You are on page 1of 41

LAPORAN KASUS

CARPAL TUNNEL SYNDROME SINISTRA

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu syarat dalam menempuh

Program Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Penyakit Saraf

Di RST. dr. Soedjono Magelang

Oleh:
Mauris Milzam Ahmad

30101407237

Pembimbing:
dr. Ken Wirastuti, M.Kes, Sp.S, KIC

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu syarat dalam menempuh

Program Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Penyakit Saraf

Di RST dr. Soedjono Magelang

Nama : Mauris Milzam Ahmad

NIM : 30101407237

Judul : Carpal Tunnel Syndrome Sinistra

Bagian : Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas : Kedokteran UNISSULA

Pembimbing : Letkol CKM dr. Heriyanto, Sp.S

Semarang, Juni 2018

Pembimbing,

Letkol CKM dr. Heriyanto, Sp.S


STATUS PASIEN

I. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 52 tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Grabag, Magelang
Status Pasien : Rawat Jalan Poliklinik Saraf
II. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Nyeri pada tangan kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
I. Lokasi : pergelangan tangan, telapak tangan hingga jari-jari tangan
kiri terutama jempol, telunjuk dan jari tengah
II. Onset : 1 bulan sebelum masuk RS
III. Kualitas : Nyeri dirasakan berasal dari pergelangan tangan kiri,
disertai dengan rasa kesemutan, terkadang ada sensasi seperti
disetrum, dirasakan semakin memberat, nyeri tidak menjalar ke
bagian lengan atas
IV. Kuantitas : Nyeri dirasakan hilang timbul
V. Faktor modifikasi
a. Faktor memperberat : memberat ketika melakukan pekerjaan
yang menggerakkan pergelangan tangan
b. Faktor memperingan : nyeri berkurang bila tangan dikibas-
kibaskan
VI. Kronologi : 1 bulan yang lalu pasien merasakan tebal-tebal di jari-
jari tangannya. Awalnya pada jempol dan telunjuk pada tangan kiri
lalu lama-kelamaan memberat hingga ke semua jari-jari tangan kiri.
Hingga 1 minggu terakhir pasien merasa nyeri dan sering kesemutan
pada daerah pergelangan tangan, telapak hingga ke jari-jari tangan
kiri, terdapat rasa seperti disetrum. Pasien sudah pernah
memeriksakan keluhannya ini namun belum mengalami perubahan.
Pekerjaan sehari-hari pasien adalah sebagai ibu rumah tangga. Pasien
mencuci baju keluarganya sendiri, memasak sendiri, mengepel dan
menyapu rumah sendiri. Pasien menyangkal riwayat bengkak dan
panas di pergelangan tangan. Pasien juga menyangkal riwayat jatuh
menumpu pada tangan. Pasien juga menyangkal kebiasaan tidur
menumpu pada pergelangan tangan. Pasien menyangkal riwayat
kelemahan anggota gerak. Pasien menyangkal riwayat kesulitan
dalam memegang botol atau benda-benda berbentuk sejenis
VII. Keluhan lain : mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), kelemahan
anggota gerak (-), demam (-), nyeri bahu (-), nyeri lengan atas-
bawah (-)
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat keluhan serupa :-
 Riwayat trauma kepala :-
 Riwayat penyakit HT :-
 Riwayat penyakit jantung :-
 Riwayat penyakit paru :-
 Riwayar penyakit DM :-
 Riwayat kolesterol :-
 Riwayat alergi obat :-
 Riwayat kejang :-
 Riwayat stroke :-
 Riwayat penyakit maag :-
 Riwayat kemoterapi :-
4. Riwayat Keluarga
Riwayat keluhan serupa :-
Riwayat penyakit HT :-
Riwayar penyakit DM :-
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pengobatan menggunakan BPJS kelas III
III. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
 Tingkat Kesadaran : Compos Mentis
 GCS : E4M6V5
 Tekanan darah : 130/90 mmHg
 HR : 88 x/menit
 RR : 20 x/menit
 Suhu : 36,6oC
2. Status Internus
 Kepala : mesocephal
 Mata : Konjungtiva Anemis : (-/-) Sklera Ikterik : (-/-) Pupil :
(3mm/3mm) Refleks Cahaya : (+/+)
 Thorax
o Inspeksi : simetris kanan kiri
o Palpasi : pergerakan paru simetris, stem fremitus kanan = kiri
o Perkusi : sonor seluruh lapang paru
o Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+)
 Abdomen
o Inspeksi : datar
o Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
o Perkusi : timpani (+)
o Auskultasi: bising usus (+) normal
 Extremitas
Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
3. Status Neurologis
a. Pemeriksaan Motorik
 Inspeksi : tidak ada kelainan di ekstremitas superior et inferior,
dextra et sinistra.
 Palpasi : otot kenyal, tidak ada nyeri
Badan dan Anggota Gerak
1. BADAN
MOTORIK
 Respirasi : DBN
 Duduk : DBN
SENSIBILITAS
 Taktil : DBN
 Nyeri : DBN
 Thermi : Tidak dilakukan
 Diskriminasi 2 titik : DBN
 Posisi : DBN
REFLEK
 Reflek kulit perut : Tidak dilakukan
 Reflek kremaster : Tidak dilakukan
2. ANGGOTA GERAK
MOTORIK
Motorik Superior Inferior
Pergerakan B/B B/B
Kekuatan 555/555 555/555
Tonus Normotonus Normotonus
Klonus -
Trofi Eutrofi Eutrofi

SENSIBILITAS
Superior Inferior
Taktil DBN / DBN DBN / DBN
Nyeri DBN / DBN DBN / DBN
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi 2 titik DBN / DBN DBN / DBN
Posisi DBN / DBN DBN / DBN

REFLEK FISIOLOGIS
Dx Sx
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
Patella ++ ++
Achilles ++ ++

REFLEKS PATOLOGIS
Hoffman - -
Trommer - -
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
b. Gerakan-gerakan Abnormal
 Tremor :-
 Athetosis :-
 Korea :-
 Hemibalismus :-
c. Alat Vegetatif
 Miksi : DBN
 Defekasi : DBN
d. Pemeriksaan N. Cranialis
N.I ( OLFAKTORIUS) : Tidak dilakukan
N II ( OPTIKUS)
 tajam penglihatan : Tidak dilakukan
 lapang penglihatan : Tes konfrontasi DBN
 melihat warna : Tidak dilakukan
 funduskopi : Tidak dilakukan
N III ( OKULOMOTORIUS ), N IV (TROKLEARIS ), N VI
(ABDUCENS )
Dx Sx
PERGERAKAN DBN DBN
BOLA MATA
NISTAGMUS - -

EKSOFTALMUS - -

PUPIL bulat,isokor,ø 3mm bulat,isokor,ø 3mm


STRABISMUS - -
DIPLOPIA - -

N V ( TRIGEMINUS )
Dx Sx
MEMBUKA MULUT DBN DBN

MENGUNYAH DBN DBN

MENGGIGIT DBN DBN

SENSIBILITAS DBN DBN


MUKA
REFLEK KORNEA DBN DBN

REFLEK Tidak dilakukan Tidak dilakukan


MASSETER
N VII (FACIALIS)
Dx Sx
MENGERUTKAN DBN DBN
DAHI
MENUTUP MATA DBN DBN

LIPATAN DBN DBN


NASOLABIAL
MENGGEMBUNGK DBN DBN
AN PIPI
MEMPERLIHATKA DBN DBN
N GIGI
MENCUCUKAN DBN DBN
BIBIR
PENGECAPAN 2/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan
ANTERIOR LIDAH

