You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak- anak merupakan masa dimana konsep sakit dipengaruhi oleh
kemampuan kognitif pada tahap praoperasional. Anak khususnya pada usia
prasekolah sulit membedakan antara dirinya sendiri dan orang lain. Pemikiran
difokuskan pada kejadian eksternal yang dirasakan. Konflik pada usia anak
membuatnya sangat rentan terhadap ancaman cidera tubuh, baik yang
menimbulkna nyeri maupun tidak, merupakan ancaman atau tidak sesuai
dengan konsep integritas tubuhnya. Anak biasanya dapat berekasi terhadap
pemasangan infus, injeksi ( Wong, 2009).
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan
potensial, yang menyakitkan tubuh serta diungkapkan oleh indidu yang
mengalaminya. Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan
mengakibatkan dilepasnya bahan –bahan yang dapat menstimulus reseptor
nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan
substansi yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier dkk, 2009)
Nyeri pada anak merupakan hal yang sangat lengkap, yang bisa dinilai
dari subjektif, objektif, dan individual (Andarmayo, 2013). Nyeri pada anak
yang tidak diatasi berdampak terhadap perubahan fisik dan perilaku. Dampak
fisik akibat nyeri terbagi dari dampak akut yang ditandai dengan peningkatan
lanju metabolisme dan curah jantung, peningktan produksi kortisol, dan
peningkatan retensi cairan. Dampak kronis yang muncul seperyo nyeri
berlangsung lama yang akan meningkatkan stres pada anak (Khasanah dkk,
2017).
Hal ini diperkuat oleh Walco yang meneliti tentang prevalensi nyeri
dan sumber utama penyebab nyeri pada 200 anak yang dirawat di rumah sakit
anak. Dimana hasil tindakan medis IV (intravena) menduduki tindakan
pertama. Walco juga mengevaluasi hasil penelitiannya berdasarkan tingkatan
umur dan diperoleh bahwa distress paling tinggi yaitu 83% dialami oleh anak

1
toddler, distres cukup tinggi dialami oleh anak usia sekolah yaitu 51% serta
remaja dengan prevalensi 28%. Hal ini menunjukkan bahwa anak toddler dan
usia sekolah merasa distres yang cukup tinggi terhadap nyeri.
Salah satu yang menjadi sumber utama nyeri yang sering dilakukan
pada anak-anak adalah prosedur medis invasif (El-Gawad &Elsayed, 2014;
Silva, Pinto,Gomes, &Barbosa,2011). Sejalan dengan penelitian Harrison, et
al(2014),yang menyatakan bahwa anak-anak mengalami nyeri sedang sampai
berat sekitar 82% saat menjalani hospitalisasi akibat prosedur medis invasif.
Pemasangan infus merupakan salah satu tindakan invasif awal yang
menentukan keberhasilan prosedur tindakan selanjutnya. Apabila kesan
pertama saat dilakukan prosedur tindakan anak merasa nyaman, untuk
dilakukan tindakan selanjutnya akan lebih mudah, karena dalam presepsi
anak tindakan sebelumnya tidak menyakitkan. Hal ini sebagaimana konsep
atraumatic care yang seharusnya dilakukan perawat. Atraumatic care adalah
ketentuan dalam konsep perawatan terapeutik, yang dilakukan perawat
melalui tindakan menghilangkan atau meminimalkan tekanan psikologis dan
fisik yang dialami oleh anak dan keluarga dalam sistem perawatan kesehatan
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Adapun teknik pengurangan nyeri pada dasarnya dikategorikan
menjadi 2 yaitu farmakologi dan nonfarmakologi. Farmakologi termasuk
obat-obatan yang dapat mengurangi nyeri, sedangkan nonfarmakologi
meliput distraksi, relaksasi, stimulasi kutaneus dan imajinasi terpimpin
(guided imagery). Guided imagery adalah teknik pengaturan diri yang
memanfaatkan imajinasi aktif anak menggunakan cerita atau narasi untuk
mempengaruhi pikiran dan sering dikombinasi dengan latar belakang musik
menggunakan sebanyak mungkin indra yang dimiliki, untuk mengubah
perasepsi pengalaman sakit. Guided imagery akan sangat efektif pada anak-
anak dibanding orang dewasa dan lebih membuka kreativitas dan imajinasi
anak (Hart, 2008).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maryam dan
Widodo (2012), menyatakan bahwa dari 56 responden dengan rentang usia 7-
13 tahun yang terbagi dalam 2 kelompok (intervensi dan kontrol) didapatkan

