung gugat (accountability) atas
semua tindakan yang dilakukannya, sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh bidan
harus berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence based.
Accountability diperkuat dengan satu landasan hukum yang mengatur batas-batas
wewenang profesi yang bersangkutan.
1. Hukum Kesehatan
a. Pengenalan hukum
36

Ilmu hukum adalah kumpulan pengetahuan tentang hukum yang telah


dibuat sistematikanya. Kumpulan peraturan hukum disebut sebagai hukum.
Pengertian lain hukum adalah himpunan peraturan yang bersifat memaksa, berisi
perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, guna
mengatur tata tertib masyarakat. Hukum diperlukan untuk mewujudkan keadilan.
Keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Hukum bertujuan untuk memberikan pengayoman bagi manusia.
Hukum juga bertujuan untuk mewujudkan apa yang berguna atau
berfaedah bagi orang, yakni mewujudkan kebahagiaan sebanyak – banyaknya.
Indonesia adalah negara hukum. Suatu negara hukum mempunyai ciri sebagai
berikut :
1) Ada super of law
2) Ada landasan hukum untuk setiapkegiatan negara
3) Ada jaminan hak asasi
4) Ada proses peradilan yang bebas.
Peranan hukum yaitu memperlancar dan mendukung
1) Sosial kontrol
2) Sosial inter action
3) Sosial Enginering
Sumber hukum formal adalah :
1) Perundang – undangan
2) Kebiasaan
3) Traktat (perjanjian internasional publik)
4) Yurisprudensi
5) Doktrin (pendapat pakar)
Tindakan yang diambil oleh alat negara terhadap pelanggaran hukum tidak
boleh sewenang – wenang, tetapi harus menurut hukum yang berlaku.
Macam-macam hukum adalah sebagai berikut: hukum perdata dan hukum
publik, hukum material dan hokum. formal, hukum perdata, hukum pidana,
hukum tatanegara / tata usaha negara, hukum Internasional.
37

b. Pengantar Hukum Kesehatan


Dalam undang – undang kesehatan ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan “kesehatan“ adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spriritual,
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis. Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut semua
segi kehidupan, baik fisik, mental, maupun sosial ekonomi. Sumber hukum
(health law) secara umum dapat kita temukan dalam :
1) Peraturan hukum tertulis, seperti undang – undang
2) Kebiasaan yang tidak tertulis
3) Yurisprudensi tetap; dan
4) Doktrin / ajaran ilmu pengetahuan
Hak asasi manusia yang berhubungan dengan kesehatan manusia dimulai
dari tiga hak asasi, yaitu :
1) The right to health care ( hak untuk mendapat pelayanan kesehatan )
2) The right to self determination (hak untuk menentukan nasib sendiri)
3) The right to information ( hak untuk mendapat informasi)
Konsep hukum pemeliharaan kesehatan tidak tumbuh dengan sendirinya,
melainkan berakar dari ketiga hak asasi tersebut diatas yang diadopsi dari mata
rantai pasal 25 The United Nations Universal Declaration of Human Right 1948
dan pasal 1 The United Nation International Concention Civiland Political
Rights 1966.
Menurut Leemen hukum kesehatan disusun sebagai berikut : “Hukum
kesehatan meliputi semua ketentuan hukum yang langsung berhubungan dengan
pemeliharaan kesehatan dan penerapan dari hukum perdata, hukum pidana, dan
hukum administratif dalam hubungan tersebut pula pedoman internasional,
hukum kebiasaan, dan juga yurisprudensi berkaitan dengan pemeliharaan
kesehatan, hukum otonom, ilmu, dan literatur menjadi sumber hukum kesehatan.
c. Aspek hukum dalam paktik kebidanan
38

Bidan merupakan suatu profesi yang selalu mempunyai ukuran atau


standar profesi. Standar profesi bidan yang terbaru adalah diatur dalam
Kepmenkes RI No.369/Menkes/SK/III/2007.
Hubungan perikatan antara bidan dengan pasien termasuk dalam kategori
perikatan ikhtiar. Bidan berupaya semaksimal mungkin, sebagai contoh perikatan
atas dasar perjanjian adalah ketika pasien datang ke tempat praktik bidan untuk
mendapatkan pelayanan kebidanan, maka perikatan yang terjadi atas dasar
perjanjian.
Perjanjian adalah ikatan antara satu orang dengan orang lain atau lebih,
yang selalu menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik. Perjanjian selalu
merupakan perbuatan hukum. Perikatan bidan dengan rumah sakit adalah dalam
hubungan ketenagakerjaan, yaitu terbentuk hubungan antara rumah sakit sebagai
pemberi kerjaan dan bidan sebagai penerima kerja.
2. Malpraktik
a. Pengertian Malpraktik berasal dari kata “mal” yang berarti salah dan “praktik”
yang berarti pelaksanaan atau tindakan, sebagai arti harafiahnya adalah
pelaksanaan atau tindakan yang salah “Lazimnya istilah ini hanya digunakan
untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu
profesi (profesional misconduct). Kesalahan dari sudut pandang etika disebut
ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut legal malpractice.
Setiap malpraktik yuridik sudah pasti malpraktik etik, tetapi tidak semua
malpraktik etika merupakan malpraktik yuridik
b. Legal malpractice
Legal malpractice masih dibagi menjadi tiga kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar
1) criminal malpractice (malpraktik pidana)
2) civil malpractice (malpraktik perdata)
3) administrative malpractice (ingkar janji).
c. Criminal Malpractice (Malpraktik Pidana)
Suatu perbuatan dapat dikategorikan Criminal malpraktice yaitu
39

1) pertama, perbuatan tersebut (baik positive act maupun negative act ) harus
merupakan perbuatan tercela (actus reus)
2) kedua dilakukan dengan sikap batin yang salah (means rea), yaitu berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (recleness), atau kealpaan
(negligence).
3. Peraturan Dan Perundang-Undangan
Peraturan perundang – undangan dan undang – undang yang terkait dengan
praktik bidan diantaranya Undang- Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan,
Kepmenkes RI No.1464/Menkes/PER/X/2010 tentang izin dan penyelggaraan
praktik bidan, undang-undang tentang aborsi, undang-undang tentang adopsi.
Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan..

Test Formatif
40

1. Pernyataan berikut merupakan sumber hukum formal yaitu


a. Sosial kontrol
b. Traktat
c. Sosial inter action
d. Sosial Enginering
2. Seorang perempuan datang ke BPM mengaku telat menstruasi 3 bulan. Bidan
melakukan pemeriksaan urin (PP test) hasil (+). Klien menyatakan ingin
menggugurkan kandungan. Langkah yang tepat dikerjakan oleh bidan adalah…
a. Pengguguran kandungan
b. Rujuk ke dokter untuk pengguguran kandungan
c. Lapor polisi
d. Konseling
3. Salah satu Rumah Sakit baru dibuka untuk melakukan rekruitmen karyawan
termasuk tenaga bidan. Sebelum mulai bekerja dibuatlah perjanjian kerjasama
antara pihak rumah sakit dan calon karyawan. Aktifitas tersebut diatur dalam
hukum …
a. Perdata
b. Pidana
c. Administrasi
d. Penyelenggaraan pelayanan
4. Seorang perempuan pasca persalinan 1 hari meninggalkan bayinya di BPM.
Ssetelah ditelusuri ternyata ibu dan keluarganya tidak diketemukan. Tindakan
bidan yang cocok untuk kasus tersebut adalah
a. Aborsi
b. Adaptasi
c. Adopsi
d. Aktual
5. Sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya atau mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam pidana
41

penjara lima tahun enam bulan, paling lama tujuh tahun. Hal terxebut tercantum
dalam …
a. Pasal 349
b. Pasal 348
c. Pasal 347
d. Pasal 346
KUNCI JAWABAN
1. b
2. d
3. a
4. c
5. a
42

KEGIATAN BELAJAR 5

KODE ETIK PROFESI KKODEEBIDANAN

Tujaun Pembelajaran Umum


Setelah mempelajari buku ajar ini diharapkan mahasiswa mampu
mengidentifikasi kode etik profesi kebidanan dalam pelayanan kebidanan.
Tujuan Pembelajaran Khusus
Mahasiswa mampu mendeskripsikan kode etik profesi kebidanan.
Pokok-pokok Materi dan Uraian Materi
5.1 Pengertian
Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat dengan nilai
manusia dalam menghargai suatu tindakan apakah benar atau salah dan apakah
penyelesaiannya baik atau salah (Jones, 1994). Penyimpangan mempunyai
konotasi yang negatif yang berhubungan dengan hukum. Seorang bidan dikatakan
profesional bila ia mempunyai etika. Semua profesi kesehatan memiliki etika
profesi, namun demikian etika dalam kebidanan mempunyai kekhususan sesuai
dengan peran dan fungsinya seorang bidan bertanggung jawab menolong
persalinan. Dalam hal ini bidan mempunyai hak untuk mengambil keputusan
sendiri yang berhubungan dengan tanggung jawabnya. Untuk melakukan
tanggung jawab ini seorang bidan harus mempunyai pengetahuan yang memadai
dan harus selalu memperbaharui ilmunya dan mengerti tentang etika yang
berhubungan dengan ibu dan bayi.
Derasnya arus globalisasai yang semakin mempengaruhi kehidupan sosial
masyarakat dunia juga mempengaruhi munculnya masalah atau penyimpangan
etik sebagai akibat kemajuan teknologi atau ilmu pengetahuan yang menimbulkan
konflik terhadap nilai. Arus kesejagatan ini dapat dibendung, pasti akan
mempengaruhi pelayanan kebidanan. Dengan demikian penyimpangan etik
mungkin saja akan terjadi juga dalam praktek kebidanan misalnya dalam praktek
mandiri, tidak seperti bidan yang bekerja di RS, RB, institusi kesehatan lainnya,
bidan praktek mandiri mempunyai tanggung jawab yang lebih besar karena harus
mempertanggung jawabkan sendiri apa yang dilakukan. Dalam hal ini bidan
yang praktek mandiri menjadi pekerja yang bebas mengontrol dirinya sendiri.
Situasi ini akan besar sekali pengaruhnya terhadap kemungkinan terjadinya
penyimpangan etik.

5.2 Fungsi Kode Etik


Kode etik berfungsi sebagai berikut :
1. Memberi panduan dalam membuat keputusan tentang masalah etik.
2. Menghubungkan nilai atau norma yang dapat diterapkan atau
dipertimbangkan dalam memberi pelayanan.
3. Merupakan cara untuk mengevaluasi diri.
4. Menjadi landasan untuk meberi umpan balik bagi rekan sejawat.
5. Menginformasikan kepada profesi lain dan masyarakat tentang nilai moral
41
43

5.3 Dimensi dan Prinsip Kode Etik


Menurut Mustika (2001), dimensi kode etik meliputi anggota profesi dan
klien/pasien, anggota profesi dan sistem kesehatan, anggota profesi dan profesi
kesehatan, serta sesama anggota profesi. Prinsip kode etik antara lain
menghargai otonomi, melakukan tindakan yang benar, mencegah tindakan yang
dapat merugikan, memperlakukan manusia secara adil, menjelaskan dengan
benar, menepati janji yang telah disepakati, dan menjaga kerahasiaan.
5.4 Penetapan Kode Etik
Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh organisasi untuk para anggotanya.
Kode etik suatu organisasi akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam
menegakkan disiplin di kalangan profesi, jika semua individu yang menjalankan
profesi yang sama tergabung dalam suatu organisasi profesi. Jika setiap orang
yang menjalankan suatu profesi secara otomatis tergabung dalam suatu organisasi
atau ikatan profesi, barulah ada jaminan bahwa profesi tersebut dapat dijalankan
secara murni dan baik, karena setiap anggota profesi yang melakukan
pelanggaran terhadap kode etik dan dikenai sanksi.
5.5 Tujuan Kode Etik
Secara umum tujuan kode etik adalah sebagai berikut :
1. Menjunjung tinggi martabat dan citra profesi.
2. Menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
3. Meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
4. Meningkatkan mutu profesi.
5.6 Definisi Kode Etik Bidan
Kode etik kebidanan merupakan suatu pernyataan komprehensif profesi
yang menuntut bidan melaksanakan praktik kebidanan baik yang berhubungan
dengan kesejahteraan keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi, dan dirinya.
Penetapan kode etik kebidanan harus dilakukan dalam kongres Ikatan Bidan
Indonesia (IBI).
5.7 Dasar Pembentukan Kode Etik Bidan
Kode etik bidan pertama kali disusun pada tahun 1986 dan disahkan dalam
kongres nasional IBI X tahun 1988. Petunjuk pelaksanaan kode etik bidan
disahkan dalam rapat kerja nasional (RAKERNAS) IBI tahun 1991. Kode etik
bidan sebagai pedoman dalam berperilaku, disusun berdasarkan pada penekanan
keselamatan klien.
Kode etik bidan berisi 7 bab dan dibedakan menjadi beberapa bagian,
anatara lain:
1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir).
2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir).
3. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya. (2 butir).
4. Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir).
5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (2 butir).
6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air (2 butir).
7. Penutup (1 butir).

5.8 Kewajiban Bidan Terhadap Profesinya


44

1. Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra dan
profesinyadengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberi
pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
2. Menjadi panutan dalam hidupnya.
3. Berpenampilan yang baik.
4. Tidak membeda-bedakan pangkat, jabatan dan golongan.
5. Menjaga mutu pelayanan profesinya sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
6. Dalam menjalankan tugasnya, bidan tidak diperkenankan mencari keuntungan pribadi
dengan menjadi agen promosi suatu produk.
7. Menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya hanya dalam waktu dinas.
8. Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan
profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
9. Mengembangkan kemampan di lahan praktik.
10. Mengikuti pendidikan formal.
11.Mengikuti pendidikan berkelanjutan melalui penataran, seminar, lokakarya,
simposium, membaca majalah, buku dan lain-lain secara pribadi.
12. Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan
sejenisnyayang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.
13. Membantu penbuatan perencanaan penelitian kelompok.
14. Membantu pelaksanaan proses penelitian dalam kelompok.
15. Membantu pengolahan hasil penelitian kelompok.
16. Membantu pembuatan laporan penelitian kelompok.
17. Membantu perencanaan penelitian mandiri.
18. Melaksanakan penelitian mandiri.
19. Mengolah hasil penelitian.
20. Membuat laporan penelitian.

 Rangkuman
Etika sebagai salah satu cabang filsafat seringkali dianggap sebagai ilmu yang
abstrak dan kurang relevan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak uraian filsafat
dianggap jauh dari kenyataan, tetapi setidaknya etika mudah dipahami secara relevan
bagi banyak persoalan yang dihadapi. Etika sebagai filsafat moral mencari jawaban
untuk menentukan serta mempertahankan secara rasional teori yang berlaku tentang
apa yang benar dan yang salah, baik atau buruk, yang secara umum dapat dipakai
sebagai suatu perangkat prinsip moral yang menjadi pedoman bagi tindakan manusia.
Etika tidak lepas dari kehidupan manusia, termasuk dalam profesi kebidanan
membutuhkan suatu system untuk mengatur bidan dalam menjalankan peran dan
fungsinya. Dalam menjalankan perannya bidan tidak dapat memaksakan untuk
mengadapatasi suatu teori etika secara kaku, tetapi harus disesuaikan dengan situasi
dan kondisi yang dihadapi saat itu dan berlandaskan pada kode etik dan standar
profesi.

 Tes Formatif
Soal-Soal
1. Filosofi yang ber baik atau salah hubungan erat dengan nilai manusia dalam
menghargai suatu tindakan apakah benar atau salah dan apakah penyelesaiannya
baik atau salah merupakan pengertian dari....?
45

a. Sopan santun
b. Etik
c. Tata krama
d. Moral
e. Kepatuhan
2. Menghubungkan nilai atau norma yang dapat diterapkan atau dipertimbangkan
dalam pemberian pelayanan merupakan..?
a. Fungsi kode etik
b. Dimensi kode etik
c. Prinsip kode etik
d. Penetapan kode etik tujuan kode etik
3. Suatu pernyataan komprehensif profesi yang menuntut bidan yang melaksanakan
praktik kebidanan baik yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga,
masyarakat teman sejaat merupakan definisi dari?
a. Dasar pembentukan kode etik bidan
b. Definisi kode etik bidan
c. Kewajiban bidan terhadap profesinya
d. Kode etik
e. Penetapan kode etik
4. Kode etik hanya ditetapkan oleh organisasi untuk para anggotanya merupakan
pengertian dari
a. Penetapan kode etik
b. Dimensi kode etik
c. Prinsip kode etik
d. Fungsi kode etik
e. Tujuan kode etik
5. Kod eetik bidan disusun pertama kali dan disahkn pada tahun
a. Tahun 1986 dan 1988
b. Tahun 1977 dan 1978
c. Tahun 1990 dan 1992
d. Tahun 1986 dan 1987
e. Tahun 1988 dan 1990
6. Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra dan profesinya
dengan menampilkan keperibadian yang tinggi dan memberi pelayanan yang
bermutu kepada masyarakat
a. Kewajiban bidan terhadap profesinya
b. Tanggung jawab bidan sebagai profesinya
c. Tujuan utama bidan
d. Fungsi pokok bidan
e. Kode etik bidan
Jawaban:
1. B
2. A
3. B
4. A
5. A
6. A
46
47

KEGIATAN BELAJAR 6

PARADIGMA ILMU HUKUM

Tujuan Pembelajaran Umum


Mahasiswa mampu memahami dasar hukum dan aspek legal dalam pelayanan
kebidanan

Tujuan Pembelajaran Khusus


Mahasiswa mampu menjelaskan paradigma ilmu hukum

Pokok-Pokok materi dan uraian materi


6.1 Otonomi Bidan Dalam Pelayanan Kebidanan
Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal yang
penting dan dituntut dari suatu profesi, terutama profesi yang berhubungan dengan
keselamatan jiwa manusia, adalah pertanggungjawaban dan tanggung gugat
(accountability) atas semua tindakan yang dilakukannya. Sehingga semua tindakan
yang dilakukan oleh bidan harus berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence
based. Accountability diperkuat dengan satu landasan hukum yang mengatur batas-
batas wewenang profesi yang bersangkutan. Dengan adanya legitimasi kewenangan
bidan yang lebih luas, bidan memiliki hak otonomi dan mandiri untuk brtindak
secara professional yang dilandasi kemampuan berfikir logis dan sistematis serta
bertindak sesuai standar profesi dan etika profesi .
Praktik kebidanan merupakan inti dari berbagai kegiatan bidan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus menerus ditingkatkan mutunya
melalui :
1. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
2. Penelitian dalam bidang berkelanjutan.
3. Pengembangan ilmu dan teknologi dalam kebidanan.
4. Akreditasi
5. Sertifikasi
6. Registrasi
7. Uji kompetensi
8. Lisensi

Beberapa dasar dalam otonomi dan aspek legal yang mendasari terkait
dengan pelayanan kebidanan antara lain sebagai berikut :
1. Kepmenkes Republik Indonesia 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang
registrasi dan praktik bidan
2. Standar Pelayanan Kebidanan, 2001
3. Kepmenkes Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/X1/III/2007
Tentang Standar Profesi Bidan
4. UU kesehatan No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan
5. PP NO 32 /Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan

46
48

6. Kepmenkes Republik Indonesia 1277/Menkes/SK/XI/2001 Tentang


Organisasi Dan Tata Kerja Depkes.
7. UU No.22/1999 Tentang Otonomi Daerah.
8. UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
9. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung, dan transplantasi.
10. KUHAP, dan KUHP, 1981
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 585/ Menkes/
Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik
12. UU yang terkait dengan Hak Reproduksi dan keluarga Berencana :
a) UU No. 10/1992 Tentang Pengembangan Kependudukan dam
Pembangunan Keluarga Sejahtera
b) UU No. 23/ 2003 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
di Dalam Rumah Tangga.

6.2 Isu Etik dan Dilema

Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat dengan nilai
manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah dan apakah
penyelesaiannya baik atau buruk (jones, 1994). Moral merupakan pengetahuan
atau keyakinan tentang adanya hal yang baik dan buruk serta mempengaruhi sikap
seseorang. Kesadaran tentang adanya baik dan buruk berkembang pada diri
seseorang seiring dengan pengaruh lingkungan, pendidikan, social budaya, agama
dsb, hal inilah yang disebut kesadaran moral atau kesadaran etik. Moral juga
merupakan keyakinan individu bahwa sesuatu adalah mutlak juga merupakan
keyakinan individu bahwa sesuatu adalah mutlak baik atau buruk walaupun situasi
berbeda.
Kesadaran moral erat kaitannya dengan nilai-nilai keyakinan seseorang dan
pada prinsipnya semua manusia dewasa tahu akan hal yang baik dan yang buruk,
inilah yang disebut suara hati. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi
berdampak pada perubahan pola piker manusia. Masyarakat semakin kritis
sehingga terjadi penguatan tuntutan terhadap mutu pelayanan kebidanan. Mutu
pelayanan kebidanan yang baik perlu landasan komitmen yang kuat dengan basis
etik dan moral yang baik.
Dalam praktik kebidanan seringkali bidan dihadapkan pada beberapa
permasalahan yang dilematis, artinya pengambilan keputusan yang sulit
baerkaitan dengan etik. Dilema muncul karena terbentur pada konflik moral,
pertentangan batin atau pertentangan antara nilai-nilai yang diyakini bidan
kenyataan yang ada.
Beberapa permasalahan pembahasan etik dalam kehidupan sehari-hari
adalah sebagai berikut:
1. Persetujuan dalam proses melahirkan
2. Memilih atau mengambil Keputusan dalam persalinan
3. Kegagalan dalam proses persalinan
4. Pelaksanaan USG dalam kehamilan
5. Konsep normal pelayanan kebidanan
6. Bidan dan pendidikan sex
49

Ada beberapa masalah etik yang berhubungan sengan tehnologi, contohnya


sebagai berikut :
1. Perawatan intensif pada bayi
2. Skrening bayi
3. Transplantasi organ
4. Tehnik reproduksi dan kebidanan

Etik berhubungan erat dengan profesi, yaitu


1. Pengambilan keputusan dan penggunaan etik
2. Otonomi bidan dan kode etik professional
3. Etik dalam penelitian kebidanan
4. Penelitian tentang masalah kebidanan yang sensitive.

Beberapa contoh mengenai isu etik dalam pelayanan kebidanan, adalah


berhubungan dengan :
1. Agama/kepercayaan
2. Berhubungan dengan pasien
3. Hubungan dokter dengan bidan
4. Kebenaran
5. Pengambilan keputusan
6. Pengambilan data
7. Kematian
8. Kerahasiaan
9. Aborsi
10. AIDS
11. In-Vitro Fertilization
Perlu juga disadari bahwa dalam pelayanan kebidanan seringkali
muncul masalah atau isu dimasyarakat yng berkaitan dengan etik dan moral,
dilemma serta konflik yang dihadapi bidan sebagai praktisi kebidanan. Isu adalah
masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau suatu lingkungan yang
belum tentu benar, serta membutuhkan pembuktian. Bidan dituntut berperilaku
hati-hati dalam setiap tindakannya dalam memberikan asuhan kebidanan dengan
menampilkan perilaku yang etis professional
Isu adalah topic yang menarik untuk didiskusikan dan sesuatu yang
memungkinkan setiap orang mempunyai pendapat. Pendapat yang timbul akan
bervariasi, isu muncul dikarenakan adanya perbedaan nilai-nilai dan
kepercayaan.

6.3 Isu Moral dan Dilema Moral


Isu Moral adalah merupakan topic yang penting berhubungan dengan benar
dan salah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh nilai-nilai yang
berhubungan dengan kehidupan orang sehari-hari menyangkut kasus
abortus,euthanasia, keputusan untuk terminasi kehamilan. Isu Moral juga
berhubungan dengan kejadian yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari,
seperti menyangkut konflik, malpraktik, perang dsb. Dilema Moral menurut
50

Campbell adalah suatu keadaan dimana dihadapkan pada dua alternative pilihan,
yang kelihatannya sama atau hamper sama dan membutuhkan pemecahan
masalah. Ketika mencari solusi atau pemecahan masalah harus mengingat akan
tanggung jawab professional yaitu :
1. Tindakan selalu ditujnjukan untuk peningkatan kenyamanan, kesejahteraan
pasien atau klien.
2. Menjamin bahwa tidak ada tindakan yang menghilangkan sesuatu bagian
(omission), disertai rasa tanggung jawab. Memperhatikan kondisi dan
keamanan pasien atau klien.

Contoh: studi kasus mengenai dilema moral


“seseorang ibu primipara masuk kamar bersalin dalam keadaan inpartu.
Sewaktu mengatakan tidak mau diepisiotomi . Ternyata selama kala II kemajuan
Kala II berlangsung lambat, perineum masih tebal dan kaku. Keadaan ini
dijelaskan kepada ibu oleh bidan, tetapi ibu tetap pada pendiriannya menolak di
episiotomy. Sementara waktu berjalan terus dan denyut jantung janin menunjukan
keadaan fetal distress dan hal ini mengharuskan bidan untuk melakukan tindakan
episiotomy, tetapi ibu tetap tidak menyetujuinya. Bidan berharap bayinya selamat.
Sementara itu ada bidan yang memberitahukan bahwa dia pernah melakukan hal
ini tanpa persetujuan pasien, dilakukan karena untuk melindungi bayinya. Jika
bidan melakukan episiotomy tanpa persetujuan pasien, maka bidan akan
dihadapkan pada suatu tuntutan dari pasien. Sehingga inilah merupakan contoh
gambaran dilemma moral. Bila bidan melakukan tindakan tanpa persetujuan
pasien, bagaimana ditinjau dari segi etik dan moral. Bila tidak dilakukan
tindakan , apa yang akan terjadi pada bayinya?”
Konflik moral menurut Johnson adalah bahwa konflik atau dilemma pada
dasarnya sama, kenyataanya konflik berada diantara prinsip moral dan tugas yang
mana sering menyebabkan dilema, ada dua tipe konflik, yang pertama konflik
yang berhubungan dengan prinsip, dan yang kedua adalah konflik yang
berhubungan dengan otonomi. Dua tipe konflik ini adalah merupakan dua bagian
yang tidak terpisahkan . bagaimana kita mengatasi dilema? , yaitu menggunakan
teori-teori etika dan teori pengambilan keputusan dalam pelayanan kebidanan.
Contoh studi kasus mengenai konflik normal “ Ada seorang bidan yang
berpraktik mandiri dirumah. Ada seorang pasien inpartu datang ketempat
praktiknya. Status obsetrik pasien adalah G1P0AB0. Hasil pemeriksaan penapisan
awal menunjukanpresentasi bokong dengan taksiran berat janin 3900gram, dan
kesejahteraan janin dan ibu baik. Maka bidan tersebut menganjurkan dan memberi
konseling pada pasien mengenai kasusnya dan untuk dilakukan tindakan rujukan.
Namun pasien dan keluarganya menolak dirujuk dan bersikuku untuk tetap
melahirkan dibidan tersebutkarena pertimbangan biayadan kesulitan lainya.
Melihat kasus ini maka bidan diharapkan pada konflik moral yang bertentangan
dengan prinsip oral dan otonomi maupun kewenangan dalam pelayanan
kebidanan. Bahwa sesui Kemenkes Republik Indonesia 900/Menkes/SK/VII/2002
Tentang registrasi dan praktik bidan, bidan tidak berwenang memberikan
pertolongan persalinan pada peimigravida dengan presentasi bokong disisi lain
ada prinsip nilai moral dan kemanusiaan yang dihadapi pasien, yaitu
51

ketidakmampuan secara ekonomi dan kesulitan yang lain, maka bagaimana


seorang bidan mengambil keputusan yang terbaik terhadap konflik moral yang
dihadapi dalam pelayanan kebidanan”

RANGKUMAN :
Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal yang
penting dan dituntut dari suatu profesi, terutama profesi yang berhubungan dengan
keselamatan jiwa manusia, adalah pertanggungjawaban dan tanggung gugat
(accountability) atas semua tindakan yang dilakukannya. Etik merupakan bagian
dari filosofi yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu
tindakan, apakah benar atau salah dan apakah penyelesaiannya baik atau buruk
(jones, 1994). Moral merupakan pengetahuan atau keyakinan tentang adanya hal
yang baik dan buruk serta mempengaruhi sikap seseorang. Isu Moral adalah
merupakan topic yang penting berhubungan dengan benar dan salah dalam
kehidupan sehari-hari, sebagai contoh nilai-nilai yang berhubungan dengan
kehidupan orang sehari-hari menyangkut kasus abortus,euthanasia, keputusan untuk
terminasi kehamilan. Dilema Moral menurut Campbell adalah suatu keadaan
dimana dihadapkan pada dua alternative pilihan, yang kelihatannya sama atau
hamper sama dan membutuhkan pemecahan masalah.

