You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa kanak- kanak merupakan masa dimana konsep sakit dipengaruhi
oleh kemampuan kognitif pada tahap praoperasional. Anak khususnya pada
usia prasekolah sulit membedakan antara dirinya sendiri dan orang lain.
Pemikiran difokuskan pada kejadian eksternal yang dirasakan. Konflik pada
usia anak membuatnya sangat rentan terhadap ancaman cidera tubuh, seperti
kondisi penyakit dan hospitalisasi (Wong, 2009).
Lebih dari 5 juta anak di Amerika Serikat menjalani hospitalisasi
karena prosedur pembedahan dan lebih dari 50% dari jumlah tersebut, anak
mengalami kecemasan dan stres. Diperkirakan juga lebih dari 1,6 juta anak
dan anak usia antara 2-6 tahun menjalani hospitalisasi disebakan karena
injury dan berbagai penyebab lainnya (Disease Control, National Hospital
Discharge Survey (NHDS), 2004 dalam Apriliawati, 2011).
Berdasarkan Survei Kesehatan Nasional di Indonersia (Susenas) tahun
2010 yang dikutip oleh Kaluas,dkk (2015) menyatakan bahwa menurut
kelompok usia 0-4 tahun sebesar 25,8%, usia 5-12 tahun sebanyak 14,91%,
usia 13-15 tahun sekitar 9,1%, usia 16-21 tahun sebesar 8,13%. Angka
kesakitan anak usia 0-21 tahun apabila dihitung dari keseluruhan jumlah
penduduk adalah 14,44%. Anak yang dirawat di rumah sakit akan
berpengaruh pada kondisi fisik dan psikologinya, hal ini disebut dengan
hospitalisasi.
Penyakit dan hospitalisasi pada masa kanak-kanak menjadi krisis yang
harus dihadapi anak karena dapat menyebabkan stres dan trauma. Salah satu
stresor utama pada anak adalah nyeri dan merupakan pengalaman yang
mencemaskan bagi anak (Hockenberry & Wilson, 2009). Sumber nyeri pada
saat hospitalisasi meliputi tindakan medis, tindakan keperawatan dan
prosedur diagnostik. Prosedur medik dan tindakan invasif yang berulang akan
menimbulkan nyeri yang berulang pula pada anak (Wati dkk, 2012).

1
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan
potensial, yang menyakitkan tubuh serta diungkapkan oleh individu yang
mengalaminya. Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan
mengakibatkan dilepasnya bahan –bahan yang dapat menstimulus reseptor
nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan
substansi yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier dkk, 2009).
Menurut Mediani dkk (2015), aktivitas perilaku anak selama prosedur
tindakan pemasangan invasif menunjukan bahwa anak mengalami nyeri
terutama untuk kelompok usia 1-5 tahun (anak usia toodler dan prasekolah).
Hal ini dikarenakan anak usia toddler dan prasekolah belum mampu
mentolerir rasa nyeri yang dirasakan. Nyeri pada anak dapat menimbulkan
peningkatan laju metabolisme dan curah jantung, dan peningkatan retensi
cairan. Nyeri yang berlangsung lama dapat meningkatkan stres pada anak.
Menurut Kirkpactrik & Tobias (2013) bahwa respon anak usia toddler
dan prasekolah terhadap nyeri adalah menangis, peningkatan tekanan darah,
pernafasan dan anak cenderung melindungi bagian yang terasa nyeri. Sejalan
dengan hal itu menurut Hockenberry & Wilson (2009) reaksi anak usia
prasekolah terhadap nyeri cenderung sama dengan yang terlihat pada anak
usia toddler. Namun, terdapat perbedaan seperti respon anak usia prasekolah
terhadap intervensi persiapan dalam hal penjelasan prosedur dan teknik
distraksi lebih baik dibandingkan dengan respon anak toddler.
Hal ini diperkuat oleh Walco & Goldschneider (2008) yang meneliti
tentang prevalensi nyeri dan sumber utama penyebab nyeri pada 200 anak
yang dirawat di rumah sakit anak. Hasilnya ditemukan bahwa tindakan medis
IV (intravena) menduduki tindakan pertama. Walco juga mengevaluasi hasil
penelitiannya berdasarkan tingkatan umur dan diperoleh bahwa distress
paling tinggi yaitu 83% dialami oleh anak toddler, distres cukup tinggi
dialami oleh anak usia sekolah yaitu 51% serta remaja dengan prevalensi
28%. Hal ini menunjukkan bahwa anak toddler dan usia sekolah merasa
distres yang cukup tinggi terhadap nyeri.

2
Salah satu yang menjadi sumber utama nyeri yang sering dilakukan
pada anak-anak adalah prosedur medis invasif (El-Gawad &Elsayed, 2014;
Silva, Pinto,Gomes, &Barbosa,2011).Sejalan dengan penelitian Harrison, et
al (2014), yang menyatakan bahwa anak-anak mengalami nyeri sedang
sampai berat sekitar 82% saat menjalani hospitalisasi akibat prosedur medis
invasif.
Pemasangan infus merupakan salah satu tindakan invasif awal yang
menentukan keberhasilan prosedur tindakan selanjutnya. Apabila kesan
pertama saat dilakukan prosedur tindakan anak merasa nyaman, untuk
dilakukan tindakan selanjutnya akan lebih mudah, karena dalam presepsi
anak tindakan sebelumnya tidak menyakitkan. Hal ini sebagaimana konsep
atraumatic care yang seharusnya dilakukan perawat. Atraumatic care adalah
ketentuan dalam konsep perawatan terapeutik, yang dilakukan perawat
melalui tindakan menghilangkan atau meminimalkan tekanan psikologis dan
fisik yang dialami oleh anak dan keluarga dalam sistem perawatan kesehatan
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Adapun teknik pengurangan nyeri pada dasarnya dikategorikan
menjadi 2 yaitu farmakologi dan nonfarmakologi. Farmakologi termasuk
obat-obatan yang dapat mengurangi nyeri, sedangkan nonfarmakologi
meliput distraksi, relaksasi, stimulasi kutaneus dan imajinasi terpimpin
(guided imagery). Guided imagery adalah teknik pengaturan diri yang
memanfaatkan imajinasi aktif anak menggunakan cerita atau narasi untuk
mempengaruhi pikiran dan sering dikombinasi dengan latar belakang musik
menggunakan sebanyak mungkin indra yang dimiliki, untuk mengubah
perasepsi pengalaman sakit. Guided imagery akan sangat efektif pada anak-
anak dibanding orang dewasa dan lebih membuka kreativitas dan imajinasi
anak (Hart, 2008).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maryam dan
Widodo (2012), menyatakan bahwa dari 56 responden dengan rentang usia 7-
13 tahun yang terbagi dalam 2 kelompok (intervensi dan kontrol) didapatkan
tingkat nyeri yang dirasakan pada anak dalam kelompok kontrol adalah 5
(nyeri hebat) yaitu 42,9%, sedangkan tingkat nyeri pada anak dalam