2
tingkat nyeri yang dirasakan pada anak dalam kelompok kontrol adalah 5
(nyeri hebat) yaitu 42,9%, sedangkan tingkat nyeri pada anak dalam
kelompok initervensi adalah 2 (sedikit lebih nyeri) yaitu 39,3% sehingga
terdapat beda yang sangat signifikan antara kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi menggunakan guided imagery.
Teknik nonfarmakologi dalam mengurangi nyeri menggunakan
guided imagery pada anak yang dilakukan pemasangan infus belum
diterapkan di RSUP Dr.M.Jamil Padang. Berdasarkan observasi selama 2
minggu dinas di ruang bedah anak, lebih dari 85% anak mengalami nyeri
pada saat dilakukan pemasangan infus. Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka penulis melakukan telaah jurnal dengan judul “Teknik distraksi guided
imagery sebagai alternatif manajemen nyeri pada anak saat pemasangan
infus”

B. Tujuan Penulisan Telaah Jurnal


1. Tujuan Umum
Untuk memaparkan telaah jurnal yang berhubungan dengan
pengaruh pemberian teknik distraksi Guided imagery sebagai alternatif
manajemen nyeri pada anak saat pemasangan infus
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menelaah jurnal “Teknik Distraksi Guided imagery Sebagai
Alternatif Manajemen Nyeri Pada Anak Saat Pemasangan Infus”
sesuai dengan prosedur penulisan
b. Memaparkan hasil telaah jurnal tentang teknik distraksi guided
imagery sebagai alternatif manajemen nyeri pada anak saat
pemasangan infus.
c. Mampu membahas telaah jurnal “Teknik Distraksi Guided imagery
Sebagai Alternatif Manajemen Nyeri Pada Anak Saat Pemasangan
Infus”

3
C. Manfaat
1. Membantu memberikan informasi mengenai teknik distraksi guided
imagery sebagai alternatif manajemen nyeri pada anak saat pemasangan
infus di Ruang Bedah Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang
2. Membantu menambah informasi mengenai teknik penulisan jurnal yang
baik tentang teknik distraksi guided imagery sebagai alternatif
manajemen nyeri pada anak saat pemasangan infus

4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP TEKNIK GUIDED IMAGERY


1. Pengertian
Guided imagery adalah metode relaksasi untuk mengkhayalkan
tempat dan kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi yang
menyenangkan. Khayalan tersebut memungkinkan klien memasuki
keadaan atau pengalaman relaksasi (Kaplan & Sadock, 2010). Guided
imagery menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu yang dirancang
secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu (Smeltzer & Bare,
2002). Imajinasi bersifat individu dimana individu menciptakan gambaran
mental dirinya sendiri, atau bersifat terbimbing. Banyak teknik imajinasi
melibatkan imajinasi visual tapi teknik ini juga menggunakan indera
pendengaran, pengecap dan penciuman (Potter & Perry, 2009).
Guided imagery mempunyai elemen yang secara umum sama
dengan relaksasi, yaitu sama-sama membawa klien kearah relaksasi.
Guided imagery menekankan bahwa klien membayangkan hal-hal yang
nyaman dan menenangkan. Penggunaan guided imagery tidak dapat
memusatkan perhatian pada banyak hal dalam satu waktu oleh karena itu
klien harus membayangkan satu imajinasi yang sangat kuat dan
menyenangkan (Brannon & Feist, 2000).

2. Tujuan
Guided Imagery atau imajinasi terbimbing merupakan penciptaan
kesan dalam pikiran klien, dan dapat berkonsentrasi pada kesan
tersebut sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi terhadap
nyeri. Sehingga memiliki tujuan, yaitu:
a. Untuk memelihara kesehatan atau relaks melalui komunikasi dalam
tubuh melibatkan semua indra (visual, sentuhan, penciuman,
penglihatan, dan pendengaran) sehingga terbentuklah keseimbangan
antara pikiran, tubuh, dan jiwa.

5
b. Dapat mempercepat penyembuhan yang efektif dan membantu
tubuh mengurangi berbagai macam penyakit seperti depresi, alergi dan
asma.
c. Untuk mengurangi tingkat stres, penyebab, dan gejala-gejala
yang menyertai stres
d. Guided imagery music dapat untuk menggali pengalaman pasien
depresi.

3. Manfaat
Menurut Perry and Potter (2006) imajinasi terpimpin memiliki efek
relaksasi yang bermanfaat terhadap kesehatan seseorang antara lain :
a. Menurunkan nadi, tekanan darah dan pernafasan
b. Menurunkan ketegangan otot
c. Meningkatkan kesadaran global
d. Mengurangi perhatian tehadap stimulus lingkungan
e. Membuat tidak adanya perubahan posisi yang volunter
f. Meningkatkan perasaan damai dan sejahtera
g. Menjadikan periode kewaspadaan yang santai, terjaga dan dalam

4. Prosedur Tindakan
Berikut ini adalah standar operasional prosedur dari
pelaksanaan guided imagery:
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Jelaskan prosedur, tujuan, posisi, waktu dan peran perawat
sebagai pembimbing.
c. Anjurkan klien mencari posisi yang nyaman menurut klien.
d. Duduk dengan klien tetapi tidak mengganggu.
e. Lakukan pembimbingan dengan baik terhadap klien
f. Minta klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan
atau pengalaman yang membantu penggunaan semua indra dengan
suara yang lembut.

