You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


MPMBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah, memberikan fleksibilitas atau keluwesan-keluwesan kepada sekolah,
dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, peserta didik, kepala
sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua, tokoh masyarakat, ilmuwan,
pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru
dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan
kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih
memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan.
Menurut Direktorat Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah (Dit. Dikdasmen), MPMBS dapat didefinisikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah
atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan pendidikan
nasional. Karena itu, esensi MPMBS = otonomi sekolah + pengambilan keputusan
partisipatif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Ide menempatkan sekolah menjadi bagian utama dalam proses pembuatan
keputusan dalam peningkatan mutu pendidikan, berbeda dengan konsep mengenai
pengelolaan sekolah yang selama ini dipahami oleh masyarakat luas.1 Selama ini
pengelolaan sekolah, lebih bayak diintervensi birokrasi pusat dan mendominasi
proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya
kebijakan bersifat makro saja tetapi juga kepada hal-hal yang bersifat mikro. Selama
ini, sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan birokrasi pusat yang
belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan sekolah, harapan
orang tua dan masyarakat serta dunia usaha. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem

1
lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah
dengan kebijakan yang harus dilaksanakan dalam proses peningkatan mutu
pendidikan.
Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah akan memperlihatkan
suatu perubahan cara berpikir yang bersifat rasional, normatif dan menggunakan
pendekatan perskriptif dalam pengambilan keputusan pendidikan. 2 Hal ini tentu
berimplikasi kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan
dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan
secara utuh oleh kebijakan-kebijakan birokrat pusat.
Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih
kepada konsep manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah sebagai
pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan
yang tengah dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis
sekolah (MPMPBS) merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang
lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini mengacu
pada teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses
pendidikan. Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen
ini antara lain lingkungan sekolah yang aman dan tertib, sekolah memilki misi dan
target mutu yang ingin dicapai, sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, adanya
harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan siswa) untuk
berprestasi.
Pengembangan konsep MPMBS didesain untuk meningkatkan kemampuan
sekolah dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan
keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah
ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya
perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru
dan staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat. Seluruh komponen sekolah
harus pro aktif dan terlibat langsung dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi
terhadap
Segenap kebijakan pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung
oleh pengelolaan sistem informasi yang representatif dan valid. Akhir dari semua itu

2
ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang
berkualitas/bermutu bagi masyarakat dan dapat memenuhi harapan dunia kerja.
Dalam implementasi konsep MPMBS, sekolah memiliki tanggung jawab untuk
mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi
setiap personil sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan
oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat (para aktor-
aktor/stakeholders) yang terkait.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa konsep manajemen peningkatan mutu sekolah?
2. Bagaimana karakteristik manajemen peningkatan mutu sekolah?
3. Apa tujuan manajemen peningkatan mutu sekolah?
4. Bagaimana rencana pengembangan sekolah dalam meningkatkan mutu
pendidikan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk dapat mengetahui konsep manajemen peningkatan mutu sekolah
2. Untuk dapat mengetahui karakteristik manajemen peningkatan mutu sekolah
3. Untuk dapat mengetahui tujuan manajemen peningkatan mutu sekolah
4. Untuk dapat mengetahui rencana pengembangan sekolah dalam meningkatkan
mutu pendidikan

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah


Semenjak diberlakukannya UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU
no 25 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan derivisi
menjadi UU no 32 dan 33 tahun 2004, maka berkenaan dengan otonomi daerah yang
awalnya sentralisasi menjadi desentralisasi dan sekolah diberi kewenangan untuk
mengatur dan melaksanakan pendidikan sesuai dengan visi, misi dan tujuan sekolah
tersebut berada dengan mengacu undang-undang yang telah ada.
Disebutkan pula dalam UU sisdiknas tahun 2003 pasal 50 ayat 5 yang berbunyi
“pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Dan juga disebutkan dalam pasal 51 ayat 1
yang berbunyi “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
menenga, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/sekolah”.
Sedangkan MPMBS dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan
lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong
sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka
pendidikan nasional. Karena itu, esensi MPMBS=otonomi sekolah+ fleksibilitas +
partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah .
Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian)
lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu,
menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan
melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan
sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok
yang berkepentingan dengan sekolah.
Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama
pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan

4
Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan
merupakan unit pendukung dan pelayan Sekolah, khususnya dalam pengelolaan
peningkatan mutu. Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah
2. Bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan
tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya)
3. Bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah
4. Memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya
5. Memiliki control yang kuat terhadap kondisi kerja
6. Komitmen yang tinggi pada dirinya dan
7. Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
Secara umum, paparan di atas telah memberikan gambaran tentang konsep dan
dasar sekolah berbasis otonomi sekolah. Selanjutnya adalah upaya yang dilakukan oleh
pihak sekolah untuk melakukan upaya peningkatan mutu sekolah. Sekolah yang telah
diberi kewenangan penuh untuk memformulasikan ukuran keberhasilan dan kualitas
pendidikannya pun akhirnya memiliki ketergantungan penuh terhadap budaya organisasi
yang dipimpin oleh kepala sekolah dan pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap
sekolah. Secara alamiah proses hidup mati organisasi selalu tergantung kepada
kemampuan organisasi memenuhi harapan dan kebutuhan stakeholdernya.
Pemenuhan terhadap kebutuhan stakeholder menjadi langkah yang wajib ditempuh
untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekolah. Proses selanjutnya adalah upaya untuk
memformulasikan visi,misi, dan tujuan sekolah. Setelah formulasi visi,misi, dan tujuan
pun tercapai kemudia dilakukan perencanaan strategis untuk mencapai visi, misi dan
tujuan tersebut.
Perencanaan strategis itu pun dituangkan ke dalam rencana program-program dan
rencana kegiatan. Setelah proses tersebut selesai dilaksakan proses selanjutnya adalah
mengkalkulasi kebutuhan finansial untuk membiayai semua program sekolah tersebut.
Setelah proses tersebut diatas, kemudian memetakan letak demografis sekolah dan
stakeholder potensial yang mungkin didapatkan sekolah. Hal itu diperlukan untuk
mendukung proses pemenuhan kebutuhan finansial dan dukungan moral secara penuh
dari para stakeholder pada program-program sekolah.

