You are on page 1of 16

REFERAT

OBAT TRADISIONAL DAN FITOFARMAKA

DI SUSUN OLEH:

RIA SEPTI HARMIA

03013243

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA, NOVEMBER 2016


BAB 1

PENDAHULUAN

Indonesia dikenal secara luas sebagai mega center keaneka ragaman hayati (biodiversity)
terbesar ke dua setelah Brazil di dunia, yang terdiri dari tumbuhan tropis dan
biota laut. Di wilayah Indonesia terdapat sekitar 30.000 jenis tumbuhan dan 7.000 di antaranya
ditengarai memiliki khasiat sebagai obat. Kekayaan keaneka ragaman hayati ini perlu diteliti,
dikembangkan dan dimanfaatkan untuk peningkatan kesehatan maupun tujuan ekonomi, dengan
tetap menjaga kelestariannya. Obat tradisional Indonesia yang dikenal sebagai Jamu, telah
digunakan secara luas oleh masyarakat Indonesia untuk menjaga kesehatan dan
mengatasiberbagai penyakit sejak berabad-abad yang lalu jauh sebelum era Majapahit. Ke depan
pengembangan dan pemanfaatan obat bahan alam/obat herbal Indonesia ini perlu mendapatkan
substansi ilmiah yang lebih kuat, terutama melalui penelitian dan standarisasi sehingga obat
herbal Indonesia dapat diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan nasional (WHO,
2002).
Dewasa ini penggunaan obat herbal cenderung terus meningkat, baik di negara sedang
berkembang maupun di negara-negara maju. Peningkatan penggunaan obat herbal ini
mempunyai dua dimensi penting yaitu aspek medik terkait dengan penggunaannya yang sangat
luas diseluruh dunia, dan aspek ekonomi terkait dengan nilai tambah yang mempunyai makna
pada perekonomian masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obat Tradisional

2.1.1 Definisi

Obat tradisional adalah sediaan alam berbagai bentuk, berasal dari mineral, tumbuh-
tumbuhan, hewan, digunakan masyarakat untuk mengobati penyakit, menjaga kesehatan,
maupun melancarkan proses faali yang dikehendaki.(1)

Obat bahan alam merupakan obat yang menggunakan bahan baku berasal dari alam
(tumbuhan dan hewan). Obat bahan alam dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu jamu, jamu
herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu (Empirical based herbal medicine) adalah obat bahan
alam yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan
yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut dan digunakan secara
tradisional.(2)
2.1.2 Maksud dan Tujuan
Obat obatan tradisional sangatlah berguna terutama bagi masyarakat kecil yang kurang
mampu untuk membeli obat obatan modern. Namun banyak dari masyarakat yang meracik obat
obatan tradisional tersebut hanya dari perkataan orang lain atau pengalaman sendiri. Inilah yang
menyebabkan kurangnya pengaruh obat dalam menyembuhkan karena salahnya penggunaan dan
dosis yang tepat.

Pengetahuan masyarakat mengenai pemanfaatan tanaman obat tradisional masih sangat


rendah. Contoh kecil akibat dari pengetahuan tentang pemanfaatan tanaman obat tradisional yang
masih sangat randah adalah seringnya masyarakat salah dalam menentukan bahan baku dalam
pembuatan obat tradisional dan tidak tahu bagaimana cara mengolah bahan tersebut, sehingga
yang didapat bukanlah manfaat melainkan efek samping yang berlebih.

Maksud dan Tujuan

1. Apa yang dimaksud dengan obat tradisional


2. Apa saja jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat tradisional
3. Mengetahui pengertian jamu, OHT, dan fitofarmaka
4. Mengetahui obat herbal yang dikembangkan menjadi fitofarmaka
5. Mengetahui proses produksi fitofarmaka

2.1.3 Tanaman Obat

Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat ini sudah lama dimiliki oleh
nenek moyang kita dan hingga saat ini telah banyak yang terbukti secara ilmiah. Dan
Pemanfaatan tanaman obat Indonesia akan terus meningkat mengingat kuatnya keterkaitan
bangsa Indonesia terhadap tradisi kebudayaan memakai jamu. Bagian-bagian yang
digunakansebagai bahan obat yang disebut simplisia.
Simplisia:

a. Kulit (cortex)
Kortek adalah kulit bagian terluar dari tanaman tingkat tinggi yang berkayu.
b. Kayu (lignum)
Simplisia kayu merupakan pemanfaatan bagian dari batang atau cabang.
c. Daun (folium)
Folium merupakan jenis simplisia yang paling umum digunakan sebagai bahan baku
ramuan obat tradisional maupun minyak atsiri.
d. Herba
Simplisia herba pada umumnya berupa produk tanaman obat dari jenis herba yang
bersifat herbaceous
e. Bunga (flos)
Bunga sebagai simplisia dapat berupa bunga tungga atau majemuk, bagian bunga
majemuk serta komponen penyusun bunga.
f. Akar (radix)
Akar tanaman yang sering dimanfaatkan untuk bahan obat dapat berasal dari jenis
tanaman yang umumnya berbatang lunak dan memiliki kandungan air yang tinggi.
g. Umbi (bulbus)
Bulbus atau bulbi adalah produk berupa potongan rajangan umbi lapis, umbi akar, atau
umbi batang. Bentuk ukuran umbi bermacam-macam tergantung dari jenis tanamannya.
h. Rimpang (rhizoma)
Rhizoma atau rimpang adalah produk tanaman obat berupa potongan-potongan atau
irisan rimpang.
i. Buah (fructus)
Simplisia buah ada yang lunak dan ada pula yang keras. Buah yang lunak akan
menghasilkan simplisia dengan bentuk dan warna yang sangat berbeda, khususnya bila
buah masih dalam keadaan segar.
j. Kulit buah (perikarpium)
Sama halnya dengan simplisia buah, simplisia kulit buah pun ada yang lunak, keras
bahkan adapula yang ulet dengan bentuk bervariasi.
k. Biji (semen)
Semen (biji-bijian) diambil dari buah yang telah masak sehingga umumnya sangat keras.
Bentuk dan ukuran simplisia biji pun bermacam- macam tergantung dari jenis tanaman.

2.1.4 Bentuk Sediaan Obat Tradisional


Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat diminum atau ditempelkan
pada permukaan pada permukaan kulit. Tetapi tidak tersedia dalam bentuk suntikan atau aerosol.
Dalam bentuk sediaan obat- obat tradisio nal ini dapat berbentuk serbuk yang menyerupai bentuk
sediaan obat modren, kapsul, tablet, larutan, ataupun pil.

1. Larutan
Larutan terjadi apabila suatu zat padat bersinggungan dengan suatu cairan, maka padat
tadi terbagi secara molekuler dalam cairan tersebut. Zat cair atau cairan biasanya
ditimbang dalam botol yang digunakan sebagai wadah yang diberikan. Cara melarutkan
zat cair ada dua cara yakni zat-zat yang agak sukar larut dilarutkan dengan pemanasan.
2. Serbuk
Serbuk adalah campuran homogen dua atau lebih obat yang disebukkan. Pada pembuatan
serbuk kasar, terutama serbuk nabati, digerus terlebih dahulu sampai derajat halus
tertentu setelah itu dikeringkan pada suhu tidak lebih 500 C. Serbuk obat yang
mengandung bagian yang mudah menguap dikeringkan dengan pertolongan bahan
pengering yang cocok, setelah itu diserbuk dengan jalan digiling, ditumbuk dan digerus
sampai diperoleh serbuk yang mempunyai derajat halus serbuk.
3. Tablet
Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak, berbentuk rata atau cempung
rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat
tambahan. Zat pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah. Contohnya yaitu
tablet antalgin.
4. Pil
Pil adalah suatu sediaan yang berbentuk bulat seperti kelereng mengandung satu atau
lebih bahan obat. Berat pil berkisar antara 100 mg sampai
500 mg. untuk membuat pil diperlukan zat tambahan seperti zat pengisi untuk
memperbesar volume, zat pengikat dan pembasah dan bila perlu ditambah penyalut.

5. Kapsul
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang
dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, tetapi dapat juga terbuat dari pati
dan bahan lain yang sesuai.