6
g. Ketika klien rileks, klien berfokus pada bayangan dan saat itu perawa
tidak perlu bicara lagi.
h. Jika klien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah, atau tidak nyaman
perawat harus menghentikan latihan dan memulainya lagi ketika klien
telah siap
i. Relaksasi akan mengenai seluruh tubuh. Setelah 15 menit klien dan
daerah ini akan digantikan dengan relaksasi. Biasanya klien rileks
setelah menutup mata atau mendengarkan musik yang lembut
sebagai background yang membantu.
j. Catat hal-hal yang digambarkan klien dalam pikiran untuk digunakan
pada latihan selanjutnya dengan menggunakan informasi spesifik yang
diberikan klien dan tidak membuat perubahan pernyataan klien.

Teknik pelaksanaan guided imagery pada anak perlu dimodifikasi


sesuai dengan tahap perkembangan anak, kognitif, dan pilihan anak.
Waktu yang digunakan untuk pelaksanaan guided imagery pada anak-anak
hanya boleh 10-15menit dan anak biasanya tidak suka menutup mata
mereka saat berimajinasi (Snyder, 2008 dalam Dewanti, 2013). Guided
imagery dapat disampaikan oleh seorang praktisi/ pemandu, video atau
rekaman audio. Rekaman audio dalam guided imagery berisi panduan
imajinasi atau membayangkan hal-hal yang menyenangkan bagi anak
terkait dengan tempat yang menyenangkan misalnya pantai, aktifitas yang
menyenangkan bagi anak misalnya makan ice cream. Melalui rekaman
audio tersebut anak dipandu relaksasi menarik nafas dalam dan
pelan (Snyder, 2006).
Relaksasi membuat pikiran lebih terbuka untuk menerima informasi
baru yang diberikan (Benson, 1993 dalam Snyder, 2006). Untuk
selanjutnya anak dipandu untuk membayangkan hal yang paling
menyenangkan dan membayangkan tiap detail hal yang bisa dirasakan
oleh semua indera. Anak dipandu untuk membayangkan apa yang dapat
dilihat, dirasakan, dibau, dipegang atau disentuh. Rekaman audio
ini dapat dimodifikasi dengan latar belakang musik relaksasi

7
(Snyder,2006). Bersamaan dengan anak dilakukan imajinasi
terbimbing ini, prosedur pemasangan infus dilakukan.

B. KONSEP NYERI
1. Pengertian
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan
potensial, yang menyakitkan tubuh serta diungkapkan oleh individu yang
mengalaminya. Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan
mengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang dapat menstimulus
reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin,
prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri
(Kozier dkk, 2009).
Definisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah sesuatu
yang menyakitkan tubuh yang diungkapkan secara subjektif oleh individu
yang mengalaminya . Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab
fisik atau sumber yang dapat diidentiftkasi. Meskipun beberapa sensasi
nyeri dihubungkan dengan status mental atau status psikologis, pasien
secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal dan tidak hanya
membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat dari
stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional. (Potter & Perry, 2005).

2. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua yaitu nyeri akut
dan nyeri kronis. Klasifikasi ini berdasarkan pada waktu atau durasi
terjadinya nyeri.
a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam kurun waktu yang
singkat, biasanya kurang dari 6 bulan. Nyeri akut yang tidak diatasi
secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan di luar
ketidaknyamanan yang disebabkannya karena dapat mempengaruhi

8
sistem pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin, dan
imonulogik (Potter & Perry, 2005).
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung selama lebih dari 6
bulan. Nyeri kronik berlangsung di luar waktu penyembuhan yang
diperkirakan, karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Jadi nyeri ini
biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan (Guyton & Hall, 2008).
Nyeri kronik mengakibatkan supresi pada fungsi sistem imun yang
dapat meningkatkan pertumbuhan tumor, depresi, dan
ketidakmampuan.