Latihan Soal :
1. Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan adalah
a. Pertanggungjawaban dan tanggung gugat (accountability) atas semua
tindakan yang dilakukannya.
b. Keinginan dan tanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.
c. Tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan yang
dilakukannya.
d. Pertanggungjawaban ) atas semua tindakan yang dilakukannya.
2. Praktik kebidanan merupakan inti dari berbagai kegiatan bidan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus menerus ditingkatkan
mutunya salah satunya melalui :
a. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
b. Seminar
c. Workshoop
d. Pendidikan satu tahun
3. Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat dengan nilai
manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah dan
apakah penyelesaiannya baik atau buruk adalah pendapat dari ?
a. Wiliamm jones, 1992
b. Sri indrawati, 2015
c. jones, 1994
d. Albert William, 1992
4. Moral adalah pengetahuan atau keyakinan tentang apa ?
a. Adanya hal yang baik dan buruk serta mempengaruhi sikap seseorang.
b. Adanya perilaku dan hal yang baik tentang seseorang.
c. Adanya hal yang buruk yang mempengaruhi sikap seseorang.
52

d. Adanya hal yang baik yang mempengaruhi seseorang


5. Beberapa permasalahan pembahasan etik dalam kehidupan sehari-hari
adalah sebagai berikut:
a. Persetujuan dalam proses melahirkan
b. Keinginan bersalin
c. Bidan dan masalah reproduksi
d. Bidan dan masalah keluarga
6. Beberapa permasalahan pembahasan etik dalam kehidupan sehari-hari
adalah sebagai berikut:
a. Bidan dan pendidikan sex
b. Keikutsertaan masalah keluarga
c. Kegagalan dalam keputusan KB
d. Pelaksanaan terminasi kebidanan
7. Ada beberapa masalah etik yang berhubungan sengan tehnologi, contohnya
sebagai berikut :
a. Tehnik reproduksi dan kebidanan
b. Pengadilan
c. Pembunuhan Bayi
d. Euthanasia
8. Etik berhubungan erat dengan profesi, yaitu
a. Pengambilan keputusan semata
b. Otonomi bidan dan kode etik professional
c. Etik dalam keinginan bidan
d. Penelitian tentang masalah kebidanan yang sewajarnya
9. Beberapa contoh mengenai isu etik dalam pelayanan kebidanan, adalah
berhubungan dengan :
a. Kekerasan
b. Imunisasi
c. Keluarga
d. In-Vitro Fertilization
10. Isu Moral adalah merupakan topic yang penting berhubungan dengan benar
dan salah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh nilai-nilai yang
berhubungan dengan kehidupan orang sehari-hari menyangkut kasus ?
a. Perceraian
b. Cacat kongenital pada bayi
c. keputusan untuk terminasi kehamilan
d. Suntik KB

JAWABAN :
1. A
2. A
3. C
4. A
5. A
6. A
7. A
8. B
53

9. D
10. C
54

KEGIATAN BELAJAR 7

KASUS LEGAL ASPEK DALAM


PELAYANAKNAN KEBIDANAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum


Mahasiswa mampu mengidentifikasi isu etik dalam pelayanann kebidanan
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Mahasiswa mampu menyelesaikan kasus legal aspek kebidanan dalam pelayanan
Kebidanan
C. Pokok-pokok Materi
7.1 Isu dan etik
Hogwood dan Gunn dalam Wahab berpendapat Isu bukan hanya
mengandung makna adanya masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang
bagi tindakan positif tertentu dan kecenderungan-kecenderungan yang
dipersiapkan sebagai memiliki nilai potensial yang signifikan.
Alford dan Friedland dalam Wahab menyatakan Isu bisa jadi merupakan
kebijakan-kebijakan alternatif, atau suatu proses yang dimaksudkan untuk
menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok mengenai
kebijakan-kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka
Menurut Regester dan Larkin bahwa sebuah isu mempresentasikan suatu
kesenjangan antara praktek koorporat dengan harapan-harapan para
stakeholdernya. Dengan kata lain, sebuah isu yang timbul ke permukaan adalah
suatu kondisi atau peristiwa, baik didalam maupun diluar organisasi, yang jika
dibiarkan akan menjadi efek yang signifikan pada fungsi atau kinerja organisasi
tersebut atau pada target-trget organisasi tersebut dimasa mendatang. Selain itu
biasanya kita juga pernah kata rumor, rumor merupakan beragam informasi
dengan berbagai versi yang tidak jelas siapa sumbernya, tidak jelas siapa yang
pertama kali menyampaikannya dan tidak jelas pula kabar atau informasi tersebut
mengandung kebenaran atau tidak., istilah seperti ini sama halnya dengan sebuah
gossip, selentingan atau grapevine.
Issue etik dalam pelayanan kebidanan merupakan topik yang penting yang
berkembang di masyarakat tentang nilai manusia dalam menghargai suatu
tindakan yang berhubungan dengan segala aspek kebidanan yang menyangkut
baik dan buruknya.

b. Etika
Bertens merumuskan arti kata etika sebagai berikut:
Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu sekelompok
dalam mengatur tingkah lakunya, arti ini bisa dirumuskan sebagai sistem
nilai. Sistem nilai bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan
maupun pada taraf sosial. 53
55

d. Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. yang dimaksud disini
adalah kode etik.
e. Etika mempunyai arti ilmu tentang apa yang baik atau buruk.

7.3 Contoh kasus dalam aspek kebidanan


Disuatu wilaya desa "A" angka kelahiran sangat tinggi. Minat dan
pegetahuan ber KB diwilayah teraebut sangatlah rendah. Ketertarikan dan
pemahaman mereka tentang KB pun sangat kurang,
oleh sebab itu diwilyah tersebut menduduki peringkat 1 penduduk dengan
jumlah kelahiran terbanyak dan jumlah kematian ibu dan bayi yang tinggi...
Bidan didaerah terasebut melakukan upaya untuk meurunkan angka kelahiran
dengan merangkul tokoh masyarakat da tokoh agama dalam mensosialisasikan
KB. Bidan terasebut melakukan peyuluhan agar pengetahuan dan pemahaman
mereka tentang KB bertambah... Bidan juga masuk ke organisasi an perkumpulan
masyarakat guna mensukseskan dan mensosialisasikan program ini.Untuk lebih
mensukseskan program ini Bidan juga mengadakan safari KB didaerah tersebut.
hari demi hari minat KB didaerah tersebut semakin bertmabah dan angka
kelahiran dan kematian semakin menurun
Disuatu wilaya desa "A" angka kelahiran sangat tinggi. Minat dan pegetahuan
ber KB diwilayah teraebut sangatlah rendah. Ketertarikan dan pemahaman mereka
tentang KB pun sangat kurang, oleh sebab itu diwilyah tersebut menduduki
peringkat 1 penduduk dengan jumlah kelahiran terbanyak dan jumlah kematian
ibu dan bayi yang tinggi...
Bidan didaerah terasebut melakukan upaya untuk meurunkan angka kelahiran
dengan merangkul tokoh masyarakat da tokoh agama dalam mensosialisasikan
KB. Bidan terasebut melakukan peyuluhan agar pengetahuan dan pemahaman
mereka tentang KB bertambah... Bidan juga masuk ke organisasi an perkumpulan
masyarakat guna mensukseskan dan mensosialisasikan program ini. Untuk lebih
mensukseskan program ini Bidan juga mengadakan safari KB didaerah tersebut.
hari demi hari minat KB didaerah tersebut semakin bertmabah dan angka
kelahiran dan kematian semakin menurun.
56

KEGIATAN BELAJAR 8

PERATURAN DAN PERUNDANG-


UNDANGAN DALAM PRAKTIK
KEBIDANAN

Tujuan Pembelajaran Umum


Mahasiswa mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan etikolegal
pelayanan kebidanan
Tujuan Pembelajaran Khusus
Mahasiswa mampu memahami kode etik profesi kebidanan
Pokok-pokok Materi dan Uraian Materi

8.1 Teori pengambilan keutusan dalam menghadapi dilemma etik/moral


pelayanan kebidanan
8.1.1 Pengambilan Keputusan Dalam Menghadapi Dilema Etik/Moral Pelayanan
Kebidanan :
a. Pengertian Etika Profesi Kebidanan
Menurut Indriyanti (2016) Istilah etik secara umum, digunakan
sehari- hari pada hakekatnya berkaitan dgn falsafah, dan moral yaitu
mengenai apa yang dianggap baik atau buruk dimasyarakat dalam kurun
waktu tertentu. Sesuai dengan perubahan/perkembangan norma/nilai .
Dikatakan kurun waktu tertentu karena etik dan moral bisa berubah dengan
lewatnya waktu.
Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat dengan
nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah
dan apakah penyelesaiannya baik atau salah (Jones, 1994). Penyimpangan
mempunyai konotasi yang negative yang berhubungan dengan hukum.
Seseorang bidan dikatakan professional bila ia mempunyai kekhususan.
Sesuai dengan peran dan fungsinya seorang bidan bertanggung jawab
menolong persalinan.
Dalam hal ini bidan mempunyai hak untuk mengambil keputusan
sendiri yang harus mempunyai pengetahuan yang memadai dan harus selalu
memperbaharui ilmunya dan mengerti tentang etika yang berhubungan
dengan ibu dan bayi. Derasnya arus globalisasi yang semakin
mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat dunia,juga mempengaruhi
munculnya masalah/penyimpangan etik sebagai akibat kemajuan
teknologi/ilmu pengetahuan yang menimbulkan konflik terhadap nilai. Arus
kesejahteraan ini tidak dapat dibendung, pasti akan mempengaruhi
pelayanan kebidanan. Dengan demikian penyimpangan etik mungkin saja
akan terjadi juga dalam praktek kebidanan misalnya dalam praktek mandiri,
tidak seperti bidan yang bekerja di RS, RB atau institusi Kesehatan lainnya,
55
57

mempertanggungjawabkan sendiri apa yang dilakukan. Dalam hal ini


bidang yang praktek mandiri menjadi pekerja yang bebas Mengontrol
dirinya sendiri. Situasi ini akan besar sekali pengaruhnya terhadap
kemungkinan terjadinya penyimpangan etik.

Setidaknya terdapat 5 hal pokok dalam pengambilan keputusan,


yaitu :
1) Intuisi berdasarkan perasaan, lebih subjektif dan mudah terpengaruh.
2) Pengalaman mewarnai pengetahuan prakts, seringnya terpapar suatu kasus
meningkat tingkatan kemampuan mengambilan keputsan terhadap suatu
kasus tersebut.
3) Fakta, keputusan rill, valid dan baik.
4) Wewenang lebih berifat rutinitas
5) Rasional, keputusan bersifat objektif transparan, konsisten.

Yang mempengaruhi pengambilan keputusan :


1) Posisi/kedudukan.
2) Masalah terstruktur, tidak terstuktur, rutinitas, insidentil.
3) Situasi ; factor konstan, dan factor yang tidak konstan.
4) Kondisi, factor-farktor yang menentukandaya gerak.
5) Tujuan, antara atau objektif.

b. Kerangka pengambilan keputusan


Menurut Indriyanti (2016) System pengambilan keputusan
merupakan bagian dasar dan integral dalam praktek suatu profesi.
Keberadaan yang sangat penting, karena akan menentukan tindakan
selanjutnya. Keterlibat bidan dalam proses pengambilan keputusan sanga
penting karena dpat dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu :
1) Pelayanan “one to one”, yakni bidan klien yang bersifat sangat pribadi dan
bidan juga bias memenuhi keutuhan.
2) Meningkatingkatan sensitivitas terhadap klien bidan berusaha keras untuk
memenuhi kebutuhan nya.
Ada 3 keterlibatan pengambilan keputusan yag bias mempengaruhi
AKI/AKB di Indonesia masih tinggi, yaitu :
1) Terlambat mengenali tanda-tanda bahaya kehamilan seingga terlambat untuk
memulai pertolongan.
2) Trlambat tiba di fasilitas pelayanan kesehatan.
3) Terlambat mendapatan pelayanan setelah tiba di tempat pelayanan.

c. Tingkatan Dalam Pengambilan Keputusan


Menurut Indriyani (2016) tingkatan dalam pengambilan keputusan yaitu:
1) Tingkatan I :
Keputusan dan tindakan :
Bidan merefleksikan pada pengalaman/pengalaman pada rekan kerja.
2) Tingkatan II :
58

Peraturan :
Yang bedasarkan kaidah kejujuran (berkata benar), privasi, kerahasiaan
dan kesetiaan dalam menepati janji.
Bidan sangat familiar, tidak meninggalkan kode etik dan panduan-
paduan dalam praktik profesi nya.
3) Tingkatan III :
Terdapat 4 askep dalam prinsip etika yang digunakan dalam
perawatan praktek kebidanan :
 Antonomy, perhatikan penguasaan diri, hak kebebasaan, dan pilihan
individu.
 Beneticence, memperhatikan kesejahteraan klien, selain itu berbuat baik
untuk orang lain.
 Non-maleticence, tidak elakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan
apapun dan kerugian apapun terhadap orang lain.
 Yustice, memperhatikan keadilaan, pemerata beban dan keuntungan.
4) Tingkat IV

d. Teori pengambilan keputusan yaitu :


Teori pengambilan keputusan menuut Indriyani (2016)
1) Teori Utilitarisme :
Teori utilitarisme mengutamakan adanya konsekuensi kepercayaan
adanya kegunaan. Dipercaya bahwa semua manusia mempunyai perasaan
menyenangkan dan perasaan sakit. Ketika keputusan dibuat seharusnya
memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan ketidaksenangan. Prinsip
umum dari utilitarisme adalah didasarkan bahwa tindakan moral
menghasilkan kebahagiaan yang besar bila menghasilkan jumlah atau angka
yang besar.
2) Teori Deontology :
Menurut Immanuel Kant: sesuatu dikatakan baik dalam arti
sesungguhnya adalah kehendak yang baik, kesehatan, kekayaan, kepandaian
adalah baik. Jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia, tetapi jika
digunakan dengan kehendak yang jahat akan menjadi jelek sekali. Kehendak
menjadi baik jika bertindak karena kewajiban . Kalau seseorang bertindak
karena motif tertentu atau keinginan tertentu berarti disebut tindakan yang
tidak baik. Bertindak sesuai kewajiban disebut legalitas.
3) Teori Hedonism :
Menurut Aristippos (433-355 SM) sesuai kodratnya setiap manusia
mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Akan tetapi, ada
batas untuk mencari kesenangan. Hal yang penting adalah menggunakan
kesenangan dengan baik dan tidak terbawa oleh kesenangan.
4) Teori Eudemonisme :
Menurut Aristippos (433-355 SM) sesuai kodratnya setiap manusia
mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Akan tetapi, ada
59

batas untuk mencari kesenangan. Hal yang penting adalah menggunakan


kesenangan dengan baik dan tidak terbawa oleh kesenangan

e. Dasar Pegembalian Keputusan


1) Ketidak sanggupan yang bersifat segera.
2) Keterpaksaan yang dikarenakan suatu krisis, yang menuntut sesuatu yang
segera di lakukan.

f. Bentuk Pengambilan Keputusan


 Strategi :
Dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan organisasi atau pimpinan, rencana di
masa depan, dan rencana bisnis, dll.
 Cara kerja :
yang dipengaruhi oleh pelayaan bidan didunia, klinik, dan di komunitas.
 Individu dan profesi :
Yang dilakukan oleh bidan yang dipengaruhi oleh standar dalam prakyik
kebidanan.

g. Pendekatan Tradisional Dalam Pengambilan Suatu Keputusan


1. Mengenal dan mengidentifikasi suatu masalah.
2. Mnenegaskan suatu masalah dengan menunjukan hubungan antara masa
lalu dan sekarang.
3. Memperjelas hasil prioritas yang ingin dicapai.
4. Mempertimbangkan pilihan yang ada.
5. Mengevaluasi terleih dahulu tempat tersebut.
6. Memilih solusi dan dapat menetapkan ataupun melaksanakan.

h. Pengambilan Keputusan Secara Etis


Cirri-ciri pengambilan keputusan secara etis, yaitu :
1. Dapat mempertimbangkat yang bener maupun yang salah.
2. Sering menyangkut pilihan yang sukae.
3. Tidak mungkin dielakan.

i. Perlunya Mengerti Situasi


Pengertian tentang situasi diperlukan dalam rangka, yaitu :
1. Untuk dapat menorma-normakan terhadap situasi.
2. Untuk melakukan perbuatan yang tepat dan berguna.
3. Untuk mengetahui masalah-masalah yang perlu di perlukan.

l. Pengambilan Keputusan Secara Klinis


Pengambilan keputusan secara klinis adalah keputusan yang diambil
yang berdasarkan kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh klien,
60

sehingga semua tindakan yang dilakukan bidan dapat mengatasi suatu


permasalahan yang di hadapi oleh klien nya yang bersifat
emergensi,antisipasi, atau secacara rutin.
61

8.1.2 Informed Consent


Menurut Wahyuningsih (2008) Pencegahan konflik etik, meliputi 4 hal:
1. Informed consent
2. Negoisasi
3. Persuasi
4. Komite etik
Latar belakang diperlukannya informed consent adalah karena
tindakan medic yang dilakukan bidan hasilnya penuh dengan ketidakpastian
dan unpredictable (tidak dapat diperhitungkan secara matematik), sebab
dipengaruhi oleh factor-faktor lain yang berada diluar kekuasaan bidan,
seperti [perdarahan post[pasrtum, shock, aksifsia neonaturum.
Menurut culver and Gert dalam Wahyuningsih (2008) ada 4 komponen
yang harus dipahami pada suatu consent atau persetujuan:
1. Sukarela (voluntarines)
Sukarela mengandung makna bahwa pilihan yang dibuat atas dasar
sukarela tanpa ada unsur paksaan didasari informasi dan kompetensi.
2. Informasi (information)
Jika pasien tidak tahu, sulit untuk dapat mendeskripsikan
keputusan.dalam kode etik pelayanan kesehatan bahwa informasi yang
lengkap dibutuhkan agar mampu membuat keputusan yang tepat.
3. Kompetensi (Competence)
Dalam konsep consent kompetensi bermakna suatu pemahaman bahwa
seseorang membutuhkan sesuatu hal untuk mampu membuat keputusan
dengan tepat, juga membutuhkan banyak informasi.
4. Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan suatu proses, dimana merupakan
persetujuan tanpa refleksi. Pembuatan keputusan merupakan tahap
terakhir proses pemberian persetujuan.

a. Dasar Hukum Informed Consent


Menurut Wahyuningsih (2008) Informed Consent di Indonesia juga di
atur dalam peraturan berikut:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang


Kesehatan.
2. Diatur juga dalam registrasi dan praktik bidan pada KepMenkes No.
900/2002 Pasal 25 ayat 2, tentang kewajiban bidan dalam menjalankan
kewenangannya
3. Secara hokum informed consent berlaku sejak tahun 1981, PP No. 8
tahun 1981
62

4. informed consent dikukuhkan menjadi lembaga hokum yaitu dengan


diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1989 tentang
persetujuan tindakan medik.
5. Pada KepMenKes No. 900/2002, Bab IX, Sanksi, Pasal 42 menyebutkan
bahwa bidan yang dengan sengaja melakukan praktik kebidanan tidak
sesuai ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 25 ayat (1)
dan (2): dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 1996 Tentang tenahga kesehatan.
KepMenKes No. 900/2002 pada pasal 25 ayat (2) yaitu:
Disamping ketentuan sebagimana dimaksud pada ayat (1) bidan dalam
melaksanakan praktik kebidanan sesuai dengan kewenangannya harus:
menghormati hak pasien, memberikan informasi tentang pelayanan yang
akan diberikan, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan.

b. Fungsi dan Tujuan Informed Consent Fungsi dari Informed Consent


menurut Tohari (2014) adalah
1. Promosi dari hak otonomi perorangan;
2. Proteksi dari pasien dan subyek;
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri;
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai
suatu nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan
biomedik.

Menurut tohari (2014) Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan /
tujuannya dibagi tiga, yaitu:

a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek


penelitian).
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.
c. Yang bertujuan untuk terapi.
63

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi dalam Tohari (2014)


adalah Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien;
a. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak
terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal
mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

b. Pemberi Persetujuan
Menurut Tohari (2014) pemberian persetujuan yaitu:
Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi usia,
maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih
atau telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau
lebih tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan
kedokteran tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila mereka dapat
menunjukkan kompetensinya dalam membuat keputusan. Alasan hukum yang
mendasarinya adalah sebagai berikut:8

1) Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang


berumur 21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang
dewasa dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.

2) Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap


orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah
bukan anak-anak. Dengan demikian mereka dapat diperlakukan
sebagaimana orang dewasa yang kompeten, dan oleh karenanya dapat
memberikan persetujuan.

3) Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang masih
tergolong anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak individu
untuk berpendapat sebagaimana juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, maka mereka dapat diperlakukan seperti orang
dewasa dan dapat memberikan persetujuan tindakan tertentu, khususnya
yang tidak berrisiko tinggi. Untuk itu mereka harus dapat menunjukkan
kompetensinya dalam menerima informasi dan membuat keputusan dengan
bebas. Selain itu, persetujuan atau penolakan mereka dapat dibatalkan oleh
orang tua atau wali atau penetapan pengadilan.
64

Sebagaimana uraian di atas, setiap orang yang berusia


18 tahun atau lebih dianggap kompeten. Seseorang pasien
dengan gangguan jiwa yang berusia 18 tahun atau lebih tidak
boleh dianggap tidak kompeten sampai nanti terbukti tidak
kompeten dengan pemeriksaan. Sebaliknya, seseorang yang
normalnya kompeten, dapat menjadi tidak kompeten
sementara sebagai akibat dari nyeri hebat, syok, pengaruh
obat tertentu atau keadaan kesehatan fisiknya. Anak-anak
berusia 16 tahun atau lebih tetapi di bawah 18 tahun harus
menunjukkan kompetensinya dalam memahami sifat dan
tujuan suatu tindakan kedokteran yang diajukan. Jadi,
kompetensi anak bervariasi bergantung kepada usia dan
kompleksitas tindakan.

Contoh Format Informed Consent


SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Jenis Kelamin(L/P) :
Umur/Tgl Lahir :
Alamat :
Telp :

Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya


sendiri/*sebagai orangtua/*suami/*istri/*anak/*wali dari:
Nama :
Jenis Kelamin(L/P) :
Umur/Tgl Lahir :
Alamat :
Telp :
Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk
dilakukan Tindakan Medis
berupa………………………………………………………
Penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal
yang berhubungan dengan penyakit tersebut, serta tindakan
medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pascatindakan
yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.

Malang,
…………
65

Bidan/Pelaksana, Yang membuat per


nyataan,
Ttd
(………………………
…..)
*Coret yang tidak perlu

8.1.3. Informed Choice


a. Pengertian Informed Choice
Informed choice yaitu membuat pilihan setelah mendapat
penjelasan dalam pelayanan kebidanan tentang alternatif asuhan
yang akan dialaminya. Peran Bidan dalam Informed Choice tidak
hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan
tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk memilih asuhan dan
keinginannya terpenuhi.
Sebagai seorang bidan dalam memberikan Informed
Choice kepada klien harus:
1) Memperlakukan klien dengan baik
2) Berinteraksi dengan nyaman
3) Memberikan informasi obyektif, mudah dimengerti dan
diingat serta tidak berlebihan
4) Membantu klien mengenali kebutuhannya dan membuat
pilihan yang sesuai dengan kondisinya
5) Mendorong wanita memilih asuhannya.
Selain itu, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
proses Informed Choice :
1) Bidan harus terus meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan
2) Bidan wajib memberikan informasi secara rinci, jujur dan
dimengerti klien
3) Bidan harus belajar untuk membantu klien melatih diri dalam
menggunakan haknya dan menerima tanggung jawab untuk
keputusan yang mereka ambil
4) Asuhan berpusat pada klien
5) Tidak perlu takut pada konflik tetapi menganggapnya sebagai
suatu kesempatan untuk saling memberi dan mungkin suatu
penilaian ulang yang objektif, bermitra dengan klien dan suatu
tekanan positif terhadap perubahan

b. Tujuan Informed Choice


Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya.
Peran bidan tidak hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan
66

kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk memilih


asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan dengan kode etik
internasional bidan yang dinyatakan oleh ICM 1993, bahwa bidan harus
menghormati hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan
mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari
pilihannya.

c. Prinsip Informed Choice


Hal yang harus diingat dalam Informed Choice :
1) Informed Choice bukan sekedar mengetahui berbagai pilihan
namun mengerti manfaat dan risiko dari pilihan yang
ditawarkan
2) Informed Choice tidak sama dengan membujuk / memaksa
klien mengambil keputusan yang menurut orang lain baik
(“....biasanya saya / rumah sakit.....”)
d. Rekomendasi
1) Bidan harus terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya
dalam berbagai aspek agar dapat membuat keputusan klinis dan
secara teoritis agar dapat memberikan pelayanan yang aman dan
dapat memuaskan kliennya
2) Bidan wajib memberikan informasi secara rinci dan jujur dalam
bentuk yang dapat dimengerti oleh wanita dengan menggunakan
media laternatif dan penerjemah, kalau perlu dalam bentuk tatap
muka secara langsung
3) Bidan dan petugas kesehatan lainnya perlu belajar untuk membantu
wanita melatih diri dalam menggunakan haknya dan menerima
tanggung jawab untuk keputusan yang mereka ambil sendiri
4) Dengan berfokus pada asuhan yang berpusat pada wanita dan
berdasarkan fakta, diharapkan bahwa konflik dapat ditekan
serendah mungkin
5) Tidak perlu takut akan konflik tapi menganggapnya sebagai suatu
kesempatan untuk saling memberi dan mungkin suatu penilaian
ulang yang objektif, bermitra dengan wanita dari sistem asuhan dan
suatu tekanan positif

e. Contoh Informed Choice dalam Pelayanan Kebidanan


Beberapa jenis pelayanan kebidanan yang dapat dipilih
oleh klien :
1) Pemeriksaan laboratorium dan screening antenatal
2) Tempat melahirkan dan kelas perawatan
3) Masuk kamar bersalin pada tahap awal persalinan
67

4) Pendamping waktu melahirkan


5) Percepatan persalinan / augmentasi
6) Diet selama proses persalinan
7) Mobilisasi selama proses persalinan
8) Pemakaian obat penghilang sakit
9) Posisi ketika melahirkan
10) Episiotomi
68

SOAL-SOAL
1. Menurut Indriyanti (2016) istilah etik secara umum, digunakan sehari-
hari pada hakekatnya berkaitan dengan
a. Falsafah
b. Moral
c. Falsafah dan moral

2. Salah satu yang mempengaruhi pengambilan keputusan yaitu


a. Posisi/kedudukan
b. Harkat
c. Martabat

3. Apa yang dimaksud dengan “one to one” ?


a. bidan klien yang bersifat sangat pribadi dan bidan juga bias
memenuhi kebutuhan.
b. Bidan dank lien dapat berkomunikasi dengan baik
c. Bidan dank lien mampu mencapai kesepakatan bersama

4. Berapa tingkatan dalam pengambilan keputusan ?


a. Tingkatan I-IV
b. Tingkatan II
c. Tingkatan VII

5. Ada berapa teori dalam pengambilan keputusan ?


a. 3
b. 2
c. 4

6. Salah satu Pencegahan konflik etik yaitu


a. Informed consent
b. Surat persetujuan
c. Surat keputusan

7. Dasar Hukum Informed Consent yaitu


a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992
tentang Kesehatan.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1992
tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1994
tentang Kesehatan.

