You are on page 1of 43

KEJANG DEMAM

Definisi Kejang Demam

Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadipada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38 oC) yang disebabkan oleh proses ekstakramium.17 Menurut
Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah bangkitan kejang pada bayi
dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam
tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. 18 Anak yang pernah
kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam kejang
demam. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi yaitu yang ditandai dengan kejang
berulang tanpa demam.7

Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku,
dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, nafas akan terganggu, dan
kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali..
19 Serangan kejang pada penderita kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga kali atau lebih
selama satu episode demam. Jadi, satu episode kejang demam dapat terdiri dari satu, dua,
tiga atau lebih serangan kejang.5

Klasifikasi Kejang Demam

Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu :


Kejang demam sederhana (simple febrile seizure). Adapun ciri-ciri kejang demam sederhana
antara lain:
a. Berlangsung singkat (< 15 menit)
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik.Kejang tonik yaitu serangan
berupa kejang/kaku seluruh tubuh. Kejang klonik yaitu gerakan menyentak tiba-tiba pada
sebagian anggota tubuh.
c. Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.

Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang demam kompleks
antara lain:
a. Berlangsung lama (> 15 menit).
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya melibatkan salah
satu bagian tubuh.
c. Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Etiologi Kejang Demam
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak.7Demam sering
disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut, otitis
media akut, gastroenteritis, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Setiap anak
memiliki ambang kejang yang berbeda. Kejang tidak selalutimbul pada suhu yang paling
tinggi.Pada anak dengan ambang kejang yangrendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu
38°C bahkan kurang, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang
baru terjadi pada suhu 40°C bahkan lebih.

Patofisiologi Kejang Demam

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau otak diperlukan energi yang didapat dari
metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa dan melalui
suatu proses oksidasi. Dalam proses oksidasi tersebut diperlukan oksigen yang disediakan
melalui perantaraan paru-paru. Oksigen dari paru-paru ini diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskular. Suatu sel, khususnya sel otak atau neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu
membran yang terdiri dari membran permukaan dalam dan membran permukaan luar.
Membran permukaan dalam bersifat lipoid, sedangkan membran permukaan luar bersifat ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui ion Kalium (K+) dan
sangat sulit dilalui oleh ion Natrium ( Na + ) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion Klorida (Cl-
). Akibatnya konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di
luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar neuron, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran
tadi dapat berubah karena adanya : perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler,
rangsangan yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari
sekitarnya, dan perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak usia 3
tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat mengubah
keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion
Natrium melalui membran tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel lain yang ada didekatnya dengan perantaraan neurotransmitter sehingga terjadilah
kejang.
Determinan Kejang Demam

Determinan kejang demam dibedakan berdasarkan host, agent dan environment.

a. Host
Faktor host yang menjadi determinan terjadinya kejang demam antara lain :
 Umur
Berdasarkan studi kasus kontrol yang dilakukan Fuadi, A., dkk (2010) di RSUP dr.
Kariadi Semarang menunjukkan bahwa anak yang berusia <2 tahun mempunyai
risiko 3,4 kali lebih besar mengalami kejang demam dibandingkan dengan anak yang
berusia >2 tahun.26 Penelitian Karimzadeh, P., dkk (2008) di Mofid Children’s Hospital
Iran menunjukkan bahwa penderita kejang demam paling banyak terjadi pada
usia dua tahun pertama (13-24 bulan) yaitu 39,8%.8

 Jenis kelamin
Berdasarkan penelitian Bessisso, M.S., dkk (2000) di Qatar menunjukkan bahwa kejang
demam lebih banyak diderita oleh anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan
dengan rasio 1,2 : 1, dimana anak laki-laki 128 orang (54,2%) dan anak perempuan 108
orang (45,8%) Hasil penelitian Siddiqui, T.S., (2000) di Department of Paediatrics,
Hayat Shaheed Teaching Hospital Peshawar diperoleh anak laki-laki yang menderita
kejang demam 55% dan anak perempuan 45%.

 Riwayat kejang keluarga


Berdasarkan studi kasus kontrol yang dilakukan Fuadi, A., dkk (2010) di RSUP dr.
Kariadi Semarang menunjukkan bahwa anak yang memiliki keluarga dengan
riwayat kejang berisiko 4,5 kali untuk mengalami kejang demam
dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki keluarga dengan riwayat kejang. 26
Penelitian Karimzadeh, P., dkk (2008) di Mofid Children’s Hospital Iran
menunjukkan bahwa dari 302 anak yang menderita kejang demam, ada 28,8 % anak
yang memiliki keluarga dengan riwayat kejang demam. 8 Penelitian Ridha, N.R., dkk
(2009) di RS Wahidin Sudirohusodo di Makassar menunjukkan bahwa anak yang
memiliki keluarga dengan riwayat kejang demam berisiko 6 kali untuk mengalami
kejang demam.23 Berdasarkan studi yang dilakukan Huang, CC., dkk (1999) di
Taiwan menunjukkan bahwa anak yang memiliki saudara kandung dengan riwayat
kejang demam berisiko 3,1 kali untuk menderita kejang demam.

 Berat badan lahir


Berdasarkan penelitian Vestergaard dkk (2002) di Denmark didapatkan bahwa risiko
kejang demam meningkat secara konsisten dengan penurunan berat badan ketika
lahir. Bayi yang lahir dengan berat badan <2500 gram 1,5 kali berisiko untuk menderita
kejang demam. Pada bayi yang lahir dengan berat badan 2500-2999 gram risikonya 1,3
kali, bayi yang lahir dengan berat badan 3000-3499 gram risikonya 1,2 kali, sedangkan
bayi yang lahir dengan berat badan 3500-3999 gram dan >3999 gram risiko untuk
menderita kejang demam sebesar 1 kali.29
b. Agent
Kejadian kejang demam dicetuskan karena terjadinya kenaikan suhu tubuh di atas normal
(demam). Tinggi suhu tubuh pada saat timbul serangan kejang disebut nilai ambang
kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak. Adanya perbedaan ambang
kejang ini menunjukkan bahwa ada anak yang mengalami kejang setelah suhu tubuhnya
meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak yang lain, kejang sudah timbul
walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi.

Penelitian Karimzadeh, P., dkk (2008) di Mofid Children’s Hospital, diperoleh


302 kasus penderita kejang demam dimana anak yang mengalami kejang pada suhu
≤38,5oC ada 60,9%, sedangkan anak yang mengalami kejang pada suhu >38,5oC ada
39,1%.8

Demam yang terjadi pada anak biasanya disebabkan oleh penyakit infeksi.Penelitian
Mahyar, A., dkk (2010) di Iran menunjukkan bahwa anak yang menderita kejang demam,
demamnya paling banyak disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) 53,8%,
diikuti dengan gastroenteritis 24,4%, otitis media akut 9%,infeksi saluran kemih 6,4%,
pneumonia 3,8% dan lainnya 2,6%. 24

c. Environment
Faktor lain yang memengaruhi timbulnya kejang demam adalah faktor lingkungan
dengan sanitasi dan higiene yang buruk serta pemukiman yang terlalu padat. Kondisi
ini mengakibatkan mudahnya agent penyakit berkembang biak serta terjadi penularan
penyakit infeksi yang cepat. Pemaparan agent penyakit juga dapat terjadi pada saat
anak kontak secara langsung dengan anggota keluarganya yang sakit.

Komplikasi Kejang Demam

Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak antara

lain :

a. Kejang Demam Berulang.


Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu
episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang demam
yaitu :
 Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
 Riwayat kejang demam dalam keluarga
 Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
 Riwayat demam yang sering
 Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
b. Kerusakan Neuron Otak.
Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan
apnea,meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot yang
akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial, denyut jantung yang tak teratur, serta
suhu tubuh yang makin meningkat sejalan dengan meningkatnya aktivitas otot
sehingga meningkatkan metabolisme otak. Proses di atas merupakan faktor
penyebab terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsung kejang lama. Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan neuron otak.
c. Retardasi Mental,
terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan pengobatan
yang adekuat. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis
setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko
yangmenyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu :

 Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.


 Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
 Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

Menurut American National Collaborative Perinatal Project, 1,6% dari semua anak yang
menderita kejang demam akan berkembang menjadi epilepsi, 10% dari semua anak yang
menderita kejang demam yang mempunyai dua atau tiga faktor risiko di atas akan berkembang
menjadi epilepsi. 31

d. Hemiparesis,
yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai serta wajah pada salah
satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama
(kejang demam kompleks). Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, setelah 2 minggu
timbul spasitas.
Putri Cantika Reviera - 1102013230
Putri Cantika Reviera - 1102013230
Putri Cantika Reviera - 1102013230
Putri Cantika Reviera - 1102013230
Putri Cantika Reviera - 1102013230
Putri Cantika Reviera - 1102013230
Putri Cantika Reviera - 1102013230
Putri Cantika Reviera - 1102013230

Pencegahan Kejang Demam

Pencegahan Primordial

Yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap kasus kejang

demam pada seorang anak dimana belum tampak adanya faktor yang menjadi risiko

kejang demam. Upaya primordial dapat berupa:

a. Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang upaya untuk

meningkatkan status gizi anak, dengan cara memenuhi kebutuhan nutrisinya.

Jika status gizi anak baik maka akan meningkatkan daya tahan tubuhnya

sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi yang memicu

terjadinya demam.

b. Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan bersih dan sehat

akan sulit bagi agent penyakit untuk berkembang biak sehingga anak dapat

terhindar dari berbagai penyakit infeksi.

Pencegahan Primer32

Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum seseorang anak

mengalami kejang demam. Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok yang

mempunyai faktor risiko. Dengan adanya pencegahan ini diharapkan keluarga/orang

terdekat dengan anak dapat mencegah terjadinya serangan kejang demam.


Putri Cantika Reviera/1102013230

Upaya pencegahan ini dilakukan ketika anak mengalami demam.


Demam

merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam. Jika anak mengalami


demam

segera kompres anak dengan air hangat dan berikan antipiretik untuk
menurunkan

demamnya meskipun tidak ditemukan bukti bahwa pemberian antipiretik


dapat

mengurangi risiko terjadinya kejang demam.

Tata laksana saat kejang

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien datang,
kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah
0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak
dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara
dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam
rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena.

Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis.

Pemberian obat pada saat demam Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A). Meskipun demikian, dokter neurologi
anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang
Putri Cantika Reviera/1102013230

digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali,
3-4 kali sehari.

Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten

Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam.

Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah
ini:

 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral


 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia <6 bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali
(5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam
pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan
dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

Pemberian obat antikonvulsan rumat

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat
menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (level of evidence 3, derajat rekomendasi
D).

Indikasi pengobatan rumat:

1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya palsi
serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

American Academy of Pediatrics. Practice parameter: Long-term treatment of the child with

Keterangan:

• Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan, BUKAN


merupakan indikasi pengobatan rumat.
Putri Cantika Reviera/1102013230

• Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik
yang bersifat fokal.

• Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian terapi
profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan
terapi antikonvulsan rumat

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko
berulangnya kejang (level of evidence 1, derajat

rekomendasi B).

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil
kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.

Lama pengobatan rumat

Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam
tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.
Putri Cantika Reviera/1102013230

EPILEPSI

DEFINISI
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri-ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf. 2
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh berulanya
kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. 3

ETIOLOGI
Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron
saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan
faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat
menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. 4

Bila ditinjau dari faktor etiologis, maka epilepsi dibagi menjadi 2 kelompok : 4
1. Epilepsi idiopatik
Sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya pasien tidak
menunjukkan manifestasi cacat otak dan tidak bodoh. Sebagian dari jenis idiopatik
disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik. Kata idiopatik diperuntukkan bagi
pasien epilepsi yang menunjukkan bangkitan kejang umum sejak dari permulaan serangan.
Dengan bertambah majunya pengetahuan serta kemampuan diagnostik, maka golongan
idiopatik makin berkurang. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik
.
2. Epilepsi simtomatik
Hal ini dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial dan
ekstrakranial. Penyebab intrakranial, misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma
otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut. Penyebab yang bermula
ekstrakranial dan kemudian menganggu fungsi otak, misalnya: gagal jantung, gangguan
pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan
keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi, hidrasi lebih).
Kelainan struktural tidak cukup untuk menimbulkan bangkitan epilepsi, harus dilacak
faktor-faktor yang ikut berperan dalam mencetuskan bangkitan epilepsi, contohnya, yang
mungkin berbeda pada tiap pasien adalah stress, demam, lapar, hipoglikemia, kurang tidur,
alkalosis oleh hiperventilasi, gangguan emosional.

PATOGENESIS
Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu abad yang lalu oleh John Hughlings
Jackson, bapak epilepsi modern. Pada fokus epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang
timbul kadang-kadang, secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat; letupan ini menjadi bangkitan
umum bila neuron normal disekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut. Konsep ini masih
tetap dianut dengan beberapa perubahan kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal yang
menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi memang dapat dibuktikan. Terjadinya epilepsi
sampai saat ini belum terungkap secara rinci.

Beberapa faktor yang ikut berperan telah terungkap, misalnya : 4

 Gangguan pada membran sel neuron


Potensial sel membran neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut terhadap ion
natrium dan kalium. Membran neuron permeabel sekali terhadap ion kalium dan kurang
Putri Cantika Reviera/1102013230

permeabel terhadap ion natrium, sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang
tinggi dan konsentrasi ion natrium yang rendah di dalam sel pada keadaan normal. Bila
keseimbangan terganggu, sifat semipermeabel berubah, sehingga ion natrium dan
kalium dapat berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan kadar ion dan
perubahan kadar potensial yang menyertainya. Semua konvulsi, apapun pencetus atau
penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan meningkatnya konsentrasi ion
natrium di dalam sel.

 Gangguan pada mekanisme inhibisi presinap dan pascasinap


Transmiter eksitasi (asetilkolin, asam glutamat) mengakibatkan depolarisasi, zat
transmiter inhibisi (GABA, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya.
Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan
keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Gangguan sintesis
GABA menyebabkan eksitasi lebih unggul dan dapat menimbulkan bangkitan epilepsi

 Sel Glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstrasel disekitar neuron dan
terminal presinap. Pada keadaan cedera, fungsi glia yang mengatur konsentrasi ion
kalium ekstrasel dapat terganggu dan mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel
neuron disekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar ion kalium ekstrasel dibanding
intrasel dapat mendepolarisasi membran neuron. Astroglia berfungsi membuang ion
kalium yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron.
Bila sekelompok sel neuron tercetus maka didapatkan 3 kemungkinan : 4
1. Aktivitas ini tidak menjalar ke sekitarnya melainkan terlokalisasi pada kelompok neuron
tersebut, kemudian berhenti
2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, tetapi tidak melibatkan seluruh otak kemudian
menjumpai tahanan dan berhenti
3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak kemudian berhenti

Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan epilepsi parsial, sedangkan pada keadaan
3 didapatkan kejang umum. Jenis bangkitan epilepsi bergantung kepada letak serta fungsi sel
neuron yang berlepas muatan listrik berlebih serta penjalarannya. Kontraksi otot somatik
terjadi bila lepas muatan melibatkan daerah motor di lobus frontalis. Gangguan sensori akan
terjadi bila struktur di lobus parietalis dan oksipitalis terlibat. Kesadaran menghilang bila lepas
muatan melibatkan batang otak dan talapus. Sel neuron di serebelum, di bagian bawah batang
otak dan di medula spinalis tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. 4
Saat terjadi bangkitan kejang, aktivitas pemompaan natrium bertambah, dengan
demikian kebutuhan akan senyawa ATP bertambah, dengan kata lain kebutuhan oksigen dan
glukosa meningkat, maka peningkatan kebutuhan ini masih dapat dipenuhi. Namun bila kejang
berlangsung lama, ada kemungkinan kebutuhan akan oksigen dan glukosa tidak terpenuhi,
sehingga sel neuron dapat rusak atau mati. 4

MENEGAKKAN DIAGNOSA
a. ANAMNESIS
Pada anamnesis, yang pertama dilakukan adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan
dengan maksud mendapat gambaran yang setepat-tepatnya tentang sawan yang yang
Putri Cantika Reviera/1102013230

terjasi. Usaha untuk mendapatkan gambaran bangkitan kejang yang diuraikan berikut
ini berdasarkan klasifikasi jenis bangkitan epilepsi Internasional 1981. 8
KLASIFIKASI BANGKITAN ATAU SERANGAN KEJANG 6, 8, 10
(International League Againts Epilepsi, 1981)
1. Kejang Parsial
Kejang parsial merupakan kejang dengan onset lokal pada satu bagian tubuh
dan biasanya disertai dengan aura. Kejang parsial timbul akibat
abnormalitas aktivitas elektrik otak yang terjadi pada salah satu hemisfer
otak atau salah satu bagian dari hemisfer otak.
 Kejang parsial sederhana tidak disertai penurunan kesadaran
 Kejang parsial kompleks disertai dengan penurunan kesadaran
2. Kejang Umum
Kejang umum timbul akibat abnormalitas aktivitas elektrik neuron yang
terjadi pada seluruh hemisfer otak secara simultan
 Absens
Ciri khas serangan absens adalah durasi singkat, onset dan terminasi
mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik
pada mata, dagu dan bibir.

 Mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat
umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satau atau lebih
ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.
 Klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang
kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.
 Tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas
menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan
kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah
menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat
bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, pupil
dilatasi.
 Tonik Klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian
diikuti oleh gerakan klonik.
 Atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala
jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga
pasien terjatuh.
3. Kejang Tidak Dapat Diklasifikasi
Sebagian besar serangan yang terjadi pada bayi baru lahir termasuk
golongan ini.

b. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasanya. 8

c. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Putri Cantika Reviera/1102013230

Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium,magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalam


darah. Yang memudahkan timbulnya kejang adalah keadaaan hipoglikemia,
hipomagnesemia, hipo atau hipernatremia, hiperbilirubinemia, uremia. Penting pula
diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin pula disertai kejang. 8

d. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Pada foto rontgen kepala sapat dilihat adanya kelainan-kelainan pada tengkorak.
Kalsifikasi abnormal dapat dijumpai pada toksoplasmosis, meningioma. Sken
tomografik olahan komputer dapat lebih jelas menunjukkan kelainan-kelainan pada
tengkorak dan dalam rongga intrakranium. 8

e. PEMERIKSAAN PENUNJANG 5
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang diagnosis epilepsi adalah: 8
1. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrobrospinalis pada penderita epilepsi umumnya normal. Pungsi
lumbal dilakukan pada penderita yang dicurigai meningitis.
2. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita epilepsi. EEG dapat
mengkonfirmasi aktivitas epilepsi bahkan dapat menunjang diagnosis klinis
dengan baik, tetapi tidak dapat menegakkan diagnosis secara pasti. Adanya
kelainan fokal pada EEG menunjukan kemungkinan adanya lesi struktural di
otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetika atau metabolik.
Perlu diingat bahwa tidak selalu gangguan fungsi otak dapat tercermin
dalam rekaman EEG. EEG normal dapat dijumpai pada anak yang nyata-nyata
menderita kelainan otak. Kira-kira 10% pasien epilepsi mempunyai EEG yang
normal.
Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila :
 Asimetris irama dan voltage gelombang pada daerah yang sama dikedua
hemisfer otak
 Irama gelombang tidak teratur
 Irama gelombang lebih lambat dibandingkan seharusnya
 Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak yang
normal, seperti gelombang tajam paku (spike), paku-ombak, paku
majemuk.
Pemeriksaan EEG berfungsi dalam mengklisifikasikan tipe kejang dan
menentukan terapi yang tepat. EEG harus diulangi apabila kejang sering dan
berat walaupun sedang dalam pengobatan, apabila terjadi perubahan pola
kejang yang berarti atau apabila timbul defisit neurologi yang progresif.
3. Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan antara lain foto polos kepala, angiografi
serebral, CT-scan, MRI. Pada foto polos kepala dilihat adanya tanda-tanda
peninggian tekanan intrakranial, asimetris tengkorak, perkapuran abnormal
tetapi pemeriksaan ini sudah banyak ditinggalkan. Angiogarafi dilakukan pada
pasien yang akan dioperasi karena adanya fokus epilepsi berupa tumor.
CT-scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi adanya malformasi otak
kongenital. Indikasi CT-scan dan MRI antara lain kesulitan dalam mengontrol
kejang, ditemukannya kelainan neurologis yang progresif dalam pemeriksaan
fisik, perburukan dalam hasil EEG, curiga terhadap peningkatan tekanan
Putri Cantika Reviera/1102013230

intrakranial dan pada kasus-kasus dimana dipertimbangkan untuk dilakukan


pembedahan.

DIAGNOSIS BANDING
1.Sinkope
sinkope ialah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan aliran darah ke
dalam otak dan anoksia. Sebabnya ialah tensi darah yang menurun mendadak, biasanya
ketika penderita sedang berdiri. Pada 75% kasus-kasus terjadi akibat gangguan emosi.
Pada fase permulaan, penderita menjadi gelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa
pusing, pandangan mengelam. Kesadaran menurun secara berangsur, nadi melemah,
tekanan dara rendah. Dengan diaringkan horizontal penderita segera membaik. 7, 8

2.Hipoglikemia
Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor, mulut kering.
Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan. 8

3.Histeria
Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita terutama antara 7-15
tahun. Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin
menarik perhatian. Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol atau perubahan
pasca serangan seperti terdapat pada epilepsi. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak
menyerupai kejang tonik-klonik, tetapi bisa menyerupai sindroma hiperventilasi.
Timbulnya serangan sering berhubungaqn dengan stress. 8
PENGOBATAN EPILEPSI
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah. Yang
terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar darah otak dan
mencapai reseptor susunan saraf pusat. 9
Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak kambuh.
Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat antiepilepsi. 9

Prinsip pengobatan epilepsi : 9


1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom epilepsi
2. Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi
3. Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat antiepilepsi yang pertama gagal
4. Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang

OAE pilihan pertama dan kedua : 9, 10


1. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder)
OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
2. Serangn tonik klonik
OAE I :Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
3. Serangan absens
OAE I : Etosuksimid, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin
4. Serangan mioklonik
OAE I : Benzodiazepin, asam valproat
OAE II : Etosuksimid
Putri Cantika Reviera/1102013230