Berdasarkan sumbernya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri


nosiseptif dan neuropatik (Potter & Perry, 2005).
a. Nyeri nosiseptif
Nosiseptif berasal dari kata “noxsious/harmful nature” dan dalam
hal ini ujung saraf nosiseptif, menerima informasi tentang stimulus
yang mampu merusak jaringan. Nyeri nosiseptif berdifat tajam, dan
berdenyut (Potter & Perry, 2005).
b. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik mengarah pada disfungsi di luar sel saraf. Nyeri
neuropatik terasa seperti terbakar kesemutan dan hipersensitif
terhadap sentuhan atau dingin. Nyeri spesifik terdiri atas beberapa
macam, antara lain nyeri somatik, nyeri yang umumnya bersumber
dari kulit dan jaringan di bawah kulit (superficial) pada otot dan
tulang. Macam lainnya adalah nyeri menjalar (referred pain) yaitu
nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang jauh letaknya dari jaringan
yang menyebabkan rasa nyeri, biasanya dari cidera organ visceral.
Sedangkan nyeri visceral adalah nyeri yang berasal dari bermacam-
macam organ viscera dalam abdomen dan dada (Guyton & Hall,
2008).

9
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi respon terhadap nyeri
diantaranya yaitu berupa usia, jenis kelamin dan budaya:
a. Usia
Batasan usia menurut Depkes RI (2009) yaitu anak-anak mulai
usia 0-12 tahun, remaja usia 13-18 tahun, dewasa usia 19-59 tahun,
lansia usia lebih dari 60 tahun. Usia mempunyai peranan yang penting
dalam mempersepsikan dan mengekspresikan rasa nyeri. Pasien
dewasa memiliki respon yang berbeda terhadap nyeri dibandingkan
pada lansia. Nyeri dianggap sebagai kondisi yang alami dari proses
penuaan. Nyeri dianggap sebagai kondisi yang alami dari proses
penuaan. Cara menafsirkan nyeri ada dua. Pertama, rasa sakit adalah
normal dari proses penuaan. Kedua sebagai tanda penuaan.
b. Jenis Kelamin
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat
keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri.
Berbagai penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan jenis
kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit yang hanya dijumpai
pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat dengan
alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam perbedaan
jenis kelamin (Le Mone & Burke , 2008).
c. Sosial Budaya
Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan
memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan
lainnya dapat membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku
pasien berdasarkan pada harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat
yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman
yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam
rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif dalarn
menghilangkan nyeri pasien (Potter & Perry, 2005).

10
4. Pengukuran Intensitas Nyeri
Menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah sebagai berikut :
a. Skala Pendiskripsian Verbal (VDS)
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan
nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal
Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga
sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama
di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diurut dari “tidak terasa nyeri”
sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien
skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri
terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri
terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah
kategori untuk mendeskripsikan nyeri.

b. Skala Penilaian Numerik (NRS)


Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala ini paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri,
maka direkomendasikan patokan 10 cm (Potter & Perry, 2005).

11
c. Skala Analog Visual (VAS)
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel
subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas
nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih
satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

d. Wong-Baker FACES Pain Rating Scale atau biasa disebut skala


wajah, terdiri atas enam wajah kartun yang memiliki rentang dari
wajah tersenyum “untuk tidak ada nyeri” sampai wajah terurai air
mata untuk “nyeri yang paling berat. Pengkajian tingkat nyeri pada
respondenmenggunakan Wong Baker Faces Pain Rating Scale, yang
terdiri dari skala wajah 0 sampai 5. Skala 0 (Tidak ada nyeri), 1 (Nyeri
sedikit), 2 (Sedikit lebih nyeri), 3 (Lebih nyeri lagi), 4 (Nyeri sekali),
dan 5 (Nyeri hebat).

C. KONSEP PEMASANGAN INFUS


1. Pengertian
Pemasangan infus adalah salah satu cara pemberian theraphy
cairan dengan menggunakan prosedur infasif yang dilaksanakan dengan
menggunakan teknik aseptik.

12
2. Tujuan
a. Memenuhi kebutuhan cairan elektrolit
b. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan pengobatan
Pemberian terapi intravena banyak dilakukan di rumah sakit, bahkan
sekarang makin berkembang dengan dilakukan pula dirumah untuk
penggantian cairan, pemberian obat, dan penyediaan nutrient jika tidak ada
pemberian dengan cara lain (Smeltzer & Bare, 2002).