N VIII (VESTIBULOCOCHLEARIS)
Dx Sx
SUARA BERBISIK DBN DBN

TES WEBER Tidak dilakukan Tidak dilakukan

TES RINNE Tidak dilakukan Tidak dilakukan

TES SCHWABACH Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N IX (GLOSSOPHARINGEUS)
Pengecapan 1/3 posterior lidah : Tidak dilakukan
Sensibilitas faring : Tidak dilakukan
N X ( VAGUS )
Arkus faring : Simetris
Berbicara : DBN
Menelan : DBN
Nadi : DBN
N XI (ACCESORIUS )
Mengangkat bahu : DBN
\Memalingkan kepala : DBN
N XII ( HYPLOGOSSUS )
Pergerakan lidah : Simetris
Tremor lidah :-
Artikulasi : Jelas

Pemeriksaan tambahan :
 Phalen sign : -/+
 Tinnel sign : -/+
 Flick sign : -/+
 Thenar wasting : -/-
 Pressure test : -/+
 Luthy’s sign (bottle’s sign) : -/-
 Finkelstein test : -/-
IV. Diagnosis Banding
 Carpal Tunnel Syndrome
 Cervical Radiculopathy
 Pronator Teres Syndrome
 Dequervain Syndrome
V. Pemeriksaan Penunjang
Belum dilakukan
VI. Assessment
1. Diagnosis klinis : Hiperestesia wrist, palmar sinistra, digiti I-II-III sinistra
2. Diagnosis topis : Nervus medianus sinistra dalam carpal tunnel
3. Diagnosis etiologis : Carpal Tunnel Syndrome sinistra

VII. Usul Pemeriksaan Penunjang


 Cek darah rutin, GDS, GDP, GD2PP, profil lipid dan asam urat
 Foto Rontgen wrist join sinistra AP/lat
 Electromiografi
VIII. Terapi
1. Medikamentosa :
P/O Na Diklofenak 50 mg 2x1
P/O Gabapentin 100 mg 2x1
P/O Mecobalamin 500 mg 3x1
P/O Vitamin B1 B6 B12 3x1
2. Non Medikamentosa :
 Fisioterapi
 Fiksasi pergelangan tangan dengan bandage pada malam hari ketika
mau tidur selama 2-3 minggu
 Mengurangi aktivitas yang menggerakkan pergelangan tangan
(jangan bekerja dulu)
IX. Edukasi
1. Edukasi mengenai penyakit carpal tunnel syndrome
2. Anjuran istirahat dari pekerjaan selama 1 minggu
3. Edukasi mengenai latihan fisioterapi carpal tunnel syndrome di rumah
X. Prognosa
Ad vitam : Ad bonam
Ad sanam : Ad bonam
Ad fungsional : Ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Terowongan Karpal


Terowongan karpal terletak di pergelangan tangan. Kerangkanya dibentuk
oleh 8 buah tulang karpal yang tersusun atas dua deret. Deretan proksimal terdiri
dari (lateral ke medial) tulang navikulare, lunatum, triqetrum dan pisiformis.
Deretan distal terdiri dari (lateral ke medial) tulang trapesium (Multangulum
mayus), trapezoidum (Mulatangulum minus), kapitatum dan hamatum. Di bagian
proksimal tulang-tulang karpal ini bersendi dengan bagian distal tulang radius dan
tulang ulna, sedangkan distal dari deretan distal bersendi dengan tulang-tulang
metakarpl. Deretan proksimal dengan distal berhubungan melalui sendi-sendi
midkarpal. Tulang-tulang karpal ini melengkung dengan bagian konkaf
menghadap ke arah volar. Persendian yang banyak ini menyebabkan bermacam-
macam pergerakan pergelangan, terutama sendi radiokarpal dan sendi midkarpal.
Di samping itu, ligamen yang menghubungkan masing-masing sendi juga banyak
mempengaruhi posisi tulang-tulang tersebut (Moore LK, 2002).
Pada permukaan volar pergelangan tangan terdapat penebalan fasi yang
disebut fleksor retinakulum dan terdiri dari 2 lapisan fasia yaitu ligamen karpi
palmaris (volaris) dan ligamen karpi transversum. Ligamen karpi palmaris
(volaris) berjalan melintang dari prosesus stiloideus tulang ulnaris ke prosesus
stiloeideus tulang radius (Moore LK, 2002).
Ligamen karpi transversum menutupi lengkungan tulang-tulang karpal
pada permukaan palmar sehingga membentuk terowongan karpal. Pada sisi ulnar
ligamen ini melekat pada tulang pisiformis dan pengait tulang hamatum,
sedangkan di sisi radial melekat pada tuberositas tulang naviculare dan trapesium
(Moore LK, 2002).
Pada orang dewasa ukuran terowongan ini dapat dilalui satu jari. Luas
penampang tersempit lebih kurang 2,5 cm dan panjangnya lebih kurang 9-16 mm.
Dalam terowongan ini terdapat 10 struktur yaitu nervus medianus, fleksor polisis
longus untuk ibu jari dan 8 tendo fleksor digitorum masing-masing dua setiap jari.
Pada potongan melintang pergelangan tangan melalui terowongan karpal, terlihat
nervus medianus terletak langsung di bawah ligamen karpi transversum dan di
puncak semua tendon-tendon fleksor (Moore LK, 2002).
Nervus medianus terbentuk dari fasikulus lateralis asal radiks C5, C6, C7
dan fasikulus medialis asal radiks C8 dan Th1. Setelah memberi cabang pada otot-
otot lengan bawah untuk berbagai gerakan lengan jari-jari tangan, di bawah
ligamen karpi tranversum nervus medianus bercabang dua, yang lateral (motorik)
mempersarafi abduktor polisis brevis, fleksor polisis brevis, oponen dan otot
lumbrikalis ke satu dan ke dua, sedangkan cabang sensorik mempersarafi bagian
volar jari-jari 1, 2, 3 dan setengah lateral jari ke 4 serta di bagian dorsal hanya
bagian distal ujung-ujung jari tersebut. Kulit telapak tangan bagian tengah agak ke
radial dipersarafi cabang kutaneus palmaris yang berasal dari nervus medianus
juga, tapi dipercabangkan sebelum memasuki terowongan karpal, sehingga pada
carpal tunnel syndrome, daerah ini tidak mengalami gangguan (Moore LK, 2002).
Selain dari yang telah disebutkan di atas, kadang-kadang terdapat variasi
anatomis, misalnya variasi letak nervus medianus, anomali persarafan otot-otot
intrinsik tangan (Martin-Gruber anastomosis) sehingga otot-otot mendapat
persarafan kembar. Disamping itu ada lagi variasi anatomis berupa otot-otot
aberant atau arteri medianus yang persisten. Variasi-variasi anatomis ini perlu
diingat, sebab dapat mempengaruhi penilaian pada pemeriksaan carpal tunnel
syndrome (Moore LK, 2002).
Secara histologi nervus medianus terdiri dari juluran protoplasma neuron
yang disebut akson. Akson ini diselubungi oleh sel schwan, dan diantara 2 sel
schwan terdapat celah yang disebut nodus ranvier. Serabut saraf yang berdiameter
kecil merupakan akson tidak bermielin, beberapa akson diselubungi satu sel
schawn. Serabut saraf ini memiliki kecepatan hantar saraf rendah; untuk
menyampaikan impuls suhu dan nyeri. Serabut saraf yang berdiameter besar
diselubungi serangkaian sel schwan. Serabut saraf ini memiliki kecepatan hantar
saraf tinggi yang berguna untuk menyampaikan impuls motorik dan propioseptif
(Moore LK, 2002).
Masing-masing serabut saraf ini dibungkus oleh lapisan endoneurium yang
merupakan jaringan ikat longgar. Beberapa kelompok saraf dalam endoneurium
bergabung lagi dalam fasikulus yang dilapisi jaringan ikat padat perineurium.
Jaringan ikat ini terdiri dai anyaman kolagen dan serabut elastik yang berfungsi
melindungi saraf dari peregangan dan menghambat difusi, berperan juga sebagai
sawar darah saraf (blood nerve barier) sehingga dapat mempertahankan tekanan
intra fasikuler. Pada lapisan terluar terdapat jaringan ikat longgar epineurium yang
berperan mengatasi tekanan pada saraf (Moore LK, 2002).
Nervus medianus di daerah pergelangan tangan mendapat darah dari
cabang arteri nutrien sisi ulnar, proksimal ligamen karpitransversum, dan cabang
arteri arkus palmaris superfisialis distal ligamen karpitransversum (Moore LK,
2002).
Menurut Blunt bahwa tepat dalam terowongan karpal, nervus medianus
terletak di daerah yang relatif avaskuler, sehingga di tempat ini nervus medianus
peka terhadap gangguan.
Persarafan tangan dilakukan oleh nervus radialis, nervus medianus dan
nervus ulnaris. Dari ketiga saraf ini hanya nervus medianus yang melewati
terowongan karpal, sehingga pada carpal tunnel syndrome menimbulkan
gangguan fungsi nervus medianus dari terowongan karpal ke distal, walaupun rasa
nyeri kadang-kadang dapat dirasakan sampai ke arah proksimal di leher tempat
nervus medianus berasal. Selain fungsi motoris dan sensoris, nervus medianus
juga merupakan saraf simpatis, sehingga ketiga fungsi ini dapat terganggu pada
carpal tunnel syndrome (Moore LK, 2002).
Gambar 1. Anatomy Carpal Tunnel (Mayo Clinic, 2013)