5. Serangan tonik, klonik, atonik


Semua OAE kecuali etosuksinid

PENGHENTIAN OBAT ANTI EPILEPSI


Penghentian pemberian obat pada penderita epilepsi, dilakukan pada keadaan – keadaan
sebagai berrikut: 9
● Pada epilepsi yang sulit diatasi lakukan pemantauan yang intensif untuk mencari diagnosis
yang sebenarnya dan pengobatan yang sesuai. Selain itu dipergunakan pemantauan EEG
yang cermat dan lebih lama dari 20 menit.
● Epilepsi dicegah dengan perawatan pada masa prenatal dan perinatal. Tindakan selanjutnya
adalah diagnosis dan pengobatn dini semasa bayi dengan OAE yang tepat. Bila pengobatan
tidak memberikan efek sama sekali, dapat dipertimbangkan untuk pembedahan. Bila pada
pemeriksaan PET scan pada anak dengan berbagai jenis epilepsi yang berat ditemukan
adanya hipometabolisme unilateral yang difus, maka dapat dilakukan reseksi lokal sampai
hemisferektomi.
● Pertimbangan penghentian pengobatan didasarkan atas pertimbangan keseimbangan antara
resiko penggunaan OAE yang terus menerus (intoksikasi kronis, efek teratogenik) dan
resiko kemungkinan kambuh serangan (cedera, pekerjaan). Penghentian pengobatan
dilakukan setelah bebas serangan selama 2 tahun atau lebih, perlahan-lahan dalam waktu
beberapa bulan (4-6 bulan atau 25% setiap 2-4 minggu), diskusikan kemungkinan
kekambuhan. Risiko kambuh setelah penghentian obat dalam 1 tahun pertama 25% dan
menjadi 29% dalam 2 tahun. Kekambuhan terjadi 80% dalam tahun pertama.
● Faktor yang mempengaruhi risiko kekambuhan : masa bebas serangan sebelum
penghentian obat singkat, banyak macam tipe serangan, kejang tonik-klonik, perlu waktu
lama untuk mencapai bebas serangan, poloterapi, EEG abnormal, pemeriksaan neurologis
abnormal, timbul serangan pada saat penghentian obat.

PROGNOSIS
Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun. Bila
lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak mengalami
kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi. 30% penderita tidak
akan mengalami remisi walau sudah minum obat teratur. 1
Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur
awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami remisi pada
hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang, remisi lebih sering
terjadi. 1
Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan faktor
yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung pada
faktor yang sama dengan remisi kejang. 3
Putri Cantika Reviera/1102013230

SINDROMA NEFROTIK

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak. Penyakit tersebut
ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria masif (>40
mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+),
hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia.5

Etiologi
Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, primer atau
idiopatik, dan sekunder.5

1) Kongenital

Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah11 :

 - Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)


 - Denys-Drash syndrome (WT1)
 - Frasier syndrome (WT1)
 - Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
 - Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
 - Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
 - Nail-patella syndrome (LMX1B)
 - Pierson syndrome (LAMB2)
 - Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
 - Galloway-Mowat syndrome
 - Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome

2) Primer

Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik adalah sebagai
berikut :

o - Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)


o - Glomerulosklerosisfokalsegmental(GSFS)
o - MesangialProliferativeDifuse(MPD)
o - Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
o - NefropatiMembranosa(GNM)

3) Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut :

o - lupus erimatosus sistemik (LES)


o - keganasan, seperti limfoma dan leukemia
- vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis
denganpoliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan
Putri Cantika Reviera/1102013230

poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch


Schonlein
o - Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis

Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik5:

1) Remisi

Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-
turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.

2) Relaps

Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
>2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut relaps.

3) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)


Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari) selama
4 minggu mengalami remisi.

4) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari) selama
4 minggu tidak mengalami remisi.

5) Sindrom nefrotik relaps jarang


Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau < 4
kali dalam 1 tahun.

6) Sindrom nefrotik relaps sering

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau ≥ 4
kali dalam 1 tahun.

7) Sindrom nefrotik dependen steroid


Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis prednison diturunkan
menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan terjadi 2 kali berturut-turut.

Klasifikasi
Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai
penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan
prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi.5 Berdasarkan hal tersebut, saat ini
klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu :

1) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)


Putri Cantika Reviera/1102013230

2) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

Manifestasi klinis dan patofisiologi

Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler
glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan
yang luas dari prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran
penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada
sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal segmental
glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosit yang
teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler. Selain itu,
mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan
focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).

Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen
WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk
nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.4

1) Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi protein ≥ 40
mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini digunakan untuk
membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik.13

2) Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah
hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi
hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.

Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan
jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara dominan
terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah
resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia
merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan
katabolisme albumin.14

Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian
hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-satunya penyebab
pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali
lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan
hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai kontribusi
terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh
karena itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju
sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin.14

Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%, sedangkan
penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia menunjukan bahwa laju
sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan normal meskipun diberikan diet protein
Putri Cantika Reviera/1102013230

yang adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar tidak
adekuat.

Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan regulator mayor sintesis protein.
Bukti eksperimental pada tikus yang secara genetik menunjukkan adanya defisiensi dalam
sirkulasi albumin, menunjukkan dua kali peningkatan laju transkripsi gen albumin hepar
dibandingkan dengan tikus normal.14 Meskipun demikian, peningkatan sintesis albumin di
hepar pada tikus tersebut tidak adekuat untuk mengompensasi derajat hipoalbuminemia, yang
mengindikasikan adanya gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada pasien sindrom
nefrotik, penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk meningkatkan laju sintesis albumin
di hati sejauh mengembalikan konsentrasi plasma albumin. Ada juga bukti pada subjek yang
normal bahwa albumin interstisial hepar mengatur sintesis albumin. Oleh karena pada sindrom
nefrotik pool albumin interstisial hepar tidak habis, respon sintesis albumin normal dan naik
dengan jumlah sedikit, tetapi tidak mencapai level yang adekuat.

Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin. Sintesis mRNA albumin hepar dan
albumin tidak meningkat pada tikus ketika diberikan diet rendah protein, tetapi sebaliknya,
meningkat pada tikus yang diberikan diet tinggi protein. Meskipun begitu, level albumin serum
tidak mengalami perubahan karena hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan konsumsi
protein menyebabkan peningkatan albuminuria.

Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik masih
merupakan hal yang kontroversial. Dalam penelitian terdahulu dikemukakan bahwa kapasitas
transportasi albumin tubulus ginjal telah mengalami saturasi pada level albumin terfiltrasi yang
fisiologis dan dengan peningkatan protein yang terfiltrasi yang hanya diekskresikan dalam urin,
bukan diserap dan dikatabolisme. Penelitian pada perfusi tubulus proksimal yang diisolasi pada
kelinci membuktikan sebuah sistem transportasi ganda untuk uptake albumin. Sebuah sistem
kapasitas rendah yang telah mengalami saturasi pada muatan protein yang berlebih, tetapi
masih dalam level fisiologis,terdapat pula sebuah sistem kapasitas tinggi dengan afinitas yang
rendah, memungkinkan tingkat penyerapan tubular untuk albumin meningkat karena beban
yang disaring naik. Dengan demikian, peningkatan tingkat fraksi katabolik dapat terjadi pada
sindrom nefrotik.14

Hipotesis ini didukung oleh adanya korelasi positif di antara katabolisme fraksi albumin dan
albuminuria pada tikus dengan puromycin aminonucleoside PAN yang diinduksi hingga
14
nefrosis. Namun, karena simpanan total albumin tubuh menurun dalam jumlah banyak pada
sindrom nefrotik, laju katabolik absolut mungkin normal atau bahkan kurang. Hal ini
berpengaruh pada status nutrisi, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa katabolisme
albumin absolut berkurang pada tikus nefrotik dengan diet protein rendah, tetapi tidak pada
asupan diet protein normal.

Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik merupakan akibat dari
perubahan multipel pada homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi dengan baik oleh
adanya sintesis albumin hepar dan penurunan katabolisme albumin tubulus ginjal.14

3) Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom nefrotik.
Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa
Putri Cantika Reviera/1102013230

adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler da menyebabkan


cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus
menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu
tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid
plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler
dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.15

Kelainan glomerulus

Albuminuria
↓ Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik koloid plasma ↓ ↓
Volume plasma ↑

Retensi Na renal sekunder ↑

Edema

Gambar 1. Teori underfilled15

Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke
dalam ruang interstisial menyebabkan terbentuknya edema.15

Gambar 2. Teori overfilled15

4) Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein

serum meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain
yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam
hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan
kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma
Putri Cantika Reviera/1102013230

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik, antara lain16 :

1) Urinalisis dan bila perlu biakan urin Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik
yang mengarah pada infeksi saluran kemih (ISK).

2) Protein urin kuantitatif

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari.

3) Pemeriksaan darah

- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED)

- Albumin dan kolesterol serum


- Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin.

Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus Schwartz. Rumus
Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).17

eLFG = k x L/Scr

2
eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m )

L : tinggi badan (cm)


Scr : serum kreatinin (mg/dL)
k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55; remaja putra:0,7)

- Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik, pemeriksaan ditambah dengan
komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA. 2.1.7 Komplikasi

Komplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan sindrom nefrotik yang
relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita infeksi bakterial karena
hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi
imunitas, terapi imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites. Spontaneus bacterial
peritonitis adalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi
traktus urinarius mungkin terjadi. Meskipun Streptococcus pneumonia merupakan organisme
tersering penyebab peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, mungkin juga
ditemukan sebagai penyebab.4

Penatalaksanaan umum

1) Pengukuran berat badan dan tinggi badan

2) Pengukuran tekanan darah


Putri Cantika Reviera/1102013230

3) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik dan purpura Henoch- Schonlein.

4) Pencarian fokus infeksi


Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada setiap infeksi,
seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena kecacingan.

5) Pemeriksaan uji Mantoux


Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan isoniazid (INH)
selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).

Pengobatan kortikosteroid

1) Terapi inisial

Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), terapi inisial untuk
anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah prednison dosis
60mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi
inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam empat minggu pertama
telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2LPB/hari atau 1,5
mg/kgBB/hari, diberikan selang satu hari, dan diberikan satu hari sekali setelah makan pagi.
Apabila setelah dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka pasien
dinyatakan resisten steroid.

2) Pengobatan sindrom nefrotik relaps


Pada pasien sindrom nefrotik relaps diberikan pengobatan prednison dosis penuh hingga terjadi
remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan pemberian dosis alternating selama 4
minggu. Apabila pasien terjadi remisi tetapi terjadi proteinuria lebih dari sama dengan positif
2 dan tanpa edema, terlebih dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria, yang biasanya
disebabkan oleh karena infeksi saluran nafas atas, sebelum diberikan prednison. Apabila
ditemukan infeksi, diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian protenuria menghilang
Putri Cantika Reviera/1102013230

maka pengobatan relaps tidak perlu diberikan. Namun, apabila terjadi proteinuria sejak awal
yang disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan diberikan prednison pada
pasien.

3) Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid Terdapat 4 opsi pengobatan
SN relaps sering atau dependen steroid :

1. Pemberian steroid jangka panjang


2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatika
4. Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)

Perlu dicari pula adanya fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga tengah
atau kecacingan. Penjelasan mengenai empat opsi di atas adalah sebagai berikut :

a. Steroid jangka panjang

Untuk pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid pada anak, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, pengobatan dilanjutkan dengan pemberian steroid dosis
1,5 mg/kgBB secara alternating. Dosis lalu diturunkan perlahan atau secara bertahap 0,2
mg/kgBB setiap 2 minggu hingga dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara
0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis tersebut merupakan dosis threshold dan dapat
dipertahankan

selama 6-12 bulan. Setelah pemberian 6-12 bulan, lalu dicoba untuk dihentikan. Pada anak usia
sekolah umumnya dapat menoleransi prednison dengan dosis 0,5 mg/kgBB dan pada anak usia
pra sekolah dapat menoleransi hingga dosis 1 mg/kgBB secara alternating.

Apabila pada prednison dosis 0,1-0,5 mg/kgBB alternating terjadi relaps, terapi diberikan
dengan dosis 1 mg/kgBB dalam dosis terbagi diberikan setiap hari hingga remisi. Apabila telah
remisi dosis prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgBB secara alternating. Setiap 2 minggu
diturunkan 0,2 mg/kgBB hingga satu tahap (0,2 mg/kgBB) di atas dosis prednison pada saat
terjadi relaps yang sebelumnya.
Putri Cantika Reviera/1102013230

Apabila pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternating terjadi relaps tetapi pada
dosis < 1,0 mg/kgBB alternating tidak menimbulkan efek samping yang berat maka dapat
diikombinasikan dengan levamisol dengan selang satu hari 2,5 mg/kgBB selama 4-12 bulan
atau dapat langsung diberikan siklofosfamid.

Pemberian siklofosamid (2-3 mg/kgBB/hari) selama 8-12 minggu, apabila pada keadaan
berikut :
- Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB alternating, atau
- dosis rumat < 1 mg/kgBB tetapi disertai :

 efek samping steroid yang berat


 pernah relaps dengan gejala yang berat, yaitu hipovolemia, trombosis, dan sepsis.

2. Levamisol
Peran levamisol sebagai steroid sparing agent terbukti efektif.18

Dosis yang diberikan yaitu 2,5 mg/kgBB dosis tunggal, dengan selang satu hari dalam
waktu 4-12 bulan. Levamisol mempunyai efek samping antara lain mual, muntah,
hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatika
4. Siklosporin (CyA)
5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF(

4) Pengobatan sindrom nefrotik dengan kontraindikasi steroid


Apabila terdapat geajala atau tanda yang menjadi kontraindikasi steroid, seperti tekanan
darah tinggi, peningkatan ureum, dan atau kreatinin, infeksi berat, dapat diberikan sitostatik
CPA oral maupun CPA puls. Pemberian siklofosfamid per oral diberikan dengan dosis 2-3
mg/kgBB/hari dosis tunggal. Untuk pemberian CPA puls dosisnya adalah 500-750
mg/m2LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%, diberikan selama 2 jam.
CPA puls diberikan dalam 7 dosis dengan interval 1 bulan.

5) Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid

Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan SN resisten steroid yang memuaskan.
Sebelum dimulai pengobatan pada SN resisten steroid sebaiknya dilakukan biopsi ginjal
untuk melihat gambaran patologi anatomi. Hal ini karena gambaran patologi anatomi akan
mempengaruhi prognosis. Pengobatan pada SNRS adalah:
a. Siklofosfamid (CPA)
b. Siklosporin (CyA)
c. Metilprednisolon puls

Tatalaksana komplikasi sindrom nefrotik

1) Infeksi
Putri Cantika Reviera/1102013230

Adanya teori mengenai peran imunologi pada sindrom nefrotik yang menyebutkan bahwa
terjadi penurunan sistem imun pada pasien dengan sindrom nefrotik sehingga menyebabkan
pasien SN mempunyai kerentanan terhadap infeksi. Apabila telah terbukti adanya komplikasi
berupa infeksi perlu diberikan antibiotik.

Pada pasien SN Infeksi yang sering terjadi adalah selulitis dan peritonitis primer. Penyebab
tersering peritonitis primer adalah kuman gram negatif dan Streptococcus pneumoniae. Untuk
pengobatannya diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin
generasi ketiga (sefotaksim atau seftriakson) selama 10-14 hari.