3
kelompok initervensi adalah 2 (sedikit lebih nyeri) yaitu 39,3% sehingga
terdapat beda yang sangat signifikan antara kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi menggunakan guided imagery.
Berdasarkan observasi yang kelompok lakukan diruang Bedah anak
pada tanggal 5 Maret sampai dengan 18 Maret 2018, ditemukan bahwa 85%
dari total anak yang dirawat baik usia toddler dan prasekolah yang dilakukan
pemasangan infus oleh perawat ruangan memberikan respon menangis,
berteriak, pernafasan cepat, dan menghindar dari sumber nyeri atau lokasi
penusukan. Hal lain yang ditemukan adalah bahwa teknik nonfarmakologi
dalam mengurangi nyeri menggunakan guided imagery pada anak yang
dilakukan pemasangan infus belum diterapkan di RSUP Dr.M.Jamil Padang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis melakukan telaah jurnal
dengan judul “Teknik distraksi guided imagery sebagai alternatif manajemen
nyeri pada anak saat pemasangan infus”.

B. Tujuan Penulisan Telaah Jurnal


1. Tujuan Umum
Untuk memaparkan telaah jurnal yang berhubungan dengan
pengaruh pemberian teknik distraksi Guided imagery sebagai alternatif
manajemen nyeri pada anak saat pemasangan infus
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menelaah jurnal “Teknik Distraksi Guided imagery Sebagai
Alternatif Manajemen Nyeri Pada Anak Saat Pemasangan Infus”
sesuai dengan prosedur penulisan
b. Memaparkan hasil telaah jurnal tentang teknik distraksi guided
imagery sebagai alternatif manajemen nyeri pada anak saat
pemasangan infus.
c. Mampu membahas telaah jurnal “Teknik Distraksi Guided imagery
Sebagai Alternatif Manajemen Nyeri Pada Anak Saat Pemasangan
Infus”

4
C. Manfaat
1. Membantu memberikan informasi mengenai teknik distraksi guided
imagery sebagai alternatif manajemen nyeri pada anak saat pemasangan
infus kepada perawat yang bertugas di Ruang Bedah Anak RSUP Dr. M.
Djamil Padang
2. Membantu menambah informasi mengenai teknik penulisan jurnal yang
baik tentang teknik distraksi guided imagery sebagai alternatif
manajemen nyeri pada anak saat pemasangan infus

5
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP TEKNIK GUIDED IMAGERY


1. Pengertian
Guided imagery adalah metode relaksasi untuk mengkhayalkan tempat
dan kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi yang menyenangkan. Khayalan
tersebut memungkinkan klien memasuki keadaan atau pengalaman relaksasi
(Kaplan & Sadock, 2010). Guided imagery menggunakan imajinasi seseorang
dalam suatu yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu
(Smeltzer & Bare, 2002). Imajinasi bersifat individu dimana individu
menciptakan gambaran mental dirinya sendiri, atau bersifat terbimbing. Banyak
teknik imajinasi melibatkan imajinasi visual tapi teknik ini juga menggunakan
indera pendengaran, pengecap dan penciuman (Potter & Perry, 2009).
Guided imagery mempunyai elemen yang secara umum sama
dengan relaksasi, yaitu sama-sama membawa klien kearah relaksasi.
Guided imagery menekankan bahwa klien membayangkan hal-hal yang
nyaman dan menenangkan. Penggunaan guided imagery tidak dapat
memusatkan perhatian pada banyak hal dalam satu waktu oleh karena itu
klien harus membayangkan satu imajinasi yang sangat kuat dan
menyenangkan (Brannon & Feist, 2000).

2. Tujuan
Guided Imagery atau imajinasi terbimbing merupakan penciptaan
kesan dalam pikiran klien, dan dapat berkonsentrasi pada kesan
tersebut sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi terhadap
nyeri. Sehingga memiliki tujuan, yaitu:
a. Untuk memelihara kesehatan atau relaks melalui komunikasi dalam
tubuh melibatkan semua indra (visual, sentuhan, penciuman,
penglihatan, dan pendengaran) sehingga terbentuklah keseimbangan
antara pikiran, tubuh, dan jiwa.

6
b. Dapat mempercepat penyembuhan yang efektif dan membantu
tubuh mengurangi berbagai macam penyakit seperti depresi, alergi dan
asma.
c. Untuk mengurangi tingkat stres, penyebab, dan gejala-gejala
yang menyertai stres
d. Guided imagery music dapat untuk menggali pengalaman pasien
depresi.

3. Manfaat
Menurut Perry and Potter (2006) imajinasi terpimpin memiliki efek
relaksasi yang bermanfaat terhadap kesehatan seseorang antara lain :
a. Menurunkan nadi, tekanan darah dan pernafasan
b. Menurunkan ketegangan otot
c. Meningkatkan kesadaran global
d. Mengurangi perhatian tehadap stimulus lingkungan
e. Membuat tidak adanya perubahan posisi yang volunter
f. Meningkatkan perasaan damai dan sejahtera
g. Menjadikan periode kewaspadaan yang santai, terjaga dan dalam

4. Prosedur Tindakan
Berikut ini adalah standar operasional prosedur dari
pelaksanaan guided imagery:
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Jelaskan prosedur, tujuan, posisi, waktu dan peran perawat
sebagai pembimbing.
c. Anjurkan klien mencari posisi yang nyaman menurut klien.
d. Duduk dengan klien tetapi tidak mengganggu.
e. Lakukan pembimbingan dengan baik terhadap klien
f. Minta klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan
atau pengalaman yang membantu penggunaan semua indra dengan
suara yang lembut.
g. Ketika klien rileks, klien berfokus pada bayangan dan saat itu perawa
tidak perlu bicara lagi.