2.2 Definisi
Sindroma Terowongan Karpal (STK) merupakan neuropati tekanan atau
cerutan terhadap nervus medianus di dalam terowongan karpal pada pergelangan
tangan, tepatnya di bawah tleksor retinaculum. Dulu, sindroma ini juga disebut
dengan nama acroparesthesia, median thenar neuritis atau partial thenar atrophy.
STK pertama kali dikenali sebagai suatu sindroma klinik oleh Sir James Paget
pada kasus stadium lanjut fraktur radius bagian distal. STK spontan pertama kali
dilaporkan oleh Pierre Marie dan C.Foix pada taboo 1913. Istilah STK
diperkenalkan oleh Moersch pada tabun 1938 (Ibrahim I dkk, 2012).
Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di
mana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui
oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk
dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk
oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament)
yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap
perubahan yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada
struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus (Ibrahim I dkk,
2012).

2.3 Epidemiologi
CTS adalah jebakan neuropati yang paling sering dan diyakini terjadi
dalam 3,8% dari populasi umum. 1 dari setiap 5 kasus yang mengeluh gejala
seperti nyeri, mati rasa dan kesemutan di tangan diharapkan memiliki CTS
berdasarkan pemeriksaan klinis dan pengujian electrofisiologis, CTS idiopatik
menjadi diagnosis yang paling umum pada pasien dengan gejala-gejala tersebut.
Insidensi 276:100,000 per tahun telah dilaporkan, dengan tingkat
prevalensi hingga 9,2% pada wanita dan 6% pada pria. Lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pada pria, kejadian tersebut umumnya bilateral dengan
rentang usia puncak 40 sampai 60 tahun, meskipun terjadi pada semua kelompok
umur. Prevalensi CTS di Inggris adalah 7 - 16%, jauh lebih tinggi daripada di
Amerika Serikat dengan prevalensi 5%.
Di semua negara-negara barat, peningkatan dilaporkan dalam jumlah
gangguan muskuloskeletal yang berhubungan dengan pekerjaan (WMSDs) yang
disebabkan oleh ketegangan dan gerakan berulang. Di Eropa, pada tahun 1998,
lebih dari 60% dari gangguan muskuloskeletal ekstremitas atas diakui
berhubungan kasus CTS. Beberapa industri seperti pengolahan ikan telah
melaporkan prevalensi CTS pada pekerja mereka setinggi 73%.
Pasien diabetes memiliki tingkat prevalensi 14% dan 30% tanpa dan
dengan neuropati diabetes, masing-masing, sedangkan prevalensi CTS selama
kehamilan telah dilaporkan sekitar 2% (Ibrahim I dkk, 2012; Alfonso C dkk,
2009).

2.4 Etiologi
Setiap keadaan yang menyebabkan kompresi pada nervus medianus di
terowongan karpal dapat menjadi etiologi carpal tunnel syndrome ini, antara lain:
1. Keadaan yang mengurangi luas terowongan karpal, misalnya kelainan
anatomis bawaan, patah tulang atau kalus setelah patah tulang, akromegali
osteofit, eksostosis tulang, perkapuran dll. yang dapat mempengaruhi
struktur pergelangan tangan. Keadaan yang paling terjadi adalah penebalan
fleksor retinakulum misalnya karena proses radang seperti pada arthritis
rematoid.
2. Keadaan yang menyebabkan isi terowongan berlebihan. Misalnya
terdapat otot aberant dalam terowongan, atau terjadi trombosis pada
arteri medianus yang persistent. Proses yang tersering menyebabkan isi
terowongan berlebihan ialah radang seperti tenosinovitis non spesifik
yang dapat menyebabkan penebalan dan fibrosis sinovium. Tuberkulosis,
histoplasmosis, tophi gout, neoplasma atau neurinoma atau ganglion
juga pernah dilaporkan.
3. Penyakit sistemik lainnya misalnya kegemukan, kehamilan, menopause,
miksedema, gagal jantung ataupun gangguan keseimbangan hormon yang
mengakibatkan penimbunan lemak atau cairan yang juga menimbulkan
sembab dalam terowongan.
4. Ellis dkk. mengatakan defisiensi vitamin B6 (Pyridoxin) memegang
peranan sebagai penyebab carpal tunnel syndrome. Tetapi penulis lain
banyak yang tidak setuju pada pendapat ini.
5. Pada carpal tunnel syndrome akut, biasanya disebabkan oleh trauma
(fraktur atau dislokasi) pergelangan tangan. Dapat juga karena infeksi
pergelangan atau lengan bawah. Perdarahan spontan, trombosis dll.
Seluruhnya dapat mengakibatkan peninggian tekanan dalam terowongan
karpal dan menekan nervus medianus.
6. Selain itu mungkin ada faktor lain yang belum terungkap yang menjadi
etiologi carpal tunnel syndrome ini, sehingga sering kita sebut carpal
tunnel syndrome idiopatik.

2.5 Patofisiologi
Ada banyak tekanan studi terkait dari terowongan karpal pada manusia.
Tekanan normal telah tercatat berada di kisaran 2-10 mm Hg. Ada perubahan
dramatis tekanan fluida di terowongan karpal dengan posisi pergelangan tangan,
ekstensi meningkatkan tekanan 10 kali lipat dan fleksi pergelangan tangan
meningkat itu 8 kali lipat. Oleh karena itu, gerakan tangan yang berulang telah
terlibat sebagai salah satu dari banyak faktor risiko CTS. Penelitian eksperimental
menunjukkan semakin besar durasi dan jumlah tekanan semakin besar
kemungkinan CTS terjadi dan yang lebih penting adalah disfungsi saraf.