5
Seperti yang telah ditulis sebelumnya, MPMBS dapat didefinisikan sebagai
model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah,
memberikan fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola
sumberdaya sekolah, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah
dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai
tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Karena itu, esensi
MPMBS= otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu
sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian
dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung.
Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama
kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus
menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah
(sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya
swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah
adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga
sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja
kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu
kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan
berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi
sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan
berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-
persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan
berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan
kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya
sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-
keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih
lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola,
memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan

6
lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi.
Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor
kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang
terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan
masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong
untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari
pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika
seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang
bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang
bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk
mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar
pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab;
dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya.
Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus
mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan
partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang
kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah
keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya
sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu
sekolah. Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga
sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran
bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan
cerdas. Akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga
sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang
dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang
terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak
asasi manusia serta kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu
pendidikan.

7
Dengan pengertian diatas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian)
lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu,
menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan
melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas
pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari
kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan
ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses
pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas
Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit
pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tingkat
kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan
antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif,
gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja
sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya;
memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada
dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi
sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri:
pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi,
dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan
pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga
sekolah adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang
bermakna, pemecahan masalah sekolah secara “teamwork”, variasi tugas, hasil kerja
yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan,
kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah
bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif,
umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah
diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi.

8
2.2 Karakteristik Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah memiliki karakteristik yang
perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika
sekolah ingin sukses dalam menerapkan MPMBS, sejumlah karakteristik MPMBS
perlu dimiliki. Karakteristik MPMBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik
sekolah efektif. Jika MPMBS merupakan wadah/kerangka, sekolah efektif merupakan
isinya.
Menurut Levavic dan Bafadal terdapat tiga karakteristik kunci MPMBS, yaitu sebagai
berikut:
a. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan
peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada para stakeholder
sekolah.
b. Dominan manajemen peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan
aspek peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana
dan prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum.
c. Walaupun keseluruhan domain manajemen peningkatan mutu pendidikan
didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah
regulasi yang mengatur fungsi control pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan
kewenangan dan tanggung jawab sekolah.
Karakteristik manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah secara inklusif memuat
elemen-elemen sekolah efektif yang dikategorikan menjadi;input, proses dan output.
Selanjutnya yang dikategorikan menjadi input, output dan proses yaitu;
a. Input (masukan), Secara umum input sekolah meliputi: visi, misi, tujuan, sasaran,
manajemen, sumberdaya manusia, dan lainnya.
b. Proses, meliputi proses belajar mengajar, kepemimpinan, lingkungan sekolah,
pengelolaan tenaga kependidikan, sekolah memilki budaya mutu, sekolah
memilki team work yang kompak, sekolah memilki kewenangan, partisipasi yang
tinggi dari warga sekolah dan masyarakat, sekolah memilki transparansi
manajemen, sekolah memiliki kemauan untuk berubah, melakukan evaluasi
secara berkelanjutan, sekolah responsive, memiliki komunikasi yang baik,
memiliki akuntabilitas, dan kemampuan menjaga sustainabilitas.

9
c. Output adalah prestasi yang diraih sekolah akibat dari proses belajar mengajar
dan manajemen sekolah, baik berupa prestasi akademik maupun non akademik.
Dalam menguraikan karakteristik MPMBS pendekatan sistem, yaitu input,
proses, dan output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian
bahwa sekolah merupakan sebuah sistem sehingga penguraian karakteristik MPMBS
(yang juga karakteristik sekolah efektif didasarkan pada input, proses, dan output).
Uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri dengan input karena output memiliki
tingkat kepentingan tertinggi, sedangkan proses memiliki tingkat kepentingan satu
tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat
lebih rendah dari output
1. Output yang Diharapkan
Sekolah memiliki output yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi
sekolah yang dihasilkan melalui proses pembelajaran dan manajemen di sekolah.
Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa
prestasi akademik (academic achievement) dan output yang berupa prestasi non
akademik (nonacademic achievement). Output prestasi akademik misalnya,
NUAN/NUNAS, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika,
Fisika), cara berfikir (kritis, kreatif divergen, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan
ilmiah). Output nonakademik, misalnya akhlak/budi pekerti, dan perilaku sosial yang
baik seperti bebas narkoba, kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang
tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan,
prestasi olahraga, kesenian, dan kepramukaan.
2. Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses
sebagai berikut:
a. Proses Belajar Mengajar dengan Efektivitas yang Tinggi
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki efektivitas proses belajar
mengajar (PBM) yang tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh sifat PBM yang
menekankan pada pemberdayaan peserta didik. PBM bukan sekedar memorisasi
dan recall atau penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang
diajarkan (logos), tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang

10
diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati
(ethos) serta dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik
(pathos). Belajar yang efektif juga mengacu pada pilar-pilar pendidikan menurut
UNESCO yaitu:
 Learning to know yaitu belajar untuk mengetahui
 Learning to do yaitu belajar untuk melakukan
 Learning to live together yaitu belajar untuk bermasyarakat
 Learning to be yaitu belajar tentang apa yang bisa dihubungkan dengan
kehidupan sehari-hari, serta ditambah dengan
 Learning to religi yaitu belajar untuk memahami agama.
Dengan demikian maka kegiatan pembelajaran akan dapat memiliki efektivitas
yang tinggi.
b. Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
Pada sekolah yang menerapkan MPMBS, kepala sekolah memiliki peran yang
kuat dalam mengoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber
daya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah
satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi,
tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan
secara terencana dan bertahap.
Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan
kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif
prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah yang
tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama
sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.
c. Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
Sekolah dengan MPMBS memiliki lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman
sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable
learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang
aman, nyaman, dan tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat

11
menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, kepala sekolah memegang peranan
yang sangat penting.
d. Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif
Sekolah dengan SBM memiliki pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
Tenaga kependidikan, terutama guru merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah
hanyalah merupakan wadah dan sekolah yang menerapkan MPMBS menyadari
tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari
analisa kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan
kerja, hingga imbal jasa merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah.
Pada pengembangan tenaga kependidikan, hal tersebut harus dilaksanakan secara
terus menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sedemikian pesat. Tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan
MBS adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen tinggi dan selalu
mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
e. Sekolah Memiliki Budaya Mutu
Sekolah MPMBS memiliki budaya mutu yang memiliki elemn-elemen
sebagai berikut: (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan
untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas pada
tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi
(punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus menjadi basis
untuk kerjasama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f)
atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan
dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
f. Sekolah Memiliki Teamwork yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
Sekolah dengan MPMBS memiliki Team work. Team Work merupakan
karakteristik yang dituntut oleh MPMBS, karena output pendidikan merupakan
hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Uraian dari team work itu
sendiri adalah : t= together (bersama), e= empathy (peduli), a= assist (saling
membantu), m= maturity, w= willingnes (sukarela), o= organisation
(pengorganisasian), r= respect, k= kidness (ramah).

12
g. Sekolah Memiliki Kewenangan (Kemandirian)
Sekolah dengan MPMBS memiliki kewenangan sekolah yaitu melaksanakan
yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan
kesanggupan kerja yang baik. Untuk menjadi mandiri sekolah harus memiliki
sumber daya yang cukup untuk menjalankan tuganya.
h. Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi
warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini
dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa
memiliki; makin besar pula rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat
dedikasinya.
i. Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik
sekolah yang menerapkan MPMBS. Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan
dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan,
penggunaan uang, dan sebagainya yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait
sebagai alat kontrol.
j. Sekolah Memiliki Kemauan untuk Berubah (Psikologi dan Fisik)
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga
sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang
dimaksud dengan perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun
psikologis. Artinya, setiap perubahan dilakukan, hasilnya diharapkan lebih baik
dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.
k. Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
Sekolah dengan MPMBS selalu melakukan evaluasi dan perbaikan secara
berkelanjutan. Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk
mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang
terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk
memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh
karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan
mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan terus menerus.

13
Perbaikan secara terus-menerus harus menjadi kebiasaan warga sekolah. Tiada
hari tanpa perbaikan. Oleh karena itu, harus ada sistem mutu yang baku sebagai
acuan bagi perbaikan. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur
organisasi, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumberdaya untuk menerapkan
manajemen mutu.
l. Sekolah Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan
Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi
peningkatan mutu. Oleh karena itu, sekolah harus selalu dapat membaca
lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Sekolah dituntut untuk
tidak hanya mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi
juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan terjadi. Menjemput bola
adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.
m. Memiliki Komunikasi yang Baik
Sekolah dengan MPMBS memiliki komunikasi yang baik, terutama antar
warga sekolah dan juga antara sekolah dan masyarakat sehingga kegiatan yang
dilakukan oleh tiap-tiap warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara seperti ini,
keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan
dan sasaran sekolah yang telah dipatok. Selain itu, komunikasi yang baik juga
akan membentuk teamwork yang kuat, kompak, dan cerdas sehingga berbagai
kegiatan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga sekolah.
n. Sekolah Memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan
sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini
berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah,
orangtua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program tersebut,
pemerintah dapat menilai apakah program MPMBS telah mencapai tujuan yang
dikehendaki atau tidak.
Jika berhasil, pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang
bersangkutan sehingga dapat menjadi faktor pendorong untuk terus
meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang. Akan tetapi, jika program
tidak berhasil, pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas

14
kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat. Demikian pula, para orangtua
siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini
dapat meningkatkan prestasi anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara
keseluruhan.
Apabila hal ini berhasil dilakukan, orangtua peserta didik perlu memberikan
semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Akan
tetapi, jika program tersebut kurang berhasil, orangtua siswa dan masyarakat
berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan
program MPMBS yang telah dilakukan. Dengan cara seperti ini, sekolah tidak
akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan
datang.
o. Manajemen Lingkungan Hidup Sekolah Baik
Sekolah efektif melaksanakan manajemen lingkungan hidup sekolah secara
efektif. Sekolah memiliki perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengoordinasian, dan pengevaluasian pendidikan kecakapan hidup (program
adiwiyata) yang dikembangkan secara terus menerus dari waktu ke waktu.
Sekolah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan,
dan kesadaran warga sekolah tentang nilai-nilai lingkungan hidup dan mampu
mengubah perilaku dan sikap warga sekolah untuk menuju lingkungan hidup
yang sehat.
p. Sekolah Memiliki Kemampuan Menjaga Sustainabilitas
Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan
hidupnya (sustainabilitas), baik dalam program maupun pendanaannya.
Sustainabilitas program dapat dilihat dari berkelanjutan program-program yang
telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program
baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Sustainabilitas pendanaan dapat ditunjukkan oleh kemampuan sekolah dalam
mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar
jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari
masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi
sekolah-sekolah negeri.