7
h. Jika kien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah, atau tidak nyaman
perawat harus menghentikan latihan dan memulainya lagi ketika klien
telah siap
i. Relaksasi akan mengenai seluruh tubuh. Setelah 15 menit klien dan
daerah ini akan digantikan dengan relaksasi. Biasanya klien rileks
setelah menutup mata atau mendengarkan musik yang lembut
sebagai background yang membantu.
j. Catat hal-hal yang digambarkan klien dalam pikiran untuk digunakan
pada latihan selanjutnya dengan menggunakan informasi spesifik yang
diberikan klien dan tidak membuat perubahan pernyataan klien
Teknik pelaksanaan guided imagery pada anak perlu
dimodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan anak, kognitif, dan
pilihan anak. Waktu yang digunakan untuk pelaksanaan guided imagery
pada anak-anak hanya boleh 10-15menit dan anak biasanya tidak suka
menutup mata mereka saat berimajinasi (Snyder, 2008 dalam Dewanti,
2013). Guided imagery dapat disampaikan oleh seorang praktisi/
pemandu, video atau rekaman audio. Rekaman audio dalam guided
imagery berisi panduan imajinasi atau membayangkan hal-hal yang
menyenangkan bagi anak terkait dengan tempat yang menyenangkan
misalnya pantai, aktifitas yang menyenangkan bagi anak misalnya makan
ice cream. Melalui rekaman audio tersebut anak dipandu relaksasi
menarik nafas dalam dan pelan (Snyder, 2006). Relaksasi membuat
pikiran lebih terbuka untuk menerima informasi baru yang diberikan
(Benson, 1993 dalam Snyder, 2006). Untuk selanjutnya anak dipandu
untuk membayangkan hal yang paling menyenangkan dan
membayangkan tiap detail hal yang bisa dirasakan oleh semua indera.
Anak dipandu untuk membayangkan apa yang dapat dilihat, dirasakan,
dibau, dipegang atau disentuh. Rekaman audio ini dapat
dimodifikasi dengan latar belakang musik relaksasi (Snyder,
2006). Bersamaan dengan anak dilakukan imajinasi terbimbing ini,
prosedur pemasangan infus dilakukan

8
B. KONSEP NYERI
1. Pengertian

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak


menyenangkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan
potensial, yang menyakitkan tubuh serta diungkapkan oleh individu yang
mengalaminya. Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan
mengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang dapat menstimulus
reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin,
prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri
(Kozier dkk, 2009).
Definisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah sesuatu
yang menyakitkan tubuh yang diungkapkan secara subjektif oleh individu
yang mengalaminya . Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab
fisik atau sumber yang dapat diidentiftkasi. Meskipun beberapa sensasi
nyeri dihubungkan dengan status mental atau status psikologis, pasien
secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal dan tidak hanya
membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat dari
stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional. (Potter & Perry, 2005).

2. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua yaitu nyeri akut
dan nyeri kronis. Klasifikasi ini berdasarkan pada waktu atau durasi
terjadinya nyeri.
a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam kurun waktu yang
singkat, biasanya kurang dari 6 bulan. Nyeri akut yang tidak diatasi
secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan di luar
ketidaknyamanan yang disebabkannya karena dapat mempengaruhi
sistem pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin, dan
imonulogik (Potter & Perry, 2005).

9
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung selama lebih dari 6
bulan. Nyeri kronik berlangsung di luar waktu penyembuhan yang
diperkirakan, karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Jadi nyeri ini
biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan (Guyton & Hall, 2008).
Nyeri kronik mengakibatkan supresi pada fungsi sistem imun yang
dapat meningkatkan pertumbuhan tumor, depresi, dan
ketidakmampuan.

Berdasarkan sumbernya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri


nosiseptif dan neuropatik (Potter & Perry, 2005).
a. Nyeri nosiseptif
Nosiseptif berasal dari kata “noxsious/harmful nature” dan dalam
hal ini ujung saraf nosiseptif, menerima informasi tentang stimulus
yang mampu merusak jaringan. Nyeri nosiseptif berdifat tajam, dan
berdenyut (Potter & Perry, 2005).
b. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik mengarah pada disfungsi di luar sel saraf. Nyeri
neuropatik terasa seperti terbakar kesemutan dan hipersensitif
terhadap sentuhan atau dingin. Nyeri spesifik terdiri atas beberapa
macam, antara lain nyeri somatik, nyeri yang umumnya bersumber
dari kulit dan jaringan di bawah kulit (superficial) pada otot dan
tulang. Macam lainnya adalah nyeri menjalar (referred pain) yaitu
nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang jauh letaknya dari jaringan
yang menyebabkan rasa nyeri, biasanya dari cidera organ visceral.
Sedangkan nyeri visceral adalah nyeri yang berasal dari bermacam-
macam organ viscera dalam abdomen dan dada (Guyton & Hall,
2008).

10
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi respon terhadap nyeri
diantaranya yaitu berupa usia, jenis kelamin dan budaya:
a. Usia
Batasan usia menurut Depkes RI (2009) yaitu anak-anak mulai
usia 0-12 tahun, remaja usia 13-18 tahun, dewasa usia 19-59 tahun,
lansia usia lebih dari 60 tahun. Usia mempunyai peranan yang penting
dalam mempersepsikan dan mengekspresikan rasa nyeri. Pasien
dewasa memiliki respon yang berbeda terhadap nyeri dibandingkan
pada lansia. Nyeri dianggap sebagai kondisi yang alami dari proses
penuaan. Nyeri dianggap sebagai kondisi yang alami dari proses
penuaan. Cara menafsirkan nyeri ada dua. Pertama, rasa sakit adalah
normal dari proses penuaan. Kedua sebagai tanda penuaan.
b. Jenis Kelamin
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat
keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri.
Berbagai penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan jenis
kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit yang hanya dijumpai
pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat dengan
alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam perbedaan
jenis kelamin (Le Mone & Burke , 2008).
c. Sosial Budaya
Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan
memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan
lainnya dapat membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku
pasien berdasarkan pada harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat
yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman
yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam
rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif dalarn
menghilangkan nyeri pasien (Potter & Perry, 2005).

11
4. Pengukuran Intensitas Nyeri
Menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah sebagai berikut :
a. Skala Pendiskripsian Verbal (VDS)
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan
nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal
Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga
sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama
di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diurut dari “tidak terasa nyeri”
sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien
skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri
terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri
terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah
kategori untuk mendeskripsikan nyeri.

b. Skala Penilaian Numerik (NRS)


Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala ini paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri,
maka direkomendasikan patokan 10 cm (Potter & Perry, 2005).