Pneumonia dan infeksi saluran napas atas karena virus juga merupakan manifestasi yang sering
terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik.

2) Trombosis
Terdapat suatu penelitian prospektif dengan hasil 15% pasien SN relaps terdapat defek
ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh
vaskular paru yang asimtomatik. Pemeriksaan fisik dan radiologis perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis trombosis. Apabila telah ada diagnosis trombosis, perlu diberikan
heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Saat ini tidak
dianjurkan pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah.19

3) Hiperlipidemia

Kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein meningkat pada sindrom nefrotik relaps atau
resisten steroid, tetapi kadar HDL menurun atau normal. Kadar kolesterol yang meningkat
tersebut mempunya sifat aterogenik dan trombogenik. Hal ini dapat meningkatkan morbiditas
kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.20 Untuk itu perlu dilakukan diet rendah
lemak jenuh dan mempertahankan berat badan normal. Pemberian obat penurun lipid seperti
HmgCoA reductase inhibitor (contohnya statin) dapat dipertimbangkan.21

Peningkatan kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein pada sindrom nefrotik sensitif
steroid bersifat sementara sehingga penatalaksanaannya cukup dengan mengurangi diet lemak.

4) Hipokalsemia
Hipokalsemia pada sindrom nefrotik dapat terjadi karena :

o - Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia


o - Kebocoran metabolit vitamin D
Untuk menjaga keseimbangan jumlah kalsium maka pada pasien SN dengan terapi steroid
jangka lama (lebih dari 3 bulan) sebaiknya diberikan suplementasi kalsium 250-500
mg/hari dan vitamin D (125- 250 IU).22 Apabila telah ada tetani perlu diberikan kalsium
glukonas 10% sebanyak 0,5 ml/kgBB intravena.

5) Hipovolemia
Hipovolemia dapat terjadi akibat pemberian diuretik yang berlebihan atau pasien dengan
keadaan SN relaps. Gejala-gejalanya antara lain hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan
sering juga disertai sakit perut. Penanganannya pasien diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat
sebanyak 15-20 mL/kgBB dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau
Putri Cantika Reviera/1102013230

plasma 20 mL/kgBB (tetesan lambat 10 tetes per menit). Pada kasus hipovolemia yang telah
teratasi tetapi pasien tetap oliguria, perlu diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB intravena.

6) Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat
dari toksisitas steroid. Untuk pengobatanya diawali dengan ACE (angiotensin converting
enzyme) inhibitor, ARB (angiotensin receptor blocker), calcium chanel blockers, atau
antagonis β adrenergik, hingga tekanan darah di bawah persentil 90.23

7) Efek samping steroid


Terdapat banyak efek samping yang timbul pada pemberian steroid jangka lama, antara lain
peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan resiko
infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pemantauan terhadap
gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan
setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali pada pasien SN.

2.1.11 Indikasi biopsi ginjal


Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk melakukan biposi ginjal:

1) Pada presentasi awal


Sindrom nefrotik terjadi pertama kali pada usia < 1 tahun atau lebih dari 16 tahun. Pada
pemeriksaan terdapat tanda hematuria nyata

2) Setelah pengobatan inisial


Sindrom nefrotik resisten steroid .Sebelum memulai terapi siklosporin

Indikasi melakukan rujukan kepada ahli nefrologi anak


Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli nefrologi anak:

1) Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun dan riwayat penyakit sindrom nefrotik
di dalam keluarga

2) Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal,
atau dengan disertai gejala-gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit

3) Sindromnefrotikyangdisertaikomplikasiedemarefrakter,trombosis, infeksi berat, dan toksik


steroid

4) Sindrom nefrotik resisten steroid

5) Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid

Hipoalbuminemiapada Sindrom Nefrotik

Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik mempunyai karakteristik yaitu hilangnya albumin


urin dalam jumlah yang besar dan reduksi pada total exchangeable albumin pool.24

Laju pecahan katabolisme albumin meningkat pada pasien nefrotik yang kemungkinan
disebabkan peningkatan katabolisme albumin oleh ginjal. Namun, tingkat katabolik albumin
Putri Cantika Reviera/1102013230

absolut menurun pada pasien nefrotik. Sintesis albumin dapat meningkat tetapi tidak cukup
untuk mempertahankan konsentrasi serum albumin normal atau albumin pool. Augmentasi diet
protein pada tikus nefrotik langsung merangsang sintesis albumin dengan meningkatkan
konten mRNA albumin di hati, tetapi juga menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap makromolekul. Ketika diet protein dibatasi, laju sintesis albumin tidak meningkat,
baik pada pasien nefrotik atau tikus nefrotik, meskipun hipoalbuminemia berat. Meskipun
suplemen protein dapat menyebabkan keseimbangan nitrogen, tetapi pemberian suplemen
protein saja tidak dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi albumin serum, tetapi
sebaliknya dapat menyebabkan deplesi albumin pool yang lebih lanjut karena perubahan yang
diinduksi dalam rejeksi glomerulus.25

2.3 Albumin

Albumin merupakan protein sederhana tetapi menjadi protein utama dalam plasma manusia,
yaitu terdapat 3,4-4,7 g/dL. Struktur albumin berupa globular dan tersusun dari ikatan
polipeptida tunggal dengan susunan asam amino. Kurang lebih 40% albumin terdapat dalam
plasma dan 60% terdapat di ruang ekstrasel.26

Albumin dihasilkan oleh hati sekitar 12 gram per hari. Produksi albumin tersebut sekitar 25%
dari semua jenis sintesis protein oleh hati dan separuh dari jumlah protein yang
diekskresikannya. Albumin mula-mula dibentuk sebagai suatu praproprotein. Peptida sinyal
akan dikeluarkan sewaktu protein ini masuk ke dalam sisterna retikulum endoplasma kasar dan
heksapeptida di terminal amino yang terbentuk, kemudian diputuskan ketika protein ini
menempuh jalur sekretorik.

Pada manusia, albumin terdiri dari satu rantai polipeptida dengan 585 asam amino dan
mengandung 17 ikatan disulfida. Albumin dapat dibagi dengan menggunakan protease
sehingga menjadi tiga domain yang memiliki fungsi yang berbeda-beda. Bentuk elips albumin
mengandung arti bahwa albumin tidak meningkatkan viskositas plasma sebanyak peningkatan
yang dilakukan oleh molekul dengan bentuk panjang, seperti halnya fibrinogen.

Albumin memiliki massa molekul 69 kDa, yang berarti relatif rendah, dan konsentrasi yang
tinggi. Hal ini menjadikan albumin dapat menentukan sekitar 75-80% tekanan osmotik plasma
manusia.26

Selain berfungsi sebagai penentu tekanan osmotik plasma manusia, albumin juga mempunyai
beberapa fungsi vital lain, salah satunya yaitu mengikat berbagai ligan. Ligan-ligan tersebut
antara lain asam lemak bebas (free fatty acid/FFA), kalsium, hormon steroid tertentu, bilirubin,
dan sebagian triptofan plasma. Fungsi lain albumin yaitu sebagai pengangkut tembaga dalam
tubuh manusia. Albumin

juga memiliki peran dalam farmakologis, yaitu berikatan dengan sulfonamid, penisilin G,
dikumarol, dan aspirin.Asam Amino Glisin Alanin Valin Leusin Isoleusin Serin Treonin
Sistein 1⁄2 Metionin Fenilalanin Tirosin Prolin Asam Aspartat Asam Glutamat Lisin Arginin
Histidin

Berat badan
Putri Cantika Reviera/1102013230

Berat badan merupakan salah satu indikasi antropometri yang lazim digunakan selain panjang
badan atau tinggi badan, lingkar kepala, dan lingkar lengan. Berat badan menunjukkan jumlah
protein, lemak, massa tulang, air, dan mineral. Agar berat badan dapat menjadi sebuah data
yang valid,

penghitungannya memerlukan data parameter lain seperti umur, jenis kelamin, dan panjang
badan atau tinggi badan.27

Alat yang digunakan untuk mengukur berat badan adalah timbangan, seperti timbangan digital
atau timbangan dacin. Pengukuran berat badan sebaiknya diukur dalam keadaan anak dengan
baju yang minimal atau jika mungkin tanpa mengenakan baju.