15
3. Input Pendidikan
a. Memiliki Kebijakan, Tujuan, dan Sasaran Mutu yang Jelas
Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas tentang keseluruhan
kebijakan, tujuan, dan sasaran sekolah yang berkaitan dengan mutu. Kebijakan,
tujuan, dan sasaran mutu tersebut dinyatakan oleh kepala sekolah dan
disosialisasikan kepada semua warga sekolah sehingga tertanam pemikiran,
tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan karakter mutu oleh warga
sekolah.
b. Sumberdaya Tersedia dan Siap
Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk kelangsungan
proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai, proses
pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai dan pada akhirnya
sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang, peralatan,
perlengkapan, bahan, dan sebagainya) dengan penegasan bahwa sumberdaya
selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah tanpa
campur tangan sumber daya manusia.
Secara umum, sekolah yang menerapkan MPMBS harus memiliki tingkat
kesiapan sumberdaya yang memadai untuk menjalankan proses pendidikan.
Artinya, segala sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan proses
pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap. Ini bukan berarti bahwa
sumberdaya yang ada harus mahal, tetapi sekolah yang bersangkutan dapat
memanfaatkan keberadaan sumberdaya yang ada dilingkungan sekolahnya. Oleh
karena itu, diperlukan kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumberdaya
yang ada disekitarnya.
c. Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
Meskipun pada butir (b) telah disinggung tentang ketersediaan dan kesiapan
sumberdaya manusia (staff), pada butir ini perlu ditekankan lagi karena staf
merupakan jiwa sekolah. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki staf yang
mampu (kompeten) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya

16
jelas, yaitu bagi sekolah yang ingin memiliki efektivitas yang tinggi, kepemilikan
staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan suatu keharusan.
d. Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi
Sekolah yang menerapkan MPMBS mempunyai dorongan dan harapan yang
tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya. Kepala sekolah
memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah
secara optimal. Guru memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa anak
didiknya dapat mencapai tingkat prestasi yang maksimal, walaupun dengan
segala keterbatasan sumberdaya pendidikan yang ada di sekolah.
Peserta didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk
berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Harapan terbesar dari ketiga
unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu
dinamis untuk menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
e. Fokus pada Pelanggan (Khususnya Siswa)
Pelanggan, terutama siswa, harus menjadi fokus dari semua kegiatan sekolah.
Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tujuan utamanya
adalah meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis dari
semua hal tersebut adalah penyiapan input dan proses belajar mengajar harus
benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan dari
siswa.
f. Input Manajemen
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki input manajemen yang
memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam mengatur dan
mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan
dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola
sekolahnya dengan efektif.
Input manajemen yang dimaksud meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci
dan sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-
ketentuan (aturan main) yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk
bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk
meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai.

17
2.3 Tujuan Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Tujuan pokok mempelajari manajemen peningkatan mutu pendidikan adalah
untuk memperoleh cara, tehnik, metode yang sebaik-baiknya dilakukan, sehingga
sumber-sumber yang sangat terbatas seperti tenaga, dana, fasilitas, material maupun
sepiritual guna mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Menurut Shrode dan Voich (1974) tujuan utama Manajemen peningkatan mutu
pendidikan adalah produktifitas dan kepuasan. Mungkin saja tujuan ini tidak tunggal
bahkan jamak atau rangkap, seperti peningkatan mutu pendidikan/lulusannya,
keuntungan/profit yang tinggi, pemenuhan kesempatan kerja pembangunan
daerah/nasional, tanggung jawab sosial. Tujuan-tujuan ini ditentukan berdasarkan
penataan dan pengkajian terhadap situasi dan kondisi organisasi, seperti kekuatan dan
kelemahan, peluang dan ancaman.
Secara rinci tujuan manajemen peningkatan mutu sekolah antara lain:
a. Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif, inovatif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM)
b. Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
c. Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
d. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas
administrasi pendidikan.
e. Teratasinya masalah mutu pendidikan.
Secara umum MPMS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan
sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong
sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Secara rinci,
tujuan MPMS, adalah untuk meningkatkan:
a. mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan
memberdayakan sumber daya yang tersedia,
b. kepedulian warga sekolah dan mayarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
melalui pengambilan keputusan bersama,

18
c. tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang
mutu sekolah,
d. kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Oleh karena itu, sasaran MPMS, mencakup unsur-unsur: legislatif, pengambil
kebijakan, perencana (Bappeda), perguruan tinggi, lembaga diklat, praktisi (kepala
sekolah, guru), dan masyarakat.
Dengan demikian, MPMS dapat dilaksanakan, jika:
1. Ada dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders).
2. Lembaga pendidikan memiliki kemauan dan kemampuan pembaharuan.
3. Proses pendidikan mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat.
4. Pelayanan pendidikan dapat mengembangkan potensi anak secara maksimal
dengan memperhatikan perbedaan individu siswa.
5. Lingkungan sosial sekolah mendukung pencapaian visinya.
6. Potensi sumber daya sekolah dan masyarakat mendukung tercapainya target yang
ditetapkan.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000).
MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui
pemberian wewenang, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu
sekolah.
MPMBS diterapkan karena beberapa faktor diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman bagi dirinya
sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk
memajukan sekolahnya.
b. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan, khususnya input pendidikan yang akan
dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan
tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
c. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk
memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang
terbaik bagi sekolahnya.
d. Keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan
sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.