8. Tidak hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan


kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk memilih
asuhan dan keinginannya terpenuhi, merupakan peran bidan
dalam….
69

a. Informed Consent
b. Informed Choice
c. Surat persetujuan

9. Contoh Informed Choice dalam Pelayanan Kebidanan…


a. Pemeriksaan tekanan darah
b. Pemeriksaan djj
c. Episiotomi

10. Informed Choice bukan sekedar mengetahui berbagai pilihan


namun mengerti manfaat dan risiko dari pilihan yang ditawarkan,
serta tidak sama dengan membujuk / memaksa klien mengambil
keputusan yang menurut orang lain baik merupakan…
a. Tujuan Informed Choice
b. Prinsip Informed Choice
c. Rekomendasi Informed Choice

KEGIATAN BELAJAR 9

ISU ETIK DALAM PELAYANAN


KEBIDANAN
70

Tujuan pembelajaran umum


Setelah mempelajari buku ajar ini, diharapkan pembaca dapat
menjelaskan dan memahami tentang Iu etik dalam pelayanan
kebidanan
Tujuan pembelajaran khusus
1. Mampu menjelaskan tentang isu etik dalam pelayanan kebidanan
2. Mampu menjelaskan tentang evidaence based dalam masa nifas
Pokok-pokok materi
Pengertian Issue
Isu adalah masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau
suatu lingkungan yang belum tentu benar, serta membutuhkan
pembuktian. Isu adalah topic yang menarik untuk didiskusikan
dan sesuatu yang memungkinkan orang untuk mengemukakan
pendapat yang bervariasi. Isu muncul dikarenakan adanya
perbedaan nilai.
9.1 Issue Etik Dalam Pelayanan Kebidanan
Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat
dengan nilai manusia dalm menghargai suatu tindakan, apakah
benar atau salah dan apakah pernyataan itu baik atau buruk. Issue
etik dalam pelayanan kebidanan merupakan topik yang penting
yang berkembang di masyarakat tentang nilai manusia dalam
menghargai suatu tindakan yang berhubungan dengan segala
aspek kebidanan yang menyangkut baik dan buruknya.
Beberapa pembahasan masalah etik dalm kehidupan sehari hari
adalah sebagai berikut:
1. Persetujuan dalam proses melahirkan.
1) Memilih atau mengambil keputusan dalam persalinan.
2) Kegagalan dalam proses persalinan.
3) Pelaksanan USG dalam kehamilan.
4) Konsep normal pelayanan kebidanan.
5) Bidan dan pendidikan seks.
2. Contoh masalah etik yang berhubungan dengan teknologi:
1) Perawatan intensif pada bayi.
2) Skreening bayi.
3) Transplantasi organ.
4) Teknik reproduksi dan kebidanan.
5. Contoh masalah etik yang berhubungan dengan profesi:
1) Pengambilan keputusan dan penggunaan etik.
2) Otonomi bidan dan kode etik profesional.

68
71

3) Etik dalam penelitian kebidanan.


4) Penelitian tentang masalah kebidanan yang sensitif.
4. Biasanyan beberapa contoh mengenai isu etik dalm
pelayananan kebidanan adalah berhubungan dengan masalah-
masalah sebagai berikut:
1) Agama / kepercayaan.
2) Hubungan dengan pasien.
3) Hubungan dokter dengan bidan.
4) Kebenaran.
5) Pengambilan keputusan.
6) Pengambilan data.
7) Kematian.
8) . Kerahasiaan.
9) Aborsi.
10) AIDS.
11) In_Vitro fertilization
9.2 Issue ETIK Yang Terjadi Antara Bidan Dengan Klien,
Kelurga, Dan Masyarakat Teman Sejawat,Teman Kesehatan
Lainya, Organisasi Profesi.
1. Issue etik yang terjadi antara bidan dengan
klien,keluarga,masyarakat
Issue etik yang terjadi antara bidan dengan klien, keluarga dan
masyarakat mempunyai hubungan erat dengan nilai manusia
dalam menghargai suatu tindakan. Seorang bidan dikatakan
profesional bila ia mempunyai kekhususan sesuai dengan
peran dan fungsinya yang bertanggung jawab menolong
persalinan. Dengan demikian penyimpangan etik mungkin
saja akan terjadi dalam praktek kebidanan misalnya dalam
praktek mandiri, bidan yang bekerja di RS, RB atau institusi
kesehatan lainnya. Dalam hal ini bidan yang praktek mandiri
menjadi pekerja yang bebas mengontrol dirinya sendiri.
Situasi ini akan besar sekali pengaruhnya terhadap
kemungkinan terjadinya penyimpangan etik.
Kasus
Di sebuah desa, ada seorang bidan yang sudah membuka
praktek kurang lebih selama satu tahun. Pada suatu hari
datang seorang klien bernama Ny ‘A’ usia kehamilan 38
minggu dengan keluhan perutnya terasa kenceng kenceng dan
terasa sakit sejak 5 jam yang lalu. Setelah dilakukan VT,
didapatkan hasil pembukaan 3 dan ternyata janin dalam
keadaan letak sungsang. Oleh karena itu bidan menyarankan
agar di Rujuk ke Rumah Sakit untuk melahirkan secara
operasi SC. Namun keluarga klien terutama suami menolak
untuk di Rujuk dengan alasan tidak punya biaya untuk
72

membayar operasi. Tapi bidan tersebut berusaha untuk


memberi penjelasan bahwa tujuan di Rujuk demi keselamatan
janin dan juga ibunya namun jika tetap tidak mau dirujuk akan
sangat membahayakan janin maupun ibunya. Tapi keluarga
bersikeras agar bidan mau menolong persalinan tersebut.
Sebenarnya, dalam hal ini bidan tidak yakin bisa berhasil
menolong persalinan dengan keadaan letak sungsang seperti
ini karena pengalaman bidan dalam hal ini masih belum
begitu mendalam. Selain itu juga dengan di Rujuk agar
persalinan berjalan dengan lancar dan bukan kewenangan
bidan untuk menolong persalinan dalam keadaan letak
sungsang seperti ini. Karena keluarga tetap memaksa,
akhirnya bidan pun menuruti kemauan klien serta keluarga
untuk menolong persalinan tersebut. Persalinan berjalan
sangat lama karena kepala janin tidak bisa keluar. Setelah bayi
lahir ternyata bayi sudah meninggal. Dalam hal ini keluarga
menyalahkan bidan bahwa bidan tidak bisa bekerja secara
profesional dan dalam masyarakatpun juga tersebar bahwa
bidan tersebut dalam melakukan tindakan sangat lambat dan
tidak sesuai prosedur.
 Konflik
keluarga terutama suami menolak untuk di rujuk ke Rumah
sakit dan
melahirkan secara operasi SC dengan alasan tidak punya
biaya untuk
membayar operasi.
 Issu : Di mata masyarakat, bidan tersebut dalam pelayanan
atau melakukan
tindakan tidak sesuai prosedur dan tidak profesioanl. Selain
itu juga
masyarakat menilai bahwa bidan tersebut dalam menangani
pasien
dengan kelas ekonomi rendah sangat lambat atau membeda-
bedakan antara pasien yang ekonomi atas dengan ekonomi
rendah.
 Dilema : Bidan merasa kesulitan untuk memutuskan tindakan
yang tepat untuk
menolong persalinan Resiko Tinggi. Dalam hal ini letak
sungsang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh bidan sendiri
dengan keterbatasan alat dan kemampuan medis. Seharusnya
ditolong oleh Dokter Obgyn, tetapi dalam hal ini diputuskan
untuk menolong persalianan itu sendiri dengan alasan desakan
dari kelurga klien sehingga dalam hatinya merasa kesulitan
73

untuk memutuskan sesuai prosedur ataukah kenyataan di


lapangan.
2. Issue Etik yang terjadi antara Bidan dengan Teman
Sejawat
Issue etik adalah topic yang cukup penting untuk dibicarakan
sehingga mayoritas individu akan mengeluarkan opini terhadap
masalah tersebut sesuai dengan asas ataupun nilai yang
berkenaan dengan akhlak, niali benar salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
 Contoh Issue Etik yang terjadi antara Bidan dengan Teman
Sejawat Di suatu desa yang tidak jauh dari kota dimana di
desa tersebut ada dua orang bidan yaitu bidan “A” dan bidan
“B” yang sama – sama memiliki BPS dan ada persaingan di
antara dua bidan tersebut. Pada suatu hari datang seorang
pasien yang akan melahirkan di BPS bidan “B” yang
lokasinya tidak jauh dengan BPS bidan “A”. Setelah
dilakukan pemeriksaan ternyata pembukaan masih belum
lengkap dan bidan “B” menemukan letak sungsang dan
bidan tersebut tetap akan menolong persalinan tersebut
meskipun mengetahui bahwa hal tersebut melanggar
wewenang sebagai seorang bidan demi mendapatkan banyak
pasien untuk bersaing dengan bidan “A”. Sedangkan bidan
“A” mengetahui hal tersebut. Jika bidan “B” tetap akan
menolong persalinan tersebut,bidan “A” akan melaporkan
bidan “B” untuk menjatuhkan bidan “B” karena di anggap
melanggar wewenang profesi bidan.
 Issu moral: seorang bidan melakukan pertolongan persalinan
normal.
 Konflik moral: menolong persalinan sungsang untuk
nendapatkan pasien demi persaingan atau dilaporkan oleh
bidan “A”.
 Dilema moral:
Bidan “B” tidak melakukan pertolongan persalinan
sungsang tersebut namun bidan kehilangan satu pasien.
Bidan “B” menolong persalinan tersebut tapi akan
dijatuhkan oleh bidan “A” dengan di laporkan ke lembaga
yang berwewenang
3. Issu Etik Bidan dengan Team Kesehatan Lainnya
Yaitu perbedaan sikap etika yang terjadi pada bidan dengan
tenaga medis lainnya. Sehingga menimbulkanketidak
sepahaman atau kerenggangan social.
 Kasus1
74

Disuatu desa yang ada sebuah BPS, suatu hari ada seorang
Ibu berusia 35 Tahun keadaannya sudah lemah. bidan
menanyakan kepada keluarga pasien apa yang terjadi pada
pasien. Dan suami pasien menjawab ketika dirumah Px
jatuh & terjad iperdarahan hebat. Setelah itu bidan
memberikan pertolongan , memberikan infuse dst…. Bidan
menjelaskan pada keluarga, agar istrinya di bawa ke rumah
sakit untuk dilakukan curretase.Kemudian keluarga px
menolak saran bidan tsb, dan meminta bidan yang
melakukan currentase. selang waktu 2 hari px mengalami
perdarahan lagi kemudian keluarga merujuk ke RS.Dokter
menanyakan kapeda suami px, apa yang sebenarnya terjadi
dan suami px menjelaskan bahwa 3 hari yang lalu istrinya
mengalami keguguran & di currentase bidan didesany.
dokter mendatangi bidan terebut. Maka Terjadilah konflik
antara bidan & dokter.

 Issue etik : Mall Praktek Bidan melakukan tindakan diluar


wewenangnya.
 Konflik :bidan melakukan currentase diluar wewenangnya
sehingga terjadilah konflik antara bidan & dokter.
 Dilema : jika tidak segera dilakukan tindakan takutnya
merenggut nyawa px karena BPS jauh dari RS. Dan jika
dilakukan tindakan bidan merasa melanggar kode etik
kebidanan & merasa melakukan tindakan diluar
wewenangnya.
4. Issue etik yang terjadi antara bidan dan organisasi profesi
Issue etik yang terjadi antara bidan dan organisasi profesi
adalah suatu topic masalah yang menjadi bahan pembicaraan
antara bidan dengan organisasi profesi karena terjadinyasuatu
hal-hal yangmenyimpang dari aturan-aturan yang telah
ditetapkan.
 Kasus
Seorang ibu yang ingin bersalin di BPS pada bidan A sejak
awal kehamilan ibutersebut memang sudah sering
memeriksakan kehamilannya. Menurut hasil
pemeriksaanbidan Ibu tersebut mempunyai riwayat
hipertensi. Maka kemungkinan lahir pervaginanyasangat
beresiko Saat persalinan tiba. Tekanan darah ibu menjadi
tinggi. Jik atidak dirujuk maka beresiko terhadap janin dan
kondisi si Ibu itu sendiri. Resiko pada janin bisa
terjadigawat janin dan perdarahan pada ibu. Bidan A sudah
mengerti resiko yang akan terjadi. Tapiia ebih memntingkan
egonya sendiri karena takut kehilangan komisinya dari pada
75

dirujuk kermah sakit. Setelah janin lahir Ibu mengalami


perdarahan hebat, sehingga kejang-kejang danmeninggal.
Saaat berita itu terdengar organisasi profesi ( IBI ), maka
IBI memberikan sanksiyang setimpal bahwa dari
kecerobohannya sudah merugikan orang lain. Sebagai
gantinya,ijin praktek ( BPS ) bidan A dicabut dan dikenakan
denda sesuai dengan pelanggarantersebut.
 Issue etik
Terjadi malpraktek dan pelangaran wewenang Bidan
 Dilema etik
Warga yang mengetahui hal tersebut segera melaporkan
kepada organisasi profesi dan diberikan penangan.
Rangkuman
Isu adalah masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau
suatu lingkungan yang belum tentu benar, serta membutuhkan
pembuktian. Isu adalah topic yang menarik untuk didiskusikan
dan sesuatu yang memungkinkan orang untuk mengemukakan
pendapat yang bervariasi. Isu muncul dikarenakan adanya
perbedaan nilai. terdapat beberapa isu etik dalam pelayanan
kebidanan, diantaranya yakni Issue etik yang terjadi antara bidan
dengan klien,keluarga,masyarakat , Issue Etik yang terjadi antara
Bidan dengan Teman Sejawat, Issu Etik Bidan dengan Team
Kesehatan Lainny dan Issue etik yang terjadi antara bidan dan
organisasi profesi

SOAL-SOAL
1 Berikut ini yang merupakan definisi dari isue etik ialah..
a. masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau suatu
lingkungan yang belum tentu benar, serta membutuhkan
pembuktian
b. norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap profesi
didalam melaksanakan tugas profesinya dan didalam
hidupnya dimasyarakat
c. nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya
d. nilai mengenai benar atau salah yang dianut oleh seseorang ,
golongan atau masyarakat
e. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
Jawaban A
2 Berikut ini yang merupakan contoh isu etik dalam persetujuan
proses melahirkan yakni..

a. Pengambilan keputusan dan penggunaan etik.


b. Otonomi bidan dan kode etik profesional.
76

c. Etik dalam penelitian kebidanan.


d. Penelitian tentang masalah kebidanan yang sensitif.
e. Kegagalan dalam proses persalinan.
Jawaban E
3 Berikut ini yang bukan merupakan contoh isu etik dalam
teknologi yakni

a. Perawatan intensif pada bayi.


b. Skreening bayi.
c. Transplantasi organ.
d. Bidan dan pendidikan seks
e. Teknik reproduksi dan kebidanan.
Jawaban D
4 Berikut ini yang merupakan contoh isu etik dalam profesi yakni

a. Memilih atau mengambil keputusan dalam persalinan.


b. Kegagalan dalam proses persalinan.
c. Etik dalam penelitian kebidanan.
d. Pelaksanan USG dalam kehamilan.
e. Konsep normal pelayanan kebidanan
Jawaban C

5 Berikut ini yang termasuk definisi dari isu moral yakni..


a. Masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau suatu
lingkungan yang belum tentu benar, serta membutuhkan
pembuktian
b. Norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap profesi
didalam melaksanakan tugas profesinya dan didalam
hidupnya dimasyarakat
c. Topik pentik yang berhubungan dengan benar dan salah dalam
kehidupan sehari-hari
d. Nilai mengenai benar atau salah yang dianut oleh seseorang ,
golongan atau masyarakat
e. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
Jawaban C
6 Berikut ini yang bukan isu etik dalam pelayanan kebidanan
yakni..

a. Issue etik yang terjadi antara bidan dengan


klien,keluarga,masyarakat
b. Issue Etik yang terjadi antara Bidan dengan Teman Sejawat
c. Issu Etik Bidan dengan Team Kesehatan Lainnya
d. Issue etik dengan pemerintahan
e. Issue etik yang terjadi antara bidan dan organisasi profesi
77

Jawaban D
7. Berikut ini yang bukan merupakan contok isue etik dalam
pelayanan kebidanan adalah berhubungan dengan ...
a. Agama/kepercayaan
b. Pemasalahan
c. Pengambilan keputusan
d. Kematian
e. Kerahasiaan
Jawaban B
8. Transplantasi organ merupakan contoh dari isu etik dibidang
a. Profesi kebidanan
b. Teknologi
c. Pengambilan keputusan
d. Profesi kedokteran
e. Kehendak pasien
Jawaban B
9. pengambilan keputusan dan penggunaan etik merupakan contoh
dari isu etik dibidang
a. Profesi kebidanan
b. Teknologi
c. Pengambilan keputusan
d. Profesi
e. Kehendak pasien
Jawaban D
10. Seorang ibu yang ingin bersalin di BPS pada bidan A sejak awal
kehamilan ibutersebut memang sudah sering memeriksakan
kehamilannya. Menurut hasil pemeriksaanbidan Ibu tersebut
mempunyai riwayat hipertensi. Maka kemungkinan lahir
pervaginanyasangat beresiko Saat persalinan tiba. Tekanan darah
ibu menjadi tinggi. Jik atidak dirujuk maka beresiko terhadap
janin dan kondisi si Ibu itu sendiri. Resiko pada janin bisa
terjadigawat janin dan perdarahan pada ibu. berdasarkan cuplikan
kasus diatas tergolong isu etik terhadap...

a. Issue etik yang terjadi antara bidan dengan


klien,keluarga,masyarakat
b. Issue Etik yang terjadi antara Bidan dengan Teman Sejawat
c. Issu Etik Bidan dengan Team Kesehatan Lainnya
d. Issue etik dengan pemerintahan
e. Issue etik yang terjadi antara bidan dan organisasi profesi
Jawaban D
78

KEGIATAN BELAJAR 10

MASALAH YANG MENJADI ISU ETIK


DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

Tujuan Pembelajaran Umum


 Setelah mempelajari buku ajar ini, diharapkan mahasiswa mampu
mengidentifikasi isu etik dalam pelayanan kebidanan
Tujuan Pembelajaran Khusus
 Mahasiswa mampu memecahkan masalah yang menjadi isu etik dalam
pelayanan kebidanan
URAIAN MATERI
Dalam praktik kebidanan seringkali bidan dihadapi oleh beberapa permasalahan
yang dilematis, artinya pengambilan keputusan yang sulit berkaitan dengan kode
etik. Dilema muncul karena terbentur pada konflik moral, pertentangan batin atau
pertentangan antara nilai- nilai yang diyakini bidan dalam kenyataan yang ada.
1. Pengertian Issue Etik
Isu adalah masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau suatu
lingkungan yang belum tentu benar, serta membutuhkan pembuktian. Etika
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam
hidupmanusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak
dengan didasaripikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan.
Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat dengan nilai
manusia dalm menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah dan apakah
pernyataan itu baik atau buruk.Sedangkan dalam konteks secara luas
dinyatakan bahwa: Etik adalah aplikasi dari proses dan teori filsafat moral
terhadap kenyataan yang sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-
prinsip dan konsep yang membimb ing makhluk hidup dalam berfikir dan
bertidak serta menekankan nilai-nila i mereka. (Shirley R Jones – Ethics in
Midewifery)

76
79

Issue etik dalam pelayanan kebidanan merupakan opic yang penting yang
berkembang di masyarakat tentang nilai manusia dalam menghargai suatu
tindakan yang berhubungan dengan segala aspek kebidanan yang menyangkut
baik dan buruknya.
2. Bentuk-bentuk Etik
a. Etika deskriptif, yang memberikan gambaran dan ilustrasi tentang tingakh
laku manusia ditinjau dari nilai baik dan buruk serta hal-hai, ma na yang
boleh dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat.
b. Etika Normatif, membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan
manusia, yang biasanya dikelompokkan menjadi:
a) Etika umum; yang membahas berbagai hal yang berhubungan dengan
kondisi manusia untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan
berdasarkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral.
b) Etika khusus; terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika
Terapan.
 Etika sosial menekankan tanggungjawab sosial dan hubungan
antarsesama manusia dalam aktivitasnya,
 Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban
manusia sebagai pribadi,
 Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi
← Beberapa pembahasan masalah etik dalm kehidupan sehari hari adalah
sebagai berikut:
← Persetujuan dalam proses melahirkan.
← Memilih atau mengambil keputusan dalam persalinan.
← Kegagalan dalam proses persalinan.
← Pelaksanan USG dalam kehamilan.
← Konsep normal pelayanan kebidanan.
← Bidan dan pendidikan seks
← Masalah etik yang berhubungan dengan tekhnologi
← Perawatan intensif pada bayi.
← Skreening bayi.
80

← Transplantasi organ.
← Teknik reproduksi dan kebidanan. Masalah etik yang berhubungan
dengan profesi
← Pengambilan keputusan dan penggunaan etik.
← Otonomi bidan dan kode etik profesional.
← Etik dalam penelitian kebidanan.
← Penelitian tentang masalah kebidanan yang sensitif.
3. Issue Etik Dalam Pelayanan Kebidanan
Sebelum melihat masalah etik yang Mungkin timbul dalam pelayanan
kebidanan, maka ada baiknya dipahami beberapa Istilah berikut ini :
1. Legislasi (Lieberman, 1970) Ketetapan hukum yang mengatur hak
dan kewajiban seseorang yang berhubungan erat dengan tindakan.
2. Lisensi Pemberian izin praktek sebelum diperkenankan melakukan
pekerjaan yang telah diterapkan. Tujuannya untuk membatasi
pemberian wewenang dan untuk meyakinkan klien.
3. Deontologi/Tugas Keputusan yang diambil berdasarkan
keserikatan/berhubungan dengan tugas. Dalam pengambilan
keputusan, perhatian utama pada tugas.
4. Hak Keputusan berdasarkan hak seseorang yang tidak dapat
diganggu. Hak berbeda dengan keinginan, kebutuhan dan kepuasan
Instusioner Keputusan diambil berdasarkan pengkajian dari dilemma
etik dari kasus per kasus. Dalam teori ini ada beberapa kewajiban dan
peraturan yang sama pentingnnya.
7. Beneficience Keputusan yang diambil harus selalu
menguntungkan.
8. Mal-efecience Keputusan yang diambil merugikan pasien
9. Malpraktek/Lalaia. Gagal melakukan tugas/kewajiban kepada
klien. Tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar. Melakukan
tindakan yang mencederai klien. Klien cedera karena kegagalan
melaksanakan tugas
81

10. Malpraktek terjadi karena. Cerobohan. Lupa.


Gagal
mengkomunikasikan. Bidan sebagai petugas Kesehatan
sering
berhadapan dengan masalah etik yang berhubungan dengan
hukum. Sering masalah dapat diselesaikan dengan hukum, tetapi
belum tentu dapat diselesaikan berdasarkan prinsip-prinsip
dan nilai- nilai etik.
Banyak hal yang bisa membawa seorang
bidan berhadapan dengan masalah etik.
Contoh kasus :
Di sebuah desa terpencil seorang ibu mengalami pendarahan
postpartum setelah melahirkan bayinya yang pertama di rumah. Ibu
tersebut menolak untuk diberikan suntikkan uterotonika. Bila
ditinjau dari hak pasien atas keputusan yang menyangkut dirinya
maka bidan bisa saja tidak memberikan suntikkan karena kemauan
pasien. Tetapi bidan akan berhadapan dengan masalah yang lebih
rumit bila terjadi pendarahan hebat dan harus diupayakan
pertolongan untuk merujuk pasien, dan yang lebih patal lagi bila
pasien akhirnya meninggal karena pendarahan. Dalam hal ini bisa
dikatakan tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Walapun
bidan harus memaksa pasiennya untuk disuntik Mungkin itulah
keputusan yang terbaik yang harus ia lakukan (dentology).
Issue etik dalam pelayanan kebidanan merupakan topik yang
penting yang berkembang di masyarakat tentang nilai manusia
dalam menghargai suatu tindakan yang berhubungan dengan segala
aspek kebidanan yang menyangkut baik dan buruknya.
Issue etik yang terjadi antara Bidan dengan Klien, Kelurga, dan
Masyarakat Teman Sejawat,Teman kesehatan lainya, Organisasi
profesi.
82

d. Issue etik yang terjadi antara bidan dengan klien,keluarga,


masyarakat Issue etik yang terjadi antara bidan dengan klien,
keluarga dan masyarakat mempunyai hubungan erat dengan
nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan. Seorang bidan
dikatakan profesional bila ia mempunyai kekhususan sesuai
dengan peran dan fungsinya yang bertanggung jawab
menolong persalinan. Dengan demikian penyimpangan etik
mungkin saja akan terjadi dalam praktek kebidanan misalnya
dalam praktek mandiri, bidan yang bekerja di RS, RB atau
institusi kesehatan lainnya. Dalam hal ini bidan yang praktek
mandir i menjadi pekerja yang bebas mengontrol dirinya
sendiri. Situasi ini akan besar sekali pengaruhnya terhadap
kemungkinan terjadinya penyimpangan etik.
Contoh kasus :
Di sebuah desa, ada seorang bidan yang sudah membuka
praktek kurang lebih selama satu tahun. Pada suatu hari datang
seorang klien bernama Ny ‘A’ usia kehamilan 38 minggu
dengan keluhan perutnya terasa kenceng kenceng dan terasa
sakit sejak 5 jam yang lalu. Setelah dilakukan VT, didapatkan
hasil pembukaan 3 dan ternyata janin dalam keadaan letak
sungsang. Oleh karena itu bidan menyarankan agar di Rujuk ke
Rumah Sakit untuk melahirkan secara operasi SC. Namun
keluarga klien terutama suami menolak untuk di Rujuk dengan
alasan tidak punya biaya untuk membayar operasi. Tapi bidan
tersebut berusaha untuk memberi penjelasan bahwa tujuan di
Rujuk demi keselamatan janin dan juga ibunya namun jika
tetap tidak mau dirujuk akan Sangat membahayakan janin
maupun ibunya. Tapi keluarga bersikeras agar bidan mau
menolong persalinan tersebut.
Sebenarnya, dalam hal ini bidan tidak yakin bisa berhasil
menolong persalinan dengan keadaan letak sungsang seperti ini
83

karena pengalama n bidan dalam hal ini masih belum begitu


mendalam. Selain itu juga dengan di Rujuk agar persalinan
berjalan dengan lancar dan bukan kewenangan bidan untuk
menolong persalinan dalam keadaan letak sungsang seperti ini.
Karena keluarga tetap memaksa, akhirnya bidan pun menuruti
kemauan klien serta keluarga untuk menolong persalina n
tersebut. Persalinan berjalan sangat lama karena kepala janin
tidak bisa keluar. Setelah bayi lahir ternyata bayi sudah
meninggal. Dalam hal ini keluarga menyalahkan bidan bahwa
bidan tidak bisa bekerja secara profesional dan dalam
masyarakatpun juga tersebar bahwa bidan tersebut dalam
melakukan tindakan sangat lambat dan tidak sesuai prosedur.
Konflik :
Keluarga terutama suami menolak untuk di rujuk ke Rumah
sakit dan melahirkan secara operasi SC dengan alasan tidak
punya biaya untuk membayar operasi.
Issue :
Di mata masyarakat, bidan tersebut dalam pelayanan atau
melakukan tindakan tidak sesuai prosedur dan tidak
profesioanl. Selain itu juga masyarakat menilai bahwa bidan
tersebut dalam menangani pasien dengan kelas ekonomi rendah
sangat lambat atau membeda-bedakan antara pasien yang
ekonomi atas dengan ekonomi rendah.
Dilema :
Bidan merasa kesulitan untuk memutuskan tindakan yang
tepat untuk menolong persalinan Resiko Tinggi. Dalam hal ini
letak sungsang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh bidan
sendiri dengan keterbatasan alat dan kemampuan medis.
Seharusnya ditolong oleh Dokter Obgyn, tetapi dalam hal ini
diputuskan untuk menolong persalianan itu sendiri dengan
alasan desakan dari kelurga klien sehingga dalam hatinya
84

merasa kesulitan untuk memutuskan sesuai prosedur ataukah


kenyataan di lapangan.

c. Issue Etik yang terjadi antara bidan dengan teman sejawat.