12
c. Skala Analog Visual (VAS)
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel
subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas
nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih
satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

d. Face Pain Rating Scale


Pengukuran skala nyeri menggunakan Face Pain Rating Scale yaitu
terdiri dari 6 wajah yang tersenyum untuk tidak adanya nyeri hingga
wajah yang menangis untuk nyeri berat (Maryunani, 2013)

13
C. KONSEP PEMASANGAN INFUS
1. Pengertian
Pemasangan infus adalah salah satu cara pemberian theraphy
cairan dengan menggunakan prosedur infasif yang dilaksanakan dengan
menggunakan tehnik aseptik.
2. Tujuan
a. Memenuhi kebutuhan cairan elektrolit
b. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan pengobatan
Pemberian terapi intravena banyak dilakukan di rumah sakit, bahkan
sekarang makin berkembang dengan dilakukan pula dirumah untuk
penggantian cairan, pemberian obat, dan penyediaan nutrient jika tidak ada
pemberian dengan cara lain (Smeltzer & Bare, 2002).
3. Prosedur Tindakan
a. Persiapan alat
 Infus set
 IV catheter
 Cairan infus
 Kapas alkohol
 Kassa steril
 Handscoon steril
 Gunting
 Plester
 Perlak
 Bengkok
 Standar infus
 Torniquet
b. Cara Pemasangan Infus
 Memberikan salam dan memperkenalkan diri
 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan
 Menjaga privasi klien
 Bawa alat ke dekat klien
 Cuci tangan

14
 Siapkan standar infus di sebelah klien dibagian yang akan diinfus
dengan tinggi 90 cm dari tempat tidur
 Buka set infus, periksa kelengkapan dan fungsi bagian-bagiannya,
letakkan control 1/3 atas slang dan tutup klemnya
 Hubungkan infus set dengan botol cairan, gantung cairan pada
tiang infus, isi tabung kontrol ½ bagian, keluarkan udara dari slang
dengan mengalirkan cairan sambil menaikkan ujung atas slang,
dengan tidak membuka jarum infus set, kemudia tutup klem
 Priksa jika masih ada udara di dalam selang, jika ada, selang infus
direnggangkan dan selang dijentik dari bawah ke atas
 Pilih vena yang akan dipasang
- Vena yang besar dan lurus
- Mulai dari bagian distal
 Pasang perlak pengalas di bawah vena yang akan dipasang
 Dekatkan bengkok dan kapas allkohol di dekat klien
 Pasang torniquet 10-15 cm diatas daerah penusukkan dan minta
klien untuk mengepalkan tangan
 Pasang handscoon steril
 Desinfektan area yang akan ditusuk dengan kapas alkohol
 Tusukkan IV cath pada vena dengan sudut 150 dengan lubang
jarum menghadap keatas
 Bila IV cath sudah masuk vena, darah akan terlihat pada pangkal
IV cath, tarik jarum sambil mendorong IV cath ke dalam vena
semuanya
 Tekan bagian atas area penusukkan, buka torniquet dan kepalan
tangan klien. Cabut jarum IV cath, sambungkan dengan infus set,
alirkan cairang dengan membuka kontrol atau klem dengan
perlahan
 Amati kelancaran cairan dan edema, jika ada edema maka lepas
infus dan area penusukkan dipindahkan
 Tutup area penusukkan dengan kassa yang telah diberi bethadine

15
 Fiksasi IV cath dengan plester dengan cara menyilang dan alasi
bagian bawah pangkal IV cath dengan kassa steril yang dipotong
setengah bagian, sambungan IV cath dengan selang infus di plester
dan ditutup dengan kassa, beri plester
 Atur tetesan cairan infus sesuai dengan yang ditentukan
 Botol cairan ditulis jam pemberian dan jumlah tetesan
 Plester diatas kassa ditulis tanggal pemasangan infus
 Rapikan alat
 Buka handscoon dan cuci tangan
 Mengevaluasi reaksi klien, komunikasikan prosedur sudah selesai
dilaksanakan
 Jelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan dan dilaporka pasien
(keluarga) kepada petugas, misal : aliran tidak lancar, edema, jika
melakukan aktivitas, rasa nyeri dan merah pada lokasi pemasangan
 Mendokumentasikan tindakan keperawatan

16
BAB III
TELAAH JURNAL

A. TELAAH PENULISAN JURNAL


1. Judul
Judul : “Teknik Distraksi Guided Imagery sebagai Alternatif Manajemen
Nyeri pada Anak saat Pemasangan Infus”
Setiap jurnal harus memiliki judul yang jelas. Dengan membaca judul akan
memudahkan pembaca mengetahui inti jurnal tanpa harus membaca
keseluruhan dari jurnal tersebut. Judul tidak boleh memiliki makna ganda.
Kelebihan :
a. Pada jurnal ini judul menjelaskan tentang bagaimana teknik distraksi
guided imagery sebagai alternatif manajemen nyeri pada anak saat
pemasangan infus. Dari membaca judul pada jurnal ini, kita dapat
mengetahui bahwa jurnal ini membahas tentang bagaimana teknik
distraksi guided imagery sebagai alternatif manajemen nyeri pada anak
saat pemasangan infus. Judul jurnal sudah baik dan terdiri dari 13 kata,
dimana syarat judul jurnal adalah tidak boleh lebih dari 20 kata, singkat
dan jelas.
b. Pada jurnal ini nama penulis juga sudah ditulis dengan singkat tanpa
gelar.
Kekurangan :
a. Pada judul jurnal ini kurang cocok dengan latar belakang dan isi jurnal,
dikarenakan pada latar belakang dan isi jurnal dikatakan peneliti
melakukan perbandingan respon nyeri menggunakan teknik distraksi
guided imagery dan Ethyl chloride.
b. Pada judul jurnal sudah dipaparkan alamat dan kontak yang bisa
dihubungi tetapi tidak dicantumkan tahun berapa publis jurnal ini di
halaman awal, tahun penerbitan hanya dicantumkan dihalaman akhir.