19
e. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing
kepada pemerintah, orang tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya,
sehingga akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dna mencapai
sasaran mutu pendidikna yang telah direncanakan. (Dikmenum, 2001)

2.4 Rencana Pengembangan Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan


RPS adalah sebuah dokumen perencanaan yang dibuat oleh “sekolah” untuk
mengadakan perubahan fisik dan nonfisik sekolah dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan sekolah. RPS menggambarkan peta perjalanan perubahan sekolah dari
suatu kondisi sekarang menuju kondisi yang lebih baik dan lebih menjanjikan dalam
kurun waktu 5 tahun ke depan.
Dalam melaksanakan MPMBS, sekolah harus mampu membuat rencana
pengembangan sekolah (RPS) yang mengarah pada peningkatan kualitas sekolah.
Sebuah RPS yang baik memiliki beberapa tahapan yang hierarkis, sistematis, dan
jelas, karena RPS merupakan pedoman kerja (kerangka acuan) dalam melaksanakan
pengembangan sekolah, dasar untuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
pengembangan sekolah, serta acuan untuk mengidentifikasi dan mengajukan sumber-
sumber daya pendidikan yang diperlukan dalam pengembangan sekolah.
Penyusunan RPS berrtujuan agar sekolah dapat mengetahui secara rinci
tindakan-tindakan yang harus dilakukan sehingga tujuan, kewajiban, dan sasaran
pengembangan sekolah dapat dicapai. Dalam RPS, semua program dan kegiatan
pengembangan sekolah mestinya sudah memperhitungkan harapan-harapan para
pemangku-kepentingan dan kondisi nyata sekolah. Oleh sebab itu, proses perumusan
RPS harus melibatkan semua pemangku-kepentingan.
Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) yang baik memiliki sejumlah ciri
berikut.
1. Komprehensif dan terintegrasi, yakni mencakup perencanaan keseluruhan
program yang akan dilaksanakan sekolah.
2. Multi-tahun, yaitu mencakup periode beberapa tahun, umumnya di sekolah
dikembangkan untuk jangka waktu empat sampai lima tahun. Setiap tahun terus
diperbaharui sesuai dengan perkembangan terakhir.

20
3. Multi-sumber, yaitu menunjukkan jumlah dan sumber dana masing-masing
program. Misalnya dari BOS, APBD Kabupaten/Kota, iuran orang tua atau
sumber lainnya.
4. Disusun secara partisipatif oleh Kepala Sekolah, Komite Sekolah dan
Dewan Pendidik dengan melibatkan para pemangku-kepentingan lainnya.
5. Pelaksanaannya dimonitor oleh Komite Sekolah dan pemangku kepentingan
yang lain.
Sementara itu, dalam manual RPS yang diterbitkan oleh DBE1
(2006) dinyatakan bahwa ada empat tahap penyusunan RPS.
1. Mengidentifikasi tantangan. Tujuan dari identifikasi tantangan adalah
mengidentifikasi kesenjangan antaraharapan pemangku kepentingan(stakeholde
r) dan keadaan atau profil sekolah serta memilih tantangan utama yang muncul.
2. Melakukan analisis tantangan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi penyebab
tantangan utama dan melakukan identifikasi alternatif pemecahan untuk
mengatasi sebab utama tantangan.
3. Melakukan penyusunan program. Pada tahap ini terdapa tiga langkah yang
dilakukan yaitu menetapkan sasaran, menyusun program dan indikator
keberhasilan, serta menyusun kegiatan.
4. Menyusun rencana biaya dan pendapatan (RAPBS).
Penjelasan lebi rinci lagi tentang penyusunan RPS disajikan dalam MPMBS
(Depdiknas, 2002). Penyusunan RPS terdiri atas sembilan tahap, seperti yang telah
dirinci pada pembahasan di atas. Bagi sekolah atau madrasah yang telah
mempunyai visi dan misi, kegiatan perumusan visi dan misi bisa diabaikan. Tetapi,
bagi sekolah yang belum memilikinya, perumusan visi dan misi harus dilakukan
terlebih dahulu.
Ketiga uraian tentang tahap-tahap penyusunan RPS tersebut sebenarnya memiliki
banyak kesamaan. Setiap tahap memerlukan tahapan sebelumnya sebagai dasar
penyusunan. Misalnya, misi sekolah dapat disusun setelah visi disusun dan
ditetapkan. Demikian juga, sasaran baru dapat ditetapkan setelah tujuan sekolah yang
ditetapkan melalui pembandingan dengan keadaan sekolah saat ini, sehingga
ditemukan tantangan nyata sekolah. Rencana dan program baru dapat disusun

21
setelah dilakukan identifikasi alternatif pemecahan masalah dan dipilih alternatif
yang terbaik. RAPBS dapat dibuat setelah rencana dan program disusun.
Secara skematik, tahapan penyusunan RPS tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut (Depdiknas, 2002).
Langkah-langkah Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah
1. Merumuskan visi sekolah
Visi adalah imajinasi moral yang menggambarkan profil sekolah yang
diinginkan pada masa mendatang. Imajinasi ke depan seperti itu didasarkan
pada SWOT sekolah dan stakeholders, dan diyakini akan terjadi di masa datang.
Mungkin kita mengimajinasikan sekolah yang bermutu, diminati oleh masyarakat,
memiliki jumlah guru yang cukup dengan kualitas yang baik, fasilitas sekolah yang
baik, dan sebagainya. Namun demikian, visi sekolah harus tetap berada dalam
koridor kebijakan pendidikan nasional serta kemampuan sekolah itu untuk
mewujudkannya.
Tanggung jawab pendidikan di sekolah bukan hanya monopoli kepala sekolah,
guru, dan tenaga kependidikan lainnya, melainkan tanggung jawab banyak orang
sebagaimana yang dituangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Guru, karyawan, siswa, orangtua siswa, masyarakat, dan
pemerintah adalah contoh dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah.
Dengan cara itu visi sekolah akan mewakili aspirasi stakeholder dan mereka merasa
“memiliki” visi tersebut, yang pada gilirannya diharapkan mendorong mereka untuk
bersama-sama berperan aktif dalam mewujudkan visi tersebut.
Visi pada umumnya dirumuskan dengan kalimat yang filosofis, bahkan seringkali
mirip sebuah slogan, namun tidak bombastis. Sering pula dirumuskan dalam bentuk
kalimat yang khas, mudah diingat dan terkait dengan istilah tertentu. Berikut
beberapa contoh visi sekolah.
 Membangun Wacana Keilmuan dan Keislaman.
 Unggul dalam prestasi berdasarkan Iman dan taqwa.
 Beriman, terdidik, dan berbudaya.
Dari ketiga contoh visi tersebut dapat disimpulkan bahwa rumusan visi yang baik
memiliki ciri berikut.