Issue etik adalah topic yang cukup penting untuk dibicarakan
sehingga mayoritas individu akan mengeluarkan opini terhadap
masalah tersebut sesuai dengan asas ataupun nilai yang
berkenaan dengan akhlak, niali benar salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
Contoh kasus :
Di suatu desa yang tidak jauh dari kota dimana di desa
tersebut ada dua orang bidan yaitu bidan “A” dan bidan “B”
yang sama – sama memilik i BPS dan ada persaingan di antara
dua bidan tersebut.Pada suatu hari datang seorang pasien yang
akan melahirkan di BPS bidan “B” yang lokasinya tidak jauh
dengan BPS bidan “A”. Setelah dilakukan pemeriksaan
ternyata pembukaan masih belum lengkap dan bidan “B”
menemukan letak sungsang dan bidan tersebut tetap akan
menolong persalinan tersebut meskipun mengetahui bahwa hal
tersebut melanggar wewenang sebagai seorang bidan demi
mendapatkan banyak pasien untuk bersaing dengan bidan
“A”.Sedangkan bidan “A” mengetahui hal tersebut. Jika bidan
“B” tetap akan menolong persalinan tersebut,bidan “A” akan
melaporkan bidan “B” untuk menjatuhkan bidan “B” karena di
anggap melanggar wewenang profesi bidan.
Issu Moral:
seorang bidan melakukan pertolongan persalinan normal.
Konflik Moral:
Menolong persalinan sungsang untuk nendapatkan pasien
demi persaingan atau dilaporkan oleh bidan “A”.
85

Dilema Moral:
← Bidan “B” tidak melakukan pertolongan persalinan
sungsang tersebut namun bidan kehilangan satu pasien.
b. Bidan “B” menolong persalinan tersebut tapi akan
dijatuhkan oleh bidan “A” dengan di laporkan ke lembaga
yang berwewenang
c. Issu Etik Bidan dengan Team Kesehatan Lainnya
Yaitu perbedaan sikap etika yang terjadi pada bidan dengan
tenaga medis lainnya. Sehingga menimbulkan
ketidaksepahaman atau kerengganga n social.
Kasus :
Disuatu desa yang ada sebuah BPS, suatu hari ada seorang Ibu
berusia 35 Tahun keadaannya sudah lemah. bidan menanyakan
kepada keluarga pasien apa yang terjadi pada pasien. Dan
suami pasien menjawab ketika dirumah Px jatuh & terjad
iperdarahan hebat. Setelahitu bidan memberikan pertolongan ,
memberikan infuse dst…. Bidan menjelaska n pada keluarga,
agar istrinya di bawa ke rumah sakit untuk dilakukan
curretase.Kemudian keluarga pxmenolak saran bidan tsb, dan
meminta bidan yang melakukan currentase. selang waktu 2 hari
pxmenga la mi perdarahan lagi kemudian keluarga merujuk ke
RS.Dokter menanyaka n kapeda suami px, apa yang
sebenarnya terjadi dan suami px menjelaska n bahwa 3 hari
yang lalu istrinya mengalami keguguran & di currentase bidan
didesany. dokter mendatangi bidan terebut. Maka
Terjadillah konflik antara bidan & dokter.
Issue Etik :
Mall Praktek Bidan melakukan tindakan diluar wewenangnya.
Konflik bidan melakukan currentase diluar wewenangnya
sehingga terjadilah konflik antara bidan & dokter.
Dilema :
86

jika tidak segera dilakukan tindakan takutnya merenggut


nyawa px karena BPS jauh dari RS. Dan jika dilakukan
tindakan bidan merasa melanggar kode etik kebidanan &
merasa melakukan tindakan diluar wewenangnya.
d. Issue etik yang terjadi antara bidan dan organisasi profesi
adalah suatu topic masalah yang menjadi bahan
pembicaraan antara bidan dengan organisasi profesi karena
terjadinya suatu hal-hal yang menyimpang dari aturan-aturan
yang telah ditetaplah.
4. Issue Moral dalam praktek kebidanan
Moral merupakan pengetahuan atau keyakian tentang adanya hal
yang baik dan buruk yang mempengaruhi siakap seseorang.
Kesadaran tentang adanya baik buruk berkembang pada diri
seseorang seiring dengan pengaruh lingkungan, pendidikan, sosial
budaya, agama, dll. Hal ini yang disebut kesadaran moral. Isu
moral dalam pelayanan kebidanan merupakan topik yang penting
yang berhubungan dengan benar dan salah sebagai contoh nilai-
nilai yang berhubungan dengan benar dan salah sebagai contoh
nilai-nilai yang berhubungan dalam kehidupan seharihari yang
ada kaitannya dengan pelayanan kebidanan menyangkut kasus
abortus, euthanasia, keputusan untuk terminasi
kehamilan.Beberapa contoh isu moral dalam kehidupan sehari-
hari:
1. Kasus abortus.
2. Euthanansia.
3. Keputusan untuk terminasi kehamialnIsu moral juga
berhubungan dengan kejadian luar biasa dalam kehidupan
sehari-hari, seperti yang menyangkut konflik dan perang.
5. Dilema dan Konflik Moral
Dilema moral menurut Campbell adalah suatu keadaan
dimana dihadapkan pada dua alternative pilihan, yang
87

kelihatannya sama atau hampir sama dan membutuhkan


pemecahan masalah. Kesadaran Moral erat
kaitannya dengan nilai- nilai, keyakinan seseorang dan pada
prinsipnya semua manusia dewasa tahu akan hal yang baik dan
buruk, inilah ynag disebut suara hati. Perkembanan ilmu
pengetahuan dan tehnologi berdampak pada perubahan pola pikir
manusia Masyarakat semakin kritis sehingga terjadi penguatan
tuntutan terhadap mutu pelayanan kebidanan.Mutu pelayanan
kebidanan yang baik butuh landasan komitmen yang kuat dengan
basik etik dan moral yang baik. Dalam praktik kebidanan
seringkali bidan dihadapkan pada beberapa
permasalahanyang dilemati artinya pengambilan keputusan
yang sulit berkaitan dengan etik. Dilema muncul karena terbentu
pada konflik moral pertentangan batin atau pertentangan antara
nilai-nilai yang diyakini bidan dengan kenyataan yang ada.
Dilema muncul karena terbentur pada konflik moral, pertentangan
batin, atau pertentangan antara nilai- nilai yang diyakini
bidan dengan kenyataan yang ada. Ketika mencari solusi
atau pemecahan masalah harus mengingat akan
tanggung jawab profesional,yaitu :

1. Tindakan selalu ditujukan untuk peningkatan


kenyamana n
kesejahteraan pasien atau klien.
2. Menjamin bahwa tidak ada tindakan yang menghilangkan
sesuatu bagian [omission], disertai ras tanggung jawab
memperhatika n
kondisi dan keamanan pasien atau klien.
Tuntukan bahwa etik adalah hal penting dalam kebidanan salah
satunya adalah karena bidan merupakan profesi yang bertanggung
jawab terhadap keputusan yang dibuat berhubungan dengan klien
88

serta harus mempunya i tanggung jawab moral terhadap


keputusan yang di ambil. Untuk dapat menjalankan praktik
kebidanan dengan baik tidak hanya dibutuhka n pengetahuan
klinik yang baik, serta pengetahuan yang up to date, tetapi bidan
juga harus mempunyai pemahaman isu etik dalam pelayanan
kebidanan.
Konflik moral menurut Johnson adalah bahwa konflik atau dilema
pada dasarnya sama , kenyataannya konflik berada diantara
prinsip moral dan tugas yang mana sering menyebabkan dilema.
Ada 2 tipe konflik:
1. Konflik yang berhubungan dengan prinsip.
2. Konflik yang berhubungan dengan otonomi.
Dua tipe konflik ini merupakan dua bagian yang tidak dapat
dipisahkan.
contoh :
Issue Moral
seorang bidan melakukan pertolongan persalinan normal.
Konflik Moral:
menolong persalinan sungsang untuk mendapatkan pasien demi
persaingan atau dilaporkan oleh bidan “A”.
Dilema Moral:
1. Bidan “B” tidak melakukan pertolongan persalinan sungsang
tersebut namun bidan kehilangan satu pasien.
2. Bidan “B” menolong persalinan tersebut tapi akan dijatuhkan
oleh bidan “A” dengan di laporkan ke lembaga yang
berwenang.

RANGKUMAN
Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat dengan nila i
manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah dan apakah
penyelesaiannya baik atau salah (Jones, 1994).
89

Issue Etik yang terjadi antara bidan dengan klien, keluarga dan masyarakat
mempunyai hubungan erat dengan nilai manusia dengan menghar ga i suatu
tindakan. Seorang bidan dikatakan professional bila ia mempunya i kekhususan
sesuai dengan peran dan fungsinya yang bertanggung jawab menolong persalinan.
Dengan demikina penyimpangan etik mungkin saja akan terjadi dalam praktik
kebidanan misalnya dalam praktek mandiri, bidan yang bekerja di RS, RB atau
institusi kesehatan lainnya. Dalam hal ini bidan yang praktek mandiri menjadi
pekerja yang bebas mengontrol dirinya sendiri. Situasi ini akan besar sekali
pengaruhnya terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan etik.
Isu moral juga berhubungan dengan kejadian yang luar biasa dalam
kehidupan sehari-hari seperti menyangkut konflik malpraktik perang dan
sebagainya. Dilema moral menurut Campbell adalah suatu keadaan dimana
dihadapkan pada dua alternative pilihan, yang kelihatannya sama atau hampir
sama dan membutuhkan pemecahan masalah.
TES FORMATIF
1. Memilih atau mengambil keputusan dalam persalinan adalah salah satu contoh
dari :
a. Persetujuan dalam tindakan
b. Masalah etik yang berhungan dengan profesi
c. Masalah etik yang berhubungan dengan teknologi
d. Isue etik
e. Dilema moral
2. Transpalasi organ merupakan salah satu contoh dari :
a. Persetujuan dalam tindakan
b. Masalah etik yang berhubungan dengan profesi
c. Masalah etik yang berhubungan dengan teknologi
d. Isue etik
e. Dilema moral
3. Otonomi bidan dan kode etik professional adalah salah satu contoh dari
a. Persetujuan dalam tindakan
b. Masalah etik yang berhubungan dengan profesi
90

c. Masalah etik yang berhubungan dengan teknologi


d. Isue etik
e. Dilema moral
4. Aborsi merupakan contoh dari
a. Persetujuan dalam tindakan
b. Masalah etik yang berhubungan dengan profesi
c. asalah etik yang berhubungan dengan teknolgi
d. Isue etik
e. Dilema moral
5. Kematian bayi karena imunisasi merupakan contoh dari
a. Persetujuan dalam tindakan
b. Masalah etik yang berhubungan dengan profesi
c. Masalah etik yang berhubungan dengan teknologi
d. Issue Etik
e. Dilema Moral

JAWABAN
1. A
2. C
3. B
4. D
5. E
91
92

KEGIATAN PEMBELAJARAN 11

UNDANG-UNDANG TENTANG
KESEHATAN

 Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mempelajari buku ajar ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami
tugas bidan berdasarkan undang-undang tentang kesehatan.
 Tujuan Pembelajaran Khusus
Mahasiswa mampu merumuskan langkah-langkah penyelesaian masalah ,
melaksanakan informed choice dan informed consent sesuai dengan undang-
undang kesehatan.
 Pokok-pokok Materi
Undang-undang tentang kesehatan.
A. KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual


maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.

2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga,


perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas
pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan


untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.

5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang


tidak mengandung obat yang digunakan
89 untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit,
93

memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan


memperbaiki fungsi tubuh.

6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam


bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang


digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

8. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk
manusia.

9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat.

10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang
ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan
penanganan permasalahan kesehatan manusia.

11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan


yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam
bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
94

12. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau


serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan
kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.

13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan


terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.

14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian


kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit,
pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau
pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal
mungkin.

15. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian


kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat
sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna
untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuannya.

16. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan


dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan
turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden


Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

18. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

19. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang kesehatan.

B. ASAS DAN TUJUAN


95

Pasal 2

Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan


perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan
terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan
norma-norma agama.

Pasal 3

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,


dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomis.

C. HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu

Hak

Pasal 4

Setiap orang berhak atas kesehatan.

Pasal 5

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas
sumber daya di bidang kesehatan.

(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan


yang aman, bermutu, dan terjangkau.

(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Pasal 6
96

Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian


derajat kesehatan.

Pasal 7

Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang


kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.

Pasal 8

Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya


termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya
dari tenaga kesehatan.

Bagian Kedua

Kewajiban

Pasal 9

(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan


meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi


upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan
pembangunan berwawasan kesehatan.

Pasal 10

Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya


memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.

Pasal 11

Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan,


mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.
97

Pasal 12

Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan


bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.

Pasal 13

(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan
sosial.

(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

D. TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH


Pasal 14

(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,


menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.

(2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dikhususkan pada pelayanan public

Pasal 15

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan,


fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai
derajat kesehatan yang setinggitingginya.

Pasal 16

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang


kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
98

Pasal 17

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi,


edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan
memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 18

Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif


masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan.

Pasal 19

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya


kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.

Pasal 20

(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan


masyarakat melalui sistem jaminan social nasional bagi upaya
kesehatan perorangan.

(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

E. SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN

Bagian Kesatu

Tenaga Kesehatan
99

Pasal 21

(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan,


pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka
penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan,


pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 22

(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.

(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 23

(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan


kesehatan.

(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang
dimiliki.

(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib


memiliki izin dari pemerintah.

(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.

(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Menteri.

Pasal 24
100

(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi


ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.

(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.

(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan,


dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 25

(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh


Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan
dan/atau pelatihan.

(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.

(3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 26

(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan


pelayanan kesehatan.

(2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan


sesuai dengan kebutuhan daerahnya.

(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:

a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;

b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan


101

c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan


yang ada.

(4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 27

(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum


dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban
mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki.

(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 28

(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan


kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh
negara.

(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada


kompetensi dan kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.

Pasal 29

Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan


profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Bagian Kedua
102

Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pasal 30

(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas:

a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan

b. pelayanan kesehatan masyarakat.

(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;

b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan

c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.

(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilaksanakan oleh pihak Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.

(4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang
berlaku.

(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 31

Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:

a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di


bidang kesehatan; dan

b. mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah


daerah atau Menteri.

Pasal 32
103

(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah


maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan
nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah


maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Pasal 33

(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat


harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang
dibutuhkan.

(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 34

(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan


harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang
dibutuhkan.

(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga


kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan
profesi.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 35

(1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.

(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dengan
mempertimbangkan:
104

a. luas wilayah;

b. kebutuhan kesehatan;

c. jumlah dan persebaran penduduk;

d. pola penyakit;

e. pemanfaatannya;

f. fungsi sosial; dan

g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.

(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta
pemberian izin beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga
untuk fasilitas pelayanan kesehatan asing.

(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk jenis rumah sakit
khusus karantina, penelitian, dan asilum.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan fasilitas pelayanan


kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Perbekalan Kesehatan

Pasal 36

(1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan


perbekalan kesehatan, terutama obat esensial.

(2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat


melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan
bahan yang berkhasiat obat.

Pasal 37
105

(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat


akan perbekalan kesehatan terpenuhi.

(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat
kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan,
harga, dan factor yang berkaitan dengan pemerataan.

Pasal 38

(1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan


kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan terutama


untuk obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat obat.

(3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan memperhatikan


kelestarian lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam dan sosial budaya.

Pasal 39

Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 40

(1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia
bagi kepentingan masyarakat.

(2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan
disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan
kebutuhan dan teknologi.

(3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersedia
secara merata dan terjangkau oleh masyarakat.

(4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk
pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan.
106

(5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan dengan mengadakan pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur paten.

(6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat
esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga
penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 41

(1) Pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan


sesuai dengan kebutuhan daerahnya.

(2) Kewenangan merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) tetap memperhatikan pengaturan dan pembinaan
standar pelayanan yang berlaku secara nasional.

Bagian Keempat

Teknologi dan Produk Teknologi

Pasal 42

(1) Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan,


dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat.

(2) Teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala
metode dan alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit,
mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit,
menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan memulihkan kesehatan setelah
sakit.

(3) Ketentuan mengenai teknologi dan produk teknologi kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
107

Pasal 43

(1) Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan berwenang melakukan


penapisan, pengaturan, pemanfaatan, serta pengawasan terhadap penggunaan
teknologi dan produk teknologi.

(2) Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 44

(1) Dalam mengembangkan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42


dapat dilakukan uji coba teknologi atau produk teknologi terhadap manusia
atau hewan.

(2) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jaminan tidak
merugikan manusia yang dijadikan uji coba.

(3) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh orang yang
berwenang dan dengan persetujuan orang yang dijadikan uji coba.

(4) Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan
tersebut serta mencegah dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan
manusia.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji coba terhadap manusia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 45
108

(1) Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi


yang dapat berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan
masyarakat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan teknologi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

F. UPAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu

Umum

Pasal 46

Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat,


diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk
upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.

Pasal 47

Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan


promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu,
menyeluruh, dan berkesinambungan.

Pasal 48

(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47


dilaksanakan melalui kegiatan:

a. pelayanan kesehatan;

b. pelayanan kesehatan tradisional;

c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;

d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;

e. kesehatan reproduksi;
109

f. keluarga berencana;

g. kesehatan sekolah;

h. kesehatan olahraga;

i. pelayanan kesehatan pada bencana;

j. pelayanan darah;

k. kesehatan gigi dan mulut;

l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;

m. kesehatan matra;

n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;

o. pengamanan makanan dan minuman;

p. pengamanan zat adiktif; dan/atau

q. bedah mayat.

(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


didukung oleh sumber daya kesehatan.

Pasal 49

(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas


penyelenggaraan upaya kesehatan.

(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai,


dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.

Pasal 50

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan


mengembangkan upaya kesehatan.

(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya


memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat.
110

(3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian.

(4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilaksanakan melalui kerja sama antar-Pemerintah dan
antarlintas sektor.

Pasal 51

(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu

atau masyarakat.

(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan

minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Pelayanan Kesehatan

Paragraf Kesatu

Pemberian Pelayanan

Pasal 52

(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas:

a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan

b. pelayanan kesehatan masyarakat.


111

(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Pasal 53

(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit


dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.

(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan


meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan
masyarakat.

(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien disbanding kepentingan
lainnya.

Pasal 54

(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung


jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan


pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.

Pasal 55

(1) Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan.

(2) Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf Kedua
112

Perlindungan Pasien

Pasal 56

(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku pada:

a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam


masyarakat yang lebih luas;

b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau

c. gangguan mental berat.

(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.

(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:

a. perintah undang-undang;

b. perintah pengadilan;

c. izin yang bersangkutan;

d. kepentingan masyarakat; atau

e. kepentingan orang tersebut.


113

Pasal 58

(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Pelayanan Kesehatan Tradisional

Pasal 59

(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi


menjadi:

a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan

b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.

(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina
dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jeni pelayanan kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 60
114

(1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang


menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan
yang berwenang.

(2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak
bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.

Pasal 61

(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan,


meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.

(2) Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan,
kepentingan, dan perlindungan masyarakat.

Bagian Keempat

Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit

Pasal 62

(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan
kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau
kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat.

(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau
mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.

(3) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk
kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
115

(4) Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan
penyakit diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima

Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan

Pasal 63

(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk


mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat
penyakit dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat.

(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan


pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan.

(3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan


ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.

(4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau


ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

(5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan


terhadap pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan cara
lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 64
116

(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui


transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat
kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.

(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
dikomersialkan.

(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Pasal 65

(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat
persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya.

(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 66

Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat
dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.

Pasal 67

(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman
spesimen atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
117

Pasal 68

(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan
obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 69

(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.

(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastic dan rekonstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 70

(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan
reproduksi.

(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel
punca embrionik.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam

Kesehatan Reproduksi
118

Pasal 71

(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang
berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada lakilaki dan
perempuan.

(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;

b. pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan

c. kesehatan sistem reproduksi.

(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan


melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Pasal 72

Setiap orang berhak:

a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman,


serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.

b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan,


dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak
merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.

c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara
medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.

d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan


reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 73

Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan


kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk
keluarga berencana.
119

Pasal 74

(1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif,


kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan
secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas,
khususnya reproduksi perempuan.

(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 75

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan


berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis


bagi korban perkosaan.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
120

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 76

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang


memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh


Menteri.

Pasal 77

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman,
dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh

Keluarga Berencana

Pasal 78
121

(1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk


pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi
penerus yang sehat dan cerdas.

(2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas


pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana
yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.

(3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai


dengan peraturan perundangundangan.

Bagian Kedelapan

Kesehatan Sekolah

Pasal 79

(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup


sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat
belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggitingginya
menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

(2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan


melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain.

(3) Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan

Kesehatan Olahraga

Pasal 80
122

(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan


kebugaran jasmani masyarakat.

(2) Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya dasar dalam
meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan olahraga.

(3) Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga.

Pasal 81

(1) Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan preventif dan


promotif, tanpa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif.

(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga diselenggarakan oleh Pemerintah,


pemerintah daerah, dan masyarakat.

Bagian Kesepuluh

Pelayanan Kesehatan Pada Bencana

Pasal 82

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas


ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan
secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.

(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan
kesehatan pada tanggap darurat dan pascabencana.

(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup


pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan
mencegah kecacatan lebih lanjut.

(4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1).
123

(5) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja Negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD), atau bantuan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 83

(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus
ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan
kepentingan terbaik bagi pasien.

(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Pasal 84

Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada


bencana diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 85

(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah


maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.

(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada


bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.

Bagian Kesebelas

Pelayanan Darah

Pasal 86
124

(1) Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan


darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak
untuk tujuan komersial.

(2) Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari pendonor darah
sukarela yang sehat dan memenuhi kriteria seleksi pendonor dengan
mengutamakan kesehatan pendonor.

(3) Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sebelum digunakan untuk pelayanan darah harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium guna mencegah penularan penyakit.

Pasal 87

(1) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh Unit
Transfusi Darah.

(2) Unit Transfusi Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi
sosial yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan.

Pasal 88

(1) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan pendonor darah,


penyediaan, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah
kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

(2) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan dengan menjaga keselamatan


dan kesehatan penerima darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit
melalui transfusi darah.

Pasal 89

Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk pelayanan


transfusi darah.
125

Pasal 90

(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman,
mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

(2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah.

(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Pasal 91

(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan melalui proses pengolahan dan produksi.

(2) Hasil proses pengolahan dan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikendalikan oleh Pemerintah.

Pasal 92

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur dengan Peraturan


Pemerintah.

Bagian Kedua Belas

Kesehatan Gigi dan Mulut

Pasal 93

(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan
kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan
pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
berkesinambungan.

(2) Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi
masyarakat, usaha kesehatan gigi sekolah.
126

Pasal 94

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas


pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh
masyarakat.

Bagian Ketiga Belas

Penanggulangan Gangguan Penglihatan

dan Gangguan Pendengaran

Pasal 95

(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran merupakan


semua kegiatan yang dilakukan meliputi pelayanan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan
indera penglihatan, dan pendengaran masyarakat.

(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi


tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pasal 96

Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gangguan penglihatan dan


pendengaran diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat Belas

Kesehatan Matra

Pasal 97
127

(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan


untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam
lingkungan matra yang serba berubah maupun di lingkungan darat, laut, dan
udara.

(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah
air, serta kesehatan kedirgantaraan.

(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai dengan standar


dan persyaratan.

(4) Ketentuan mengenai kesehatan matra sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima Belas

Pengamanan dan Penggunaan

Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Pasal 98

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat,


bermutu, dan terjangkau.

(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat
dan bahan yang berkhasiat obat.

(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,


pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan


mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
128

Pasal 99

(1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti
berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau
perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.

(2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah,


memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat
dan keamanannya.

(3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi.

Pasal 100

(1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan
dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan
tetap dijaga kelestariannya.

(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat


tradisional .

Pasal 101

(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah,


memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat
dan keamanannya.

(2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan,


mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 102
129

(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya
dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk
disalahgunakan.