CTS Idiopatik
Secara tradisional, CTS idiopatik telah diyakini disebabkan oleh
ketidaksesuaian antara ukuran nervus medianus dan isi terowongan karpal, yang
mengarah kepada peningkatan tekanan dalam terowongan karpal dan gangguan
aliran darah ke saraf median. Kedua keadaan ini akan menekan nervus medianus.
Tekanan yang berulang-ulang dan lama pada nervus medianus akan menyebabkan
tekanan intrafasikuler meninggi. Keadaan ini menyebabkan perlambatan aliran
vena. Kongesti ini lama-lama akan mengganggu nutrisi intrafasikuler, selanjutnya
terjadi anoksia yang akan merusak endotel, menimbulkan kebocoran protein
sehingga terjadi edema epineural. Hipotesis ini dapat menerangkan keluhan yang
sering pada carpal tunnel syndrome yaitu berupa rasa nyeri dan sembab terutama
malam atau pagi hari, yang akan berkurang setelah tangan yang bersangkutan
digerak-gerakan atau diurut, mungkin karena perbaikan dari gangguan vaskuler
ini.
Bila keadaan berlanjut terjadi fibrosis epineural dan merusak serabut saraf.
Selanjutnya saraf menjadi atrofi dan diganti jaringan ikat sehingga fungsi nervus
medianus akan terganggu.
Pada carpal tunnel syndrome yang akut, biasa terjadi kompresi yang
melebihi tekanan perfusi kapiler, sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi saraf.
Saraf menjadi iskemik, terjadi peninggian tekanan fasikuler yang juga akan
memperberat keadaan iskemik ini. Selanjutnya terjadi pelebaran pembuluh darah
yang menyebabkan edema yang menimbulkan terganggunya sawar darah saraf
dan selanjutnya merusak saraf tersebut. Pengaruh mekanik atau tekanan langsung
pada saraf tepi dapat pula menimbulkan invaginasi nodus ranvier dan
demieliminasi setempat sehingga konduksi saraf terganggu. Selainnya dari faktor
mekanik dan vaskuler ini mungkin ada keadaan lain yang membuat nervus
medianus tertekan dalam terowongan karpal (Ibrahim I dkk, 2012; Uchiyama S
dkk, 2010).
a. Faktor mekanis
Studi biomekanik untuk menentukan karakteristik kinematika
tendon fleksor dan saraf median di terowongan karpal dapat memberikan
wawasan patomekanik mengenai CTS idiopatik. Hal ini karena tendon
fleksor berada di dekat saraf median dan masing-masing secara signifikan
dapat mempengaruhi kinematika dan sifat mekanik yang lain.
Terowongan karpal dorsal dan radioulnar dikelilingi oleh tulang
karpal dan atapnya dikelilingi oleh Ligamentum Karpal Transversal
(Transversal Carpal Ligament/TCL), melalui yang berjalan delapan
tendon fleksor jari, fleksor polisis longus tendon, sinovium, dan saraf
median. Tendon mengirimkan gaya yang dihasilkan oleh otot-otot lengan
bawah ke phalang digital. Tendon ini melewati sistem katrol fleksor yang
mencakup TCL dan puli digital, di mana cairan sinovial membuat gesekan
antara tendon dan puli rendah melalui kedua batas dan cairan lubrikasi.
Penemuan itu menguatkan kemungkinan keausan dan degenerasi
tendon dan sinovium sekitarnya selama kegiatan sehari-hari, yang diyakini
memainkan peran penting dalam pengembangan CTS idiopatik, namun
masih belum jelas untuk berapa banyak kekuatan atau gesekan dan berapa
banyak siklus yang diperlukan untuk menyebabkan degenerasi jaringan
sinovial dan tendon fleksor dan mempengaruhi saraf median.
b. Perubahan morfologi dalam jaringan sinovial
Dalam banyak penelitian, pemeriksaan histologis mikroskopis
telah dilakukan untuk memeriksa perubahan dalam jaringan sinovial,
termasuk jaringan ikat subsynovial, sekitar tendon fleksor. Hanya 10%
dari spesimen sinovial hasil reseksi dari pasien dengan CTS idiopatik yang
merupakan reaksi inflamasi, tetapi kebanyakan merupakan edema atau
fibrosis. Selain itu, pemeriksaan histologis rinci jaringan sinovial yang
diperoleh dari pasien CTS menunjukkan peningkatan kepadatan fibroblast,
ukuran serat kolagen, dan proliferasi pembuluh darah dan penurunan
kandungan elastin sekitar pembuluh sinovial, temuan ini menunjukkan
degenerasi kronis.
Analisis mikroskopis elektron dari spesimen jaringan sinovial yang
diperoleh dari pasien dengan idiopatik CTS mengungkapkan fibril kolagen
cacat dengan spiral muncul-Ance, berbeda dari mereka pada orang tanpa
CTS, namun proses yang mengarah ke morfologi berubah fibril kolagen
masih harus diklarifikasi.

c. Perubahan biokimia dalam jaringan synovial


Stres mekanik diterapkan pada jaringan sinovial di dalam
terowongan karpal juga dapat menyebabkan perubahan biokimia pada
jaringan. Ekspresi dermatan, keratan, dan chondroitin sulfat dalam
sinovium dibandingkan antara pasien CTS dan kontrol. Immunostaining
mengungkapkan reaktivitas keratan lebih besar dalam jaringan pasien
CTS. Hal ini menunjukkan bahwa rasio proteoglikan diubah dapat
mengurangi kemampuan sinovium menanggung kekuatan kompresi,
sehingga meningkatkan insiden berlaku pada saraf median dalam karpal
canal. Selain itu, paparan berulang tendon untuk kuat tekan atau tarik
dapat meningkatkan konten proteoglikan dalam matriks tendon, sehingga
menyebabkan metaplasia atau hyper-trofi tendon, yang pada gilirannya
dapat meningkatkan tekanan dalam karpal tunnel.
Dalam upaya untuk menjelaskan peran tenascin-C, yang sering
terlibat dalam remodelling jaringan dan stenosis pembuluh darah, dalam
patogenesis CTS, Tsujii et al. menemukan bahwa regangan mekanis pada
fleksor tenosynovium mengatur produksi tenascin-C oleh lapisan sinovial
dan jaringan ikat.
Atas dasar temuan biomekanik dan histologis, telah berspekulasi
bahwa penghinaan terhadap sinovium dan tendon fleksor karena penuaan
atau gerakan pengulangan efektif dan kuat dari pergelangan tangan dan
jari dapat menyebabkan degenerasi sinovium dan tendon, yang
menyebabkan untuk pembesaran carpal tunnel dari sisi dalam. Dengan
demikian, volume isi carpal tunnel meningkat, menyebabkan kompresi
saraf median dan, akhirnya, idiopatik carpal tunnel syndrome.