2.1.5 Contoh obat Tradisional dan Kegunaannya


 Analgesik
- Anacardium occidentale (Jambu mente)
- Kaemeferia galangal (rimpang kencur)
 Antipiretik
- Pluchea indica (daun bluntas)
- Blumer balsamifera (daun sembung)
- Erythrina lithosperma (daun dadap)
 Antihelmintik
- Cucurbita moschata (biji labu merah)
- Zingiber cassunar (rimpang bengke)
 Sedative
- Acorus calamus (dringo)
- Myristica Fragrens (buah pala)
 Diuretik
- Orthosiphon stamineus (daun kumis kucing)
- Phyllantus niruri (daun meniran)
 Antidiare
- Psidium guajava (daun jambu klutuk)
 Nefrolithiasis
- Strobilanthes cripsus (daun kejibeling)
 Antitusif/ ekspektoran
- Citrus aurantifolia (jeruk nipis)
- Piper betle (daun sirih)
- Abrus precatorius (daun saga)
 Antidiabetik
- Mimordica charanti (buah pare)
- Tinospora tuberculata (brotowali)
 Lactagog
- Sauropus androgynes (daun katuk)
 Antikanker
- Vinca rosea (daun tapak dara)
- Kemladean pasilam (benalu)
- Terminalia bellerica (daun jahe bunga kuning)
2.2 Jamu
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk
serbuk seduhan atau cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu
tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu
pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup
banyak, berkisar antara 5 – 10 macam bahkan lebih. .Jamu tidak memerlukan pembuktian
ilmiah sampai uji klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris.Walaupun demikian, jamu
harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu.

Jamu hanya dapat dikonsumsi sebagai mencegah, mengurangi atau mengatasi


keluhan yang dialami seseorang.Bukan menyembuhkan suatu diagnosa
penyakit.Secara umum, jamu dibedakan menjadi dua yaitu yang bertujuan untuk
menjaga kesehatan dan yang dimanfaatkan untuk mengobati keluhan penyakit.

Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 246


tahun1992, pengertian jamu adalah obat tradisional yang bahan bakunya simplisia
yang sebagian besar belum mengalami standarisasi dan belum pernah diteliti, bentuk
sediaan masih sederhana berwujud serbuk seduhan, rajangan untuk seduhan, dan
sebagainya. Oleh karena itu, jamu merupakan bagian dari obat tradisional yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Melalui proses produksi yang telah
dilakukan oleh beberapa industri kecil obat tradisional yang masih menggunakan
teknologi yang relatif sederhana (tradisional) karena jamu yang dihasilkan adalah
berupa serbuk jamu.

2.3 Herbal Terstandar


Di dalam bentuk herbal standar ini memiliki sedikit perbedan dengan jamu.Umumnya,
herbal standar telah mengalami pemrosessan, misalnya berupa ekstrak atau kapsul.Ekstrak dari
herbal tersebut telah diteliti khasiat dan keamanannya melalui uji pra klinis. Uji tersebut melalui
beberapa proses antara lain :uji penerapan standar kandungan bahan, proses pembuatan ekstrak,
higenitas, serta uji toksisitas.

Obat Herbal Terstandar ( Standarized based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional
yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman obat, binatang,
maupun mineral. Dalam proses pembuatan obat herbal standar ini dibutuhkan peralatan yang
tidak sederhana dan lebih mahal daripada pembuatan jamu.Tenaga kerja yang dibutuhkan pun
harus di dukung dengan keterampilan danpengetahuan membuat ekstrak.Obat herbal ini
umumnya ditunjang oleh pembuktian ilmiah berupa penelitian praklinis.Penelitian ini meliputi
standarisasi kandungan senyawa berkhasiat dalam bahan penyusun, standarisasi pembuatan
ekstrak yang higenis, serta uji toksisitas akut maupun kronis.
2.4 Fitofarmaka

2.4.1 Definisi

Merupakan jamu dengan “ Kasta” tertinggi karena khasiat, keamanan, serta standar
proses pembuatan dan bahannya telah diuji secara klinis, jamu berstatus sebagai. fitofarmaka
juga dijual di apotek dan harus dengan resep dokter .
Fitofarmaka ( Clinical Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional yang
dapat disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatannya diperlukan peralatan berteknologi
modern,tenagaahli,dan biaya yang tidak sedikit. Fitofarmaka memiliki kekhasan tersendiri, hal
ini disebabkan fitofarmaka merupakan obat tradisional yang memiliki keunggulan yang hampir
sama dengan obat-obatan. Bahkan tidak jarang fitofarmaka menjadi rekomendasi dokter terhadap
pasiennya. Dengan uji klinik yang sama dengan obat-obatan serta menggunakan tekhnologi
modern, sehingga fitofarmaka dapat memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan.
Berikut ini beberapa bahan alam yang digolongkan sebagai fitofarmaka, anatara
lain : bawang putih, ginseng, cengkeh, angkak, anggur, ginkgo, dan jahe. Karena sudah teruji
secara klinis, maka bahan-bahan tersebut dapat disejajarkan dengan obat-obatan modern.