(2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 103

(1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan


menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau
persyaratan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan


narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 104

(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk


melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau
keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.

(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional.

Pasal 105

(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat
farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.

(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat
kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.

Pasal 106
130

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar.

(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari
peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin
edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau
keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 107

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 108

(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu


sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Belas


131

Pengamanan Makanan dan Minuman

Pasal 109

Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta


mendistribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan dan
minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar
aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan.

Pasal 110

Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan


produk makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan
minuman hasil olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh
dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Pasal 111

(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus


didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.

(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label
yang berisi:

a. Nama produk;

b. Daftar bahan yang digunakan;

c. Berat bersih atau isi bersih;

d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan
minuman kedalam wilayah Indonesia; dan

e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.

(4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan secara benar dan akurat.
132

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan
kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan
disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 112

Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan mengawasi


produksi, pengolahan, pendistribusian makanan,ndan minuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 109, Pasal 110, dan Pasal 111.

Bagian Ketujuh Belas

Pengamanan Zat Adiktif

Pasal 113

(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar
tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga,
masyarakat, dan lingkungan.

(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk
yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang
penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau
masyarakat sekelilingnya.

(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif
harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.
133

Pasal 114

Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia


wajib mencantumkan peringatan kesehatan.

Pasal 115

(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:

a. fasilitas pelayanan kesehatan;

b. tempat proses belajar mengajar;

c. tempat anak bermain;

d. tempat ibadah;

e. angkutan umum;

f. tempat kerja; dan

g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.

Pasal 116

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan Belas

Bedah Mayat

Pasal 117

Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantungsirkulasi dan sistem


pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang
otak telah dapat dibuktikan.
134

Pasal 118

(1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi.

(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas upaya
identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya identifikasi mayat sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 119

(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat


dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit.

(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.

(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga
terdekat pasien.

(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan
masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.

Pasal 120

(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat
dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi
pendidikan kedokteran.

(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus
oleh keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya
atau persetujuan tertulis keluarganya.
135

(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan,
dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-
kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 121

(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh
dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.

(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis
ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan
kepada penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 122

(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli
forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak
dimungkinkan.

(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya


pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur
dengan Peraturan Menteri.
136

Pasal 123

(1) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat dilakukan tindakan
pemanfaatan organ sebagai donor untuk kepentingan transplantasi organ.

(2) Tindakan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kematian dan pemanfaatan organ
donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 124

Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan
norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.

Pasal 125

Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau


pemeriksaan mayat untuk kepentingan hokum ditanggung oleh pemerintah
melalui APBN dan APBD.

G. KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK, REMAJA, LANJUT USIA, DAN


PENYANDANG CACAT

Bagian Kesatu

Kesehatan ibu, bayi, dan anak

Pasal 126

(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga
mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi
angka kematian ibu.
137

(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan
terjangkau.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 127

(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan
suami istri yang sah dengan ketentuan:

a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;

b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan


kewenangan untuk itu; dan

c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 128

(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama
6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.

(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan
penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di
tempat kerja dan tempat sarana umum.
138

Pasal 129

(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin


hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 130

Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.

Pasal 131

(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk
mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas
serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak.

(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam
kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan
belas) tahun.

(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi
orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah.

Pasal 132

(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggung jawab
sehingga memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan
optimal.

(2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang
berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui
imunisasi.
139

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 133

(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk
diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya.

(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk


menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan.

Pasal 134

(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau kriteria terhadap


kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan
setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut.

(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 135

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat


dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan
anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi
secara sehat.

(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar
tidak membahayakan kesehatan anak.
140

Bagian Kedua

Kesehatan Remaja

Pasal 136

(1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan


menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi.

(2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai
gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani
kehidupan reproduksi secara sehat.

(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pasal 137

(1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi,


informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat
dan bertanggung jawab.

(2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja


memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral nilai
agama dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat

Pasal 138

(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga
agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
141

(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan


memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan
produktif secara sosial dan ekonomis.

Pasal 139

(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk


menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan
bermartabat.

(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan


memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
secara sosial dan ekonomis.

Pasal 140

Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah,

dan/atau masyarakat.

H. GIZI

Pasal 141

(1) Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi
perseorangan dan masyarakat.

(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
:

a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang;

b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan;


142

c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan
ilmu dan teknologi; dan

d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.

(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin


tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara
merata dan terjangkau.

(4) Pemerintah berkewajiban menjaga agar bahan makanan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) memenuhi standar mutu gizi yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.

(5) Penyediaan bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara lintas sektor dan antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota.

Pasal 142

(1) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam
kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok
rawan:

a. bayi dan balita;

b. remaja perempuan; dan

c. ibu hamil dan menyusui.

(2) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar angka kecukupan gizi,


standar pelayanan gizi, dan standar tenaga gizi pada berbagai tingkat
pelayanan.

(3) Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga
miskin dan dalam situasi darurat.

(4) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar
tentang gizi kepada masyarakat.
143

(5) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya untuk


mencapai status gizi yang baik.

Pasal 143

Pemerintah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan kesadaran


masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status
gizi.

I. KESEHATAN JIWA

Pasal 144

(1) Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.

(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah
psikososial.

(3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung
jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(4) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab


menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin
ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa
sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2).

(5) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan


upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya
kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan jiwa.
144

Pasal 145

Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin upaya kesehatan jiwa


secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk menjamin upaya
kesehatan jiwa di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3).

Pasal 146

(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang benar mengenai
kesehatan jiwa.

(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menghindari
pelanggaran hak asasi seseorang yang dianggap mengalami gangguan
kesehatan jiwa.

(3) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan layanan


informasi dan edukasi tentang kesehatan jiwa.

Pasal 147

(1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung


jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.

(2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap
menghormati hak asasi penderita.

(3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas


pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 148

(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan
dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan
menyatakan lain.
145

Pasal 149

(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam


keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban
dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di
fasilitas pelayanan kesehatan.

(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan


dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa
yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau
orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.

(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan


penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta
aktif masyarakat.

(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita
gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.

Pasal 150

(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et


repertum psikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran
jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.

(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami


gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian
dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.

Pasal 151

Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
146

J. PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR

Bagian Kesatu

Penyakit Menular

Pasal 152

(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakatbertanggung jawab melakukan


upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta
akibat yang ditimbulkannya.

(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi masyarakat
dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau
meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat
penyakit menular.

(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit menular


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.

(4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan terhadap lingkungan dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.

(5) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan harus
berbasis wilayah.

(6) Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui
lintas sektor.

(7) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
dapat melakukan kerja sama dengan negara lain.

(8) Upaya pencegahan pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
147

Pasal 153

Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif,


terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit
menular melalui imunisasi.

Pasal 154

(1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan


persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber
penularan.

(2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular


sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat dan negara lain.

(4) Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat


karantina, dan lama karantina.

Pasal 155

(1) Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan
persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber
penularan.

(2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular


sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat.

(4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina,


tempat karantina, dan lama karantina.
148

(5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan


persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit yang
memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina berpedoman
pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 156

(1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan


penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1),
Pemerintah dapat menyatakan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau
kejadian luar biasa (KLB).

(2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa
(KLB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil
penelitian yang diakui keakuratannya.

(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya


penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa dan
upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3),
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 157

(1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat


termasuk penderita penyakit menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat.

(2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga kesehatan yang


berwenang dapat memeriksa tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya
vektor dan sumber penyakit lain.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
149

Bagian Kedua

Penyakit Tidak Menular

Pasal 158

(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan upaya pencegahan,


pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang
ditimbulkannya.

(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meningkatkan


pengetahuan, kesadaran, kemauan berperilaku sehat dan mencegah terjadinya
penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkan.

(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 159

(1) Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan pendekatan surveilan


faktor risiko, registri penyakit, dan surveilan kematian.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan memperoleh


informasi yang esensial serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan
dalam upaya pengendalian penyakit tidak menular.

(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama
lintas sektor dan dengan membentukjejaring, baik nasional maupun
internasional.
150

Pasal 160

(1) Pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk


melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor
risiko penyakit tidak menular yang mencakup seluruh fase kehidupan.

(2) Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi diet
tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok, mengkonsumsi alkohol, dan
perilaku berlalu lintas yang tidak benar.

Pasal 161

(1) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular meliputi keseluruhan


spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

(2) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara
profesional sehingga pelayanan kesehatan penyakit tidak menular tersedia,
dapat diterima, mudah dicapai, berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.

(3) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dititikberatkan


pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak menular.

K. KESEHATAN LINGKUNGAN

Pasal 162

Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan


yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 163

(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan


lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.
151

(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup lingkungan
permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.

(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-unsur
yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain:

a. limbah cair;

b. limbah padat;

c. limbah gas;

d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan


pemerintah;

e. binatang pembawa penyakit;

f. zat kimia yang berbahaya;

g. kebisingan yang melebihi ambang batas;

h. radiasi sinar pengion dan non pengion;

i. air yang tercemar;

j. udara yang tercemar; dan

k. makanan yang terkontaminasi.

(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses
pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3),
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

L. KESEHATAN KERJA

Pasal 164

(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat
dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan
oleh pekerjaan.
152

(2) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pekerja
di sektor formal dan informal.

(3) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi
setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja.

(4) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
berlaku juga bagi kesehatan pada lingkungan tentara nasional Indonesia baik
darat, laut, maupun udara serta kepolisian Republik Indonesia.

(5) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dan ayat (2).

(6) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan menjamin lingkungan kerja yang sehat serta
bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.

(7) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang
terjadi di lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 165

(1) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan
melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi
tenaga kerja.

(2) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat
dan menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.

(3) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan/instansi, hasil


pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
153

Pasal 166

(1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya
pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung
seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja.

(2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat
kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

M. PENGELOLAAN KESEHATAN
Pasal 167

(1) Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah


daerah dan/atau masyarakat melalui pengelolaan administrasi kesehatan,
informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan
kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara
terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya.

(2) Pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah.

(3) Pengelolaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam
suatu sistem kesehatan nasional.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Presiden.
154

N. INFORMASI KESEHATAN

Pasal 168

(1) Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan
informasi kesehatan.

(2) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
sistem informasi dan melalui lintas sektor.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 169

Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses


terhadap informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.

O. PEMBIAYAAN KESEHATAN
Pasal 170

(1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan


yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara
adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk
menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.

(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan.

(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah,


masyarakat, swasta dan sumber lain
155

Pasal 171

(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima


persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.

(2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota


dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah di luar gaji.

(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 172

(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat
(3) ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama
bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 173

(1) Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial
nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial.

(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan system jaminan sosial nasional
dan/atau asuransi kesehatan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
156

P. PERAN SERTA MASYARAKAT


Pasal 174

(1) Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi


dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka
membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.

(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keikutsertaan
secara aktif dan kreatif.

Q. BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN

Bagian Kesatu

Nama dan Kedudukan

Pasal 175

Badan pertimbangan kesehatan merupakan badan independen, yang memiliki


tugas, fungsi, dan wewenang di bidang kesehatan.

Pasal 176

(1) Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di Pusat dan daerah.

(2) Badan pertimbangan kesehatan pusat dinamakan Badan Pertimbangan


Kesehatan Nasional selanjutnya disingkat BPKN berkedudukan di ibukota
Negara Republik Indonesia.

(3) Badan pertimbangan kesehatan daerah selanjutnya disingkat BPKD


berkedudukan di provinsi dan kabupaten/kota.

(4) Kedudukan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) berada sampai pada tingkat kecamatan.
157

Bagian Kedua

Peran, Tugas, dan Wewenang

Pasal 177

(1) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam
bidang kesehatan sesuai dengan lingkup tugas masing-masing.

(2) BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan
wewenang antara lain:

a. menginventarisasi masalah melalui penelaahan terhadap berbagai


informasi dan data yang relevan atau berpengaruh terhadap proses
pembangunan kesehatan;

b. memberikan masukan kepada pemerintah tentang sasaran pembangunan


kesehatan selama kurun waktu 5 (lima) tahun;

c. menyusun strategi pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan


kesehatan;

d. memberikan masukan kepada pemerintah dalam pengidentifikasi dan


penggerakan sumber daya untuk pembangunan kesehatan;

e. melakukan advokasi tentang alokasi dan penggunaan dana dari semua


sumber agar pemanfaatannya efektif, efisien, dan sesuai dengan strategi
yang ditetapkan;

f. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan kesehatan; dan

g. merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif yang perlu dilakukan


dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan yang menyimpang.

(3) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam
bidang kesehatan.
158

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan organisasi dan


pembiayaan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Presiden.

R. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu

Pembinaan

Pasal 178

Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap masyarakat


dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber
daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

Pasal 179

(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan untuk:

a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas sumber


daya di bidang kesehatan;

b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan;

c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan dan fasilitas


pelayanan kesehatan;

d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan


kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan dan
minuman;

e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan


persyaratan;

f. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat


menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
159

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat;

b. pendayagunaan tenaga kesehatan;

c. pembiayaan.

Pasal 180

Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah daerah, dapat memberikan


penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap kegiatan
mewujudkan tujuan kesehatan.

Pasal 181

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Pengawasan

Pasal 182

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap


penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang
kesehatan dan upaya kesehatan.

(2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap setiap
penyelengaraan upaya kesehatan.

(3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dan ayat (2) dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non
kementerian, kepala dinas di provinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok
dan fungsinya di bidang kesehatan.

(4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan masyarakat.


160

Pasal 183

Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dalam
melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok
untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan
sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

Pasal 184

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, tenaga


pengawas mempunyai fungsi:

a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan yang


berhubungan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan;

b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dan fasilitas


kesehatan.

Pasal 185

Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh
tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga
pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat
perintah pemeriksaan.

Pasal 186

Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya
pelanggaran hukum di bidang kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan
kepada penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 187

Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri.


161

Pasal 188

(1) Menteri dapat mengambil tindakan administrative terhadap tenaga kesehatan


dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) kepada lembaga pemerintah nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau
kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.

(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. peringatan secara tertulis;

b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan administratif
sebagaimana dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri.

S. PENYIDIKAN
Pasal 189

(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan
urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
kesehatan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang


tindak pidana di bidang kesehatan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak


pidana di bidang kesehatan;
162

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;

d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak


pidana di bidang kesehatan;

e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam


perkara tindak pidana di bidang kesehatan;

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak


pidana di bidang kesehatan;

g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang


membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan.

(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

T. KETENTUAN PIDANA

Pasal 190

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang


melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
163

Pasal 191

Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional
yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat
(1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 192

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh
dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 193

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastic dan rekonstruksi
untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Pasal 194

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 195

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
164

Pasal 196

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan


farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan


farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah).

Pasal 198

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 199

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak
mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
dendan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
165

Pasal 200

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu
eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah)

Pasal 201

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1),
Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal
200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal
197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/atau

b. pencabutan status badan hukum.


166

Tes Formatif

1. Pada UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 14 ayat (2) Pemerintah memiliki
tanggung jawab dikhususkan pada
a. Pelayanan mandiri
b. Pelayanan public
c. Pelayanan Rumah Sakit
d. Pelayanan terpadu
2. Sumber daya kesehatan dalam UU No. 36 tahun 2009 dibagi menjadi 4, yaitu
a. Tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, perbekalan kesehatan,
teknologi dan produk teknologi
b. Tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, transportasi, jasa
persalinan
c. Tenaga kesehatan, jaminan kesehatan, perbekalan kesehatan, teknologi
informasi
d. Jaminan kesehatan, perbekalan kesehatan, teknologi dan informasi, petugas
kesehatan
3. Apakah yang dimaksud dengan keluarga berencana pada pasal 78 tentang
pelayanan kesehatan?
a. Mengurangi jumlah anak semau ibu
b. Memberikan peluang memiliki banyak anak
c. Pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk
generasi penerus yang sehat dan cerdas
d. Salah satu program pemerintah yang harus dijalankan
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinan diatur dengan
a. Peraturan Menteri
b. MPR RI
c. Perpu
d. Presiden
5. Apabila terdapat orang yang dengan sengaja menghalangi ibu dalam pemberian
ASI eksklusif maka akan diberi hukuman berupa
a. Paling lama 10 tahun penjara dan denda 10.000.000
b. Paling lama 5 tahun penjara dan denda 20.000.000
c. Paling lama 3 tahun penjara dan denda 100.000.000
d. Paling lama 1 tahun penjara dan denda 100.000.000
167

KEGIATAN BELAJAR 12

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG


MELANDASI TUGAS FUNGSI DAN PRAKTIK
KEBIDANAN

 Tujuan pembelajaran umum


Setelah mempelajari buku ajar ini, diharapkan pembaca dapat memahami
peraturan perundang-undangan yang melandasi tugas fungsi dan praktik
kebidanan.
 Tujuan pembelajaran khusus
Mampu memahami peraturan perundang-undangan yang melandasi tugas
fungsi dan praktik kebidanan.
 Pokok-pokok materi
1. Peraturan Pemerintah tentang kesehatan

12.1 Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan


Menurut PP no. 32 tahun 1996, tenaga kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
Pada pasal dua, jenis tenaga kesehatan yang dimaksud adalah:
1. Tenaga Kesehatan:
a. tenaga medis;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kefarmasian;
d. tenaga kesehatan masyarakat;
e. tenaga gizi;
f. tenaga keterapian fisik;
g. tenaga keteknisian medis.
2. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
3. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
4. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten
apoteker.
5. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan,
entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan,
administrator kesehatan dan sanitarian.
6. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
7. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasi terapis dan
terapis wicara.
165
168

8. Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi


gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien,
otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.

Tenaga kesehatan perlu memenuhi persyaratan yang diatur pada pasal 3


dan seterusnya. Perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan kesehatan dalam
PP 32 ini diatur pada pasal 24 yang berbunyi:
1. Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan
tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan;
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Menteri.
Selain perlindungan hukum, hal-hal lain yang diatur dalam PP no 32
tahun 1996 antara lain:
1. perencanaan, pengadaan dan penempatan SDM (PNS),
2. Standar profesi dan perlindungan hukum,
3. Penghargaan,
4. Pembinaan dan Pengawasan
5. Ikatan Profesi dan
6. Ketentuan Pidana :

Barang siapa dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan di bidang


kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana
sesuai dengan ketentuan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan
Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, barang siapa dengan sengaja :
1. melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1);
2. melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
3. melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga
kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1);
4. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1); dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
5. Ketentuan Penutup

12.2 Peraturan Pemerintah / Undang-Undang Tentang : Aborsi, Bayi


Tabung, Adopsi
1. Aborsi
169

Secara umum, Aborsi tidak diperbolehkan, jadi berbeda dengan di


Amerika, Indonesia menganut faham Pro life, bukan Pro Choice seperti
di Amerika dan Negara lainnya. Aturan mengenai aborsi terdapat dalam :
a. Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Pasal 15 Dalam
keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil
dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.2
Sumber: UU No. 23 Tahun 1992 Pasal 15 tentang Kesehatan.
b. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 75
Butir (1) setiap orang dilarang melakukan aborsi.3
Sumber: UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 75 tentang Kesehatan.
Namun demikian, ada dua kondisi dimana seorang wanita dapat
melakukan aborsi yaitu dalam PP nomor 61 Tahun 2014 Pasal 31
tentang Kesehatan Reproduksi yakni:4
a) Kehamilan karena korban perkosaan
b) Kehamilan karena kondisi darurat medis
Sumber: UU No. 61 Tahun 2014 Pasal 31 tentang Kesehatan
Reproduksi.
Ancaman Pidana terhadap pelaku aborsi yang tidak sesuai dengan
Undang-Undang di atas antara lain:
“setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda
paling banyak Rp1 miliar.” (Pasal 194 UU Kesehatan No. 36
Tahun 2009).
Sumber: UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 194 tentang Kesehatan.

2. Bayi Tabung
Teknik bayi tabung In Vitro Fertilisation (IVF) adalah sebuah
teknik pembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi di luar tubuh wanita.
Teknik in merupakan suatu teknologi reproduksi berupa teknik
menempatkan sperma di dalam vagina wanita, pertama kali berhasil
dipraktekkan pada tahun 1970. Teknologi ini juga tealh berhasil
dilakukan di Indonesia sejak tahun 1988.5
Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara
hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan oleh sel
sperma dalam sebuah tabung menggunakan medium cair. Jika sudah
terjadi fertilisasi atau pembuahan, maka embrio akan dipindahkan ke
dalam rahim isteri. Proses ini tidak menimbulkan masalah jika sperm
dan ovum berasal dari pasutri yang bersangkutan. Namun sebaliknya
akan menjadi masalah jika sperma berasal dari donor, atau jika sel telur
yang dibuahi bukan dari sang isteri, atau adalah embrio yang akan
ditanam bukan pada rahim isterinya, namun pada ibu pengganti
(surrogate mother) karena rahim isteri mengalami masalah.5
170

Teknik bayi tabung bermula dari ditemukannya teknik pengawetan


sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam gliserol
yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat
Fahrenheit. Teknik bayi tabung ini pada mulanya ditujukan pada
pasangan suami isteri yang menginginkan anak tetapi tidak mampu
bereproduksi karena terjadi kerusakan permanen pada organ
reproduksinya. Dengan berjalannya waktu, maka tujuan teknik ini
berubah menjadi teknik pilihan bagi pasutri yang mengalami kegagalan
bereproduksi atau susah bereproduksi karena penyakit dan terdesak oleh
usia, sebagai contoh misalnya wanita dengan Polycystic Ovarian
syndrome (PCO’s), tuba yang tidak paten : terjadi sumbatan
salahsatunya karena infeksi, endometriosis, atau memang sudah ada
kelainan bawaan sebelumnya; untuk suami dengan kasus gangguan
sperma : azoosperma, oligosperma, dan lain sebagainya.
Syarat-syarat dilakukan IVF antara lain:5
1. Pasangan adalah suami isteri
2. Umur tidak lebih dari 40 tahun, diutamakan bagi yang berumur 35
tahun
3. Belum atau sudah mempunyai anak hidup tidak lebih dari satu
4. Sel telur berasal dari isteri dan permatozoa berasal dari suami
Indikasi dilakukan IVF
1. Kedua saluran telur/tuba fallopii tidak berfungsi
2. Infertilitas yang tidak terjelaskan : sudah menjalani serangkaian
terapi, tetapi tidak membuahkan hasil, sekalipun pasutri melakukan
aktivitas seksual secara normal.
3. Endometriosis dengan umur pasien lebih dari 35 tahun
4. Sindroma Luteinizid Unruptured Fallicte (LUF) : yakni folikelnya
tidak bisa pecah saat ovulasi sehingga sel telur tidak bisa keluar dan
tidak terjadi fertilisasi
5. Oligospermia : sperma yang amat sedikit, < 20 juta/ml (normal 20
juta/ml, 1 jam setelah ejakulasi, minimal 50% bisa berenang maju
dalam garis lurus, spermadengan gerakan lurus dan cepat harus lebih
dari 25 persen total spermayang dikeluarkan)
Terdapat 8 jenis bayi tabung ditinjau dari asal sperma, sel telur dan
tempat embrio ditanamkan yaitu :
1. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum pasutri dan
embrionya di transplantasikan ke rahim isterinya.
2. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum pasutri dan
embrionya di transplantasikan ke rahim surrogate mother.
3. Bayi tabung yang menggunakan sperma suami, ovum dari donor dan
embrionya di transplantasikan ke rahim isterinya.
171

4. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari donor, ovum dari isteri
dan embrionya di transplantasikan ke rahim isterinya.
5. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari donor, ovum dari donor,
dan embrionya di transplantasikan ke rahim isterinya.
6. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami, ovum dari donor
dan embrionya di transplantasikan ke rahim surrogate mother.
7. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari donor, ovum dari isteri
dan embrionya di transplantasikan ke rahim surrogate mother.
8. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari donor, ovum dari donor
dan embrionya di transplantasikan ke rahim surrogate mother.

Peraturan bayi tabung di Indonesia di atur dalam Instruksi Menteri


Kesehatan RI No. 379/Menkes/Ins/VIII/1990 tanggal 9 Agustus 1990,
bahwa:6
1. Program bayi tabung memerlukan investasi yang sangat mahal, baik
ditinjau dari segi institusi pelayanan maupun segi pasien.
2. Untuk menjamin pelayanan bayi tabung yang bermutu perlu
diadakan akreditasi terlebih dahulu terhadap sarana dan prasarana.
3. Program pelayanan bayi tabung mempunyai berbagai aspek baik
menyangkut moral, etika, hukum dna agama yang masih perlu
pengkajian lebih mendalam oleh karena itu perlu pengendalian
terhadap program tersebut.

Berdasarkan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. KEP-


952/MUI/XI/1990 tanggal 26 November 1990, menetapkan:
1. Inseminasi buatan / bayi tabung denga sperma dan ovum yang
diambil dari pasutri yang sah secara muhtaram dibenarkan oleh
Islam, selama mereka masih dalam ikatan suami isteri sah.
2. Inseminasi buatan / bayi tabung sperma dan ovum yang diambil
secara muhtaram dari pasangan pasutri untuk isteri-isterinya yang
lain hukumnya haram / tidak dibenarkan oleh Islam.
3. Inseminasi buatan / bayi tabung denga sperma dan ovum yang
diambil dari bukan suai isteri hukumnya haram.

Hukum Pemerintah lain yang mengatur tentang bayi tabung di


Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun
1992 pasal 16 yaitu:2
1. Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir untuk membantu suami isteri mendapatkan keturunan;
172

2. Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah
dengan ketentuan:
a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami isteri yang
bersangkutan; ditanamkan dalam rahim isteri darimana ovum itu
berasal;
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu;
c. Pada sarana kesehatan tertentu.
3. Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar
cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayak (1) dan (2) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

a. Kedudukan Hukum Anak yang Dilahirkan dari Hasil


Proses Bayi Tabung
Berpedoman pada UU no 23 tahun 1992 pasal 16 dan Instruksi
Menkes Nomor 285/Men.Kes/Per/IX/1989 yang menunjuk jenis
intervensi teknologi yang diperbolehkan dalam prosen bayi tabung,
kedua peraturan tersebut harus ditafsirkan sebagai :
1. Anak itu secara biologis adalah anak dari pasangan suami isteri
karena menggunakan sperma dan ovum dari pasangan tersebut;
2. Yang melahirkan anak itu adalah siteri suami tersebut;
3. Orang tua anak itu terikat dalam perkawinan yang sah.

Menurut pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “


anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.” 7
Jadi berdasarkan pasal 42 UU No 1 thn 1974 tentang Perkawinan
tersebut diatas maka anak yang terlahir dari proses bayi tahun dari
sperma suami dan isteri yang sah adalah anak sah, demikian juga
darisperma donor, asalkan dalam melakukan proses tersebut
suamimengetahui dan ikut menyetujui serta tidak mengingkarinya.
Namun secara hokum agama Islam tidak sesuai karena haram
hukumnya jika proses bayi tabung berasal dari donor sperma atau
ovum.

