You are on page 1of 7

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC UNTUK ANALISIS

DEFORMASI DENGAN PEMODELAN 3D TERKAIT


DENGAN SEMBURAN LUMPUR
(DAERAH PORONG – SIDOARJO)

Reviewer
Widi Wicaksono 21110115130072

DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI


FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS DIPONEGORO
Jl. Prof. Soedarto SH, Tembalang Semarang Telp. (024) 76480785; 76480788
e-mail : jurusan@geodesi.ft.undip.ac.id
2018

1
PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC UNTUK ANALISIS
DEFORMASI DENGAN PEMODELAN 3D TERKAIT
DENGAN SEMBURAN LUMPUR
(DAERAH PORONG – SIDOARJO)
Widi Wicaksono
Universitas Diponegoro
widiwicaksono96@gmail.com

1. PENDAHULUAN
Banjir lumpur panas Sidoarjo, juga dikenal dengan sebutan Lumpur
Lapindo (Lula) atau Lumpur Sidoarjo (Lusi), adalah peristiwa menyemburnya
lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo
Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur,
Indonesia, sejak tanggal 29 Mei 2006.
Hal ini memungkinkan cairan magma dan hidrotermal yang berasal dari
lapisan masuk ke dalam sedimen Lumpur Sidoarjo yang memicu reaksi masif dan
menciptakan gas yang menghasilkan tekanan tinggi di bawah permukaan Bumi.
Setiap gangguan seperti gempa bisa memicu letusan.
Selain menyemburkan gas metan, uap air dan lumpur, fenomena gunung
lumpur juga mengubah bentuk permukaan bumi (ground deformation). Perubahan
bentuk permukaan sangat berpengaruh terhadap obyek yang ada di atasnya
misalnya struktur bangunan dan utilitas sehingga penting untuk dipantau. Terkait
dengan gunung lumpur di Sidoarjo, beberapa penelitian telah dilakukan terkait
dengan deformasinya. Penelitian tersebut membahas perubahan permukaan dari
data yang diperoleh dari metode pengamatan Global Positioning System (GPS) dan
Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR).
Teknik InSAR mampu mendeteksi perubahan permukaan bumi dengan
memanfaatkan beda fasa gelombang elektromagnetik yang direkam pada dua waktu
pengamatan yang berbeda. Data yang dapat digunakan dengan teknik ini salah
satunya adalah satelit radar. Satelit radar yang mengorbit sampai saat ini adalah

2
satelit ALOS (Advance Land Observation Satellite) dengan sensor PALSAR (The
Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar).

2. METODE PENELITIAN
Untuk memahami perubahan permukaan akibat gunung lumpur di Sidoarjo,
beberapa data satelit PALSAR sejak tahun 2007 sampai 2009 diolah dengan teknik
interferometri. Data PALSAR tersedia dalam beberapa tingkatan dan jenis resolusi.
Dalam penelitian ini, data PALSAR yang diolah terdiri dari data tingkat 1.0 dan 1.1
serta dalam fine beam single polarization (FBS) dan fine beam double polarization
mode (FBD). Interferogram dibentuk berdasarkan dua data radar dalam format
Single Look Complex (SLC) dengan resolusi FBS sehingga proses konversi format
dan resolusi dilakukan dengan menggunakan algoritma range oversam-pling .
Interferogram yang dihasilkan terdiri dari fasa kelengkungan bumi (φ curv), fasa
topografi (φ topo ), fasa akibat perbedaan orbit (φ orb ), fasa akibat deformasi (φ defo),
fasa dari atmosfir (φ atm ) dan fasa akibat gangguan lainnya (φ noise ), hubungan
antara fasa tersebut diformulasikan dengan rumus pada Persamaan 1.
φ G = φ curv + φ topo + φ orb + φ defo + φ atm + φ noise......................................................(1)
Persamaan 1 Interferogram (φ G)
Untuk menghilangkan fasa topografi, data SRTM (Shuttle Radar
Topography Mission) disimulasikan dalam sistem radar untuk dapat
diperkurangkan dan dikenal dengan teknik 2-pass differential InSAR (DInSAR).
Fasa akibat kelengkungan bumi dan perbedaan orbit dapat dihilangkan dengan
persamaan matematis seperti pada Persamaan 2.
φ curv+orb = φ G – [(4π / λ) B sin(θ0G − α) + (4π / λ) B || ..............................................(2)
Persamaan 2 Penghilangan Fasa Kelengkungan Bumi dan Perbedaan Orbit (φ curv+orb)
Dengan λ adalah panjang gelombang radar, B adalah jarak antar orbit satelit
(baseline), θ0G adalah sudut pandang pada posisi tertentu, α adalah sudut antara
orbit satelit dan B || adalah jarak paralel orbit satelit (parallel baseline).
Dilanjutkan ke tahap pembentukan 3D menggunakan data DEM yang
diturunkan dengan persamaan DSM2DEM yang ditambah dengan interpolasi
Kriging dan CoKriging. Persamaan ini dapat dihitung dengan hitung perataan

3
kuadrat terkecil Pemodelan 3D dengan interpolasi Kriging ini harus memenuhi
kisaran yang sudah ditentukan (Julzarika dan Sudarsono, 2009) yaitu :
I. Tinggi setiap titik penelitian adalah hi meter, hi = tinggi terhadap
ellipsoid,
II. Kisaran arah sumbu x : X’= X-dxi sd. X+dxi
III. Kisaran arah sumbu y : Y’= Y-dyi sd. Y+dyi
IV. Kisaran arah sumbu z : Z’= Z-dzi sd. Y+dzi
Interpolasi ini menggunakan interpolasi Kriging.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Lingkaran warna (fringes) dari sebuah interferogram merepresentasikan
informasi ketinggian (topografi) jika yang dihasilkan adalah digital elevation model
(DEM) atau besaran deformasi jika teknik differential diterapkan. Hasil pengolahan
data memperlihatkan bahwa jarak perpendikular dari orbit satelit bervariasi dari 60
m sampai 820 m. Informasi ini memperlihatkan bahwa efek topografi sebaiknya
dihilangkan dengan metode 2-pass DInSAR. Secara ringkas, data diolah
berdasarkan data pengamatan tanggal 22 Agustus 2007 dan alur pengolahan data
diilustrasikan pada Gambar 2.