3. Prosedur Tindakan
a. Persiapan alat
 Standar infus
 Infus set
 Cairan yang dibutuhkan
 Jarum infus dengan ukuran yang disesuaikan
 Perlak dan alasnya
 Tourniquet, kapas alcohol, curafor
 Plester, handscun dan gunting
b. Cara pemasangan infus bayi dan anak-anak
 Cuci tangan
 Jelaskan pada orang tua pasien tentang tujuan dan prosedur
tindakan yang akan dilakukan
 Atur posisi pasien.
 Siapkan standar infus
 Hubungkan cairan dan infus set dengan menusukkan bagian karet
pada cairan infus
 Isi cairan kedalam set infus dengan menekan ruang tetesan hingga
terisi sebagian dan buka klem selang hingga cairan memenuhi
selang dan udara yang ada diselang akan keluar
 Letakkan perlak dibawah tempat vena yang akan ditusuk
 Pasang tourniquet sedekat mungkin disekitar area penusukan dan
lakukan desinfektan

13
 Untuk imobilisasi vena, lakukan peregangan kulit dengan cara
menarik kulit dengan kuat dan besebrangan
 Lakukan desinfektan pada daerah sekitar tempat penusukan dengan
arah melingkar dari dalam keluar
 Dengan mata jarum menghadap keatas dan membentuk sudut 20 –
30 derajat dengan kulit, lakukan penusukan dengan cepat lapisan
yang ada diatas vena
 Rubah sudut penetrasi hingga hamper sejajar dengan kulit pasien
dan lakukan penetrasi dengan cepat sepanjang 1 cm. tunggu hingga
ada tanda pertama pada flashback chamber ( cateter jarum) yang
berarti mata jarum sudah tepat dalam vena
 Tarik jarum keluar sepanjang 1cm, darah akan mengalir diantara
kateter dan tabung jarum. Hal ini memastikan ujung kateter sudah
berada dalam vena
 Pegang pangkal kateter dengan kuat dan masukkan kateter
seluruhnya dengan dengan menggunakan jarum cateter sebagai
pemandu
 Lakukan penekanan dengan jari diatas kateter, tarik jarum
sepenuhnya.
 Menggunkan satu tangan, kembali jarum introduser ke dalam
bungkus pelindung nya
 Tekan kateter jarum kedalam pembungkusnya hingga terdengar
bunyi klik
 Sambungkan infus set, alirkan cairan infus dan lakukan fiksasi dan
jangan lupa memberikan bantalan pada telapak tangan bayi atau
anak – anak agar infusan tidak mudah lepas.
 Atur kecepatan tetesan sesuai dengan kebutuhan
 Rapikan pasien dan bereskan alat
 Lepaskan handscoon dan cuci tangan
 Dokumentasikan

14
BAB III
TELAAH JURNAL

A. TELAAH PENULISAN JURNAL


1. Judul
Judul : “Teknik Distraksi Guided imagery sebagai Alternatif Manajemen
Nyeri pada Anak saat Pemasangan Infus”
Setiap jurnal harus memiliki judul yang jelas. Dengan membaca judul akan
memudahkan pembaca mengetahui inti jurnal tanpa harus membaca
keseluruhan dari jurnal tersebut. Judul tidak boleh memiliki makna ganda.
Kelebihan :
a. Pada jurnal ini judul menjelaskan tentang bagaimana teknik distraksi
guided imagery sebagai alternatif manajemen nyeri pada anak saat
pemasangan infus. Dari membaca judul pada jurnal ini, kita dapat
mengetahui bahwa jurnal ini membahas tentang bagaimana teknik
distraksi guided imagery sebagai alternatif manajemen nyeri pada anak
saat pemasangan infus. Pada judul jurnal ini kurang cocok dengan latar
belakang dan isi jurnal, dikarenakan pada latar belakang dan isi jurnal
dikatakan peneliti melakukan perbandingan respon nyeri menggunakan
teknik distraksi guided imagery dan Ethyl chloride. Judul jurnal sudah
baik dan terdiri dari 13 kata, dimana syarat judul jurnal adalah tidak
boleh lebih dari 20 kata, singkat dan jelas.
b. Pada jurnal ini nama penulis juga sudah ditulis dengan singkat tanpa
gelar.
Kekurangan :
a. Pada judul jurnal sudah dipaparkan alamat dan kontak yang bisa
dihubungi tetapi tidak dicantumkan tahun berapa publis jurnal ini di
halaman awal, tahun penerbitan hanya dicantumkan dihalaman akhir.

15
2. Abstrak

Abstrak sebuah jurnal berfungsi untuk menjelaskan secara singkat


tentang keseluruhan isi jurnal. Penulisan sebuah abstrak terdiri dari sekitar
250 kata yang berisi tentang tujuan, metode, hasil, dan kesimpulan isi
jurnal.
Kelebihan :
a. Abstrak pada jurnal ini sudah baik dan berurutan yang terdiri dari latar
belakang, metode, hasil dan kata kunci.
b. Kata kunci dalam jurnal ini tercantum dengan jelas.
c. Jurnal ini memiliki abstrak dengan jumlah kata kurang dari 250 kata.
Kekurangan :
a. Abstrak di jurnal ini tidak menuliskan saran.