22
1. Berorientasi ke masa depan (jangka waktu yang lama).
2. Menunjukkan keyakinan masa depan yang jauh lebih baik, sesuai dengan norma
dan harapan masyarakat.
3. Mencerminkan standar keunggulan dan cita-cita yang ingin dicapai.
4. Mencerminkan dorongan yang kuat akan tumbuhnya inspirasi, semangat, dan
komitmen warga sekolah dan sekitarnya.
5. Mampu menjadi dasar dan mendorong terjadinya perubahan dan pengembangan
sekolah ke arah yang lebih baik.
6. Menjadi dasar perumusan misi dan tujuan sekolah.
2. Menyusun misi sekolah
Misi adalah tindakan atau upaya untuk mewujudkan visi. Oleh karenanya, misi
merupakan penjabaran visi dalam bentuk rumusan tugas, kewajiban, dan rancangan
tindakan yang dijadikan arahan untuk mewujudkan visi. Dengan kata lain, misi
adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan
berbagai indikatornya. Coba simak contoh rumusan misi berikut:
 Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif, sehingga setiap
siswa dapat berkembang secara optimal, sesuai dengan potensi yang dimiliki.
 Menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif kepada seluruh warga
sekolah.
 Mendorong dan membantu setiap siswa untuk mengenali potensi dirinya,
sehingga dapat dikembangkan secara lebih optimal.
 Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan juga
budaya bangsa, sehingga menjadi sumber kearifan dalam bertindak.
 Menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah
dan komite sekolah.
Dari contoh tersebut, tampak bahwa rumusan misi selalu dalam bentuk kalimat
yang menunjukkan “tindakan” dan bukan kalimat yang menunjukkan “keadaan”
sebagaimana pada rumusan visi.
3. Merumuskan tujuan sekolah
Perumusan tujuan sekolah harus berdasar dari visi dan misi. Jika visi dan misi terkait
dengan jangka waktu yang sangat panjang, maka tujuan dikaitkan dengan jangka

23
waktu menengah. Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan atau
langkah untuk mewujudkan visi sekolah yang telah dicanangkan. Sebaiknya tujuan
tersebut dikaitkan dengan siklus program sekolah, misalnya untuk jangka 4 tahunan.
Berikut contoh perumusan tujuan sekolah yang disusun pada tahun 2007.
 Pada tahun 2011, memiliki kelompok KIR yang mampu menjadi finalis LKIR
tingkat nasional.
 Pada tahun 2011, memiliki tim olah raga minimal 3 cabang yang mampu
menjadi finalis tingkat Propinsi.
 Pada tahun 2011, memiliki tim kesenian yang mampu tampil pada acara
setingkat Kota.
4. Menganalisis tantangan
Tantangan merupakan kesenjangan (gap) antara tujuan yang ingin dicapai sekolah
dengan kondisi sekolah saat ini. Tantangan harus “diatasi” selama kurun waktu
tertentu. Jika saat ini sekolah baru mencapai juara ketiga pada LKIR tingkat
kabupaten, sedangkan tujuan sekolah ingin mencapai juara pertama, maka tantangan
yang dihadapi sekolah adalah “dua peringkat”, yaitu dari juara ketiga menjadi juara
pertama.
Pada organisasi besar, seperti perusahaan atau instansi tertentu, sesudah perumusan
tujuan dilanjutkan dengan perumusan strategi perusahaan atau instansi tersebut
untuk mencapai tujuan. Strategi dalam hal ini dimaksudkan sebagai “langkah
pokok” perusahaan, organisasi, atau departemen untuk mencapai tujuannya.
Strategi tersebut disamping mengacu kepada tujuan yang ingin dicapai, juga
memperhatikan kondisi sekolah saat ini, khususnya kekuatan dan peluang yang dapat
digunakan. Misalnya, sebuah sekolah yang berada pada lingkungan masyarakat yang
secara sosial ekonomi sangat bagus, sementara anggaran pemerintah belum bagus,
merumuskan strategi untuk mencapai tujuan sekolah adalah “menggalang partisipasi
orang tua dan masyarakat”. Sekolah lain yang merasa jumlah dan kualifikasi tenaga
guru cukup baik, namun prestasi akademik siswa ternyata rendah, melakukan analisis
dan menemukan bahwa kondisi kerja di sekolah merupakan salah faktor penentu
motivasi kerja guru, yang berujung pada mutu hasil belajar. Oleh karena itu, rumusan