Pada anak dengan sindrom nefrotik, peningkatan berat badan yang terjadi terkait dengan
adanya retensi cairan. Retensi cairan ini akan menyebabkan terjadinya manifestasi klinik
berupa edema.28
Putri Cantika Reviera/1102013230

SINDROM NEFRITIK AKUT

(SNA)

Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria,
hematuria, azotemia, red blood cast, oligouria, dan hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara
akut.(1)

Istilah SNA sering digunakan bergantian dengan Glomerulonefritis Akut (GNA). GNA ini
adalah suatu istilah yang sifatnya lebih umum dan lebih menggambarkan proses histopatologi
berupa proliferasi dan inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. Jadi, SNA merupakan
istilah yang bersifat klinik dan GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik.(1)

Berbagai penyakit atau keadaan yang digolongkan ke dalam SNA antara lain: (1,6)

 Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut


 Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria:
o Glomerulonefritis fokal
o Nefritis heriditer (sindrom Alport)
o Nefropati Ig-A Ig-G (Maladie de Berger)
o Benign recurrent hematuria
 Glomerulonefritis progresif cepat
 Penyakit-penyakit sistemik:
o Purpura Henoch-Schoenlein (HSP)
o Lupus erythematosus sistemik (SLE)
o Endokarditis bakterial subakut (SBE) (1,6)

Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering
mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki
dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. (2)

Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun
(kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa
mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak
mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya
(sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.(2)

ETIOLOGI

1. Faktor Infeksi
a. Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus Beta Hemolyticus (Glomerulonefritis
Akut Pasca Streptokokus). Sindroma nefritik akut bisa timbul setelah suatu infeksi oleh
streptokokus, misalnya strep throat (radang tenggorokan). Kasus seperti ini disebut
glomerulonefritis pasca streptokokus. Glomeruli mengalami kerusakan akibat penimbunan
antigen dari gumpalan bakteri streptokokus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya.
Gumpalan ini membungkus selaput glomeruli dan mempengaruhi fungsinya. Nefritis timbul
dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi dan bakteri streptokokus telah
mati, sehingga pemberian antibiotik akan efektif. (6)
Putri Cantika Reviera/1102013230

b. Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain : endokarditis bakterialis subakut
dan Shunt Nephritis. Penyebab post infeksi lainnya adalah virus dan parasit, penyakit ginjal
dan sistemik, endokarditis, pneumonia. Bakteri : diplokokus, streptokokus, staphylokokus.
Virus: Cytomegalovirus, coxsackievirus, Epstein-Barr virus, hepatitis B, rubella. Jamur dan
parasit : Toxoplasma gondii, filariasis, dll. (6)

2. Penyakit multisistemik, antara lain :


a. Lupus Eritematosus Sistemik
b. Purpura Henoch Schonlein (PHS) (1,6)

3. Penyakit Ginjal Primer, antara lain :


a. Nefropati IgA (1)

EPIDEMIOLOGI

Glomerulonefritis akut pasca streptokok yang klasik terutama menyerang anak dan orang
dewasa muda, dengan meningkatnya usia frekuensinya makin berkurang. Paling sering
ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 :
1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. (2, 3)

Lebih sering pada musim dingin dan puncaknya pada musim semi. Paling sering pada anak-
anak usia sekolah.(3)

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS

Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius
bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe
12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus
dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya
glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina, diisolasinya kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita. (3,7)

Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang
10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada
yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi,
keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah
infeksi kuman streptococcus. (7)

Patogenesis yang mendasari terjadinya GNAPS masih belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan pemeriksaan imunofluorosensi ginjal, jelas kiranya bahwa GNAPS adalah suatu
glomerulonefritis yang bermediakan imunologis. Pembentukan kompleks-imun in situ diduga
sebagai mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokokus. (1)

Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus,
merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap IgG yang
telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang
kemudian mengendap di ginjal. (7)
Putri Cantika Reviera/1102013230

Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS.
Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini
diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem
komplemen. Pada pemeriksaan imunofluoresen dapat ditemukan endapan dari C3 pada
glomerulus, sedang protein M yang terdapat pada permukaan molekul, dapat menahan
terjadinya proses fagosistosis dan meningkatkan virulensi kuman. Protein M terikat pada
antigen yang terdapat pada basal membran dan IgG antibodi yang terdapat dalam sirkulasi. (3)

Pada GNAPS, sistem imunitas humoral diduga berperan dengan ditemukannya endapan C3
dan IgG pada subepitelial basal membran. Rendahnya komplemen C3 dan C5, serta normalnya
komplemen pada jalur klasik merupakan indikator bahwa aktifasi komplemen melalui jalur
alternatif. Komplemen C3 yang aktif akan menarik dan mengaktifkan monosit dan neutrofil,
dan menghasilkan infiltrat akibat adanya proses inflamasi dan selanjutnya terbentuk eksudat.
Pada proses inflamasi ini juga dihasilkan sitokin oleh sel glomerulus yang mengalami injuri
dan proliferasi dari sel mesangial. (1,7)

Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut. Beberapa ahli
mengajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis


glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan
badan auto-imun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen
antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane
basalis ginjal. (7)

Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang
mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau alternatif
dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli, menyebabkan terjadinya :

1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit)


2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG) juga
menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam akibat
kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia, kongesti
vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi, kardiomegali),
azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia
semakin nyata, bila LFG sangat menurun.
3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2 yang
bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan menyebabkan perfusi
ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun disamping timbulnya
hipertensi.

Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek adrenal untuk melepaskan
aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan akhirnya terjadi hipervolemia
dan hipertensi. (1)
Putri Cantika Reviera/1102013230

GEJALA KLINIS

SNA sering terjadi pada anak laki-laki usia 2-14 tahun, gejala yang pertama kali muncul adalah
penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) di sekitar wajah dan kelopak mata
(infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan di wajah dan
kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat.
Berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena mengandung darah,
tekanan darah bisa meningkat. Gejala tidak spesifik seperti letargi, demam, nyeri abdomen,
dan malaise. Gejalanya : (8)

 Onset akut (kurang dari 7 hari)


 Hematuria baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Gross hematuria 30%
ditemukan pada anak-anak.
 Oliguria
 Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anak-anak; edema bisa
ditemukan sedang sampai berat.
 Sakit kepala, jika disertai dengan hipertensi.
 Dyspnea, jika terjadi gagal jantung atau edema pulmo; biasanya jarang.
 Kadang disertai dengan gejala spesifik; mual dan muntah, purpura pada Henoch-
Schoenlein, artralgia yang berbuhungan dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
(6,7,8)

Gejala lain yang mungkin muncul :

 Pengelihatan kabur
 Batuk berdahak
 Penurunan kesadaran
 Malaise
 Sesak napas (6)

Pemeriksaan Urine terdapat sedimen eritrosit (+) sampai (++++), juga torak eritrosit (+) pada
60-85% kasus. Pada pemeriksaan darah, didapatkan titer ASO meningkat dan kadar C3
menurun. Pada pemeriksaan ‘throat swab’ atau ‘skin swab’ dapat ditemukan streptokokkus.
Pemeriksaan foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan
berupa kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic lung). (8)