CTS Sekunder
Banyak kondisi lain selain idiopatik CTS dapat meningkatkan tekanan
dalam terowongan karpal dan menyebabkan kompresi saraf median di dalam
terowongan, ini kondisi-kondisi termasuk kelainan pada tendon fleksor, sinovium,
atau struktur dalam saraf median dan space occupying lession. Pada pasien
dengan gejala CTS, patologi yang mendasari selalu harus diteliti. Penyakit
tertentu yang mempengaruhi sinovium dan dapat menyebabkan CTS sekunder
termasuk diabetes, rheumatoid arthritis, sarcoidosis, tenosynovitis purulen, TBC,
lupus eritematosus sistemik, hipo atau hipertiroidisme, asam urat, dan amiloidosis.
a. Diabetes
Prevalensi CTS pada pasien diabetes sangat tinggi. Hal ini
diperkirakan terjadi pada 14% pasien tanpa diabetes polineuropati dan
30% dari mereka yang memiliki diabetes dengan polineuropati. Diabetes
dicurigai sebagai salah satu penyebab CTS karena keadaan ini
menyebabkan hipoperfusi dan hipoksia jaringan sehingga mempercepat
progresifitas pembengkakan dan pembentukan jaringan ikat.
Hasil kurang menguntungkan dari operasi open release CTS pada
pasien diabetes dapat dikaitkan dengan hilangnya kemampuan regeneratif
normal pada saraf periferal karena microangiopathy, disfungsi makrofag,
kelainan pada reaksi retrograde sel tubuh, disfungsi sel Schwann, atau
penurunan ekspresi faktor neurotropic. Tidak diragukan lagi bahwa kadar
glukosa darah pasien wajib dikontrol dengan baik setelah operasi untuk
memastikan pemulihan yang lebih baik dari fungsi saraf. Pada pasien
dengan CTS diabetes, operasi harus ditunjukkan setelah pertimbangan
karena tidak hanya keparahan gejala tetapi juga kemampuan regeneratif
dari saraf median.

b. Deposisi amyloid
Amiloidosis menyebabkan CTS karena deposisi amiloid tidak
hanya dalam saraf perifer tetapi juga dalam sinovium dari tendon fleksor
di terowongan karpal. β2-mikroglobulin amiloid menyebabkan
kelumpuhan saraf median di terowongan karpal pada pasien yang
menjalani hemodialysis jangka panjang. Sebagai contoh, 50% dari pasien
yang telah menjalani hemodialisis selama 20-25 tahun menjalani operasi
untuk CTS. CTS ditemukan secara signifikan dikaitkan dengan
spondyloarthropathy destruktif, yang merupakan komplikasi serius
hemodialisis jangka panjang, hal ini juga disebabkan oleh deposisi dari β2-
mikroglobulin amiloid sepanjang vertebra. CTS juga dapat muncul sebagai
gejala awal pada transthyretin (TTR) amyloidosis.

c. Kehamilan
Kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan perkembangan
gangguan saraf perifer, termasuk CTS, kelumpuhan saraf wajah,
radikulopati lumbosakral, meralgia paresthetica, dan neuropati femoral, di
antaranya CTS adalah yang paling sering diamati. CTS mungkin
disebabkan oleh edema yang berhubungan dengan retensi cairan dalam
sinovium, yang menekan saraf median.

d. Space Occupying Lession


Peningkatan tekanan carpal tunnel karena space occupying lession seperti
yang terkait dengan pergelangan tangan patah dan/atau dislokasi,
lunatomalacia, ganglion, lipoma, kista atau sinovial juga dapat
menyebabkan CTS. Meskipun fibrolipomatous hamartoma dari saraf
median jarang, juga harus dianggap sebagai lesi primer yang mungkin
terjadi pada saraf median. Kondisi ini ditandai dengan ekspansi epineurial
karena jaringan ikat lemak mengelilingi dan memisahkan fasikula saraf.

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala utama dari CTS termasuk rasa sakit di tangan, kesemutan, mati rasa
dalam distribusi distal dari saraf median (ibu jari, telunjuk, jari tengah dan sisi
radial dari jari manis), dan penurunan kekuatan cengkeraman dan fungsi dari
tangan terkena. Gejala cenderung lebih buruk di malam hari, dan rasa kaku
dilaporkan terjadi pagi dan siang hari pada kegiatan yang memerlukan fleksi
pergelangan tangan. Pasien sering menggambarkan fenomena yang disebut "flick
sign", di mana menggoyang atau menjentikkan pergelangan tangan mereka
mengurangi gejala.
Banyak pasien melaporkan gejala luar distribusi saraf median juga, yang
telah dikonfirmasi oleh studi sistematis yang dilakukan oleh Stevens et al.,. Dari
159 tangan pasien dengan CTS yang telah dikonfirmasi dengan electrodiagnostik,
gejala yang paling sering dilaporkan terasa di kedua jari tengah. Mereka juga
melaporkan lokasi gejala di daerah lain, selain jari-jari. Sebanyak 21% pasien
memiliki paraesthesia lengan bawah, 13,8% melaporkan nyeri siku, 7,5%
melaporkan nyeri lengan, 6,3% melaporkan nyeri bahu, dan 0,6% melaporkan
sakit leher.
Carpal tunnel syndrome pada tahap lanjut dapat terjadi gangguan pada
nervus medianus yang menimbulkan kelemahan otot tenar sehingga jari-jari tidak
dapat digunakan untuk bekerja, misalnya menjahit, menulis, mengancingkan baju,
mengendarai motor. Sebuah studi multisenter besar telah mengkonfirmasi bahwa
pasien dengan CTS ringan sampai sedang lebih mungkin melaporkan gejala
substansial dan keterbatasan fungsional ringan, sedangkan pasien dengan penyakit
yang lebih parah mungkin melaporkan gejala yang lebih ringan, namun memiliki
keterbatasan fungsional tangan lebih parah. Hal ini tampaknya menjadi
kontradiksi, namun ternyata berkaitan dengan fakta bahwa kompromi parah dari
saraf median dapat mengganggu fungsi sensorik sejauh bahwa mati rasa
mendalam meminimalkan pengalaman kesemutan dan nyeri. Namun, keterbatasan
fungsional yang mendalam akan terjadi sebagai akibat dari tingkat seperti mati
rasa dan gangguan motorik.
Pasien yang menderita CTS sering melaporkan perasaan subjektif dari
bengkak di tangan atau pergelangan tangan mereka, tetapi tidak ada
pembengkakan jelas dapat diamati. Phalen mencatat pembengkakan pergelangan
volar pada beberapa pasien yang terlihat dan teraba berbentuk seperti "hot dog"
(Ibrahim I dkk, 2012).
CTS dapat diklasifikasikan atas dasar gejala dan tanda-tanda menjadi tiga
derajat:
1. Derajat 1: Pasien telah sering terbangun pada malam hari dengan sensasi
bengkak, mati rasa pada tangan. Mereka melaporkan sakit parah yang
menjalar dari pergelangan tangan ke bahu, dan kesemutan di tangan dan
mengganggu jari (brachialgia paraesthetica nocturna) mereka.
Mengibaskan tangan (flick sign) dapat mengurangi gejala. Selama pagi
hari, sensasi kekakuan tangan biasanya berlangsung.
2. Derajat 2: Gejala yang hadir juga di siang hari, terutama ketika pasien
tetap dalam posisi yang sama untuk waktu yang lama, atau melakukan
gerakan berulang dengan tangan dan pergelangan tangan mereka. Ketika
defisit motorik muncul, pasien melaporkan bahwa benda sering jatuh dari
tangannya karena mereka tidak dapat merasakan jari-jari mereka lagi.
3. Derajat 3: Ini adalah tahap akhir di mana atrofi (pengecilan) dari
eminensia tenar jelas, dan saraf median biasanya merespon buruk untuk
dekompresi bedah. Pada tahap ini, gejala sensorik mungkin berkurang.
Ada juga sakit di eminensia tenar, dan dengan kompresi parah, kelemahan
dan atrofi abductor pollicis brevis dan opponens pollicis.
Beberapa pasien mungkin hadir dengan tanda-tanda atipikal CTS, seperti
"writer’s cramp" atau kelelahan, nyeri pada bahu saja, sensitivitas dingin di jari-
jari (mungkin mencerminkan pasokan saraf medianus pada bagian lengan bawah
dan tangan), lengan bawah sakit, atau mati rasa di jari saja. Kadang-kadang
mungkin tidak ada gejala tetapi pasien datang dengan atrofi tenar visual dan
denervasi pada studi konduksi saraf.