Gambar 1 Ringkasan alur pengolahan data dengan strategi 2-pass DInSAR


Informasi perubahan permukaan untuk komponen vertikal diperoleh dengan
persamaan berdasarkan geometri dan Persamaan 3.
Vdisp = LOSdisplacement / cosθ.............................................................................(3)
Persamaan 3 Besar Deformasi Vertikal (V disp)

4
Dengan V disp adalah besaran deformasi untuk komponen vertikal, LOS displacement

adalah deformasi sepanjang arah pancaran gelombang yang diperoleh setelah


proses phase unwarpping dan θ adalah sudut pandang dari antena ke target
(incidence angle). Deformasi vertikal untuk seluruh hasil pengolahan data
ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 2 Geometri perhitungan deformasi vertikal dari hasil DInSAR


Terlihat bahwa daerah yang mengalami deformasi sudah terlihat sejak
dari interferogram pertama dengan luasan daerah yang tidak berubah secara signifikan.
Yang mengalami perubahan secara signifikan adalah besaran vertikal yang terlihat semakin
meningkat sampai interferogram terakhir. Apabila ditarik garis penampang AB dan CD
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4,

Gambar 3 Deformasi vertikal yang ditampilkan dalam bentuk interferogram


maka perubahan vertikalnya dapat dilihat pada Gambar 5.

5
Gambar 4 Penampang melintang dari profile AB dan CD
Pola perubahan permukaan memperlihatkan ada 2 wilayah dengan
mekanisme yang berbeda. Pada wilayah bagian barat (daerah penampang AB)
mengindikasikan pola perubahan penurunan permukaan (land subsidence) akibat
mekanime bukaan (tensile), sedangkan daerah di pusat semburan (daerah
penampang CD) memperlihatkan pola mekanisme menyudut (dip-slip).
Pembenntukan 3D permukaan di dapat dari pembentukan Digital Elevation
Model dengan InSAR. Yaitu dengan melakukan koreksi geodetik. Penurunan
menjadi DEM ini menggunakan interpolasi Kriging yang dibantu dengan penentuan
jaring kontrol geodetik. Interpolasi Kriging digunakan karena merupakan
interpolasi yang secara geostatistik dan menghasilkan akurasi dan presisi tinggi.
Setelah didapat DEM dari InSAR, maka dilanjutkan pembentukan Digital Terrain
Model (DTM). Dtm merupakan model permukaan digital dengan referensi tinggi di
atas mean sea level (MSL) yang sudah dilakukan koreksi geodetik berupa koreksi
terrain, jarak pendek, jarak menengah dan lain-lain. Terrain yang dihasilkan sudah
memiliki akurasi dan presisi tinggi. Selain itu nilai tinggi sudah berupa tinggi
normal/terrain, bukan elevasi lagi. Hasil pemodelan 3D berupa DTM ini dapat
digunakan untuk aplikasi keteknikan skala besar sampai sekala sangat besar. DTM
dari data InSAR ini memiliki akurasi vertikal sebesar 1 meter untuk resolusi spasial
5 meter.

4. KESIMPULAN
Salah satu aplikasi dengan memanfaatkan teknik interferometri pada data
satelit radar untuk memantau deformasi permukaan bumi. Dengan ada nya

6
perubahan volume lumpur yang secara kontinu terus bertambah besar maka dengan
metode ini sangat tepat dan baik untuk mengukur seberapa tingkat deformasi pada
area tersebut. Kajian terhadap berbagai jenis panjang gelombang radar sangat
menarik untuk dilakukan dalam membandingkan hasil yang diperoleh. Selain itu
algoritma dalam mengeliminasi noise dalam hasil interferogram juga menarik
untuk dikembangkan.
InSAR merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk pemetaan
skala menengah sampai besar dengan wahana pesawat terbang dan satelit serta
memiliki keunggulan bebas efek awan. InSAR juga dapat digunakan untuk
pemodelan 3D yang meliputi DSM, DEM, DTM dan dapat menghasilkan akurasi
vertikal yang lebih baik.

5. REFERENSI
Agustan and Fumiaki Kimata. 2011. Land Deformation Analysis of Porong Mud-
Volcano Based on Satellite Interferometry. Globë Vol. 13 No. 1 : 1-7.
Khalilov, N.Y. and A.A. Kerimov. 1981. Origin of Mud Volcanism and Diapirism,
International Geological Review. Vol. 25(8): 877–881.
Skinner, J.A. Jr. and A. Mazzini. 2009. Martian Mud Volcanism: Terrestrial
Analogs and Implications for Formational Scenarios. Marine and Petroleum
Geology. Vol. 26(9): 1866- 1878.
Susanto and Atriyon Julzarika. 2009. Pemanfaatan Interferometric Synthetic
Aperture Radar (InSAR) untuk Pemodelan 3D. Majalah Sains dan
Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 : 154-159.

You might also like