17
2. Abstrak
“Abstract: Guided Imagery, A Distraction Techniques as an
Alternative to Pain Management in Children during Infusion. The
infusion procedure was the first invasive treatment in Emergency Room
(ER) to fulfill the need of fluid and electrolyte. Nurses need to used the
right method to decrease pain worst in children when having procedure
infusion. The aim of this study was to analyze the differences in children
pain score when having procedural infusion with guided imagery, ethyl
chloride, and deep breathing techniques. This study used quasi-experiment
with post-test treatment, 45 children as a participant by consecutive
sampling techniques. The data was collected using Wong-Baker face pain
rating scale and analyzed by Kruskal-Wallis test. The result showed that ρ
value was 0,338 (ρ>0,05), in which can be concluded that there are no
significant differences on three intervention. The guided imagery could be
used as an alternative pain management on children when having a
procedure of infusion at ER.
Keywords: Ethyl chloride, Guided imagery, Pain in children, Infusion
procedure

Abstrak: Teknik Distraksi Guided Imagery sebagai Alternatif


Manajemen Nyeri pada Anak saat Pemasangan Infus. Pemasangan
infus merupakan tindakan invasif awal yang seringkali dilakukan di
Instalansi Gawat Darurat (IGD) untuk memenuhi kebutuhan cairan dan
elektrolit. Perawat perlu menggunakan metode yang tepat untuk
mengurangi nyeri hebat pada anak saat pemasangan infus. Tujuan
penelitian ini untuk menganalisis perbedaan skor nyeri anak saat
pemasangan infus dengan intervensi guided imagery, ethyl chloride, teknik
napas dalam. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen semu
dengan post-test treatment, 45 anak sebagai responden diambil melalui
consecutive sampling. Data dikumpulkan dengan Wong-Baker face pain
rating scale dan dianalisis secara statistik dengan uji Kruskal-Wallis. Hasil
menunjukkan nilai ρ sebesar 0,338 (ρ>0,05) artinya tidak terdapat

18
perbedaan yang bermakna antara ketiga intervensi. Guided imagery dapat
dijadikan alternatif penatalaksanaan nyeri pada anak saat pemasangan
infus di IGD.
Kata kunci: Ethyl chloride, Guided imagery, Nyeri pada anak,
Pemasangan infus”

Abstrak sebuah jurnal berfungsi untuk menjelaskan secara singkat


tentang keseluruhan isi jurnal. Penulisan sebuah abstrak terdiri dari sekitar
250 kata yang berisi tentang tujuan, metode, hasil, dan kesimpulan isi
jurnal.
Kelebihan :
a. Abstrak pada jurnal ini sudah baik dan berurutan yang terdiri dari latar
belakang, metode, hasil dan kata kunci.
b. Kata kunci dalam jurnal ini tercantum dengan jelas.
c. Jurnal ini memiliki abstrak dengan jumlah kata kurang dari 250 kata.
Kekurangan :
a. Abstrak di jurnal ini tidak menuliskan saran.

3. Pendahuluan
Pendahuluan
Nyeri pada anak merupakan satu hal yang kompleks, individual,
subjektif, dan merupakan hal yang umum terjadi. Nyeri dapat diartikan
sebagai suatu perasaan tidak nyaman atau tidak menyenangkan yang
sering dialami oleh individu (Andarmoyo, 2013). Nyeri pada anak yang
tidak segera diatasi akan berdampak secara fisik maupun perilaku.
Dampak fisik dari nyeri terbagi atas dampak akut (jangka pendek), yang
ditandai dengan peningkatan laju metabolisme dan curah jantung,
kerusakan respon insulin, peningkatan produksi kortisol, dan
meningkatnya retensi cairan. Adapun dampak kronis (jangka panjang),
dimana nyeri berlangsung terus-menerus dan dalam waktu yang lama,
akan meningkatkan stres pada anak serta mengakibatkan ketidakmampuan
melakukan aktifitas.

19
Anak yang harus mendapatkan perawatan di Rumah Sakit seringkali
mendapatkan pengalaman dari berbagai prosedur invasif yang perlu
dijalani. Pemasangan infus merupakan salah satu tindakan invasif awal
yang menentukan keberhasilan prosedur tindakan selanjutnya. Apabila
kesan pertama saat dilakukan prosedur tindakan anak merasa nyaman,
untuk dilakukan tindakan selanjutnya akan lebih mudah, karena dalam
presepsi anak tindakan sebelumnya tidak menyakitkan. Hal ini
sebagaimana konsep atraumatic care yang seharusnya dilakukan perawat.
Atraumatic care adalah ketentuan dalam konsep perawatan terapeutik,
yang dilakukan perawat melalui tindakan menghilangkan atau
meminimalkan tekanan psikologis dan fisik yang dialami oleh anak dan
keluarga dalam sistem perawatan kesehatan (Hockenberry & Wilson,
2009).
Berbagai penelitian kesehatan secara holistik guna mengatasi nyeri telah
banyak dikembangkan, baik berupa terapi farmakologi maupun
nonfarmakologi. Penelitian yang dilakukan oleh Mariyam dan Widodo
(2012) mengenai pengaruh guided imagery terhadap tingkat nyeri anak
saat dilakukan pemasangan infus, dengan hasil rata-rata tingkat nyeri pada
kelompok yang dilakukan guided imagery lebih rendah dibanding
kelompok kontrol. Penelitian lain dalam mengatasi nyeri diteliti oleh
Ismanto (2011) mendapatkan hasil bahwa respon nyeri bayi saat imunisasi
yang diukur dengan skala FLACC, terdapat perbedaan yang signifikan
antara kelompok intervensi ASI dengan kelompok topikal anestesi (Fluori-
Methane) spray, yaitu rata-rata respon nyeri pada bayi yang diberi ASI
lebih rendah dari bayi yang diberi intervensi dengan topikal anestesi spray
saat dilakukan imunisasi.
Fenomena tersebut menarik peneliti untuk melakukan penelitian
guna menemukan metode yang tepat dilakukan pada anak saat
pemasangan infus. Metode yang dipilih oleh peneliti yaitu guided imagery,
dengan menggunakan rekaman kaset imajinasi sehingga anak lupa
terhadap nyeri yang dirasakan. Dengan pertimbangan guided imagery
mudah dibuat rekaman sendiri, terjangkau, dan bisa dipakai sewaktu-