2.7 Diagnosa
Diagnosa CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala-klinis seperti di atas dan
perkuat dengan pemeriksaan yaitu :

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita
dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan.
Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan
diagnosa CTS adalah :
e. Phalen's test : Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara
maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini
menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat
sensitif untuk menegakkan diagnosa CTS.

Gambar 2. Phalen Test


f. Torniquet test : Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan tomiquet
dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di
atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini
menyokong diagnosa.
g. Tinel's sign : Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri
pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada
terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.

Gambar 3. Tinnel’s Sign


h. Flick's sign : Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosa CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat
dijumpai pada penyakit Raynaud.
i. Thenar wasting : Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi
otot-otot thenar.

Gambar 4. Thenar Atrophy


j. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual
maupun dengan alat dynamometer
k. Wrist extension test : Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara
maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga
dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS,
maka tes ini menyokong diagnosa CTS.
l. Pressure test : Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul
gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
m. Luthy's sign (bottle's sign) : Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan
jari telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak
dapat menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan
mendukung diagnose
n. Pemeriksaan sensibilitas : Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik
(two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnose
o. Pemeriksaan fungsi otonom : Pada penderita diperhatikan apakah ada
perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah
innervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnose CTS
(Greenberg,1994).
Dari pemeriksaan provokasi diatas Phalen test dan Tinel test adalah sangat
patognomonis untuk CTS (Barnardo,2004, Davis,2005, Aroori, 2008))

Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik)


Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik,
gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar.
Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa
normal pada 31 % kasus CTS. Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25%
kasus, KHS bisa normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten
distal (distal latency) memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi
safar di pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten
motorik.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu
melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher
berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT-scan
dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi.
(Rambe, 2004)

Pemeriksaan Laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa
adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan
seperti kadar gula darah , kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap. (Rambe,
2004)

2.8 Diagnosis Banding


A. Cervical radiculopathy
Biasanya keluhannya berkurang bila leher diistirahatkan dan
bertambah hila leher bergerak. Distribusi gangguan sensorik sesuai
dermatomnya.
B. lnoracic outlet syndrome
Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain otot-otot thenar.
Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan dan lengan
bawah.
C. Pronator teres syndrome
Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di telapak tangan
daripada CTS karena cabang nervus medianus ke kulit telapak tangan
tidak melalui terowongan karpal.
D. de Quervain's syndrome
Tenosinovitis dari tendon muskulus abductor pollicis longus dan
ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan yang repetitif.
Gejalanya adalah rasa nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan tangan di
dekat ibu jari. KHS normal. Finkelstein's test: palpasi otot abduktor ibu
jari pada saat abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri bertambah (Laillya
N, 2010).

2.9 Penatalaksanaan
Selain ditujukan langsung terhadap STK, terapi juga harus diberikan
terhadap keadaan atau penyakit lain yang mendasari terjadinya STK. Oleh karena
itu sebaiknya terapi STK dibagi atas 2 kelompok, yaitu :
A. Terapi langsung terhadap STK
a. Terapi konservatif
1. Istirahatkan pergelangan tangan.
2. Obat anti inflamasi non steroid.
Obat-obatan inflamasi non steroid akan mengurangi edema
di dalam terowongan karpal
3. Bidai (Splinting)
Bidai yang umumnya diresepkan sebagai relatif murah,
pengobatan nonoperative untuk CTS. Sebagai CTS telah
dikaitkan dengan kuat, tangan yang berulang dan kegiatan
pergelangan, salah satu tujuan dari belat adalah untuk
meminimalkan gerakan pada pergelangan tangan dan kemudian
mengurangi gejala nyeri dan/atau mati rasa. Bidai juga dapat
membantu untuk gejala umum dari parestesia nokturnal dengan
membatasi jangka waktu fleksi pergelangan tangan yang
berlebihan atau perpanjangan selama tidur. Posisi pergelangan
tangan fleksi dan ekstensi telah dibuktikan menyebabkan
peningkatan tekanan dalam terowongan karpal, mirip dengan
temuan peningkatan tekanan dalam terowongan karpal dengan
CTS, dan berhubungan dengan perubahan struktur saraf.
Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai
dapat dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari
selama 2-3 minggu.
Manente et al. mempelajari total 83 subyek dengan CTS
didiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan elektrodiagnostik. Subyek secara acak kelompok
perlakuan yang mengenakan belat tangan lembut di malam hari
selama 4 minggu, atau ke kelompok kontrol tidak diobati.
Kelompok splinted mengalami penurunan yang dilaporkan
sendiri gejala CTS dan keterbatasan fungsional, meskipun tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam data elektropsikologi.
Sebanyak 176 subyek dengan CTS klinis dan
electrodiagnostical diacak untuk splints malam hari selama 6
minggu dibandingkan rilis carpal tunnel. Sementara kedua
kelompok membaik, operasi ditemukan lebih efektif daripada
splinting lebih baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang (Carlson H, dkk, 2010).
4. lnjeksi steroid
Hipotesisnya adalah bahwa steroid mengurangi tekanan
cairan interstitial dalam saluran karpal. Penelitian telah
dilakukan untuk menilai efek pemberian prednison secara oral
dengan administrasi lokal steroid depot, dan satu studi
perbandingan antara intramuskular dan injeksi local (Alfonso
C, dkk, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Cochrane menunjukan
bahwa:
 Pengobatan oral dengan 25 mg prednison/hari selama
10 hari berturut-turut menentukan perbaikan gejala
selama minimal 8 minggu.
 Administrasi lokal steroid efektif setidaknya dalam
jangka pendek (2-4 minggu). Administrasi lokal lebih
efektif daripada intramuscular.
 Administrasi lokal tampaknya lebih efektif daripada
oral, setidaknya dalam jangka pendek.
Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam
terowongan karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25
pada lokasi 1 cm ke arah proksimal lipat pergelangan tangan di
sebelah medial tendon musculus palmaris longus. Bila belum
berhasil, suntikan dapat diulangi setelah 2 minggu atau lebih.
Tindakan operasi dapat dipertimbangkan bila hasil terapi belum
memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.
5. Kontrol cairan, misalnya dengan pemberian diuretika.
Dengan berkurangnya cairan tubuh secara sistemik, maka
diharapkan cairan di daerah terowongan karpal akan berkurang,
hal ini akan mengurangi tekanan dalam terowongan karpal.
6. Vitamin B6 (piridoksin).
Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab
STK adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka
menganjurkan pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3
bulan. Tetapi beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa
pemberian piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat
menimbulkan neuropati bila diberikan dalam dosis besar.
Penelitian yang dilakukan oleh Khorvash dkk.
menunjukkan bahwa pengobatan kombinasi bidai dan vitamin
B6 lebih efektif daripada bidai sendiri dalam hal efek pada
parameter elektrofisiologi dan perbaikan subyektif dalam status
klinis, terutama di kalangan pasien dengan bentuk ringan dan
sedang dari CTS. Perhatian utama mengenai penggunaan terapi
Vitamin B6 dalam CTS adalah keamanannya karena dapat
toxic. Secara keseluruhan, kebanyakan studi
merekomendasikan dosis antara 40 dan 500 mg / hari untuk
keselamatan, dan untuk menghindari perkembangan neuropati
(Khorvash F dkk, 2012)
7. Fisioterapi
Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan tangan.
8. Ultrasound
Gelombang ultra sound adalah gelombang suara yang tidak
dapat didengar oleh manusia. Ultra sound merupakan
gelombang longitudinal yang gerakan partikelnya
yang perambatanya memerlukan media penghantar. Media
penghantar harus elastis agar partikel bisa berubah bentuk. Dari
sini dijumpai daerah padat atau Compression dan daerah
renggang atau refraction.
Dalam penggunaaan modalitas ultra sound, beberapa ahli
membuktikan bahwa ultra sound efektif untuk mengurangi
nyeri karena ultra sound dapat meningkatkan ambang
rangsang, mekanisme dari efek termal panas. Ultra sound dapat
mempercepat proses penyembuhan pada kerusakan jaringan
dengan meningkatkan fungsi kekuatan menggenggam pada tangan
serta mengubah parameter elektrofisiologi saraf ke arah normal
dibandingkan dengan terapi laser pada pasien CTS (Bakhtiary dan
Rashidy, 2004 dikutip oleh Physical Care Therapy, 2009).
Manfaat pemberian ultra sound pada pasien CTS adalah: (1)
dapat mempercepat proses peradangan normal dengan
meningkatkan produksi dan pelepasan wound-healing factors
(faktor penyembuhan luka), (2) dapat meningkatkan proses sintesa
protein dan meningkatkan permeabilitas membran sel sehingga
menyebabkan lebih banyak jaringan kolagen yang terbentuk, (3)
dapat memperbaiki ekstensibilitas jaringan kolagen (kemampuan
otot untuk memanjang sehingga berukuran lebih panjang dari
ukuran semula) yang telah terbentuk setelah proses peradangan,
(4) dapat terjadi capillary hyperaemia (peningkatan kapiler darah)
dengan pelepasan histamin yang akan membantu mengurangi
pengaruh efek algogenic yang dihasilkan selama proses
peradangan sehingga dapat mengurangi nyeri (Wadsworth, 1981
dikutip oleh Physical Care Therapy, 2009).