2.4.2 Dasar Pemikiran Pengembangan Obat Tradisional menjadi Fitofarmaka

Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh masyarakat dalam usaha
pengobatan sendiri (self-medication), profesi kesehatan atau dokter umumnya masih enggan
untuk meresepkan ataupun menggunakannya. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk
meresepkan atau menggunakan obat tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan
keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang. Obat tradisional Indonesia merupakan
warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat digunakan
lebih luas oleh masyarakat. Untuk itulah dikembangkan Obat Tradisional menjadi fitofarmaka.

2.4.3 Tahap-tahap Pengembangan dan Pengujian Fitofarmaka

1. Tahap Seleksi
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan skala prioritas sebagai
berikut:
· Jenis obat alami yang diharapkan berkhasiat untuk penyakit-penyakit utama
· Jenis obat alamai yang memberikan khasiat dan kemanfaatan berdasar pengalaman
pemakaian empiris sebelumnya
·Jenis OA yang diperkirakan dapat sebagai alternative pengobatan untuk penyakit-
penyakit yang belum ada atau masih belum jelas pengobatannya.
2. Tahap Biological Screening, untuk menyaring:
·Ada atau tidaknya efek farmakologi calon fitofarmaka yang mengarah ke khasiat
terapeutik (pra klinik in vivo)
·Ada atau tidaknya efek keracunan akut (single dose), spectrum toksisitas jika ada, dan
sistem organ yang mana yang paling peka terhadap efek keracunan tersebut (pra klinik, in
vivo)

3. Tahap Penelitian Farmakodinamik


·Untuk melihat pengaruh calon fitofarmaka terhadap masing-masing sistem biologis
organ tubuh
·Pra klinik, in vivo dan in vitro,
·Tahap ini dipersyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk mengetahui
mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon fitofarmaka.

4. Tahap Pengujian Toksisitas Lanjut (multiple doses)


· Toksisitas Subkronis
· Toksisitas akut
· Toksisitas khas/ khusus

5. Tahap Pengembangan Sediaan (formulasi)


· Mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan, dan
estetika untuk pemakaian pada manusia.
Tata laksana teknologi farmasi dalam rangka uji klinik
- Teknologi farmasi tahap awal
- Pembakuan (standarisasi): simplisia, ekstrak , sediaan OA
- Parameter standar mutu: bahan baku OA, ekstrak, sediaan OA

6. Tahap Uji Klinik Pada Manusia


Ada 4 fase yaitu:
Fase 1 : dilakukan pada sukarelawan sehat
Fase 2 : dilakukan pada kelompok pasien terbatas
Fase 3 : dilakukan pada pasien dengan jumlah yang lebih besar dari fase 2
Fase 4: post marketing survailence, untuk melihat kemungkinan efek samping yang tidak
terkendali saat uji pra klinik maupun saat uji klinik fase 1-3.
Yang terlibat dalam pengujian
• Komisi Ahli Uji Fitofarmaka : menyusun & mengusulkan protokol uji fitofarmaka
• Sentra Uji Fitofarmaka : Instalasi pelayanan, seperti Rumah Sakit, Laboratorium Pengujian
atau lembaga penelitian kesehatan
• Pelaksana Uji Fitofarmaka : Tim multidisipliner yang terdiri dari dokter,apoteker dan tenaga
ahli lainnya yang mempunyai fasilitas, bersedia serta mampu melaksanakan uji fitofarmaka