20
waktu oleh anak. Adapun metode alternatif lain yang dipilih peneliti yaitu
dengan anestesi topikal dengan jenis Ethyl chloride. Meski telah banyak
penelitian tentang efektifitas krim EMLA untuk menurunkan nyeri, namun
karena krim EMLA membutuhkan waktu cukup lama yaitu 30-60 menit,
maka peneliti memilih Ethyl chloride jenis anestesi semprot dengan efek
lebih cepat yaitu 15 detik saja. Penelitian oleh Siregar (2007) tentang
perbedaan anestesi semprot dengan anestesi oles, mendapatkan hasil
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara anestesi semprot dengan
anestesi oles dalam menurunkan intensitas nyeri pada pungsi arteri.
Fenomena yang tergambarkan di latar belakang
menarik peneliti untuk bertanya “Apakah ada perbedaan respon nyeri pada
anak usia 7-12 tahun saat pemasangan infus setelah diberikan intervensi
ethyl chloride dan guided imagery?”
Pendahuluan jurnal terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan
penelitian, penelitian sejenis yang mendukung penelitian dan manfaat
penelitian. Pendahuluan terdiri dari 4-5 paragraf, dimana dalam setiap
paragraph terdiri dari 4-5 kalimat.
Kelebihan :
Pada jurnal ini fenomena yang dibahas adalah tentang inovasi
yang menyebabkan banyak alternatif yang sangat baik dan dapat
dikembangkan. Teknik distraksi yang efektif untuk pengurangan nyeri
pada saat pemasangan infus pada anak anak. Metode yang dipilih oleh
peneliti yaitu guided imagery, dengan menggunakan rekaman kaset
imajinasi sehingga anak lupa terhadap nyeri yang dirasakan. Dengan
pertimbangan guided imagery mudah dibuat rekaman sendiri, terjangkau,
dan bisa dipakai sewaktu-waktu oleh anak.
Kekurangan :
Pada jurnal ini peneliti belum menjelaskan tentang manfaat
penelitian. Sebaiknya manfaat penelitian juga dijelaskan dalam sebuah
jurnal agar pembaca dapat mengetahui tentang apa manfaat dilakukan
penelitian ini.

21
4. Pernyataan masalah penelitian
Pada jurnal ini peneliti telah menjelaskan rumusan masalah dalam
penelitian ini adapun pernyataan masalah penelitian adalah ““Apakah ada
perbedaan respon nyeri pada anak usia 7-12 tahun saat pemasangan infus
setelah diberikan intervensi ethyl chloride dan guided imagery?”

5. Tinjauan pustaka
Jurnal ini sudah mencantumkan tinjauan kepustakaan sebagai
acuan konsep.
.
6. Kerangka konsep dan hipotesis
Tidak terdapat kerangka konsep dalam jurnal karena penelitian
bersifat eksperimen sehingga hanya menjelaskan terkait metode.

7. Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, menggunakan
desain penelitian eksperimen semu (quasi experiment) dengan postest
treatment pada kelompok kontrol nonekuivalen (after only
nonequivalent control group design), dimana pada rancangan ini
kelompok eksperimen maupun kontrol tidak dipilih secara random.
Pada penelitian ini tidak dijelaskan bagaimana cara pemberian guided
imagery, jenis cerita guided imagery seperti apa yang digunakan, dan
berapa lama cerita yang digunakan. Pada penelitian yang dilakukan oleh
mariyam menjelaskan penelitiannya menggunakan ekaman audio (MP4)
yang berisi panduan imajinasi tentang hal yang menyenangkan yaitu
makan es krim dan pergi ke pantai. Rekaman audio guided imagery
diberikan selama prosedur pelaksanaan pemasangan infus sampai
prosedur selesai. Rekaman audio guided imagery yang disiapkan
berdurasi 10 menit.

22
8. Sampel dan instrumen
Rancangan ini menggunakan pos-tes pada kelompok kontrol
maupun intervensi tanpa dilakukan pre-tes terlebih dahulu. Data
dikumpulkan dengan menggunakan Wong-Baker Face Pain Rating Scale.
Analisis statistik dengan menggunakan Uji Kruskal Wallis. Intervensi
dalam penelitian ini dilakukan dengan pemberian ethyl chloride pada
kelompok intervensi I, pemberian guided imagery pada kelompok
intervensi II, dan pemberian teknik napas dalam pada kelompok
kontrol. Tindakan dilakukan 2 menit sebelum prosedur pemasangan infus.
Pengukuran yang dilakukan sesudah intervensi meliputi skala nyeri pada
menit kelima setelah dilakukan pemasangan infus.
Populasi penelitian pada jurnal ini anak usia 7-12 tahun yang akan
dilakukan prosedur pemasangan infus di sebuah Rumah Sakit di Kota
Semarang. Sedangkan pada penelitian oleh Mariyam di RSUD Semarang
populasi yaitu anak usia 7-13 tahun.
Teknik sampling pada penelitian ini menggunakan teknik
nonprobability sampling dengan pendekatan consecutive sampling,
yaitu dengan memilih subjek yang memenuhi kriteria penelitian dan
dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sampai
jumlah klien yang diperlukan terpenuhi.
Sampel yang digunakan dalam penelitian harus memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dari penelitian ini yaitu: (1) Anak
usia 7-12 tahun; (2) Orang tua setuju anaknya menjadi responden, yang
dibuktikan dengan surat persetujuan menjadi responden; (3) Anak yang
akan menjalani prosedur pemasangan infus; (4) Anak dalam keadaan
sadar penuh. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah: Kriteria eksklusi
pemberian ethyl chloride: (1) Anak alergi terhadap krim ethyl chloride;
(2) Tiba-tiba anak menolak sebelum prosedur selesai. Kriteria eksklusi
guided imagery: (1) Tiba-tiba anak menolak sebelum prosedur selesai;
(2) Anak tuli atau tidak dapat mendengar dengan baik; (3) Anak
menolak menggunakan earphone.

23
9. Hasil
Kelebihan :
Hasil pada jurnal ini membahas terkait perbedaan respon nyeri pada
anak usia 7-12 tahun saat pemasangan infus setelah diberikan intervensi
ethyl chloride dan guided imagery dilakukan selama bulan maret sampai
Juli 2017.
Hasil penelitian terkait karakteristik responden meliputi usia, jenis
kelamin, pengalaman diinfus sebelumnya serta respon nyeri pada
masing-masing kelompok intervensi. Karakteristik responden
berdasarkan usia akan dijelaskan pada tabel 1 adapun karakteristik
responden berdasarkan jenis kelamin dan pengalaman diinfus
sebelumnya akan disajikan dalam tabel 2.

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Usia

Median (Min-Maks)
Usia 9 (7-12)

Data pada tabel 1 menjelaskan bahwa nilai tengah dari distribusi


responden berdasarkan usia adalah 9 tahun.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


dan Pengalaman Diinfus Sebelumnya

Variabel n %

Jenis Laki-laki 17 56.7


Kelamin Perempuan 13 43.3

Pengalaman Pernah 2 6,7


Sebelumnya Tdk Pernah 28 93,3

Total 30 100

24
Data pada tabel 2 menjelaskan bahwa responden terbanyak berjenis
kelamin laki-laki yaitu sebanyak 17 responden (56,7%), adapun terkait
pengalaman diinfus sebelumnya terbanyak adalah responden yang tidak
pernah diinfus yaitu 28 responden (93,3%).