16
3. Pendahuluan

17
Pendahuluan jurnal terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan
penelitian, penelitian sejenis yang mendukung penelitian dan manfaat
penelitian. Pendahuluan terdiri dari 4-5 paragraf, dimana dalam setiap
paragraph terdiri dari 4-5 kalimat.
Kelebihan :
a. Pendahuluan pada jurnal ini sudah baik memiliki 5 paragraf dengan
jumlah kalimat berkisar dari dua sampai enam kalimat dan pada
pendahuluan juga sudah menyinggung terkait fenomena masalah.
b. Pada jurnal ini fenomena yang dibahas adalah tentang inovasi yang
menyebabkan banyak alternatif yang sangat baik dan dapat
dikembangkan. Teknik distraksi yang efektif untuk pengurangan
nyeri pada saat pemasangan infus pada anak anak. Metode yang
dipilih oleh peneliti yaitu guided imagery, dengan menggunakan

18
rekaman kaset imajinasi sehingga anak lupa terhadap nyeri yang
dirasakan. Dengan pertimbangan guided imagery mudah dibuat
rekaman sendiri, terjangkau, dan bisa dipakai sewaktu-waktu oleh
anak. Adapun metode alternatif lain yang dipilih peneliti yaitu
dengan anestesi topikal dengan jenis Ethyl chloride. Meski telah
banyak penelitian tentang efektifitas krim EMLA untuk
menurunkan nyeri, namun karena krim EMLA membutuhkan
waktu cukup lama yaitu 30-60 menit, maka peneliti memilih Ethyl
Chloride jenis anestesi semprot dengan efek lebih cepat yaitu 15 detik
saja. Penelitian oleh Siregar (2007) tentang perbedaan anestesi
semprot dengan anestesi oles, mendapatkan hasil bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara anestesi semprot dengan anestesi
oles dalam menurunkan intensitas nyeri pada pungsi arteri.
Kekurangan :

4. Pernyataan masalah penelitian


Dalam jurnal ini sudah terlihat pernyataan masalah yang jelas
dikatakan bahwa guided imagery, dengan menggunakan rekaman kaset
imajinasi sehingga anak lupa terhadap nyeri yang dirasakan. Dengan
pertimbangan guided imagery mudah dibuat rekaman sendiri, terjangkau,
dan bisa dipakai sewaktu-waktu oleh anak.

5. Tinjauan pustaka
Jurnal ini mencantumkan tinjauan kepustakaan sebagai acuan
konsep.

6. Kerangka konsep dan hipotesis


Tidak terdapat kerangka konsep dalam jurnal karena penelitian
bersifat eksperimen sehingga hanya menjelaskan terkait metode.

19
7. Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, menggunakan
desain penelitian eksperimen semu (quasi experiment) dengan postest
treatment pada kelompok kontrol nonekuivalen (after only
nonequivalent control group design), dimana pada rancangan ini
kelompok eksperimen maupun kontrol tidak dipilih secara random.

8. Sampel dan instrumen


Rancangan ini menggunakan pos-tes pada kelompok kontrol
maupun intervensi tanpa dilakukan pre-tes terlebih dahulu. Data
dikumpulkan dengan menggunakan Wong-Baker Face Pain Rating Scale.
Analisis statistik dengan menggunakan Uji Kruskal Wallis. Intervensi
dalam penelitian ini dilakukan dengan pemberian Ethyl Chloride pada
kelompok intervensi I, pemberian guided imagery pada kelompok
intervensi II, dan pemberian teknik napas dalam pada kelompok
kontrol. Tindakan dilakukan 2 menit sebelum prosedur pemasangan infus.
Pengukuran yang dilakukan sesudah intervensi meliputi skala nyeri pada
menit kelima setelah dilakukan pemasangan infus.
Populasi penelitian ini anak usia 7-12 tahun yang akan
dilakukan prosedur pemasangan infus di sebuah Rumah Sakit di Kota
Semarang.
Teknik sampling pada penelitian ini menggunakan teknik
nonprobability sampling dengan pendekatan consecutive sampling,
yaitu dengan memilih subjek yang memenuhi kriteria penelitian dan
dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sampai
jumlah klien yang diperlukan terpenuhi (Dahlan, 2009).
Sampel yang digunakan dalam penelitian harus memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dari penelitian ini yaitu: (1)
Anak usia 7-12 tahun; (2) Orang tua setuju anaknya menjadi
responden, yang dibuktikan dengan surat persetujuan menjadi responden;
(3) Anak yang akan menjalani prosedur pemasangan infus; (4) Anak
dalam keadaan sadar penuh. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah:

20
Kriteria eksklusi pemberian ethyl chloride: (1) Anak alergi terhadap
krim ethyl chloride; (2) Tiba-tiba anak menolak sebelum prosedur
selesai. Kriteria eksklusi guided imagery: (1) Tiba-tiba anak menolak
sebelum prosedur selesai; (2) Anak tuli atau tidak dapat mendengar
dengan baik; (3) Anak menolak menggunakan earphone.