24
salah satu strateginya adalah “meningkatkan iklim kerja sekolah”. Jadi strategi harus
memperhatikan hasil evaluasi diri atau profil sekolah.
Untuk sekolah, mungkin strategi seperti tersebut diatas tidak harus
dirumuskan secara khusus. Namun, perlu dipikirkan pada saat menentukan alternatif
langkah-langkah mengatasi masalah dan penyusunan rencana dan program sekolah.
Sebaiknya kedua langkah tersebut memperhatikan strategi dasar sekolah dalam
mencapai tujuan yang diinginkan.
5. Menentukan sasaran sekolah
Berdasarkan pada tantangan tersebut, tahap selanjutnya adalah merumuskan sasaran
atau target mutu yang akan dicapai oleh sekolah. Sasaran harus menggambarkan
mutu dan kuantitas yang ingin dicapai dan terukur agar mudah melakukan evaluasi
keberhasilannya. Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan tantangan yang dihadapi
sekolah, namun perumusan sasaran tersebut harus tetap mengacu pada visi, misi, dan
tujuan sekolah. Oleh karenanya, setiap sekolah harus memiliki visi, misi, dan tujuan
sekolah sebelum merumuskan sasarannya.
Sasaran dapat disebut juga tujuan jangka pendek (misalnya 1 tahun) atau tujuan
situasional sekolah. Dari uraian tersebut, maka yang dimaksud dengan sasaran/tujuan
situasional adalah tujuan yang dirumuskan dengan memperhitungkan tantangan yang
dihadapi oleh sekolah. Ketika menentukan sasaran, prioritas sasaran harus
dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Misalnya, sekolah mencanangkan tujuan
yang mencakup tiga aspek. Untuk itu, sekolah perlu menyusun prioritas, apakah
ketiga aspek tersebut akan digarap pada tahun pertama, atau hanya beberapa aspek
saja berdasarkan pertimbangan kondisi dan kemampuan sekolah. Sebagai contoh,
sekolah menetapkan sasaran untuk tahun ajaran 2008/2009 sebagai berikut:
 Memiliki tim olah raga bola voli yang mampu menjadi finalis tingkat Kota
atau Kabupaten;
 Memiliki kelompok Karya Ilmiah Remaja (KIR) yang mampu menjadi
juara Lomba KIR tingkat Kota;
 Memiliki tim kesenian yang berlatih secara teratur dan mengadakan pentas di
sekolah.

25
6. Mengidentifikasi fungsi-fungsi
Setelah sasaran ditentukan, selanjutnya dilakukan identifikasi fungsi-fungsi yang
diperlukan untuk mencapai sasaran tersebut. Langkah ini harus dilakukan sebagai
persiapan dalam melakukan analisis SWOT. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya
untuk meningkatkan nilai ujian sekolah adalah fungsi proses belajar mengajar (PBM)
dan pendukung PBM, seperti: ketenagaan, kesiswaan, kurikulum, perencanaan
instruksional, sarana dan prasarana, serta hubungan sekolah dan masyarakat.
Selain itu terdapat pula fungsi-fungsi yang tidak terkait langsung dengan proses
belajar mengajar, misalnya pengelolaan keuangan dan pengembangan iklim akademik
sekolah.
Apabila sekolah keliru dalam menetapkan fungsi-fungsi tersebut atau fungsi tidak
sesuai dengan sasarannya, maka dapat dipastikan hasil analisis akan menyimpang dan
tidak berguna untuk memecahkan persoalan. Oleh karenanya, diperlukan kecermatan
dan kehati-hatian dalam menentukan fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai
sasaran yang ditentukan. Pada setiap fungsi ditentukan pula faktor-faktornya, baik
faktor yang tergolong internal maupun eksternal agar setiap fungsi memiliki batasan
yang jelas dan memudahkan saat melakukan analisis. Setelah fungsi-fungsi yang
diperlukan untuk mencapai sasaran telah diidentifikasi, maka langkah berikutnya
adalah menentukan tingkat kesiapan masing-masing fungsi beserta faktor-faktornya
melalui analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat).
7. Melakukan analisis SWOT
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap
fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah
ditetapkan. Oleh karena tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan
masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT
dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi tersebut, baik faktor
internal maupun eksternal.
Dalam melakukan analisis terhadap fungsi dan faktor-faktor, berlaku
beberapa ketentuan. Untuk tingkat kesiapan yang memadai, artinya, memenuhi
kriteria kesiapan minimal yang diperlukan untuk mencapai sasaran, dinyatakan
sebagai kekuatan bagi faktor internal atau peluang bagi faktor eksternal. Sedangkan

26
tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya, tidak memenuhi kriteria kesiapan
minimal, dinyatakan sebagai kelemahan bagi faktor internal atau ancaman bagi
faktor eksternal. Untuk menentukan kriteria kesiapan, diperlukan kecermatan, kehati-
hatian, pengetahuan, dan pengalaman agar dapat diperoleh ukuran kesiapan
yang tepat.
Kelemahan atau ancaman yang dinyatakan pada faktor internal dan faktor eksternal
yang memiliki tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan. Selama
masih ada fungsi yang tidak siap atau masih ada persoalan, maka sasaran yang telah
ditetapkan diduga tidak akan dapat tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran dapat
tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan untuk mengubah fungsi yang tidak siap
menjadi siap. Tindakan yang dimaksud disebut langkah-langkah pemecahan
persoalan, yang pada hakikatnya merupakan tindakan mengatasi kelemahan atau
ancaman agar menjadi kekuatan atau peluang.
Setelah diketahui tingkat kesiapan faktor melalui analisis SWOT, langkah selanjutnya
adalah memilih alternatif langkah-langkah pemecahan persoalan, yakni tindakan yang
diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap, serta
mengoptimalkan fungsi yang dinyatakan siap. Oleh karena kondisi dan potensi
sekolah berbeda-beda antara satu dengan lainnya, maka alternatif langkah-
langkah pemecahan persoalannya pun dapat berbeda, sesuai dengan kesiapan
sumber daya manusia dan sumber daya lainnya di sekolah tersebut. Dengan kata lain,
sangat dimungkinkan suatu sekolah mempunyai langkah pemecahan yang berbeda
dengan sekolah lain untuk mengatasi persoalan yang sama.
8. Mengidentifikasi alternatif langkah pemecahan persoalan
Untuk mewujudkan sasaran di atas, sekolah mengidentifikasi kelemahan dan
ancaman yang dihadapi, contohnya dalam mencapai sasaran menjadi finalis dibidang
olahraga pada tingkat kota/kabupaten dalam bidang olah raga bola voli, yaitu waktu
pelatihan yang kurang intensif dan tidak adanya pengalaman Guru dalam melatih bola
voli kurang profesional serta sekolah tidak pernah melakukan uji-banding ke sekolah
lain. Disamping itu, terbatasnya fasilitas pengembangan olah raga bola voli pada
tingkat kecamatan maupun kota dan kondisi lapangan bola voli di sekolah sebagian