Tabel 3. Perbandingan Tingkat Nyeri Antara Kelompok Intervensi Ethyl


Chloride, Guided Imagery dan Kelompok Kontrol Napas Dalam

Nilai
Intervensi n Median (min-maks)
ρ
Ethyl Chloride 15 2 (1-4) 0,338
Guided Imagery 15 3 (2-3)
Napas dalam 15 3 (1-3)

Tabel 3 merupakan tabel hasil uji Kruskal Wallis dengan hasil median
tingkat nyeri responden pada kelompok ethyl chloride pada skala 2
dengan rentang antara skala 1 sampai 4, pada kelompok guided imagery
pada skala 3 dengan rentang antara skala 2 sampai 3, sedangkan pada
kelompok napas dalam pada skala 3 dengan rentang antara 1 sampai 3,
hal ini dapat diartikan bahwa pada kelompok guided imagery dan napas
dalam berada pada skala 3 kebawah sedangkan pada kelompok ethyl
chloride berada pada skala 3 keatas. Dimana skala 1 adalah “nyeri
sedikit”, skala 2 adalah “sedikit lebih nyeri”, skala 3 adalah “lebih nyeri
lagi”, skala 4 adalah “nyeri sekali”. Nilai signifikasinya sebesar 0,338
(ρ >0,05), artinya hipotesis pada penelitian ini ditolak, dimana hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara ethyl chloride, guided imagery dan napas dalam
terhadap respon nyeri saat pemasangan infus pada anak.
Pada penelitian yang dilakukan oleh mariyam dengan judul
penelitian Pengaruh Guided Imagery Terhadap Tingkat Nyeri Anak Usia
7-13 Tahun Saat Dilakukan Pemasangan Infus Di Rsud Kota Semarang
memiliki hasil penelitian yang berbeda dengan jurnal ini, pada penelitian
mariyam menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan rata-rata

25
tingkat nyeri anak usia 7-13 tahun yang diberikan guided imagery saat
dilakukan pemasangan infus dengan anak usia 7-13 tahun yang tidak
diberikan guided imagery saat dilakukan pemasangan infus (pvalue 0,005).
Berikut tabel hasil penelitian mariyam :

Kekurangan :
Pada jurnal ini tidak dijelaskan berapa jumlah responden yang di ambil,
jumlah respon diketahui hanya dari tabel 2 tentang distribusi responden.
Pada jurnal ini juga tidak dijelaskan rentang usia pada kelompok intervensi
1, kelompok intervensi 2, dan kelompok kontrol sehinga tidak diketahui
keefektifitasan intervensi pada rentang usia berapa

10. Pembahasan
Kelebihan :
Pembahasan dalam jurnal ini sudah memenuhi syarat. Pembahasan
pada jurnal ini dimulai dari hasil penelitian, hasil penelitian orang lain,
teori-teori yang mendukung dan analisis peneliti telah dijelaskan dengan
baik pada setiap variabel.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa penggunaan guided
imagery lebih efektif dibanding penggunaan ethyl chloride. Hal ini terlihat
dari respon nyeri yang didapatkan pada penggunaan ethyl chloride terdapat
satu responden yang mengalami nyeri dengan skala 4 sedangkan pada

26
penggunaan guided imagery respon nyeri tertinggi berada pada skala 3.
Hal ini dapat terjadi karena usia responden yang masuk kelompok guided
imagery paling banyak pada usia 9 tahun ke atas. Sesuai penjelasan
sebelumnya yang menyebutkan bahwa intervensi guided imagery akan
efektif jika diberikan pada anak yang lebih besar karena tingkat
kognitifnya cenderung lebih tinggi.
Penggunaan ethyl chloride dapat digunakan di Rumah sakit, karena
metode ini cukup efektif, dan dapat mempermudah serta mempercepat
perawat untuk melakukan pemasangan infus pada anak. Sedangkan
penggunaan guided imagery juga bisa digunakan untuk pilihan alternatif,
karena lebih terjangkau dan anak serta orang tua lebih banyak memilih
metode ini karena lebih aman tanpa bahan kimia, dan anak cenderung
lebih tenang.
Penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan di dunia pendidikan,
sehingga dapat menambah wawasan terutama metode penanganan nyeri
yang tepat dilakukan pada anak usia 7-12 tahun. Selain itu penelitian ini
juga dapat menjadi rujukan untuk dilakukan penelitian selanjutnya,
terutama yang terkait dengan menejemen nyeri pada anak.

Kekurangan :
Pada jurnal ini pada pembahasan tidak dijelaskan bagaimana cara
menilai respon nyeri pada anak pada saat pemasangan infus. Tetapi pada
penelitian yang dilakukan oleh mariyam dalam pembahasannya dijelaskan
cara menilai respon anak yaitu Anak diminta untuk menunjuk pada
gambar wajah yang mewakili nyeri yang dirasakan saat dilakukan
pemasangan infus.

11. Kesimpulan
Dalam jurnal penelitian ini kesimpulan dan saran sudah
dicantumkan pada bagian akhir jurnal tetapi tidak dicantumkan di abstrak.
Di kesimpulan dan saran juga sudah dijelaskan kenapa lebih disarankan
menggunakan teknik distraksi guided imagery.

27
12. Implikasi Penggunaan Hasil Penelitian
Berdasarkan telaah jurnal “Teknik Distraksi Guided Imagery sebagai
Alternatif Manajemen Nyeri pada Anak saat Pemasangan Infus”, dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara ethyl
chloride dan guided imagery, sehingga guided imagery dapat dijadikan
salah satu metode untuk mengurangi nyeri karena lebih mudah, dari
segi biaya lebih murah, dan juga tidak mengandung bahan kimia. Bagi
rumah sakit hal tersebut dapat dijadikan kebijakan untuk mengurangi
trauma pada anak saat diinfus dan meminimalkan dampak negatif
lainnya. Tetapi pada penelitian yang sama, mariyam menunjukkan hasil
yang berbeda dengan jurnal ini, penelitian yang dilakukan mariyam
memiliki hasil yang signifikan.
Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut dapat digunakan untuk
seluruh pasien anak rawat inap khususnya ruangan rawat khusus anak dan
sebagai bahan tambahan dalam melakukan asuhan keperawatan kepada
pasien terutama dalam pemasangan kateter.

13. Daftar Pustaka


Penulisan daftar pustaka dalam jurnal ini menggunakan metode
APA Style.
Beberapa literatur yang digunakan merupakan jurnal-jurnal
penelitian yang telah dipublikasikan dalam 12 tahun terakhir. Referensi
terbaru yaitu pada tahun 2013 dan referensi yang terlama yaitu pada tahun
2006.