9. Hasil
Hasil pada jurnal ini membahas terkait perbedaan respon nyeri pada anak
usia 7-12 tahun saat pemasangan infus setelah diberikan intervensi ethyl
chloride dan guided imagery dilakukan selama bulan maret sampai Juli
2017.
Hasil penelitian terkait karakteristik responden meliputi usia, jenis
kelamin, pengalaman diinfus sebelumnya serta respon nyeri pada
masing-masing kelompok intervensi. Karakteristik responden
berdasarkan usia akan dijelaskan pada tabel 1 adapun karakteristik
responden berdasarkan jenis kelamin dan pengalaman diinfus
sebelumnya akan disajikan dalam tabel 2.

Data pada tabel 1 menjelaskan bahwa nilai tengah dari distribusi


responden berdasarkan usia adalah 9 tahun.

Data pada tabel 2 menjelaskan bahwa responden terbanyak berjenis


kelamin laki-laki yaitu sebanyak 17 responden (56,7%), adapun terkait
pengalaman diinfus sebelumnya terbanyak adalah responden yang tidak
pernah diinfus yaitu 28 responden (93,3%).

21
Tabel 3 merupakan tabel hasil uji Kruskal Wallis dengan hasil median
tingkat nyeri responden pada kelompok ethyl chloride pada skala 2
dengan rentang antara skala 1 sampai 4, pada kelompok guided imagery
pada skala 3 dengan rentang antara skala 2 sampai 3, sedangkan pada
kelompok napas dalam pada skala 3 dengan rentang antara 1 sampai 3,
hal ini dapat diartikan bahwa pada kelompok guided imagery dan napas
dalam berada pada skala 3 kebawah sedangkan pada kelompok Ethyl
Chloride berada pada skala 3 keatas. Dimana skala 1 adalah “nyeri
sedikit”, skala 2 adalah “sedikit lebih nyeri”, skala 3 adalah “lebih nyeri
lagi”, skala 4 adalah “nyeri sekali”. Nilai signifikasinya sebesar 0,338
(ρ >0,05), artinya hipotesis pada penelitian ini ditolak, dimana hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara ethyl chloride, guided imagery dan napas dalam
terhadap respon nyeri saat pemasangan infus pada anak.

10. Pembahasan
Kelebihan :
Pada pembahasan jurnal ini telah menjelaskan perbedaan antara
penggunaan ethyl chloride, guided imagery, dan teknik nafas dalam.
Kekurangan :
Pada pembahasan jurnal ini, teori yang terkait dengan hasil
penelitian sudah dipaparkan.

11. Kesimpulan
Dalam jurnal penelitian ini kesimpulan dan saran sudah
dicantumkan pada bagian akhir jurnal tetapi tidak dicantumkan di abstrak.

22
Di kesimpulan dan saran juga sudah dijelaskan kenapa lebih disarankan
menggunakan teknik distraksi guided imagery.

12. Implikasi Penggunaan Hasil Penelitian


Berdasarkan telaah jurnal “Teknik Distraksi Guided imagery
sebagai Alternatif Manajemen Nyeri pada Anak saat Pemasangan Infus”,
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara ethyl
chloride dan guided imagery, sehingga guided imagery dapat dijadikan
sala satu metode untuk mengurangi nyeri karena lebih mudah dan dari
segi biaya lebih murah. Bagi rumah sakit hal tersebut dapat dijadikan
kebijakan untuk mengurangi trauma pada anak saat diinfus dan
meminimalkan dampak negatif lainnya
Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut dapat digunakan untuk
seluruh pasien anak rawat inap khususnya ruangan rawat khusus anak dan
sebagai bahan tambahan dalam melakukan asuhan keperawatan kepada
pasien terutama dalam pemasangan kateter.

13. Daftar Pustaka


Penulisan daftar pustaka dalam jurnal ini menggunakan metode
APA Style.
Beberapa literatur yang digunakan merupakan jurnal-jurnal
penelitian yang telah dipublikasikan dalam 12 tahun terakhir. Referensi
terbaru yaitu pada tahun 2013 dan referensi yang terlama yaitu pada tahun
2006.