2.4.4 Jenis Uji Fitofarmaka

1. Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibedakan menjadi tiga :
a. Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui nilai LD50 dan dosis
maksimal yang masih dapat ditoleransi hewan uji (menggunakan 2 spesies hewan uji).
pemberian obat dalam dosis tunggal dan diberikan melalui 2 rute pemberian (misalnya oral dan
intravena). Hasil uji LD50 dan dosisnya akan ditransformasi (dikonversi) pada manusia. (LD50
adalah pemberian dosis obat yang menyebabkan 50 ekor dari total 100 ekor hewan uji mati oleh
pemberian dosis tersebut)
b. Uji Toksisitas Sub Akut
Uji toksisitas sub akut adalah pengujian untuk menentukan organ sasaran tempat kerja dari obat
tersebut, pengujian selama 1-3 bulan, menggunakan 2 spesies hewan uji, menggunakan 3 dosis
yang berbeda. Toksisitas sub-akut sebagai adanya perubahan berat badan serta perubahan lainnya
dari hewan percobaan.
c. Uji Toksisitas Kronik
Uji toksisitas kronik pada tujuannya sama dengan uji toksisitas sub akut, tapi pengujian ini
dilakukan selama 6 bulan pada hewan rodent (pengerat) dan non-rodent (bukan hewan pengerat).
Uji ini dilakukan apabila obat itu nantinya diproyeksikan akan digunakan dalam jangka waktu
yang cukup panjang.
2. Uji Farmakodinamik/efek farmakologik
Tahap ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara lugas pengaruh farmakologik pada
berbagai system biologik. Bila diperlukan , penelitian dikerjakan pada hewan coba yang sesuai,
baik secara invitro atau invivo.
Bila calon fitofarmaka sudah menjalani uji penapisan biologic (tahap 2) dan dipandang belum
bisa atau belum mungkin untuk dikerjakan pengujian farmakodinamik , maka hal ini seyogyanya
tidak merupakan penghambat.
Untuk lebih lanjut, tahap pengujian farmakodinamik akan lebih banyak tergantung pada sarana
dan prasarana yang ada, baik perangkat lunak maupun perangkat keras.

3. Uji klinik
Uji klinik Fitofarmaka adalah pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau memastikan
adanya efek farmakologi tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik untuk pencegahan penyakit,
pengobatan penyakit atau pengobatan segala penyakit.
• Tujuan pokok uji klinik fitofarmaka adalah:
- Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia dalam pencegahan atau
pengobatan penyakit maupun gejala penyakit.
- Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan
manfaatnya.

2.4.5 Bentuk Sediaan Fitofarmaka

1. Sediaan oral adalah penggunaan obat yang bertujuan untuk mendapatkan efek sistemik,
yaitu obat beredar melalui pembuluh darah keseluruh tubuh.

 Kapsul adalah Kapsul adalah bentuk sediaan obat yang terbungkus cangkang kapsul, keras atau
lunak.
Macam- macam kapsul :
1) Kapsul cangkang keras (capsulae durae, hard capsul), contohnya kapsul tetrasiklin, kapsul
kloramfenikol dan kapsul Sianokobalami
2) Kapsul cangkang lunak (capsulae molles, soft capsule), contohnya kapsul minyak ikan dan
kapsul vitamin
Komponen kapsul
1. Zat aktif obat
2. Cangkang kapsul
3. Zat tambahan
 Bahan pengisi contohnya laktosa. Sedangkan untuk obat yang cenderung mencair diberi bahan
pengisi magnesium karbonat, kaolin atau magnesium oksida atau silikon dioksida.
 Bahan pelicin (magnesium stearat)

 Serbuk adalah campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk
pemakaian oral atau untuk pemakaian luar. (FI IV)
Penggolongan :
1. Serbuk Terbagi (Pulveres) Ialah sediaan berbentuk serbuk yang dibagi-bagi dalam bentuk
bungkusan dalam kertas perkamen.
2. Serbuk Tak Terbagi (Pulvis) Ialah sediaan serbuk yang tidak terbagi dalam per-resepannya.
3. Serbuk Tabur
Serbuk ringan untuk penggunaan topikal, dapat dikemas dalam wadah yang bagian atasnya
berlubang. Syarat : melewati ayakan mesh 100.

 Tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi.

 Pil dalam Farmakope edisi III : Pil adalah suatu sedian berupa massa bulat mengandung satu
atau lebih bahan obat Dalam buku ilmu meracik obat : Pil adalah suatu sedian yang berbentuk
bulat seperti kelereng mengandung satu atau lebih bahan obat.
Macam-macam sedian pil
a. Bolus : beratnya lebih dari 300 mg
b. Pil : beratnya sekitar 60 – 300 mg
c. Granul : beratnya 1/3 – 1 grain (1 grain = 64,8 mg)
d. Parvul : beratnya kurang dari 1/3 grain
 Sirup adalah sediaan pekat dalam air dari gula atau dari gula dengan atau tanpa penambahan
bahan pewangi dan zat obat. Sirup yang mengandung bahan pemberi rasa tapi tidak mengandung
zat-zat obat dinamakan pembawa bukan obat atau pembawa yang wangi atau harum (sirup).
Beberapa sirup bukan obat yang sebelumnya resmi antara lain: sirup aktasia, sirup cerri, sirup
coklat, sirup jeruk. Sirup ini dimaksudkan sebagai pembawa yang memberikan rasa enak pada
zat obat yang ditambahkan kemudian, baik dalam peracikan resep secara mendadak atau dalam
pembuatan formula standart untuk sirup obat, yaitu sirup yang mengandung bahan terapeutik
atau bahan obat.