3. Adopsi (Dari berbagai sumber artikel dari internet)


A. Pengertian Adopsi
173

Adopsi adalah suatu proses penerimaan seorang anak dari


seseorang atau lembaga organisasi ke tangan orang lain secara sah
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adopsi juga berarti
memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang
lain kedalam keluarganya dengan status fungsi sama dengan anak
kandung.
Adopsi juga diartikan sebagai perbuatan hukum, dimana
seseorang yang cakap mengangkat seorang anak orang lain menjadi
anak sah-nya. Pada adopsi tidak berarti memutuskan hubungan darah
dengan orang tua kandungnya, tetapi secara hukum terbentuk
hubungan hukum sebagai orang tua dan anak.
1. Adopsi dikenal dalam seluruh sistem hukum adat di Indonesia
2. Pengaturan tentang pengangkatan anak diatur antara lain di KUH
Perdata, UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, PP
no 54 tahun 2007
3. Pengaturan tehnisnya banyak tersebar di Surat Edaran
Mahkamah Agung

B. Aspek Hukum Adopsi


Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang
memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan
permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga
bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak
terikat dalam perkawinan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan adopsi :
Pihak yang mengajukan adopsi: Pasangan Suami Istri; Ketentuan
mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam:
1. SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran
Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan
pengesahan/ pengangkatan anak.
2. Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga
menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon
orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan
permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah
kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak
angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.

Orang tua tunggal


Staatblaad 1917 No. 129.
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-
orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh
174

Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat


perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya
telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya
tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak
dapat melakukannya. Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini
hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan
dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah
membolehkan mengangkat anak perempuan.
1. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur
tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia
(WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung
dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private
adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan
oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam
perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption).
Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk
tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini
sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
2. Tata cara mengadopsi. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak
menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu
mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada
Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan
diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani
oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai
secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak
yang akan diangkat .
3. Isi permohonan. Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan
adalah:-motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan
atau demi masa depan anak tersebut. -penggambaran
kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.
Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa
dua orang saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak
tersebut. Dua orang saksi itu harus pula orang yang mengetahui
betul tentang kondisi pemohon (baik moril maupun materil) dan
memastikan bahwa pemohon akan betul- betul memelihara anak
tersebut dengan baik. 18Yang dilarang dalam permohonan
175

4. Yang dilarang dalam permohonan. Ada beberapa hal yang tidak


diperkenankan dicantumkan dalam permohonan pengangkatan
anak, yaitu:
(1) Menambah permohonan lain selain pengesahan atau
pengangkatan anak.
(2) Pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris
dari pemohon. Hal ini disebabkan karena putusan yang
dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak
ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan
anak tersebut sebagai anak angkat dari pemohon, atau berisi
pengesahan saja. Mengingat bahwa Pengadilan akan
mempertimbangkan permohonan, maka pemohon perlu
mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, termasuk
pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan
kemampuan finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut
akan memberikan keyakinan kepada majelis hakim tentang
kemampuan pemohon dan kemungkinan masa depan anak
tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat
Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.
5. Pencatatan di kantor Catatan Sipil. Setelah permohonan Anda
disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan
Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda
peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk
menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte
tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan
didalam tambahan itu disebutkan pula nama Anda sebagai orang
tua angkatnya.
6. Akibat hukum pengangkatan anak. Pengangkatan anak
berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
(1) Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh
pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak
angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban
orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali
bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan
menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah
orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya. 19
(2) Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam
maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak
waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya
176

seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai


untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.

C. Aspek Hukum Adopsi


1. Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi
anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi
keluarga yang parental, Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak
otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan
orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak
waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris
dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali,
pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang
melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam
keluarga angkatnya.Anak tersebut menjadi anak kandung dari
yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak
angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari
Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
2. Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa
akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali
dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap
menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut
tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H,
Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS,
1991)
3. Peraturan Per-Undang-undangan
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari
pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum
memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak
yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi
ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan
tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang
berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang
tua kandung dan anak tersebut.

D. Undang – Undang Pengangkatan Anak


Pengangkatan Anak diatur dalam pasal 39 – 41 UUPA
1. Pasal 39
177

(1) Pengangkatan anak hanya dpt dilakukan untuk kepentingan


yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
(2) Pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam ayat (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya.
(3) Calon orang tua anak harus seagama dengan agama yang
dianut oleh calon anak angkat
(4) Pengangkatan anak oleh WMA hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak
disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat
2. Pasal 40
(1) Orang tua wajib memberitahukan keoada anak angkatnya
mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan
3. Pasal 41
(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah (PP No 54 Tahun 2007)
E. Pihak Yang Dapat Mengajukan Adopsi

1. Pasangan suami istri


Hal ini diatur dalam SEMA No 6 tahun 1983 ttg pemeriksaan
permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu
Keputusan Mensos RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 ttg Petunjuk
Pelaksanaan
2. Orang tua Tunggal
Janda/duda, kecuali janda yang suaminya pada saat meninggal
meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki
pengangkatan anak WNI yang belum menikah atau memutuskan
tidak menikah.
Syarat anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 Pasal 12 ayat (1))
1. Belum berusia 18 tahun
2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan
3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak,dan
4. Memerlukan perlindungan khusus
Syarat usia anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 ayat (2))
178

1. Anak usia < 6 tahun, prioritas utama


2. Anak usia 6 – < 12 tahun , alasan mendesak
3. Anak usia 12 – 18 tahun memerlukan perlindungan khusus

Syarat orang tua angkat (PP No 54 tahun 2007 Pasal 13)


1. Sehat jasmani dan rohani
2. Berumur minimal 30 tahun dan maksimal 50 tahun
3. Beragama sama dengan calon anak angkat
4. Berkelakuan baik tidak pernah dihukum
5. Berstatus menikah paling singkat 5 tahun
6. Tidak merupakan pasangan sejenis
7. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu anak
8. Keadaan mampu ekonomi dan sosial
9. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis ortu wali anak
10. Membuat pernyataan tertulis tentang pengangkatan anak
11. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat
12. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 bulan sejak ijin
pengasuh diberikan
13. Memperoleh izin menteri/kepala instansi

SOAL:
1. Menurut PP no. 32 tahun 1996 Selain perlindungan hukum, hal-hal lain
yang diatur didalam nya antara lain:
a. Ikatan Profesi
b. Aspek Aborsi
c. Aspek Pengangkatan Anak
d. Aspek Adopsi
e. Aspek Bayi Tabung
2. Dibawah ini undang-undang yang mengatur aborsi dan bayi tabung adalah…
a. UU Tahun 1992 pasal 84 tentang Kesehatan
b. UU Tahun 1992 pasal 86 tentang Kesehatan
c. UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 75 tentang Kesehatan
d. UU No. 32 Tahun 1996 Pasal 24
3. Dibawah ini yang merupakan Syarat anak yang akan diangkat menurut PP
no 54 tahun 2007 Pasal 12 ayat (1) adalah…
a. Sehat jasmani dan rohani
b. Berkelakuan baik tidak pernah dihukum
c. Keadaan mampu ekonomi dan sosial
d. Memerlukan perlindungan khusus
e. Beragama sama dengan calon anak angkat
4. Yang merupakan Syarat-syarat dilakukan IVF antara lain…
a. Umur tidak lebih dari 40 tahun, diutamakan bagi yang berumur
35 tahun
179

b. Kedua saluran telur/tuba fallopii tidak berfungsi


c. Infertilitas yang tidak terjelaskan
d. Sindroma Luteinizid Unruptured Fallicte (LUF)
e. Oligospermia (sperma yang amat sedikit)
5. Yang merupakan isi dari pasal 39 dalam undang-undang pengatutan anak adalah..
a. Calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan
permohonan pengangkatan anak
b. Calon orang tua anak harus seagama dengan agama yang dianut
oleh calon anak angkat
c. Orang tua wajib memberitahukan keoada anak angkatnya mengenai
asal usulnya dan orang tua kandungnya
d. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan
anak yang bersangkutan
e. Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah (PP No 54 Tahun 2007)

KEGIATAN BELAJAR 13

MASALAH HUKUM DALAM


PELAYANAN kEBIDANAN

Tujuan Pembelajaran Umum


180

 Mahasiswa mampu memahami masalah hukum dalam pelayanan


kebidanan

Tujuan Pembelajaran Khusus

 Mahasiswa mampu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan


etikolegal pelayanan kebidanan.

Pokok – pokok Materi dan Uraian Materi

13.1 ASPEK HUKUM DALAM PRAKTIK KEBIDANAN


Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal
yang penting dan di tuntut dari suatu profesi, terutama profesi yang
berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia, adalah pertanggung
jawaban dan tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan yang
dilakukuannya. Sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh bidan harus
berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence based. Accountability
diperkuat dengan satu landasan hukum yang mengatur batas-batas
wewenang profesi yang bersangkutan.
Dengan adanya legitimasi kewenangan bidan yang lebih luas, bidan
memiliki hak otonomi dan mandiri untuk bertindak secara profesional yang
dilandasi kemampuan berfikir logis dan sitematis serta bertindak sesuai
standar profesi dan etika profesi.
1. Praktek kebidanan merupakan inti dari berbagai kegiatan bidan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus-menerus
ditingkatkan mutunya melalui:
a. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
b. Pengembangan ilmu dan teknologi dalam kebidanan
c. Akreditasi
d. Sertifikasi
2. Registrasi
3. Uji kompetensi 176
4. Lisensi
Beberapa dasar dalam otonomi pelayanan kebidanan antara lain sebagai
berikut:
1. Kepmenkes 900/Menkes/SK/VII/2002 tentanng registrasi dan praktik
bidan
181

2. Standar Pelayanan Kebidanan


3. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
4. PP No 32/ Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
5. Kepmenkes 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang oraganisasi dan tata kerja
Depkes
6. UU No 22/1999 tentang Otonomi daerah
7. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
8. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung dan transplantasi

13.2 KODE ETIK HUKUM KEBIDANAN


Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak
selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”,
sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”,
sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut
dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan salah. Sedangkan difinisi
malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau
tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien,
yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya
kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut
pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut
ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical
malpractice.
Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku
norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek
perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada
perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan
dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya
ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga
berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical
182

malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan


ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
1. Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktek hukum (yuridical malpractice) dibagi dalam 3
kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal
malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
a. Criminal malpractice
Criminal malpractice adalah seseorang yang melakukan
perbuatan yang mana perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik
pidana yaitu seperti positive act / negative act yang merupakan
perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah yang
berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau
kealpaan (negligence).
1) Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)
a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia
Kebidanan, yang berbunyi:
- Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia
yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj
diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian
bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
- Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang
tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata
pengaduan orang itu.
b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus
Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita
yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
c) Pasal 348 KUHP menyatakan:
- Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun enam bulan.
183

- Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita


tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau
juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348,
maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
e) Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan), yang berbunyi:
- Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah.
- Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,
yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima
tahun.
- Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
- Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak
kesehatan.
- Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak
dipidana.
2) Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien
informed consent.
a) Pasal 347 KUHP menyatakan:
- Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan
me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
- Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita
tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
184

b) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau


juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348,
maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
3) Criminal malpractice yang bersifat kealpaan/lalai (negligence)
misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena
lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
- Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati :
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
- Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang
lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan
orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan
penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi
tiga ratus rupiah.
- Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan
atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir,
masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan
pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat,
maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
- Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang
diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan
185

suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah


dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya
untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan
kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya
di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal
malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu
tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah
sakit/sarana kesehatan.
b. Civil Malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila
tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya
sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan bidan
yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
2) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat melakukannya.
3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi tidak sempurna.
4) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual


atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan
principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah
sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang
dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.

c. Administrative Malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice
manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu
diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah
mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang
186

kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk


menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas
kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut
dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

13.3 LANDASAN HUKUM WEWENANG BIDAN


Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga
kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan
kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri
Kesehatan.
Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat
mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan
profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan,
pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
1. Syarat Praktik Profesional Bidan
a. Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan
yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan
Praktek Swasta (BPS).
b. Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang
meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-
obatan dan kelengkapan administrasi.
c. Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan
kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan
pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
d. Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak
pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak
dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
dan melakukan medical record dengan baik.
187

e. Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan


pencatatan dan pelaporan.
2. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan
Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002
tentang registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik
bidan antara lain:
a. Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk
memberikan pelayanan yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan,
(b). Pelayanan keluarga berencana, dan (c). Pelayanan kesehatan
masyarakat.
b. Pasal 15 :
1) Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14
huruf (pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak.
2) Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil,
masa hamil, masa bersalin, masa nifas, menyusui dan masa
antara (periode interval).
3) Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru
lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
c. Pasal 16 :
1) Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
a) Penyuluhan dan konseling
b) Pemeriksaan fisik
c) Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d) Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu
hamil dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum
tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia ringan.
e) Pertolongan persalinan normal
f) Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak
sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban
pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum,
laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post
aterm dan preterm.
g) Pelayanan ibu nifas normal
h) Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio
plasenta,renjatan dan infeksi ringan
188

i) Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang


meliputi keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan
haid.
2) Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
a) Pemeriksaan bayi baru lahir
b) Perawatan tali pusat
c) Perawatan bayi
d) Resusitasi pada bayi baru lahir
e) Pemantauan tumbuh kembang anak
f) Pemberian imunisasi
g) Pemberian penyuluhan
d. Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 16, berwenang untuk :
1) Memberikan imunisasi
2) Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas
3) Mengeluarkan plasenta secara secara manual
4) Bimbingan senam hamil
5) Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
6) Episiotomi
7) Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
8) Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
9) Pemberian infuse
10) Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika
11) Kompresi bimanual
12) Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
13) Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
14) Pengendalian anemi
15) Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
16) Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia
17) Penanganan hipotermi
18) Pemberian minum dengan sonde/pipet
19) Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan ,
obat sesuai dengan formulir IV terlampir
20) Pemberian surat kelahiran dan kematian.
3. Standar Kompetensi Kebidanan
Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan
imunisasi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Th 1992,
yaitu sebagai berikut:
a. Pasal 15
1) Ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk
menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan
tindakan medis tertentu.
189

2) Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) hanya dapat dilakukan :
a) Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya
tindakan tersebut; Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai
dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli;
b) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami
atau keluarganya;
c) Pada sarana kesehatan tertentu.
b. Pasal 80
1) Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan
medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan
ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus
dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak
pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan
perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan
sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus
dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan
dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang
praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat
dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung, kelalaian memakai tolak ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban). Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien,
bidan haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
190

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang


bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya
atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut
standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
e. Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal
(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang
diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela
diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si
penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur
dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
- Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
- Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan
lain tidak ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada
pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini
tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah
malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan
resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat
apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara
lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban
dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban
191

yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan


keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun
rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang
tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang
timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam
tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan
bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan
sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya
perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang
berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang
patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda
orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
4. Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan
karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan
tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan
upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning
verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed
consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau
dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan
segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.

5. Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum


192

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak


memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan
seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif
membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka
bidan dapat melakukan :
a. Informal defence
Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada
doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa
yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik
(risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence
Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk
pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan
dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau
melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan
menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis
pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam
tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi
sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil
penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan
harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa
tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang
dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah,
utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri
193

(res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan


menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya
rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan
adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang
menguntungkan bidan.

13.4 LEGISLASI PELAYANAN KEBIDANAN


Legislasi adalah proses pembuatan UU atau penyempurnaan
perangkat hukum yang sudah ada melalui serangkaian sertifikasi
(pengaturan kompetensi), registrasi (pengaturan kemenangan) dan lisensi
(pengaturan penyelenggaraan kewenangan),
Tujuan legislasi adalah memberikan perlindungan kepada
masyarakat terhadap pelayanan yang telah diberikan. Bentuk perlindungan
tersebut antara lain :
1. Mempertahankan kualitas pelayanan
2. Memberikan kewenangan
3. Menjamin perlindungan hokum
4. Meningkatkan profesionalisme
Macam pelayanan legislasi adalah:
1. Menjamin perlindungan pada masyarakat pengguna jasa profesi dan
profesi sendiri
2. Legislasi sangat berperan dalam pemberian pelayanan professional
Bidan dikatakan profesional, mematuhi beberapa criteria sebagai berikut:
1. Mandiri
2. Peningkatan kompetensi
3. Praktek berdasrkan evidence based
4. Penggunaan berbagai sumber informasi
Masyarakat membutuhkan pelayanan yang aman dan berkualitas,
serta butuh perlindungan sebagai pengguna jasa profesi. Ada beberapa hal
yang menjadi sumber ketidak puasan pasien atau masyarakat yaitu:
1. Pelasyanan yang aman
2. Sikap petugas kurang baik
3. Komunikasi yang kurang
4. Kesalahan prosedur
5. Saran kurang baik
194

6. Tidak adanya penjelasan atau bimbingan atau informasi atau pendidikan


kesehatan.

13.5 ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT


Informed concent berasal dari dua kata, yaitu informed (telah
mendapat penjelasan/keterangan/ informasi) dan concent (memberikan
persetujuan/ mengizinkan. Informed concent adalah suatu persetujuan yang
diberikan setelah mendapatkan informasi.
Dalam PERMENES no. 585 tahun 1989 (pasal 1), Informed concent
ditafsirkan sebagai persetujuan tindakan medis adalah persetujuan yang
diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut.
Ikhwal diperlukannya izin pasien, adalah karena tindakan medik
hasilnya penuh ketidakpastian, tidak dapat diperhitungkan secara matematik,
karena dipengaruhi faktor faktor lain diluar kekuasaan dokter, seperti
virulensi penyakit, daya tahan tubuh pasien, stadium penyakit, respon
individual, faktor genetik, kualitas obat, kepatuhan pasien dalam mengikuti
prosedur dan nasihat dokter, dan lain-lain. Selain itu tindakan medik
mengandung risiko, atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti oleh
akibat yang tidak menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang
menanggung adalah pasien.
Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan
perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab
profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik.
Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan
yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu
perjanjjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan
penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh
peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal
untuk dipenuhi.
195

Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara
petugas kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan
pasien yang cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus
mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak
pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan
memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum,
diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).

Peran Dan Fungsi Majelis Pertimbangan Etik Profesi

Majelis etika profesi merupakan badan perlindungan hukum terhadap para


bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien akibat pelayanan yang
diberikan dan tidak melakukan indikasi penyimpangan hukum. Dasar penyusunan
majelis pertimbangan etika profesi adalah majelis pembinaan dan pengawasn etik
pelayanan medis (MP2EPM), yang melliputi :

1. Kepmenkes RI no.554/Menkes/Per/XII/1982 Memberikan


pertimbangan,pembinaan dan melaksakan pengawasan terhadap semua profesi
tenaga kesehatan dan sarana pelayana medis
2. Peraturan pemerintah Ni.1 tahumn 1988 BAB V pasal 11 Pembinaan dan
pengawasan te hadap dokterr,dokter gigi dan tenaga kesehatan dalam
menjalankan profesinya di lakukan oleh menteri kesehatan atau pejabat yang di
tunjuk
3. Surat keputusan menteri kesehatan no.640/Menkes/Per/X/1991,tentang
pembentukan MP2EPM Dasar majelis displin tenaga kesehatan atau MDTK
adalah sebagai berikut :
a. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945
b. UU no.23 tahun 1992 tentang kesehatan
c. KEPRES tahun 1995 tentang pembentukan MDTK Tugas majelis disiplin
tenaga kesehatan (MDTK) adalah meneliti dan menentukan ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standart profesi yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
196

A. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Pusat :


1. Memberi pertimbangan tentang etik dan standart profesi tenaga
kesahatan kepada mentri
2. Membina,menagembangkan dan mengawasi secara aktif pelaksanaan
kode etik kedokteran gigi,perawat,bidan,sarjana farmasi dan rumah
sakit.
3. Menyelesaikan persoalan,menerima rujukan dan mengadakan
konsultasi dengan instansi terkait.
4. MP2EPM pusat atas mentri yang berwenang mereka yang ditunjuk
mengurus persoalan etik tenaga kesehatan
B. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah profensi
1. Menerima dan member pertimbangan,mengawasi persoalan kode
etik,dan mengadakan konsultasi dengan instansi terkait dengan
persoalan kode etik.
2. Memberi nasihat,membina dan mengembangkan serta menawasi
secara aktif etik tenaga profesi tenaga kesehatan dalam wilayahnya
bekerjasama dengan organisasi profesi seperti
IDI,PDGI,PPNI,IBI,ISFI,PRSw2
3. Memberi pertimbangan dan saran kepada instansi terkait
4. MP2EPM propinsi atas nama kepala kantor wilayah departemen
kesehatan propinsi berwenang memanggil mereka yang bertsangkutan
dalam suatu etik profesi.
C. Majelis Etika Profesi Bidan Pengertian majelis etika profesi merupakan
badan perlindungan hokum terhadap para bidan sehubungan dengan
adanya tuntutan dari klien akibat pelayanan yang diberikan dan tidak
melakukan indikasi penyimpangan hokum.Realisasi Majelis Etika Profesi
Bidan (MPEB) Majelis pembelaan Anggota (MPA).Latar belakang
dibentuknya Majelis Pertimbangan Etika Bidan atau MPEB adalah adanya
unsure-unsur pihak-pihak terkait :
1. Pemeriksa pelayanan untuk pasien
2. Sarana pelayanan kesehatan
3. Tenaga pemberi pelayanan yaitu bidan Pelaksanaan tugas bidan
dibatasi oleh norma,etika,dan agama.tetapi apabila ada kesalahan dan
menimbulkan konflik etik,maka di perlukan wadah untuk menntukan
197

standar profesi,prosedur yang baku dan kode etik yang di sepakati,


maka perlu di bentuk Majelis Etika Bidan,yaiti MPEB dan MPA.
Tujuan dibentuknya Majelis Etika Bidan adalah untuk memberikan
perlindungan yang seimbang dan objektif kepada Bidan dan penerima
pelayanan. Lingkup Majelis Etika Kebidanan meliputi :
a) Melakukan peningkatan fungsi pengetahuan sesuai standart profesi
pelayanan bidan(kepmenkes No.900/Menkes/SK/VII/Tahun 2002
b) Melakukan supervise lapangan, termasuk tentang teknis dan
pelaksanaan praktik, termasuk penyimpangan yang terjadi. Apakah
pelaksanaan praktik bidan sesuai denagan Standart Praktik Bidan,
Standart Profesi dan Standart Pelayanan Kebidanan, juga batas-batas
kewenangan bidan.
c) Membuat pertimbangan bila terjadi kasus-kasus dalam praktik
kebidanan d) Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang um
kesehatan, khususnya yang berkaitan atau melandasi praktik biadan.
Penorganisasian majelis etik kebidanan, adalah sebagai berikut: a)
Majelis etik kebidanan merupakan lembaga organisai yang mandiri,
otonom, dan non structural. b) Majelis etik kebidanan dibentuk
ditingkat propinsi dan pusat c) Majelis etik kebidanan pusat
berkedudukan di ibukota Negara dan majelis etik kebidanan propinsi
berkedudukan di ibu kota propinsi.
d) Majelis etik kebidanan pusat dan propinsi dibantu oleh sekretaris
e) Jumlah anggota masing-masing terdiri daei lima orang
f) Masa bakti anggota majelis etik kebidanan selam tiga tahun dan
sesudahnya,jika berdasarkan evaluasi masih memenuhi ketentuan yang
berlaku, maka anggota gersebut dapat dipilih kembali
g) Anggota majelis etik kebidanan diangkat dan diberhentikan oleh
menteri kesehatan h) Susunan organisasi majelis etik kebidanan tediri
dari:
1) Ketua dengan kualifikasi mempunyai kompetensi tambahan
dibidang hokum
2) Sekretaris merangkap anggota
3) Anggota majelis etik bidan Tugas majelis etik kebidanan adalah
sebagai berikut:
198

- Meneliti dan menentukan ada tidaknya kesalahan atau


kelalaian dalam menerapkan standart profesi yang dilakukan
oleh bidan
- Penilaian didasarkan atas prmintaan pejabat, pasien, dan
keluarga yang dirugikan oleh pelayanan kebidanan
- Permohonan secara tertulis dan disertai data-data
- Keputusan tingakt propinsi bersifat final dan bias konsul ke
majelis etik kebidanan pada tingkat pusat
- Sidang majelis etik kebidanan paling lambat tujuh hari, stelah
diterima pengaduan. Pelaksanaan siding menghadirkan dan
meminta keterangan dari bidan dan saksi-saksi
- Keputusan paling lambat 60 hari,dan kemudian disampaikan
secara tertulis kepada pejabat yang berwewenang
- Biaya dibebankan pada anggaran pimpinan pusat IBI atau
pimpinan daerah IBI ditingkat profensi Dalam pelaksanaanya
dilapangan sekarangan ini bahwa organisasi profesi bidan
IBI,telah melantik MPEB (Pertimbangan Etika Bidan) dan
MPA (Majelis Pembelaan Anggota),namun dalam
pelaksanaanya belum terealisasi dengan baik.
D. Badan Konsil Kebidananan Dalam organisasi profesi bidan Indonesia
hingga saat ini belum terbentuk badan konsil kebidanan.Secara konseptual
badan konsil merupakan badan yang terbentukn daalm rangka melindungi
masyarakat penerima jasa pelayanan dan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan.Konsil kebidanan Indonesia merupakan lembanga otonom dan
independen bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala Negara.
1. Tugas badan konsil kebidanan
a) Melakukan registrasi tenaga bidan.
b) Menetapkan standart pendidikan bidan.
c) Menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
d) Melakukan pembinaan terhadap pelanggaran praktik kebidanan.
Konsil kebidanan Indonesia berfungsi mengatur,menetapkan serta
membina tenaga bidan yang menjalakan prktik kebidanan dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
2. Wewenang badan konsil kebidanan meliputi :
a) Menetapkan standart kompetensi bidan
199

b) Menguji persyaratan registrasi bidan


c) Menyetujui dan menolak permohonan registarsi
d) Menerbitkan dan mencabut sertifikat registrasi
e) Menetapkan tehniologi kebidanan yang dapat diterapkan di
Indonesia
f) Melakukan pembinaan bidan mengenai pelaksanaan etika profesi yang
ditetapkan oleh organisasi profesi
g) Melakukan pencatatan bidan yang dikenakan sanksi yang dikenakan
oleh organisasi profesi
3. Keanggotaan konsil kebidanan:
a) Dari unsure departemen dua orang
b) Lembaga konsumen 1 orang
c) Bidan 10 orang
d) Organisasi profesi terkait 4 orang
e) Ahli hukum 1 orang 4. Persyaratan anggota konsil:
- Warga negara indonesia
- sehat jasmani dan rohani
- Berkelakuan baik
- Usia sekurangnya 40 tahun
- Pernah praktik kebidanan minimal 10 tahun
- Memiliki moral etika tinggi 5. keanggotaan konsil berhenti karena:
 Berakhir masa jabatan sebagai anggota
 Meninggal dunia
 Mengundurkan diri
 Bertempat tinggal diluar wilayah republic Indonesia
 Gangguan kesehatan
 Diberhentikan karena melanggar aturan konsil
4. Mekanisme tatakerja konsil:
a) Memelihara dan menjaga registrasi bidan
b) Mengadakan rapat pleno, dikatakan sah apabila dihadiri separuh
ditambah 1 unsur pimpinan harian
c) Rapat pleno memutuskan:
1) Menolak permohonan registrasi
2) Membentuk sub-sub komite dan anggota
3) Menetapkan aturan dan kebijakan
d) Konsil kebidanan melakukan rapat pleno sekurang-kurangnya empat
kali dalam setahun
e) Konsil kebidanan daerah hanya mengambil keputusan yang berkaitan
dengan persoalan etik profesi
f) Ketua konsil, wakil ketua konsil, ketua komite registrasi dan ketua
komite peradilan profesi merupakan unsur pimpinan harian konsil
Majelis etika profesi bidan (MEPB) Merupakan badan perlindungan
200

hukum terhadap para bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari


klien akibat pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi
penyimpangan hukum. Latar belakang dibentuknya MPEB dan MPA
(Majelis Pembelaan Anggota) adanya unsur 2 pihak terkait:
1) pemeriksaan pelayanan untuk pasien
2) sarana pelayanan kesehatan
3) Tenaga pemberi pelayanan

Rangkuman

Sebagaimana di ketahui bahwa bidan merupakan salah satu tenaga


kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan. Sebelum menginjak kehal –
hal yang lebih jauh, kita perlu memahami beberapa konsep dasar dibawah ini :

Bidan adalah seorang yang telah menyelesaikan Program Pendidikan


Bidan yang diakui Negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk
menjalankan praktek kebidanan di Negara itu. Dia harus mampu memberikan
supervise, asuhan dan memberikan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita
selama masa hmil, persalinan dan masa pasca persalinan, memimpin persalianan
atas tanggung jawab sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak.