B. TELAAH KONTEN
Pada Jurnal “Teknik Distraksi Guided imagery sebagai Alternatif
Manajemen Nyeri pada Anak saat Pemasangan Infus” diejlaskan bahwa
Perawat perlu menggunakan metode yang tepat untuk mengurangi nyeri hebat
pada anak saat pemasangan infus. Dalam penelitian ini metode yang digunakan
adalah Intervensi Ethyl Chloride dan Guided Imagery. Menurut Andarmoyo
(2013) Nyeri dapat diartikan sebagai suatu perasaan tidak nyaman atau tidak

23
menyenangkan yang sering dialami oleh individu. Nyeri pada anak yang tidak
segera diatasi akan berdampak secara fisik maupun perilaku.
Pemasangan infus merupakan salah satu tindakan invasif awal yang
menentukan keberhasilan prosedur tindakan selanjutnya. Penelitian yang
dilakukan oleh Mariyam dan Widodo (2012) mengenai pengaruh guided
imagery terhadap tingkat nyeri anak saat dilakukan pemasangan infus, dengan
hasil rata-rata tingkat nyeri pada kelompok yang dilakukan guided imagery
lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Penelitian lain dalam mengatasi
nyeri diteliti oleh Ismanto (2011) mendapatkan hasil bahwa respon nyeri bayi
saat imunisasi yang diukur dengan skala FLACC, terdapat perbedaan yang
signifikan antara kelompok intervensi ASI dengan kelompok topikal anestesi
(Fluori-Methane) spray, yaitu rata-rata respon nyeri pada bayi yang diberi ASI
lebih rendah dari bayi yang diberi intervensi dengan topikal anestesi spray saat
dilakukan imunisasi.
Dilihat dari skala nyeri pada responden yang diberikan intervensi Ethyl
Chloride dan Guided Imegery dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna. Hal ini karena pemilihan sampel sesuai dengan
karakteristik kelompok yang sama. Semua sampel berada pada skala nyeri
yang hampir sama.

24
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Jurnal ini telah menjelaskan salah satu alternatif manajemen nyeri pada
anak usia (7-11 tahun) saat pemasangan infus yakni dengan distraksi guided
imagery dan penggunaan ethyl chloride. Setelah dilakukan penelitian selama
5 bulan terlihat dari respon nyeri yang didapatkan responden yang
diintervensi menggunakan guided imagery pada saat pemasangan infus
memiliki skala nyeri 3 (lebih nyeri lagi), sedangkan pada responden yang
diintervensi menggunakan Ethyl Chloride memilik skala nyeri 4 (nyeri
sekali). Sehingga berdasarkan hasil tersebut, penggunaan guided imagery
pada anak-anak lebih efektif , lebih efisien serta lebih aman tanpa bahan
kimia.
B. Saran
Terkait dengan kesimpulan telaah jurnal, ada beberapa hal yang dapat
disarankan demi keperluan pengembangan hasil dari telaah jurnal teknik
distraksi guided imagery sebagai alternatif manajemen nyeri pada anak saat
pemasangan infus yang telah dilakukan sebagai berikut:
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan dalam mengurangi nyeri pada anak saat pemasangan
infus terutama saat pendidikan di klinik dapat diterapkan sehingga
nantinya akan mengurangi angka kejadian nyeri yang dirasakan anak saat
dilakukan tindakan.
2. Bagi Perawat
Diharapkan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
manajemen nyeri pada anak lebih memperhatikan dampak negatif yang
ditimbulkan dan dapat menerapkannya serta dapat memodifikasi apabila
dalam penatalaksanaannya mengalami hambatan misalnya tidak tersedia
sarana dan prasarana.

25
3. Bagi Ruangan
Sebagai bahan pertimbangan dalam memperbarui SOP baru tentang
alternatif manajemen nyeri baru pada anak sesuai dengan jurnal penelitian
terbaru yang telah direkomendasikan sehingga dapat meningkatkan
kualitas pelayanan di rumah sakit.

26
DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, S. 2013. Konsep dan proses Keperawatan Nyeri . Jogjakarta: Amuz


Media
Berman, Snyder, kozier, Erb (2009). Buku Ajar keperawatan klinis kozier & Erb.
Edisi 5.Jakarta : EGC
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. 2009.Wong’s Essentials of pediatric Nursing
(8th ed). St. Louis Missouri : Mosby Elsvier
Kaplan & Sadock. (2010). Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan perilaku klinis,
jilid 2. Tangerang: Bina Rupa Asara Publisher.
Kozier. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan
Praktik, Edisi 7, Volume 1. Jakarta: EGC
Maryam,Widodo. (2012). Pengarh guided imagery terhadap tingka yeri anak usia
7-13 tahun saat dilakukan pemasangan infus di RSUD Kota Semarang. ISBN:
978-602-18809-0-6
Potter P. A., Perry A. G. (2006). Fundamental keperawatan: buku 2 edisi 7.
Jakarta: Penerbit Buku Salemba Medika.
Smeltzer S. C., Bare G. B. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8
Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer S. C., Bare G. B. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah, Edisi 8
Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wong, L. Donna. 2009. Buka ajar keperawatan pediatrik. Vol.1. Edisi 6. Jakarta :
EGC

27

You might also like