2. Sediaan topikal adalah obat yang digunakan pada kulit yang dimaksudkan untuk memperoleh
efek pada kulit atau di dalam kulit
 Salep adalah sediaan setengah padat untuk dipakai di kulit
Fungsi salep adalah :
1. Pembawa obat untuk pengobatan kulit
2. Pelumas pada kulit
3. Pelindung terhadap rangsang pada kulit, bakteri dan alergen
 Krim adalah sediaan setengah padat yang mengandung banyak air
 Pasta adalah suatu salep yang mengandung serbuk yang banyak seperti amilum dan ZnO.
Bersifat pengering. Bahan dasar pasta yang sering dipakai adalah: vaselin, lanolin, adeps lanae,
Ungt. Simplex, minyak lemak dan parafin liq. yang sudah atau belum bercampur dengan sabun.
Kelompok pertama dibuat dari gel fase tunggal mengandung air misalnya Na-
karboksimetilselulosa (Na-CMC). Kelompok lain adalah pasta berlemak misalnya pasta Zn-
oksida, merupakan salep yang padat, kaku, tidak meleleh pada suhu tubuh, berfungsi sebagai
lapisan pelindung pada bagian yang diolesi. Pasta gigi digunakan untuk pelekatan pada selaput
lendir agar memperoleh efek lokal (misal, pasta gigi triamsinolon asetonida).
2.4.6 Obat Tradisional yang dikembangkan menjadi Fitofarmaka
Jenis-jenis Obat Tradisional Yang dikembangkan Menjadi Fitofarmaka Sesuai lampiran
Permenkes RI No.760/Menkes/Per/IX/1992 tanggal 4 September 1992 berikut ini adalah daftar
obat tradisional yang harus dikembangkan menjadi Fitofarmaka yaitu :
1.Antelmintik
2.Anti ansietas (anti cemas)
3.Anti asma
4.Anti diabetes (hipoglikemik)
5. Anti diare
6. Anti hepatitis kronik
7. Anti herpes genitalis
8. Anti hiperlipidemia
9. Anti hipertensi
10. Anti hipertiroidisma
11. Anti histamin
12.Anti inflamasi (anti Rematik)
13.Anti kanker
14.Anti malaria
15.Anti TBC
16.Antitusif / ekspektoransia
17.Disentri
18.Dispepsia (gastritis)
19.Diuretik
BAB III
KESIMPULAN

1. Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan

hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut, yang secara

traditional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

2. Pengertian jamu dalam Permenkes No.003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan atau ramuan baha

n yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran d

ari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat ditera

pkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

3. Obat herbal terstandar adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan

alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral.

4. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya

secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta produk jadinya telah di

standarisir (Badan POM. RI., 2004 ).

5. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau menggunakan obat

tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia

masih kurang. Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu

digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh masyarakat. Untuk itulah

dikembangkan Obat Tradisional menjadi fitofarmaka.

6. Fitofarmaka harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya :

- Aman dan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan

- Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik


- Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi

- Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

DAFTAR PUSTAKA

1. Agoes, Azwar.Antropologi Kesehatan Indonesia, Pengobatan Tradisional. Jakarta:

Buku Kedokteran EGC. 2002

2. Hariana, H. Arief. Tumbuhan Obat & Khasiatnya 3. Jakarta:Swadaya. 2006

3. Badan Pusat Statistik.Statistik Kesejahteraan Rakyat (Welfare Statistics)

.Jakarta.2001

4. A.N.S, Thomas.Tanaman Obat Tradisional. Jogjakarta : Kanisius.1992

5. Handayani, Lestari.Cara Benar Meracik Obat Tradisional. Jakarta : Amazone.

2009

6. Ernst, Edzard.Prescribing Herbal Medications Appropriately. Journal of Family


Practice.2004.Vol. 53. No. 12
7. WHO.Traditional Medicine – Growing Needs and Potential.Geneva.2002
8. WHO.WHO Traditional Medicine Strategy. Geneva.2002
9. Isa.Gaya Hidup Sehat Alami. Jakarta: Tiens.2009

You might also like