B. TELAAH KONTEN
Pada Jurnal “Teknik Distraksi Guided imagery sebagai Alternatif
Manajemen Nyeri pada Anak saat Pemasangan Infus” diejlaskan bahwa
Perawat perlu menggunakan metode yang tepat untuk mengurangi nyeri hebat
pada anak saat pemasangan infus. Dalam penelitian ini metode yang digunakan
adalah Intervensi Ethyl Chloride dan Guided Imagery. Menurut Andarmoyo
(2013) Nyeri dapat diartikan sebagai suatu perasaan tidak nyaman atau tidak

28
menyenangkan yang sering dialami oleh individu. Nyeri pada anak yang tidak
segera diatasi akan berdampak secara fisik maupun perilaku.
Pemasangan infus merupakan salah satu tindakan invasif awal yang
menentukan keberhasilan prosedur tindakan selanjutnya. Penelitian yang
dilakukan oleh Mariyam dan Widodo (2012) mengenai pengaruh guided
imagery terhadap tingkat nyeri anak saat dilakukan pemasangan infus, dengan
hasil rata-rata tingkat nyeri pada kelompok yang dilakukan guided imagery
lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Penelitian lain dalam mengatasi
nyeri diteliti oleh Ismanto (2011) mendapatkan hasil bahwa respon nyeri bayi
saat imunisasi yang diukur dengan skala FLACC, terdapat perbedaan yang
signifikan antara kelompok intervensi ASI dengan kelompok topikal anestesi
(Fluori-Methane) spray, yaitu rata-rata respon nyeri pada bayi yang diberi ASI
lebih rendah dari bayi yang diberi intervensi dengan topikal anestesi spray saat
dilakukan imunisasi.
Dilihat dari skala nyeri pada responden yang diberikan intervensi Ethyl
Chloride dan Guided Imegery dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna. Hal ini karena pemilihan sampel sesuai dengan
karakteristik kelompok yang sama. Semua sampel berada pada skala nyeri
yang hampir sama.

29
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Jurnal ini telah menjelaskan salah satu alternatif manajemen nyeri pada anak
usia (7-11 tahun) saat pemasangan infus yakni dengan distraksi guided
imagery dan penggunaan ethyl chloride. Setelah dilakukan penelitian selama
5 bulan terlihat dari respon nyeri yang didapatkan responden yang
diintervensi menggunakan guided imagery pada saat pemasangan infus
memiliki skala nyeri 3 (lebih nyeri lagi), sedangkan pada responden yang
diintervensi menggunakan Ethyl Chloride memilik skala nyeri 4 (nyeri
sekali). Sehingga berdasarkan hasil tersebut, penggunaan guided imagery
pada anak-anak lebih efektif , lebih efisien serta lebih aman tanpa bahan
kimia dan didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Maryam dan
Widodo (2012) bahwa terdapat beda yang sangat signifikan antara kelompok
kontrol dengan kelompok intervensi menggunakan teknik ini.

B. Saran
Terkait dengan kesimpulan telaah jurnal, ada beberapa hal yang dapat
disarankan demi keperluan pengembangan hasil dari telaah jurnal teknik
distraksi guided imagery sebagai alternatif manajemen nyeri pada anak saat
pemasangan infus yang telah dilakukan sebagai berikut:
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan dalam mengurangi nyeri pada anak saat pemasangan
infus terutama saat pendidikan di klinik dapat diterapkan sehingga
nantinya akan mengurangi angka kejadian nyeri yang dirasakan anak saat
dilakukan tindakan.
2. Bagi Perawat
Diharapkan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
manajemen nyeri pada anak lebih memperhatikan dampak negatif yang
ditimbulkan dan dapat menerapkannya serta dapat memodifikasi apabila

30
dalam penatalaksanaannya mengalami hambatan misalnya tidak tersedia
sarana dan prasarana.
3. Bagi Ruangan
Sebagai bahan pertimbangan dalam memperbarui SOP baru tentang
alternatif manajemen nyeri baru pada anak sesuai dengan jurnal penelitian
terbaru yang telah direkomendasikan sehingga dapat meningkatkan
kualitas pelayanan di rumah sakit.

31
DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, S. 2013. Konsep dan proses Keperawatan Nyeri . Jogjakarta: Amuz


Media
Berman, Snyder, kozier, Erb (2009). Buku Ajar keperawatan klinis kozier & Erb.
Edisi 5.Jakarta : EGC
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. 2009.Wong’s Essentials of pediatric Nursing
(8th ed). St. Louis Missouri : Mosby Elsvier
Kaplan & Sadock. (2010). Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan perilaku klinis,
jilid 2. Tangerang: Bina Rupa Asara Publisher.
Kirkpatrick, T.& Tobias, K (2013). Pediatric age spesific : self learning module.
Diakses tanggal 17 Maret 2018 dari
http://hr.uclahealth.org.workfiles/AgespecificSLM-Peds.pdf
Kozier. 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan
Praktik, Edisi 7, Volume 1. Jakarta: EGC
Kozier. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan
Praktik, Edisi 7, Volume 1. Jakarta: EGC
Maryam,Widodo. (2012). Pengaruh guided imagery terhadap tingka yeri anak
usia 7-13 tahun saat dilakukan pemasangan infus di RSUD Kota Semarang.
ISBN: 978-602-18809-0-6
Mediani,H.S, Mardiyah, A. Rakhmawati, W (2015). Respon nyeri infant dan anak
yang mengalami hospitalisasi saat pemasangan infus. Diakses tanggal 17
Maret 2018 dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2016/12/respon_nyeri_infant.pdf
Potter P. A., Perry A. G. (2006). Fundamental keperawatan: buku 2 edisi 7.
Jakarta: Penerbit Buku Salemba Medika.
Smeltzer S. C., Bare G. B. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8
Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer S. C., Bare G. B. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah, Edisi 8
Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Walco, G. A., & Goldschneider, K. R. (2008).Pain in children: a practical guide
forprimary care.USA: Humana Press
Wati, D.K., Pudjiadi, A.Latief (2012). Validitas skala nyeri nonverbal pain scale
Revised sebagai penilai nyeri di ruang perawatan intensif anak. Diakses
tanggal 17 Maret 2018 dari http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/14-1-2.pdf
Wong, L. Donna. 2009. Buku ajar keperawatan pediatrik. Vol.1. Edisi 6. Jakarta:
EGC

32

You might also like