b. Terapi Operatif
Tindakan operasi pacta STK disebut neurolisis nervus medianus
pada pergelangan tangan. Operasi hanya dilakukan pada kasus yang
tidak mengalami perbaikan dengan terapi konservatif atau bila terjadi
gangguan sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-otot thenar. Pada
STK bilateral biasanya operasi pertama dilakukan pada tangan yang
paling nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral.
Penulis lain menyatakan bahwa tindakan operasi mutlak dilakukan bila
terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-otot thenar, sedangkan
indikasi relatif tindakan operasi adalah hilangnya sensibilitas yang
persisten.
Biasanya tindakan operasi STK dilakukan secara terbuka dengan
anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik operasi
secara endoskopik. Operasi endoskopik memungkinkan mobilisasi
penderita secara dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi
karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering
menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada saraf. Beberapa
penyebab STK seperti adanya massa atau anomali maupun
tenosinovitis pacta terowongan karpal lebih baik dioperasi secara
terbuka.
1. Open Surgery
Ketika pengobatan konservatif gagal, operasi diindikasikan.
Saat ini, operasi dikenal lebih efektif daripada splinting dan
mungkin semua pengobatan konservatif lainnya measures.
CTR dengan divide TCL diterima sebagai prosedur yang paling
dapat diandalkan untuk mengurangi gejala. TCL dapat dibagi
oleh berbagai metode, termasuk terowongan karpal rilis
konvensional terbuka (OCTR), mini-OCTR, dan ECTR. OCTR
secara universal diterima oleh kedua ahli bedah tangan dan
dokter bedah umum, dan tingkat keberhasilan tinggi dapat
diharapkan dengan prosedur ini, meskipun beberapa gejala
luka-terkait dapat bertahan selama 2 tahun follow-up.
Pembedahan ini diindikasikan untuk CTS dengan jenis patologi
apapun (Uchyama dkk, 2010).

Gambar 5. Open Release CTS


2. ECTR
Teknik satu portal dan dua portal ECTR telah mendapatkan
popularitas sejak diperkenalkan dua dekade lalu. Okutsu dkk.
telah membuktikan dengan teknik infus kontinu yang
dekompresi lengkap dari saraf median dapat dibawa oleh
technique.110 endoskopi satu portal mereka Visualisasi aspek
dorsal TCL melalui arthroscope awalnya tampak sangat
inovatif, pendekatan yang menarik. Namun, ECTR dapat
mengakibatkan cedera iatrogenik seperti transeksi nervus
medianus, fl exor tendon, atau bahkan saraf ulnaris, terutama
karena kesalahan teknis. Cedera seperti ini biasanya dapat
dihindari dengan mengikuti prosedur yang direkomendasikan:
(1) TCL tidak boleh dipotong jika jaringan lunak yang
menghalangi pandangan, dan (2) prosedur harus segera direvisi
untuk OCTR jika ahli bedah mengalami beberapa kesulitan
ketika memperkenalkan cannula, meskipun titik terakhir ini
tidak didefinisikan dengan baik (Uchyama dkk, 2010)..
Gambar 6. Endoscopic Tunnel Release
3. Percutaneous Balloon Carpal Tunnel plasty
Percutaneous balon carpal tunnel-plasty adalah teknik baru
masih dalam penyelidikan, yang meredakan gejala CTS tanpa
memotong ligamentum karpal. Melalui sayatan 1/4-inch di
dasar telapak tangan, dokter memasukkan balon melalui kateter
di bawah ligamen dan mengembankang balon dengan larutan
garam untuk meregangkan ligamen dan bebas saraf. Dalam
satu penelitian kecil, semua pasien melaporkan menghilangkan
gejala tanpa komplikasi pasca operasi. Kebanyakan dari
mereka kembali bekerja dalam waktu dua minggu. Ini teknik
eksperimental, yang biaya sekitar $ 1.500, dan belum banyak
tersedia.

c. Terapi Alternatif
Sekitar 38% orang dewasa di Amerika Serikat beralih ke terapi
alternatif untuk mengontrol rasa sakit. Empat terapi alternatif
(misalnya, akupunktur, tingkat rendah laser, yoga dan terapi medan
magnet statis) memiliki bukti terbatas yang mendukung keamanan dan
menunjukkan efektivitas terapi mungkin untuk mengobati gejala CTS.
1. Akupunktur
1997 NIH pernyataan konsensus menyimpulkan bahwa
akupunktur mungkin berguna sebagai pengobatan tambahan
atau alternatif yang dapat diterima untuk mengelola CTS.
Jarum dan laser tingkat rendah dapat digunakan baik untuk
merangsang titik-titik akupunktur. Sebuah studi randomized
control membandingkan efektivitas akupunktur dengan bidai
malam hari terhadap CTS dan menemukan elektoakupunktur
seefektif bidai malam dalam pengelolaan gejala ringan sampai
sedang CTS. Yang et al. menunjukkan bahwa pengobatan
akupunktur jangka pendek seefektif prednisolon oral terhadap
CTS ringan sampai sedang (Khosrawi S dkk, 2010; Carlson H
dkk, 2010).
2. Yoga
Sebuah pra-pasca, dalam kelompok, acak, percobaan terkontrol
tunggal membandingkan efek dari yoga dengan mengenakan
bidai pergelangan tangan. Program yoga terdiri dari 1-1,5 sesi h
berlatih dua kali per minggu selama 8 minggu, dengan fokus
pada postur tubuh bagian atas dan kesadaran keselarasan
struktur yang tepat. Sebanyak 42 peserta dengan CTS yang
telah dikonfirmasi secara elektrodiagnostik menyelesaikan
studi. Peserta dalam kelompok yoga mengalami peningkatan
yang signifikan dalam kekuatan dan nyeri pengurangan
sementara tidak ada perubahan signifikan yang dilaporkan pada
kelompok belat pergelangan tangan. Tidak ada dampak yang
signifikan pada malam-waktu terbangun antara kelompok.
Pembatasan lebih lanjut dari studi ini meliputi rating tinggi bias
dan data minimal tentang kepatuhan peserta atau terjadinya
efek samping (Carlson H dkk, 2010).
3. Laser
Yang digunakan adalah terapi laser tingkat rendah dalam
mengobati kondisi yang sakit. Satu studi baru-baru ini
menemukan bahwa para montir dengan CTS yang diobati
dengan proses yang dikenal sebagai sinar laser dingin memiliki
peningkatan yang lebih besar dalam genggaman kekuatan dan
jangkauan gerakan pergelangan tangan dibandingkan mereka
yang diobati dengan terapi fisik. Proses ini menggunakan sinar
laser bertenaga rendah yang menembus kulit, tetapi tidak
dipotong, dan merangsang aktivitas sel di daerah luka.
4. Magnetic Field Therapy
Medan magnet statis (Static Magnetic Field/SMF) terapi
melibatkan rejimen dosis heterogen rejimen dosis untuk CTS
dievaluasi dalam tiga studi \ Carter et al. menerapkan 1000
Gauss (G) SMF selama 45 menit sampai 30 pergelangan tangan
dengan 'diagnosis diduga CTS' dan menemukan perbaikan
gejala dalam kelompok kontrol dan aktif.

B. Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari STK


Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya STK harus
ditanggulangi, sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan STK kembali.
Pada keadaan di mana STK terjadi akibat gerakan tangan yang repetitif harus
dilakukan penyesuaian ataupun pencegahan.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya STK
atau mencegah kekambuhannya antara lain:
1. Usahakan agar pergelangan tangan selalu dalam posisi netral
2. Perbaiki cara memegang atau menggenggam alat benda. Gunakanlah
seluruh tangan dan jari-jari untuk menggenggam sebuah benda, jangan
hanya menggunakan ibu jari dan telunjuk.
3. Batasi gerakan tangan yang repetitif.
4. Istirahatkan tangan secara periodik.
5. Kurangi kecepatan dan kekuatan tangan agar pergelangan tangan memiliki
waktu untuk beristirahat.
6. Latih otot-otot tangan dan lengan bawah dengan melakukan peregangan
secara teratur.

Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang sering


mendasari terjadinya STK seperti: trauma akut maupun kronik pada pergelangan
tangan dan daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita yang sering
dihemodialisa,myxedema akibat hipotiroidi, akromegali akibat tumor hipofise,
kehamilan atau penggunaan pil kontrasepsi, penyakit kolagen vaskular, artritis,
tenosinovitis, infeksi pergelangan tangan, obesitas dan penyakit lain yang dapat
menyebabkan retensi cairan atau menyebabkan bertambahnya isi terowongan
karpal.
2.10 Komplikasi
Jika kondisi ini diobati dengan benar, biasanya tidak ada komplikasi. Jika tidak
diobati, saraf bisa rusak, menyebabkan permanen lemah, mati rasa, dan
kesemutan.

2.11 Prognosis
Pada kasus STK ringan, dengan terapi konservatif pacta umumnya
prognosa baik. Secara umum prognosa operasi juga baik, tetapi karena operasi
hanya melakukan pada penderita yang sudah lama menderita STK penyembuhan
post ratifnya bertahap. Perbaikan yang paling cepat dirasakan adalah hilangnya
rasa nyeri yang kemudian diikuti perbaikan sensorik. Biasanya perbaikan motorik
dan otot- otot yang mengalami atrofi baru diperoleh kemudian. Keseluruhan
proses perbaikan STK setelah operasi ada yang sampai memakan waktu 18 bulan.
Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan
maka
dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini:
1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap
nervus medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi STK yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat
edema, perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik.
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya
sensibilitas yang persisten di daerah distribusi nervus medianus. Komplikasi yang
paling berat adalah reflek sympathetic dystrophy yang ditandai dengan nyeri
hebat, hiperalgesia,
disestesia dan ganggaun trofik.
Sekalipun prognosa STK dengan terapi konservatif maupun operatif cukup
baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi
kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi
kembali.
BAB III
SIMPULAN

Sindroma Terowongan Karpal (STK) adalah neuropati jebakan yang


sering ditemukan, lebih banyak mengenai wanita dan sering ditemukan pada usia
pertengahan .Sebenarnya secara klinis sindroma ini sudah dikenali sejak abad ke
19, tetapi istilah STK baru digunakan pertama kali oleh Moersch pada tahun 1938.
Sindroma ini bisa unilateral maupun bilateral.
Sebagian kasus STK tidak diketahui penyebabnya sedangkan pada kasus
yang diketahui, penyebabnya sangat bervariasi. Kebanyakan penulis berpendapat
bahwa STK mempunyai hubungan yang erat dengan penggunaan tangan secara
repetitif dan berlebihan.
Gejala awal STK umumnya hanya berupa gangguan sensorik seperti
rasa,nyeri, parestesia, rasa tebal dan tingling pada daerah yang diinnervasi
nervusmus. Gejala-gejala ini umumnya bertambah berat pada malam hari dan
berkurang bila pergelangan tangan digerak-gerakkan atau dipijat. Gejala motorik
hanya dijumpai pada penderita STK yang sudah berlangsung lama, demikian pula
adanya atrofi otot-otot thenar.
Penegakan diagnosa STK didasarkan atas gejala klinis dan pemeriksaan
fisik yang meliputi berbagai macam tes. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti
pemeriksaan radiologis, laboratoris dan terutama pemeriksaan neurofisiologi
dapat membantu usaha menegakkan diagnosa.
Penatalaksanaan STK dikelompokkan atas 2 dengan sasaran yang berbeda.
Terapi yang langsung ditujukan terhadap STK harus selalu disertai terapi terhadap
keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya STK. Terapi terhadap STK
dikelompokkan lagi atas terapi konservatif dan terapi operatif (operasi terbuka
atau endoskopik). Sekalipun prognosanya baik, kemungkinan kambuh masih tetap
ada
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfonso C, Jann S, Massa R, Torreggiani A. 2010. Diagnosis, treatment


and follow-up of the carpal tunnel syndrome: a review. Springer-Verlag.
2. Armstrong BS, Dale MA,Franzblau A,Evanoff BA, 2008, Risk Factor for
Carpal Tunnel Syndrome and Median Neuropathy in a Working
Population. JOEM; 50 (12): 1355-1364.
3. Khosrawi S, Moghtaderi A, Haghighat S. Acupuncture in treatment of
carpal tunnel syndrome: A randomized controlled trial study. J Res Med
Sci / January 2012; Vol 17, No 1. P. 1-7.
4. Khorvash F, Asadi B, Norouzi R, Shahpoori MM, Ali S, Mohammad A.
2012. Treatment Of Carpal Tunnel Syndrome: A Trial Of Vitamin B6. Pak
J Med Sci (Part-II) Vol. 28 No. 2 283-286
5. Laillya N. 2010. Sindroma Terowongan Karpal dalam Neurology in Daily
Practice. Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
UNPAD/RS Hasan Sadikin. Bandung.p. 93-105
6. Moore LK. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates, Jakarta.
7. Morina F, Bytyqi C, Mustafa A, Morin G. 2012. Carpal tunnel syndrome:
Diagnosis and surgical treatment. Health Vol.4, No.4, 225-227.
8. Rambe, Aldi S. 2004. Sindroma Terowongan Karpal. Bagian Neurologi
FK USU.
9. Sidharta, Priguna. 2004. Neurologi Dasar Klinis. Dian Rakyat. Jakarta.
10. Uchiyama S, Itsubo T, Nakamura K, Kato H, Yasutomi T, Momose T.
2010. Current Concepts Of Carpal Tunnel Syndrome: Pathophysiology,
Treatment, And Evaluation. J Orthop Sci (2010) 15:1–13

You might also like