Pekerjaan itu termaksud pendidikan antenatal, dan persiapan untuk


menjadi orangtua dan meluas kedaerah tertentu dari ginekologi, KB dan Asuhan
anak, Rumah Perawatan, dan tempat – tempat pelayanan lainnya

Majelis etika profesi merupakan badan perlindungan hukum terhadap para


bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien akibat pelayanan yang
diberikan dan tidak melakukan indikasi penyimpangan hukum. Majelis
pertimbangan etik profesi (MP2EPM) ada 2 yaitu wilayah pusat dan wilayah
propinsi.

Majelis Etika Profesi Bidan Pengertian majelis etika profesi merupakan


badan perlindungan hokum terhadap para bidan sehubungan dengan adanya
tuntutan dari klien akibat pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi
penyimpangan hokum.Realisasi Majelis Etika Profesi Bidan (MPEB) Majelis
201

pembelaan Anggota (MPA). Tujuan dibentuknya Majelis Etika Bidan adalah untuk
memberikan perlindungan yang seimbang dan objektif kepada Bidan dan
penerima pelayanan. Lingkup Majelis Etika

Majelis Etika Profesi Bidan Pengertian majelis etika profesi merupakan


badan perlindungan hokum terhadap para bidan sehubungan dengan adanya
tuntutan dari klien akibat pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi
penyimpangan hokum.Realisasi Majelis Etika Profesi Bidan (MPEB) Majelis
pembelaan Anggota (MPA). Tujuan dibentuknya Majelis Etika Bidan adalah untuk
memberikan perlindungan yang seimbang dan objektif kepada Bidan dan
penerima pelayanan. Lingkup Majelis Etika

Tes Formatif

1. Praktek kebidanan merupakan inti dari berbagai kegiatan bidan dalam


penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus-menerus ditingkatkan
mutunya melalui, kecuali...
A. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
B. Pengembangan ilmu dan teknologi dalam kebidanan
C. Akreditasi
D. Sertifikasi
E. Akuntabilitas
2. Beberapa dasar dalam otonomi pelayanan kebidanan antara lain sebagai
berikut:
A. Kepmenkes 900/Menkes/SK/VII/2002 tentanng registrasi dan praktik
bidan
B. Standar Pelayanan Kebidanan
C. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
D. PP No 32/ Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
E. Benar semua
3. Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi
diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Th 1992, yaitu sebagai
berikut:
A. Pasal 15
B. Pasal 82
C. Pasal 12
D. Pasal 10
E. Pasal 30
202

4. Tujuan legislasi adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap


pelayanan yang telah diberikan. Bentuk perlindungan tersebut antara lain,
kecuali…
A. Mempertahankan kualitas pelayanan
B. Memberikan kewenangan
C. Mensejahterakan nakes
D. Menjamin perlindungan hukum
E. Meningkatkan profesionalisme
5. Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan
memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum,
diantaranya adalah:
A. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
B. Tidak berupaya menekan ( Force ).
C. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
D. Benar semua
E. Salah semua
6. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Pusat :
A. Memberi pertimbangan tentang etik dan standart profesi tenaga kesahatan
kepada mentri
B. Benar Semua
C. Membina,menagembangkan dan mengawasi secara aktif pelaksanaan kode
etik kedokteran gigi,perawat,bidan,sarjana farmasi dan rumah sakit.
D. Menyelesaikan persoalan,menerima rujukan dan mengadakan konsultasi
dengan instansi terkait.
E. MP2EPM pusat atas mentri yang berwenang mereka yang ditunjuk
mengurus persoalan etik tenaga kesehatan
7. Latar belakang dibentuknya Majelis Pertimbangan Etika Bidan atau MPEB
adalah adanya unsure-unsur pihak-pihak terkait :
A. Memberi pertimbangan tentang etik dan standart profesi tenaga kesahatan
kepada mentri
B. Membina,menagembangkan dan mengawasi secara aktif pelaksanaan kode
etik kedokteran gigi,perawat,bidan,sarjana farmasi dan rumah sakit.
C. Tenaga pemberi pelayanan yaitu bidan Pelaksanaan tugas bidan
dibatasi oleh norma,etika,dan agama.tetapi apabila ada kesalahan
dan menimbulkan konflik etik,maka di perlukan wadah untuk
menntukan standar profesi,prosedur yang baku dan kode etik yang di
sepakati, maka perlu di bentuk Majelis Etika Bidan,yaiti MPEB dan
MPA.
203

D. Menyelesaikan persoalan,menerima rujukan dan mengadakan konsultasi


dengan instansi terkait.
E. MP2EPM pusat atas mentri yang berwenang mereka yang ditunjuk
mengurus persoalan etik tenaga kesehatan
8. Tugas badan konsil kebidanan
A. Menetapkan standart kompetensi bidan
B. Menetapkan standart pendidikan bidan.
C. Menyetujui dan menolak permohonan registarsi
D. Menerbitkan dan mencabut sertifikat registrasi
E. Menetapkan tehniologi kebidanan yang dapat diterapkan di Indonesia
9. Wewenang badan konsil kebidanan meliputi :
A. Melakukan registrasi tenaga bidan.
B. Menetapkan standart pendidikan bidan.
C. Menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
D. Menguji persyaratan registrasi bidan
E. Melakukan pembinaan terhadap pelanggaran praktik kebidanan. Konsil
kebidanan Indonesia berfungsi mengatur,menetapkan serta membina
tenaga bidan yang menjalakan prktik kebidanan dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
10. Latar belakang dibentuknya MPEB dan MPA (Majelis Pembelaan Anggota)
adanya unsur 2 pihak terkait:
A. Sarana pelayanan kesehatan
B. Menerbitkan dan mencabut sertifikat registrasi
C. Menetapkan tehniologi kebidanan yang dapat diterapkan di Indonesia
D. Melakukan pembinaan bidan mengenai pelaksanaan etika profesi yang
ditetapkan oleh organisasi profesi
E. Melakukan pencatatan bidan yang dikenakan sanksi yang dikenakan oleh
organisasi profesi
204

KEGIATAN BELAJAR 14

PERAN DAN FUNGSI MAJELIS


PERTIMBANGAN KODE ETIK PROFESI

 Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mempelajari buku ajar ini, diharapkan mahasiswa mampu
memahami tugas bidan berdasarkan etik dank ode etik profesi
 Tujuan Pembelajaran Khusus
Mahasiswa mampu menjelaskan teori-teori yang mendasari pengambilan
keputusan dalam menghadapi dilemma etik dalam pelayanan kebidanan.
 Pokok pokok materi
Peran dan Fungsi Majelis Pertimbangan Kode Etik Profesi
A. Pengertian Peran Majelis Pertimbangan Kode Etik Profesi
Peran adalah kelengkapan dari hubungan-hubungan berdasarkan peran yang
dimiliki oleh orang karena menduduki status-status sosial khusus. Selanjutnya
dikatakan bahwa di dalam peranan terdapat dua macam harapan, yaitu:
pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau
kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan kedua harapan-harapan yang
dimiliki oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang
yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau
kewajiban-kewajibannya
Pengertian peran menurut para ahli :
 Abu Ahmadi (1982) peran adalah suatu kompleks pengharapan
manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam
situasi tertentu yang berdasarkan status dan fungsi sosialnya.
 Soerjono Soekanto (2002:243), yaitu peran merupakan aspek dinamis
kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan
suatu peranan.
 Menurut Dougherty & Pritchard (1985) teori peran memberikan suatu
kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi
205

Jadi pengertian majelis etika profesi merupakan badan perlindungan


hokum terhadap para bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien
akibat pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi penyimpangan
hukum.
Majelis etika Profesi bidan (MPEB) Majelis Pembelaan Anggota
(MPA). Latar belakang dibentuknya MPEB adanya unsure-unsur pihak terkait:
1. Pemeriksa pelayanan untuk pasien
2. Sarana pelayanan kesehatan
3. Tenaga pemberi pelayanan yaitu bidan 206
B. Pengertian Etika dan Kode Etik
Etika berasal dari bahasa Yunani. Menurut etimologi berasal dari kata Ethos
yang artinya kebiasaan atau tingkah laku manusia. Dalam Bahasa Inggris
disebut Ethis yang artinya sebagai ukuran tingkah laku atau prilaku manusia
yang baik, yakni tindakan manusia yang tepat yang harus dilaksanakan oleh
manusia itu sesuai dengan etika moral pada umumya. Etika merupakan suatu
cabang ilmu filsafat yang mengatur prinsip-prinsip tentang moral dan tentang
baik buruknya suatu perilaku.
Etika merupakan aplikasi atau penerapam teori tentang filosofi moral
kedalam situasi nyata dan berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang
membimbing manusia berpikir dan bertindak dalam kehidupannya yang
dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak pihak yang menggunakan
istilah etik untuk menggambarkan etika suatu profesi dalam hubungannya
dengan kode etik professional.
Sedangkan Kode Etik itu sendiri adalah suatu ciri profesi yang
bersumber dari nilai-nilai internal dan eksternal suatu disiplin ilmu dan
merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang memberikan
tuntunan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi.
Kode Etik merupakan norma-norma yang harus dilaksanakan oleh
setiap profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan di dalam
kehidupan di masyarakat. Maka secara sederhana juga dapat dikatakan bahwa
etika adalah disiplin yang mempelajari tentang baik buruknya sikap tindakan
atau perilaku.
C. Tujuan Kode Profesi adalah :
1. Untuk Menjunjung Tinggi Martabat dan Citra Profesi
2. Untuk Menjunjung Tinggi dan Memelihara Kesejahteraan Para
Anggotanya
3. Untuk Meningkatkan Pengabdian Para Anggota Profesi
4. Untuk Meningkatkan Mutu Profesi
Di dalam pelaksanaannya penetapan kode etik IBI harus dilakukan
oleh kongres IBI. Hal ini terjadi karena kode etik suatu organisasi akan
mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin di kalangan
profesi, jika semua orang menjalankan profesi yang sama tersebut tergabung
206

dalam suatu organisasi profesi. Hal ini menjadi lebih tegas dengan pengertian
bahwa apabila setiap orang yang menjalankan suatu profesi maka secara
otomatis dia tergabung dalam suatu organisasi atau ikatan profesi. Apabila hal
ini dapat dilaksanakan dengan baik maka barulah ada suatu jaminan bahwa
profesi tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiap anggota
profesi yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenakan
sangsi dalam menjalankan tugasnya.
Sehubung dengan pelaksanaan Kode Etik Profesi, bisan di bantu oleh
suatu lembaga yang disebut Majelis Pertimbangan Kode Etik Bidan Indonesia
dan Majelis Pertimbangan Etika Profesi Bidan Indonesia. Dalam organisasi
IBI terdapat Majelis Pertimbangan Etika Bidan (MPEB) dan Majelis
Pembelaan Anggota (MPA).
D. Dasar Penyusunan Majelis Pertimbangan Etika Profesi
Dasar penyusunan Majelis Pertimbangan Etika Profesi adalah Majelis
Pembinaan dan Pengawasan Etik Pelayanan Medis (MP2EPM), yang
meliputi:
1. Kepmenkes RI no. 1464/Menkes/X/2010
Memberikan pertimbangan, pembinaan, pengawasan, dan mengikut
sertakan terhadap semuaprofesi tenaga kesehatan dan sarana pelayanan
medis.
2. Peraturan Pemerintah no. 1464 Tahun 2010 BAB V Pasal 21
Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi dan tenaga
kesehatan dalam menjalankan profesinya untuk meningkatkan mutu
pelayanan dan keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap
segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan
3. Surat keputusan Menteri Kesehatan no. 640/Menkes/Per/X/1991, tentang
pembentukan MP2EPM
Dasar Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan atau MDTK adalah sebagai berikut:
1. Pasal 14 Ayat 1 UUD 1945
2. UU no. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
3. KEPRES tahun 1995 Tentang Pembentukan MDTK
Tugas Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) adalah meneliti dan
menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan
standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan
Dasar penyusunan Majelis pertimbangan etik profesi adalah majelis
pembinaan danpengawasan etik pelayanan medis (MP2EPM) yang meliputi:
a. Kepmenkes RI No. 554/Menkes/Per/XII/1982
Memberikan pertimbangan, pembinaan dan melaksanakan pengawasan
terhadap semua profesi tenaga kesehatan dan sarana pelayanan medis.
b. Peraturan pemerintah No. 1Tahun 1988 Bab V Pasal 11
207

Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi, dan tenaga


kesehatan dalam menjalankan profesinya dilakukan oleh Menteri
Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk.
c. Surat keputusan menteri kesehatan No. 640/Menkes/Per/X/1991, tentang
pembentukan MP2EPM. (Wahyuningsih, 2008).
Dasar majelis disiplin tenaga kesehatan (MDTK), adalah sebagai berikut:
a. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
c. Keputusan Presiden Tahun 1995 tentang pembentukan MDTK
Tugas MDTK adalah meneliti dan menentukan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
1. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Pusat
a. Memberi pertimbangan tentang etik dan standar profesi tenaga
kesehatan kepada menteri.
b. Membina, mengembangkan, dan mengawasi secara aktif pelaksanaan
kode etik kedokteran gigi, perawat, bidan, sarjana farmasi, dan rumah
sakit.
c. Menyelesaikan persoalan, menerima rujukan dan mengadakan
konsultasi dengan instasi terkait.
d. MP2EPM pusat atas Menteri yang berwenang mereka yang ditunjuk
mengurus persoalan etik tenaga kesehatan.
2. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Provinsi
a. Menerima dan memberi pertimbangan, mengawasi persoalan kode
etik, dan mengadakan konsultasi dengan instansi terkait dengan
persoalan kode etik.
b. Memberi nasihat, membina dan mengembangkan serta mengawasi
secara aktif etik profesi tenaga kesehatan dalam wilayahnya
bekerjasama dengan organisasi profesi seperti IDI, PDGI, PPNI, IBI,
ISFI, PRS21.
c. Memberi pertimbangan dan saran kepada instansi terkait.
d. MP2EPM propinsi atas nama Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan Propinsi berwenang memanggil mereka yang bersangkutan
dalam suatu etik profesi.
E. Majelis Etika Profesi Bidan
Pengertian majelis etika profesi bidan adalah merupakan badan
perlindungan hukum terhadap para bidan sehubungan dengan adanya tuntutan
dari klien akibat pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi
penyimpangan hukum. Realisasi majelis etika bidan (MPEB) dan majelis
pembelaan anggota (MPA). Latar belakang dibentuknya majelis pertimbangan
etika bidan atau MPEB adalah adanya unsur-unsur pihak-pihak terkait:
1. Pemeriksa pelayanan untuk pasien
208

2. Sarana pelayanan kesehatan


3. Tenaga pemberi pelayanan, yaitu bidan
Pelaksanaan tugas bidan dibatasi oleh norma, etika, dan agama. Tetapi
apabila ada kesalahan dan menimbulkan konflik etik, maka diperlukan wadah
untuk menentukan standar profesi, prosedur yang baku dan kode etik yang
disepakati, maka perlu dibentuk majelis etik bidan, yaitu MPEB dan MPA.
Tujuan dibentuknya majelis etika bidan adalah untuk memberikan
perlindungan yang seimbang dan objektif kepada bidan dan penerima
pelayanan.
Lingkup majelis etika kebidanan yaitu :
1. Melakukan peningkatan fungsi pengetahuan sesuai standar profesi
pelayanan bidan (Kepmenkes No. 900/Menkes/SK/VII/Tahun 2002).
2. Melakukan supervisi lapangan, termasuk tentang teknis, dan pelaksanaan
praktik, termasuk penyimpangan yang terjadi. Apakah pelaksanaan praktik
bidan sesuai dengan standar praktik bidan, standar profesi dan standar
pelayanan kebidanan, juga batas-batas kewenangan bidan.
3. Membuat pertimbangan bila terjadi kasus-kasus dalam praktik kebidanan.
4. Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang hukum kesehatan, khususnya
yang berkaitan atau melandasi praktik bidan.
Pengorganisasian majelis etik kebidanan, adalah sebagai berikut:
1. Majelis etik kebidanan merupakan lembaga organisasi yang mandiri,
otonom, dan non struktural.
2. Majelis etik kebidanan dibentuk ditingkat propinsi atau pusat.
3. Majelis kebidanan pusat berkedudukan di ibukota negara dan majelis etik
kebidanan propinsi berkedudukan di ibu kota propinsi.
4. Majelis etik kebidanan pusat dan propinsi dibantu oleh sekretaris.
5. Jumlah anggota masing-masing terdiri dari lima orang.
6. Masa bakti anggota majelis etik kebidanan selama tiga tahun dan
sesudahnya, jika berdasarkan evaluasi masih memenuhi ketentuan yang
berlaku, maka anggota tersebut dapat dipilih kembali.
7. Anggota majelis etik kebidanan diangkat dan diberhentikan oleh menteri
kesehatan.
8. Susunan organisasi majelis etik kebidanan terdiri dari:
a. Ketua dengan kualifikasi mempunyai kompetensi tambahan di bidang
hukum
b. Sekretaris merangkap anggota
c. Anggota majelis etik bidan
Tugas majelis etik kebidanan, adalah meliputi:
1. Meneliti dan menentukan ada dan tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam
menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh bidan.
2. Penilaian didasarkan atas permintaan pejabat, pasien, dan keluarga yang
dirugikan oleh pelayanan kebidanan.
3. Permohonan secara tertulis dan disertai data-data.
209

4. Keputusan tingkat propinsi bersifat final dan bisa konsul ke majelis etik
kebidanan pada tingkat pusat.
5. Sidang majelis etik kebidanan paling lambat 7 hari, setelah diterima
pengaduan. Pelaksanaan sidang menghadirkan dan minta keterangan dari
bidan dan saksi-saksi.
6. Keputusan paling lambat 60 hari dan kemudian disampaikan secara tertulis
kepada pejabat yang berwenang.
7. Biaya dibebankan pada anggaran pimpinan pusat IBI atau pimpinan daerah
IBI di tingkat propinsi.
Dalam peaksanaannya di lapangan sekarang ini bahwa organisasi
profesi bidan IBI, telah melantik MPEB (majelis pertimbangan etika bidan)
dan MPA (majelis peradilan profesi, namun dalam pelaksanaannya belum
terealisasi dengan baik.
F. Badan Konsil Kebidananan
Dalam organisasi profesi bidan Indonesia hingga saat ini belum
terbentuk badan konsil kebidanan.Secara konseptual badan konsil merupakan
badan yang terbentukn daalm rangka melindungi masyarakat penerima jasa
pelayanan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.Konsil kebidanan
Indonesia merupakan lembanga otonom dan independen bertanggung jawab
kepada presiden sebagai kepala Negara.
1. Tugas badan konsil kebidanan
a. Melakukan registrasi tenaga bidan.
b. Menetapkan standart pendidikan bidan.
c. Menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
d. Melakukan pembinaan terhadap pelanggaran praktik kebidanan.
Konsil kebidanan Indonesia berfungsi mengatur,menetapkan serta
membina tenaga bidan yang menjalakan prktik kebidanan dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
2. Wewenang badan konsil kebidanan meliputi :
a. Menetapkan standart kompetensi bidan.
b. Menguji persyaratan registrasi bidan.
c. Menyetujui dan menolak permohonan registarsi.
d. Menerbitkan dan mencabut sertifikat registrasi.
e. Menetapkan tehniologi kebidanan yang dapat diterapkan di Indonesia.
f. Melakukan pembinaan bidan mengenai pelaksanaan etika profesi
yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
g. Melakukan pencatatan bidan yang dikenakan sanksi yang dikenakan
oleh organisasi profesi.
3. Keanggotaan konsil kebidanan:
a. Dari unsure departemen dua orang.
b. Lembaga konsumen 1 orang.
210

c. Bidan 10 orang.
d. Organisasi profesi terkait 4 orang.
e. Ahli hukum 1 orang.
4. Persyaratan anggota konsil:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Sehat jasmani dan rohani.
c. Berkelakuan baik.
d. Usia sekurangnya 40 tahun.
e. Pernah praktik kebidanan minimal 10 tahun.
f. Memiliki moral etika tinggi.
5. Keanggotaan konsil berhenti karena:
a. Berakhir masa jabatan sebagai anggota.
b. Meninggal dunia.
c. Mengundurkan diri.
d. Bertempat tinggal diluar wilayah republic Indonesia.
e. Gangguan kesehatan.
f. Diberhentikan karena melanggar aturan konsil.
6. Mekanisme Tata Kerja Konsil:
a. Memelihara dan menjaga registrasi bidan.
b. Mengadakan rapat pleno, dikatakan sah apabila dihadiri separuh
ditambah 1 unsur pimpinan harian.
c. Rapat pleno memutuskan:
1) Menolak permohonan registrasi.
2) Membentuk sub-sub komite dan anggota.
3) Menetapkan aturan dan kebijakan.
d. Konsil kebidanan melakukan rapat pleno sekurang-kurangnya empat
kali dalam setahun.
e. Konsil kebidanan daerah hanya mengambil keputusan yang berkaitan
dengan persoalan etik profesi.
f. Ketua konsil, wakil ketua konsil, ketua komite registrasi dan ketua
komite peradilan profesi merupakan unsur pimpinan harian konsil.

RANGKUMAN
Majelis etika profesi bidan adalah badan perlindungan hukum terhadap
para bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien akibat pelayanan yang
diberikan dan tidak melakukan indikasi penyimpangan hukum. Realisasi majelis
etika bidan (MPEB) dan majelis pembelaan anggota (MPA).Pelaksanaan tugas
bidan dibatasi oleh norma, etika, dan agama. Tetapi apabila ada kesalahan dan
menimbulkan konflik etik, maka diperlukan wadah untuk menentukan standar
profesi, prosedur yang baku dan kode etik yang disepakati, maka perlu dibentuk
majelis etik bidan, yaitu MPEB dan MPA.Tujuan dibentuknya majelis etika bidan
211

adalah untuk memberikan perlindungan yang seimbang dan objektif kepada bidan
dan penerima pelayanan.Dalam peaksanaannya di lapangan sekarang ini bahwa
organisasi profesi bidan IBI, telah melantik MPEB (majelis pertimbangan etika
bidan) dan MPA (majelis peradilan profesi, namun dalam pelaksanaannya belum
terealisasi dengan baik.
Dalam organisasi profesi bidan Indonesia hingga saat ini belum terbentuk
badan konsil kebidanan. Secara konseptual badan konsil merupakan badan yang
terbentuk dalam rangka melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan dan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Konsil kebidanan Indonesia merupakan
lembanga otonom dan independen bertanggungjawab kepada presiden sebagai
kepala Negara.