27
dalam keadaan rusak Berbagai peralatan olah raga voli yang dimiliki sekolah juga
masih kurang, termasuk bola voli.
9. Menyusun program peningkatan mutu
Dari pelbagai alternatif langkah pemecahan persoalan yang ada, kepala sekolah
bersama-sama dengan unsur komite sekolah, menyusun dan merealisasikan rencana
dan program-programnya untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Rencana
yang dibuat harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang aspek-aspek mutu yang
ingin dicapai, kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan
dan di mana dilaksanakan, serta berapa biaya yang diperlukan. Hal itu juga
diperlukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh
dukungan dari pemerintah maupun orang tua peserta didik, baik secara moral maupun
financial.
10. Anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS)
Anggaran adalah rencana yang diformulasikan dalam bentuk rupiah untuk jangka
waktu tertentu (periode), dengan alokasi sumber- sumber kepada setiap bagian
aktivitas. Anggaran memiliki peran penting di dalam perencanaan, pengendalian, dan
evaluasi aktivitas yang dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, setiap penanggung
jawab program harus menjalankan aktivitas sesuai dengan anggaran yang telah
ditentukan sebelumnya. Karena anggaran memiliki kedudukan penting, seorang
penanggung jawab program harus mencatat anggaran serta melaporkan
realisasinya sehingga dapat diperbandingkan selisih antara anggaran dengan
pelaksanaan serta melakukan tindak lanjut untuk perbaikan.
Dalam penyusunan anggaran perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Menginventarisasi rencana yang akan dilaksanakan.
2. Menyusun rencana berdasarkan skala prioritas pelaksanaannya. Menentukan
program kerja dan rincian program atau kegiatan.Menetapkan kebutuhan untuk
pelaksanaan rincian program.
3. Menghitung dana yang dibutuhkan.
4. Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana.
Berbagai rencana yang dituangkan ke dalam Rencana dan Program Tahunan pada
dasarnya adalah program sekolah. Oleh karenanya, anggaran yang diperlukan juga

28
tercakup dalam anggaran dan pendapatan belanja sekolah (APBS). Anggaran untuk
rencana program dapat berasal dari berbagai sumber. Prinsip efisiensi harus
diterapkan dalam penyusunan rencana anggaran setiap program sekolah. Pada
anggaran yang disusun perlu dijelaskan, apakah rencana program yang akan
dilaksanakan merupakan hal yang baru atau merupakan kelanjutan atas kegiatan yang
telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya, dengan menyebutkan sumber dana
sebelumnya.
Landasan Hukum Penyusunan RPS
Adapun landasan hukum yang dipergunakan untuk penyusunan Rencana
Pengembangan Sekolah (RPS) ada beberapa hal :
1. UU no. 20 / 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 (pengelolaan dana
pendidikan berdasar pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan
akuntabilitas publik),
2. PP no. 19 / 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 53 ( setiap satuan
pendidikan dikelola atas dasar rencana kerja tahunan yang merupakan penjabaran
rinci dari rencana kerja jangka menengah satuan pendidikan yang meliputi masa
4 tahun),
3. Tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap kualitas pendidikan murid, serta
Tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni ( IPTEKS).

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi kesimpulannya, MPMBS dapat didefinisikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan
fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya
sekolah, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan
mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional.
Karakteristik manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah secara inklusif
memuat elemen-elemen sekolah efektif yang dikategorikan menjadi;input, proses
dan output. Selanjutnya yang dikategorikan menjadi input, output dan proses.
Tujuan pokok mempelajari manajemen peningkatan mutu pendidikan adalah
untuk memperoleh cara, tehnik, metode yang sebaik-baiknya dilakukan, sehingga
sumber-sumber yang sangat terbatas seperti tenaga, dana, fasilitas, material
maupun sepiritual guna mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
RPS adalah sebuah dokumen perencanaan yang dibuat oleh “sekolah” untuk
mengadakan perubahan fisik dan nonfisik sekolah dalam rangka meningkatkan
mutu pelayanan sekolah. RPS menggambarkan peta perjalanan perubahan sekolah
dari suatu kondisi sekarang menuju kondisi yang lebih baik dan lebih menjanjikan
dalam kurun waktu 5 tahun ke depan.
RPS menggambarkan sekolah sebagai suatu sistem dan bagian dari suatu
sistem yang lebih luas yang berinteraksi secara berkesinambungan, memperoleh
masukan dari masyarakat dan memberikan output kepada masyarakat. Sehingga
mutu pelayanan sekolah sangat tergantung dari input yang diterimanya dan proses
yang dikerjakannya. Oleh karena itu jika pelayanan sekolah ingin ditingkatkan
maka input dan proses dalam sekolah itu harus disempurnakan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Mulyasa. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Rosdakarya.


Rohiyat. 2010. Manajemen Sekolah Teori Dasar dan Praktik. Bandung: PT Refika
Aditama
Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik, Dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara, 2006.
Listyo Prabowo, Manajemen Pengembangan Mutu Sekolah/Madrasah .Malang:
UIN
Umaedi, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, (Depdikbud,
Direktorat Jendral
Bafadal Ibrahim, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar. Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2006.

31

You might also like