DIAGNOSIS

1. Kriteria Klinik:(8)

1. Onsetnya akut. (kurang dari 7 hari)


2. Edema. Paling sering muncul di Palpebra pada saat bangun pagi, disusul tungkai,
abdomen, dan genitalia.
3. Hematuri. Hematuri makroskopik berupa urin coklat kemerah-merahan seperti teh tua
/ air cucian daging biasanya muncul pada minggu pertama. Hematuri makroskopik
muncul pada 30 – 50 % kasus, sedangkan hematuri mikroskopik ditemui pada hampir
semua kasus
4. Hipertensi. Muncul pada 50-90% kasus, umumnya hipertensi ringan dan timbul dalam
minggu pertama. Adakalanya terjadi hipertensi ensefalopati (5-10% kasus). Dikatakan
Putri Cantika Reviera/1102013230

hipertensi jika tekanan darah sistolik dan atau diastolik tiga kali berturut-turut di atas
persentil 95 menurut umur dan jenis kelamin. Praktisnya:
1. Hipertensi ringan jika tekanan darah diastolik 80 – 95 mmHg
2. Hipertensi sedang jika tekanan darah diastolik 95 – 115 mmHg
3. Hipertensi berat jika tekanan darah diastolik lebih dari 115 mmHg
5. Oligouri. Terdapat pada 5-10% kasus. Dikatakan oligouri bila produksi urin kurang dari
atau sama dengan 1 cc/kgBB/jam. Umumnya terjadi pada minggu pertama dan
menghilang bersama dengan diuresis pada akhir minggu pertama.

2. Laboratorium(8)

1. Sedimen Urin
1. Eritrosit (+) sampai (++++)
2. Torak eritrosit (+) pada 60 – 85% kasus
2. Darah
1. Titer ASO meningkat pada 80 – 95% kasus.
2. Kadar C3 (B1C globulin) turun pada 80 – 90% kasus.

3. Pemeriksaan Penunjang(8)

1. Laboratorium
1. Darah
 LED dan hematokrit diperiksa pada saat masuk rumah sakit dan diulangi
tiap minggu
 Eiwit spektrum (albumin, globulin) dan kolesterol diperiksa waktu
masuk rumah sakit dan diulangi bila perlu
 Kadar ureum, kreatinin, klirens kreatinin diperiksa waktu masuk rumah
sakit.
2. Urin. Proteinuri diperiksa tiap hari
 Kualitatif (-) sampai (++), jarang yang sampai (+++)
 Kuantitatif kurang dari atau sama dengan 2 gram/m2/24 jam
 Volume ditampung 24 jam setiap hari
3. Bakteriologi. Pada Throat swab atau skin swab dapat ditemukan streptokokkus
pada 10-15% kasus
4. Pencitraan. Foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan foto
thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan berupa
kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic lung). Foto
thorax diperiksa waktu masuk rumah sakit dan diulang 7 hari kemudian bila ada
kelainan.

Diagnosis GNAPS ditegakkan bila ada lebih dari atau dua dari empat gejala klinik kardinal
(edema, hematuri, hipertensi, oligouri) disertai meningkatnya kadar ASO dan turunnya kadar
C3. Juga dapat ditegakkan bila keempat gejala kardinal muncul bersamaan (full blown case).(8)

KOMPLIKASI

1. Fase Akut :
Putri Cantika Reviera/1102013230

Komplikasi utamanya adalah Gagal Ginjal Akut. Meskipun perkembangan ke arah sklerosis
jarang, pada 0.5%- 2% pasien dengan Glomerulonefritis Akut tahap perkembangan ke arah
gagal ginjal periodenya cepat.(6)

Komplikasi lain dapat berhubungan dengan kerusakan organ pada sistem saraf pusat dan
kardiopulmoner, bisa berkembang dengan pasien hipertensi berat, encephalopati, dan
pulmonary edema. Komplikasinya antara lain :

1. Retinopati hipertensi
2. Encephalopati hipertensif
3. Payah jantung karena hipertensi dan hipervolemia (volume overload)
4. Edema Paru
5. Glomerulonefritis progresif(7)

2. Jangka Panjang:

1. Abnormalitas urinalisis (microhematuria)


2. Gagal ginjal kronik
3. Sindrom nefrotik (6,7)

PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksaaannya adalah untuk mengurangi inflamasi pada ginjal dan mengontrol
tekanan darah. Pengobatannya termasuk penggunaan antibiotik ataupun terapi lainnya.(6)

1. Tirah baring

Terutama pada minggu pertama penyakit untuk mencegah komplikasi. Sesudah fase akut
istirahat tidak dibatasi lagi tetapi tidak boleh kegiatan berlebihan. Penderita dipulangkan bila
keadaan umumnya baik, biasanya setelah 10-14 hari perawatan.(8)

2. Diet

a. Protein: 1-2 gram/kg BB/ hari untuk kadar Ureum normal, dan 0,5-1 gram/kg BB/hari untuk
Ureum lebih dari atau sama dengan 40 mg%
b. Garam: 1-2 gram perhari untuk edema ringan, dan tanpa garam bila anasarka.
c. Kalori: 100 kalori/kgBB/hari.
d. Intake cairan diperhitungkan bila oligouri atau anuri, yaitu: Intake cairan = jumlah urin +
insensible loss (20-25cc/kgBB/hari + jumlah kebutuhan cairan setiap kenaikan suhu dari
normal [10cc/kgBB/hari])(8)

3. Medikamentosa

1. Antibiotik
Penisilin Prokain (PP) 50.000-100.000 SI/KgBB/hari atau ampisilin/amoxicillin dosis
100mg/kgBB/hari atau eritromisin oral 30-50 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari
untuk eradikasi kuman. Pemberian antibiotik bila ada tonsilitis, piodermi atau tanda-tanda
infeksi lainnya.(8)
Putri Cantika Reviera/1102013230

2. Anti Hipertensi
a. Hipertensi Ringan: Istirahat dan pembatasan cairan. Tekanan darah akan normal dalam 1
minggu setelah diuresis.
b. Hipertensi sedang dan berat diberikan kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari dan furosemide 1-
2mg/kgBB/hari per oral.(8)

4. Tindakan Khusus

Edema Paru Akut: Bila disertai batuk, sesak napas, sianosis, dan pemeriksaan fisis paru
menunjukkan ronkhi basah. Tindakan yang dilakukan adalah:(8)

1. Stop Intake peroral.


2. IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam
3. Pemberian oksigen 2-5 L/menit
4. Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai maksimal 10
mg/kgBB/hari.
5. Bolus NB 2-4 mEq/kgBB/hari bila ada tanda asidosis metabolik

Hipertensi Ensefalopati: Hipertensi dengan tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau diastolik
≥ 120 mmHg, atau selain itu tetapi disertai gejala serebral berupa sakit kepala, muntah,
gangguan pengelihatan, kesadaran menurun, dan kejang. Tindakan yang dilakukan adalah:(8)

1. Stop Intake peroral.


2. IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam
3. Nifedipin sublingual 0,25mg/kgBB diulangi 30-60 menit bila perlu. Atau klonidin
0,002mg/kgBB/kali (IV), dinaikkan dengan interval 2 sampai 3 jam, maksimal
0,05mg/kgBB/hari.
4. Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai maksimal 10
mg/kgBB/hari.
5. Bila tekanan darah telah turun, yaitu diastol kurang dari 100mmHg, dilanjutkan dengan
kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari + furosemide 1-2mg/kgBB/hari.
6. Kejang diatasi dengan antikonvulsan. (8)

You might also like