TES FORMATIF
1. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Pusat adalah....
a. Menerima dan memberi pertimbangan, mengawasi persoalan kode etik,
dan mengadakan konsultasi dengan instansi terkait dengan persoalan
kode etik.
b. Memberi pertimbangan dan saran kepada instansi terkait.
c. Membina, mengembangkan, dan mengawasi secara aktif
pelaksanaan kode etik kedokteran gigi, perawat, bidan, sarjana
farmasi, dan rumah sakit.
d. MP2EPM propinsi atas nama Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan Propinsi berwenang memanggil mereka yang bersangkutan
dalam suatu etik profesi.
e. Memberi nasihat, membina dan mengembangkan serta mengawasi
secara aktif etik profesi tenaga kesehatan dalam wilayahnya
bekerjasama dengan organisasi profesi seperti IDI, PDGI, PPNI, IBI,
ISFI, PRS21.
2. Di bawah ini yang merupakan susunan organisasi majelis etik kebidanan,
kecuali...
a. Ketua
b. Wakil ketua
c. Sekretaris
d. Sekretaris merangkap anggota
e. Anggota
3. Keanggotaan konsil berhentia pabila….

a. Tidak mempunyai jabatan tinggi


b. Usia sekurangnya 40 tahun.
c. Pernah praktik kebidanan minimal 10 tahun.
212

d. Bertempat tinggal di Indonesia tetapi tidak di Kota yang sama dengan


kantor
e. Bertempat tinggal diluar wilayah republic Indonesia
4. Meneliti dan menentukan ada dan tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam
menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh bidan merupakan tugas
dari.....
a. Majelis Pelayanan Kebidanan
b. Bidan Delima
c. Majelis Penengak Kebidanan
d. Majelis Etik Kebidanan
e. Kementerian Hukum dan HAM
5. Dalam Kepmenkes RI No. 554/Menkes/Per/XII/1982 berisi tentang...
a. Memberikan pertimbangan, pembinaan dan melaksanakan
pengawasan terhadap semua profesi tenaga kesehatan dan sarana
pelayanan medis.
b. Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi, dan tenaga
kesehatan dalam menjalankan profesinya dilakukan oleh Menteri
Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk.
c. Pembentukan MP2EPM
d. Dasar majelis disiplin tenaga kesehatan (MDTK)
e. Menyelesaikan persoalan, menerima rujukan dan mengadakan
konsultasi dengan instasi terkait.
6. Pemeriksa pelayanan untuk pasien, sarana pelayanan kesehatan, tenaga
pemberi pelayanan (bidan), merupakan latar belakang di bentuknya …
a. Kode Etik
b. MPA
c. MPEB
d. MP2EPM
e. MDTK
7. Menjunjung Tinggi dan Memelihara Kesejahteraan para Anggotanya,
merupakan tujuan dari ….
a. Kode Profesi
b. MPA
c. MPEB
d. MP2EPM
e. MDTK
8. Peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia
menjalankan suatu peranan, merupakan pengertian peran menurut ...
a. Abu Ahmadi
b. Soerjono Soekanto
c. Menurut Dougherty & Pritchard
d. KBBI
e. Merton
213

9. Memberi pertimbangan tentang etik dan standar profesi tenaga kesehatan


kepada menteri, merupakan tugas dan wewenang MP2EPM wilayah ....
a. Kabupaten
b. Kota
c. Kecamatan
d. Provinsi
e. Pusat
10. Memberi nasihat, membina dan mengembangkan serta mengawasi secara
aktif etik profesi tenaga kesehatan dalam wilayahnya bekerjasama dengan
organisasi profesi seperti IDI, PDGI, PPNI, IBI, ISFI, PRS21, merupakan
tugas dan wewenang MP2EPM wilayah ....
a. Kabupaten
b. Kota
c. Kecamatan
d. Provinsi
e. Pusat

KEGIATAN BELAJAR 15

MASALAH HUKIM DALAM PRAKTEK


KEBIDANAN
214

Tujuan Pembelajaran Umum


 Memecahkan masalah yang berkaitan dengan etikolegal pelayanan
kebidanan

Tujuan Pembelajaran Khusus


 Mahasiswa mampu menyelesaikan masalah hokum dalam pelayanan

Pokok-Pokok materi dan uraian materi


15.1 Pengantar Ilmu Hukum
Ilmu hukum adalah kumpulan pengetahuan tentang hokum yang telah
deibuat sistematiknya. Filosofis dasarnya adalah bahwa manusia adalah
mahluk hidup yang mempunyai rasa, karsa, dan karya, akal dan perasaan.
1. Sumber hukum formal adalah :
a. Perundang – undangan
b. Kebiasaan
c. Traktat ( perjanjian Internasional public )
d. Yurisprudensi
e. Doktrin ( pendapat pakar )
2. Macam – macam hukum adalah :
a. Hukum perdata dan hokum public
b. Hukum material dan hokum formal
c. Hukum perdata,
d. Hukum pidanan,
e. Hukum tatanegara/tata usaha Negara,
f. Hukum internasional
g. Hukum adat
15.2 Pengantar Hukum Kesehatan
1. Kelompok masalah yang menyangkut asas umum, meliputi hak
216
menentukan diri sendiri,hak atas pemeliharaan kesehatan , fungsiundang
– undang dan hokum danpemeliharaan kesehataan , hubungan
hokumkesehatan dengan etika kesehatan.
2. Kelompok masalah tentang kedudukan indifidu dalam hokum kesehatan,
antara lain : Hak atas tubuh sendiri, kedudukan material tubuh, hak atas
kehidupan, genetika, reproduksi, status hokum hasil
pembuahan, Perawatan yang dipaksakan dalam RS.
3. Kelompok masalah dengan aspek- aspek pidana antara lain : tanggung
jawab pidana, tindakan medis dan hokum pidana, hak untuk tidak
membuka rahasia.
4. Kelompok masalah dakam pelayanan kuratif, antara lain kewajiban
memberika pertolongan medis, menjaga mutu, eksperimen – eksperimen
215

medis, batas – batas pemberiaan pertolongan medis, penyakitmenular,


dokumentasi medis dan lain – lain.
5. Kelompok tentang pelaksanaan profesi dankepentingan pihak ketiga
antara lain kesehatan industry, pelaksanaan medis skrining, keterangan
medis, saksi ahli, asuransikesehatan social.
Hak asasi manusia yang berhubungan dengan kesehatan manusia dimulai
dari tiga hak asasi,yaitu :
1. The right to health care ( Hak untuk mendapat pelanyanan kesehatan )
2. The right to self dateminartion ( hak untuk menentukan nasib sendiri )
3. The righ toinformation ( Hak untuk mendapat informasi )

Etika dan hokum berkait dengan ruang lingkup masing –masing, dengan
jalur yang berbeda.Adapun gambaran jalur etik dan hokum
dapat dideskripsikan :

1. Etika profesi bersifat interen ( self inposed regulation ) , bertujuan


menjaga mutu profesi dan memelihara harkat dan martabat
profesi ( tidak berlaku umum ) sanksi ditetapkan oleh organisasi.
2. Majelis disiplin bersifat sebagai hokum public ( ada unsure pemerintah).
Bertujuan memelihara tata tertib anggota profesi ( tidak berlaku bagi
bukananggota profesi ) sanksi teguran, scorsing, pemecatan
( ditetapkan pemerintah )
3. Hukum bersifat berlaku umum ( sifat memaksa, bertujuan menjaga
ketertiban masnyarakat luas ( termaksud anggota profesi ), dengan
sanksi hokum perdata atau hokum perdanan )

15.3 Aspek Hukum Dalam Praktik Kebidanan


Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal yang
penting dan dituntut dari suatu profesi, terutama profesi yang berhubungan
dengan keselamatan jiwa manusia, adalah pertanggung jawaban
dan tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan yang
dilakukuannya. Sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh bidan
harus berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence based. Accountability
diperkuatdengan satu landasan hokum yang mengatur batas-batas wewenang
profesi yang bersangkutan.
216

Dengan adanya legitimasi kewenangan bidan yang lebih luas, bidan


memiliki hak otonomi dan mandiri untuk bertindak secara profesional yang
dilandasi kemampuan berfikir logis dan sitematis serta bertindak sesuai
standar profesi dan etika profesi.
Praktek kebidanan merupakan inti dari berbagai kegiatan bidan
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus-menerus
ditingkatkan mutunya melalui:
1. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
2. Pengembangan ilmu dan teknologi dalam kebidanan
3. Akreditasi
4. Sertifikasi
5. Registrasi
6. Uji kompetensi
7. Lisensi
Beberapa dasar dalam otonomi pelayanan kebidanan antara lain sebagai
berikut:
1. Kepmenkes 900/Menkes/SK/VII/2002 tentanng registrasi dan praktik
bidan
2. Standar Pelayanan Kebidanan
3. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
4. PP No 32/ Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
5. Kepmenkes 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang oraganisasi dan tata kerja
Depkes
6. UU No 22/1999 tentang Otonomi daerah
7. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
8. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung dan transplantasi

15.4 Legislasi Pelayanan Kebidanan


Pelayanan legislasi adalah:
1. Menjamin perlindungan pada masyarakat pengguna jasa profesi dan
profesi sendiri
2. Legislasi sangat berperan dalam pemberian pelayanan professional
Bidan dikatakan profesional, mematuhi beberapa criteria sebagai berikut:
1. Mandiri
2. Peningkatan kompetensi
3. Praktek berdasrkan evidence based
4. Penggunaan berbagai sumber informasi
Masyarakat membutuhkan pelayanan yang aman dan berkualitas, serta
butuh perlindungan sebagai pengguna jasa profesi.
217

Ada beberapa hal yang menjadi sumber ketidak puasan pasien atau
masyarakat yaitu:
1. Pelayanan yang aman
2. Sikap petugas kurang baik
3. Komunikasi yang kurang
4. Kesalahan prosedur
5. Saran kurang baik
6. Tidak adanya penjelasan atau bimbingan atau informasi atau pendidikan
kesehatan
Legislasi adalah proses pembuatan UU atau penyempurnaan perangkat
hukum yang sudah ada melalui serangkaian sertifikasi
(pengaturan kompetensi), registrasi (pengaturan kemenangan) dan lisensi
(pengaturan penyelenggaraan kewenangan),
Tujuan legislasi adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat
terhadap pelayanan yang telah diberikan. Bentuk perlindungan tersebut
antara lain:
1. Mempertahankan kualitas pelayanan
2. Memberikan kewenangan
3. Menjamin perlindungan hokum
4. Meningkatkan profesionalisme

15.5 Aspek Hukum Informed Consent


Pada dasarnya dalam praktik sehari hari, pasien yang datang untuk
berobat ke tempat praktik dianggap telah memberikan persetujuannya untuk
dilakukan tindakan tindakan rutin seperti pemeriksaan fisik. Akan tetapi,
untuk tindakan yang lebih kompleks biasanya dokter akan memberikan
penjelasanterlebih dahulu untuk mendapatkan kesediaan dari pasien,
misalnya kesediaan untuk dilakukan suntikan.
Ikhwal diperlukannya izin pasien, adalah karena tindakan medik
hasilnya penuh ketidakpastian, tidak dapat diperhitungkan secara matematik,
karena dipengaruhi factor faktor lain diluar kekuasaan dokter,
seperti virulensi penyakit, daya tahan tubuh pasien, stadium penyakit, respon
individual, factorgenetik, kualitas obat, kepatuhan pasien dalam mengikuti
prosedur dan nasihat dokter, dll. Selain itu tindakan medik mengandung
risiko, atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti oleh akibat
218

yang tidak menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang


menanggung adalah pasien. Atas dasar itulah maka persetujuan pasien bagi
setiap tindakan medic mutlak diperlukan, kecuali pasien dalamkondisi
emergensi. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang tidak
sehat, diharapkan dokter tidak memberikan informasi yang dapat
mempengaruhi keputusan pasien, karena dalam keadaantersebut, pikiran
pasien mudah terpengaruh.
Selain itu dokter juga harus dapat menyesuaikan diri dengan tingkat
pendidikan pasien, agar pasien bisa mengerti dan memahami isi
pembicaraan. Persetujuan tersebut disebut dengan Informed
Consent.Informed Consent hakikatnya adalah hokum perikatan, ketentuan
perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab
profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik.
Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum
Perikatan yang di dalam KUHPerdata BW Pasal 1320 memuat 4
syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan
penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal, yangmdibenarkan, dan tidak dilarang
oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk
akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak
(antara petugas kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada
informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari
pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya,
demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi
yang akan dilakukan. Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan alam
menyusun dan memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini
tidak cacatmhukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
219

Rangkuman

Hukum kesehatan yang terkait dengan etika profesi dan pelanyanan


kebidanan. Ada keterkaitan atau daerah bersinggunan antara pelanyanan
kebidanan, etika dan hokum atau terdapat “grey area”. Sebagaimana di
ketahui bahwa bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan. Sebelum menginjak kehal – hal yang lebih
jauh, kita perlu memahami beberapa konsep dasar dibawah ini :

- Bidan adalah seorang yang telah menyelesaikan Program Pendidikan


Bidan yang diakui Negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk
menjalankan praktek kebidanan di Negara itu. Dia harusmampu memberikan
supervise, asuhan dan memberikan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita
selama masa hmil , persalinan dan masa pasca persalinan, memimpin
persalianan atas tanggung jawab sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan
anak.
- Pekerjaan itu termaksud pendidikan antenatal, dan persiapan untuk
menjadi orangtua dan meluas kedaerah tertentu dari ginekologi, KB dan
Asuhan anak, Rumah Perawatan, dan tempat – tempat pelayanan lainnya
(ICM 1990)

Tes Formatif

1. Hukum yang mengatur tentang bagaimana berhubungan dengan pemeliharaan


kesehatan
(health care) adalah:
a. Hukum kedokteran
b. Hukum rumah sakit
c. Hukum kesehatan
d. Hukum kebidanan
e. Hukum lingkungan
2. Tenaga kesehatan perlu memahami hukum kesehatan agar:
a. Mengetahui aspek hukum dalam pelayanan kesehatan yang dilakukannya.
220

b. Memperkuat benteng terhadap tuntutan yang mungkin timbul


c. Lebih yakin diri dalam menjalankan profesi
d. Menjalankan profesi sesuai peraturan dan ketentuan hukum
e. Semua yang disebut di atas benar
3. Berikut merupakan larangan tentang aborsi yang diatur didalam KUHP,
kecuali:
a. Menganjurkan kepada wanita dengan memberi harapan agar gugur
kandungannya
b. Mempertunjukkan cara aborsi kepada anak dibawah usia 17 tahun
c. Menggugurkan kandungan wanita dengan seizin wanita tersebut
d.Menggugurkan kandungan berdasarkan indikasi medis
e. Sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain
melakukannya
4. Undang-Undang Tentang Kesehatan yang berlaku saat ini diatur didalam:
a. UU No. 23 Tahun 2004
b. UU No.22 Tahun 2002
c. UU No.22 Tahun 2004
d. UU No.36 Tahun 2009
e. UU No.39 Tahun 1999
5. Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien dapat terjadi dalam ikatan
a. Hubungan kebutuhan
b. Hubungan kepercayaan
c. Hubungan profesi
d. Hubungan hukum
e. Semua yang disebut di atas benar
6. Tujuan dari diundangkannya Undang-Undang Kesehatan adalah untuk
a. Mencapai terwujutnya derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang
b. Meningkatkan kesadaran untuk hidup sehat.
c. Meningkatkan kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat.
d. Mencapai pembangunan kesehatan bagi penduduk dan masyarakat di
Indonesia
221

e. Semua yang disebut di atas benar


7. Untuk mencapai derajat kesehatan yang baik, maka pemerintah menetapkan
pengertian kesehatan yang ingin dicapai yaitu:
a Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan
b. Kesehatan adalah keadaaan sejahtera dari jiwa dan spiritual
c. Kesehatan adalah kondisi seseorang yang dapat melakukan interaksi sosial
d. Kesehatan adalah kondisi sesorang yang memungkinkan hidup produktif
ekonomis
e. Semua yang disebut di atas benar.
8. Etik dan hukum berbeda dalam hal:
a. Hukum disusun oleh anggota profesi
b. Etik seluruhnya dirumuskan secara tertulis
c. Butir-butir etik tersusun dalm kode etik profesi
d. Sanksi pelanggran etika dapat berupa tuntutan hukuman badan
e. Pelanggaran etik dapat dikenakan tuntunan
9. Asas pokok dalam pelayanan profesi kesehatan adalah,
a. Keadilan (justice)
b. Kebaikan (Beneficence)
c. Primum non Nocere
d. Otonomi
e. Semua yang disebut di atas benar
10. Yang bukan termasuk manfaat informed consent adalah sebagai berikut:
a.Mencegah penipuan atau paksaan
b.Merangsang profesi medis untuk introspeksi
c.Mengajukan keputusan yang tidak rasional
d.Melibatkan masyarakat memajukan prinsip autonomi
e.Pengawasan dalam penelitian biomedik
KEGIATAN BELAJAR 16

ETIKOLEGAL PELAYANAN KEBIDANAN


222

Tujuan Pembelajaran Umum


Memecahkan masalah yang berkhaitan dengan etikolegal pelayanan kebidanan

Tujuan Pembelajaran Khusus


Mahasiswa mampu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan etikolegal
pelayanan kebidanan

Pokok-pokok materi dan uraian materi

Dasar penyusunan Majelis Pertimbangan Etika Profesi adalah Majelis Pembinaan


dan Pengawasan Etik Pelayanan Medis (MP2EPM), yang meliputi :

1. Kepmenkes RI no. 554/Menkes/Per/XII/1982


Memberikan pertimbangan, pembinaan dan melaksanakan pengawasan
terhadap semua profesi tenaga kesehatan dan sarana pelayanan medis.
2. Peraturan Pemerintah Ni. 1 Tahun 1988 Bab V Pasal 11.
Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi dan tenaga
kesehatan dalam menjalankan profesinya dilakukan oleh Menteri
Kesehatan atau Pejabat yang ditunjuk.
3. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 640/Menkes/Per/X/1991, Tentang
Pembentukan MP2EPM.
Dasar Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK), adalah sebagai berikut :
1. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945
2. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
3. Keputusan Presiden Tahun 1995 tentang pembentukan MDTK.
Tugas Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) adalah meneliti dan
menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan
ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar
profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan.
A. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Pusat
1. Memberi pertimbangan tentang etik dan standar profesi tenaga
225
kesehatan kepada menteri.
2. Membina, mengembangkan dan mengawasi secara aktif pelaksanaan
kode etik kedokteran gigi, perawat, bidan, sarjana farmasi dan rumah
sakit.
223

3. Menyelesaikan persoalan, menerima rujukan dan mengadakan


konsultasi dengan instansi terkait.
4. MP2EPM pusat atas Menteri yang berwenang mereka yang ditunjuk
mengurus persoalan etik tenaga kesehatan.
B. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Propinsi
1. Menerima dan memberi pertimbanagn, mengawasi persoalan kode
etik, dan mengadakan konsultasi dengan instansi terkait dengan
persoalan kode etik.
2. Memberi nasehat, membina dan mengembangkan serta mengawasi
secara aktif etik profesi tenaga kesehatan dalam wilayahnya
bekerjasama dengan organisai profesi seperti IDI, PDGI, PPNI, IBI,
ISFI, PRS21.
3. Memberi pertimbangan dan saran kepada instansi terkait.
4. MP2EPM propinsi atas nama Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan Propinsi berwenang memanggil mereka yang bersangkutan
dalam suatu etik profesi.
C. Majelis Etika Profesi Bidan
Pengertian Majelis etika profesi adalah merupakan badan perlindungan
hukum terhadap para bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien
akibat pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi
penyimpangan hukum. Realisasi Majelis Etika Profesi Bidan adalah dalam
bentuk Majelis Pertimbangan Etika Bidan (MPEB) dan Majelis Pembelaan
Anggota (MPA). Latar belakang dibentuknya Majelis Pertimbangan Etika
Bidan atau MPEB adalah adanya Majelis Pertimbangan Etika Bidan atau
MPEB adalah adanya unsur-unsur pihak-pihak terkait :
1. Pemeriksa pelayanan untuk pasien
2. Sarana pelayanan kesehatan
3. Tenaga pemberi pelayanan, yaitu bidan
Pelaksanaan tugas bidan dibatasi oleh norma, etika, dan agama.
Tetapi apabila ada kesalahan dan menimbulkan konflik etik, maka
diperlukan wadah untuk menentukan standar profesi, prosedur yang baku
dank ode etik yang disepakati, maka perlu dibentuk Majelis Etika Bidan,
yaitu MPEB dan MPA.
224

Tujuan dibentuknya Majelis Etika Bidan adalah untuk memberikan


perlindungan yang seimbang dan objektif kepada bidan dan penerima
pelayanan kebidanan
Lingkup Majelis Etika Kebidanan meliput :
a. Melakukan peningkatan fungsi pengetahuan sesuai standar profesi
pelayanan bidan (Kepmenkes No. 900/Menkes/SK/VII/TAHUN
2002
b. Melakukan supervise lapangan, termasuk tentang tehnis, dan
pelaksanaan praktik, termasuk penyimpangan yang terjadi. Apakah
pelaksanaan praktik bidan sesuai dengan Standar Praktik Bidan,
Standar Profesi dan Standar Pelayanan Kebidanan, juga batas-batas
kewenangan bidan.
c. Membuat pertimbangan bila terjadi kasus-kasus dalam praktik
kebidanan.
d. Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang hukum kesehatan,
khususnya yang berkaitan atau melandasi praktik bidan
Pengorganisasian Majelis Etik Kebidanan, adalah sebagai berikut:
a. Majelis Etik Kebidanan merupakan lembaga organisasi yang
mandiri, otonom dan structural.
b. Majelis Etik Kebidanan dibentuk ditingkat propinsi dan pusat
c. Majelis Etik Kebidanan pusat berkedudukan di Ibukota negara dan
Majelis Etik Kebidanan propinsi berkedudukan di ibukota propinsi.
d. Majelis Etik Kebidanan pusat dan propinsi dibantu oleh sekretaris.
e. Jumlah anggota masing-masing terdiri dari lima orang.
f. Masa bakti anggota Majelis Etik Kebidanan selama tiga tahun dan
sesudahnya, jika berdasarkan evaluasi masih memenuhi ketentuan
yang berlaku, maka anggota tersebut dapat dipilih kembali.
g. Anggota Majelis Etik Kebidanan diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Kesehatan.
h. Susunan organisasi Majelis Etik Kebidanan terdiri dari :
1. Ketua dengan kualifikasi mempunyai kompetensi tambahan di
bidang hukum.
2. Sekretaris merangkap anggota.
3. Anggota Majekis Etik Bidan.
Tugas Majelis Etik Kebidanan, adlah meliputi :
225

a. Meneliti dan menentukan ada dan tidaknya kesalahan atau


kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh
bidan.
b. Penilaian didasarkan atas permintaan pejabat, pasien, dan keluarga
yang dirugikan oleh pelayanan kebidanan.
c. Permohonan secara tertulis dan disertai data-data.
d. Keputusan tingkat propinsi bersifat final dan bisa konsul ke Majelis
Etik Kebidanan pada tingkat pusat
e. Sidang Majelis Etik Kebidanan paling lambat tujuh hari, setelah
diterima pengaduan. Pelaksanaan sidang menghadirkan dan minta
keterangan dari bidan dan saksi-saksi.
f. Keputusan paling lambat 60 hari dan kemudian disampaikan secara
tertulis kepada pejabat yang berwenang.
g. Biaya dibebankan pada anggaran pimpinan pusat IBI atau pimpinan
daerah IBI di tingkat propinsi.
Dalam pelaksanaannya di lapangan sekarang ini bahwa organisasi
profesi bidan IBI, telah melantik MPEB (Majelis Pertimbangan
Etika Bidan) dan MPA (Majelis Pembelaan Anggota), namun
dalam pelaksanaannya belum terealisasi dengan baik.
D. Badan Konsil Kebidana
Dalam organisasi profesi bidan Indonesia hingga saat ini belum
terbentuk badan konsil kebidanan.secara konseptual badan konsil
merupakan badan yang dibentuk dalam rangka melindungi masyarakat
penerima jasa pelayanan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Konsil kebidanan Indonesia merupakan lembaga otonom dan independen,
bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala negara.
1. Tugas badan konsil kebidanan
a. Melakukan registrasi tenaga bidan
b. Menetapkan standar pendidikan bidan
c. Menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan
dan tehnologi
d. Melakukan pembinaan terhadap pelanggaran praktik kebidanan

Konsil kebidanan Indonesia berfungsi mengatur, menetapkan serta


membina tenaga bidan yang menjalankan praktik kebidanan dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
226

2. Wewenang badan konsil kebidanan meliputi :


a. Menetapakan standar kompetensi bidan
b. Menguji persyaratan registrasi bidan
c. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi
d. Menerbitkan dan mencabut sertifikat registrasi
e. Menetapkantehnologi kebidanan yang dapat diterapkan di
Indonesia
f. Melakukan pembinaan bidan mengenai pelaksanaan etika profesi
yang ditetapkan organisasi profesi
g. Melakukan pencatatan bidan yang dikenakan sansksi oleh
organisasi profesi
3. Keanggotaan konsil kebidanan :
a. Dari unsur Departemen Kesehatan 2 orang
b. Lembaga konsumen 1 orang
c. Bidan 10 orang
d. Organisasi profesi terkait 4 orang
e. Ahli hukum 1 orang
4. Persyaratan anggota konsil :
a. Warga Negara Indonesia
b. Sehat jasmani dan rohani
c. Berkelakuan baik
d. Usia sekurangnya 40 tahun
e. Pernah praktik kebidanan minimal 10 tahun
f. Memiliki moral etika yang tinggi
5. Keanggotaan konsil berhenti karena :
a. Berakhir masa jabatan sebagai anggota
b. Meninggal dunia
c. Mengundurkan diri
d. Bertempat tinggal diluar wilayah Republik Indonesia
e. Gangguan kesehatan
f. Diberhentikan karena melanggar aturan konsil
6. Mekanisme tata kerja konsil :
a. Memelihara dan menjaga registrasi bidan
b. Mengadakan rapat pleno, dikatakan sah bila dihadiri separuh
tambah 1 unsur pimpinan harian
c. Rapat pleno mumutuskan :
1) Menolak permohonan registrasi
2) Membentuk sub-sub komite dan anggota
3) Menetapkan peraturan dan kebijakan
d. Konsil kebidanan melakukan rapat pleno sekurang-kurangnya
empat kali dalam setahun.
e. Konsil kebidanan daerah hanya mengambil keputusan yang
berkaitan dengan persoalan etik profesi
227

f. Ketua konsil, wakil ketua konsil, ketua komite registrasi dan ketua
komite peradilan profesi merupakan unsur pimpinan harian konsil.

Tes Formatif

1. Yang merupakan tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Pusat,


kecuali ;
a. Memberi pertimbangan tentang etik dan standar profesi tenaga
kesehatan kepada menteri.
b. Membina, mengembangkan dan mengawasi secara aktif
pelaksanaan kode etik kedokteran gigi, perawat, bidan, sarjana
farmasi dan rumah sakit.
c. MP2EPM pusat atas Menteri yang berwenang mereka yang
ditunjuk mengurus persoalan etik tenaga kesehatan.
d. Melakukan pembinaan terhadap pelanggaran praktik kebidanan
Jawaban : D
2. Meneliti dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian
dalam menerapkan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam
menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah merupakan tugas dari:
a. Tugas Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK)
b. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Propinsi
c. Majelis Etika Profesi Bidan
d. Badan Konsil Kebidana
Jawaban : A
3. Berapakah jumlah Susunan Organisasi Majelis Etik Kebidanan ?
a. 2
b. 3
c. 4
d. 5
Jawaban : B
4. Majelis etika profesi adalah merupakan badan perlindungan hukum
terhadap para bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien
akibat pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi
penyimpangan hukum merupakn pengertian dari :
a. Majelis Etika Profesi Bidan
b. Badan Konsil Kebidana
c. Tugas Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK)
d. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Propinsi
Jawaban : A
228

5.
1) Melakukan peningkatan fungsi pengetahuan sesuai standar profesi
pelayanan bidan (Kepmenkes No. 900/Menkes/SK/VII/TAHUN
2002
2) Melakukan supervise lapangan, termasuk tentang tehnis, dan
pelaksanaan praktik, termasuk penyimpangan yang terjadi. Apakah
pelaksanaan praktik bidan sesuai dengan Standar Praktik Bidan,
Standar Profesi dan Standar Pelayanan Kebidanan, juga batas-batas
kewenangan bidan
3) Membuat pertimbangan bila terjadi kasus-kasus dalam praktik
kebidanan
4) Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang hukum kesehatan,
khususnya yang berkaitan atau melandasi praktik bidan
Dari uraian diatas itu merupakan macam-macam dari :
a. Pengertian dari Majelis Etika Bidan
b. Tujuan dibentuknya Majelis Etika Bidan
c. Lingkup Majelis Etika Kebidanan
d. Cirri-ciri Majelis Etika Bidan
Jawaban : C

DAFTAR PUSTAKA

Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.

Carol Taylor, Carol Lillies, Priscilla Le Mone. 1997. Fundamental Of Nursing


Care. Third Edition. Lippicot Philadelpia: New York.

Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.


Semarang.

Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Jakarta.

http://bidankita.com.

http://binfar.depkes.go.id/dat/lama/1303887905_UU%2036-
2009%20Kesehatan.pdf Diakses 12 Juli 2018.
229

http://dinopawesambon.blogspot.com/2011/07/hukum-kesehatan-dalam-
kebidanan.html. Diakses 12 Juli 2018.

http://maphiablack.blogspot.com/2011/01/peran-dan-fungsi-majelis-
pertimbangan.html Diakses 12 Juli 2018.

Marimba, Hanum. 2008. Etika dan Kode Etik Profesi Kebidanan. Mitra Cendikia
Press: Yogyakarta.

Solichin Abdul Wahab. 2008. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi Keimplementasi


Kebijaksanaan Negara Ed.2. Jakarta. Bumi Aksara

Wahyuningsih, Heni Puji. 2008. Etika Profesi Kebidanan. Fitramaya: Yogyakarta.

www.panglimaw1.blogspot.com. Diakses 12 Juli 2018.

You might also like