You are on page 1of 23

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan kasih-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul “TERAPI CAIRAN” ini, untuk melengkapi
persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Anestesi RSUD Dr. Djasamen Saragih
Pematangsiantar.

Dalam kesempatan ini pula penulis hendak menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Jones Damanik, Sp.An yang telah memotivasi, membimbing, dan
mengarahkan penulis selama menjalani program Kepaniteraan Klinik Senior dan dalam
penyusunan tulisan ini di bagian Anestesi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itulah,
saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat
bagi penulis maupun pembaca sebagai bahan tambahan literatur dan ilmu pengetahuan
kedepannya.

Sekian dan Terimakasih

Pematangsiantar, September 2015


Penulis

Armitasary Batubara

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... 1


DAFTAR ISI ............................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 3
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5
2.1 Proses Pergerakan Cairan Tubuh ........................................................................ 6
2.2 Patofisiologi keseimbangan cairan ..................................................................... 7
2.3 Asupan Dan Ekskresi cairan dan elektrolit fisiologis ......................................... 10
2.4 Perubahan cairan Tubuh ..................................................................................... 10
2.5 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan ..................... 14
a. Faktor Preoperatif ........................................................................................... 14
b.Faktor Intraoperatif ......................................................................................... 14
c. Faktor Postoperatif ......................................................................................... 15
2.6. Terapi Cairan ..................................................................................................... 15
A.Jenis-Jenis Cairan .......................................................................................... 16
B.Terapi Cairan Pre operatif .............................................................................. 19
C.Terapi Cairan Intraoperatif ............................................................................ 20
D.Terapi cairan Postoperatif .............................................................................. 20
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 23

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk multiseluler
seperti manusia atau hewan yang memiliki fungsi fisiologis tertentu. Sebagian besar tubuh
manusia terdiri atas cairan yang jumlahnya berbeda-beda tergantung usia dan jenis kelamin
serta banyaknya lemak di dalam tubuh. Dengan makan dan minum tubuh mendapatkan air,
elektrolit serta nutrien-nutrien yang lain. Dalam waktu 24 jam jumlah air dan elektrolit
yang masuk setara dengan jumlah yang keluar. Pengeluaran cairan dan elektrolit dari tubuh
dapat berupa urin, tinja, keringan dan uap air pada saat bernapas.
Terapi cairan dibutuhkan bila tubuh tidak dapat memasukkan air, elektrolit serta
zat-zat makanan ke dalam tubuh secara oral misalnya pada saat pasien harus berpuasa
lama, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok hipovolemik, anoreksia
berat, mual muntah dan lain-lain. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit
akan terpenuhi. Selain itu terapi cairan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat dan
zat makanan secara rutin atau juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa.
Cairan tubuh ini sangat penting peranannya dalam menjaga keseimbangan
(hemodinamik) proses kehidupan. Peranan tersebut dikarenakan air memiliki karakteristik
fisiologis. Beberapa peranan air, antara lain :
1. Sebagai media utama pada reaksi intrasel
2. Mempertahankan kehidupan sel, karena hampir semua reaksi biokimia terjadi
dalam media air.
3. Sebagai pelarut terbaik untuk solute polar dan ionic
4. Media transport pada system sirkulasi, ruang di sekitar sel (intravaskuler,
interstitium) dan intrasel.
5. Sebagai pengatur suhu tubuh (thermoregulasi), karena air mempunyai panas
jenis, panas penguapan dan daya hantar panas yang tinggi.
Komponen cairan tubuh ini sangat bervariasi jumlahnya, tergantung dari faktor usia :
1. Pada bayi yang lahir premature komposisi cairan di dalam tubuh sekitar 80%
dari berat badan

3
2. Pada bayi yang lahir normal, komposisi cairan di dalam tubuh berkisar antara
70-75% dari berat badan.
3. Pada masa remaja, komposisi cairan tubuh ini berkisar antara 65-70% dari berat
badan.
4. Pada orang dewasa, komposisi cairan tubuh berkisar antara 50-60% dari berat
badan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pencapaian hemostasis cairan harus diperhitungkan dengan matang karena akan


menunjang proses di dalam tubuh. Total air dalam tubuh kita diketahui dengan
menggunakan rumus :
Jumlah total air dalam tubuh (L) = berat badan (kg) x 60%.
Tetapi, jika terjadi dehidrasi berat dan terjadi kehilangan cairan tubuh sekitar 10% ,
maka jumlah total air tubuh dihitung dengan rumus:
Jumlah total air tubuh (L) = 0,9 x berat badan (kg) x 60%
Air tidak bisa menyatu dengan minyak, begitu juga dengan cairan di dalam tubuh
manusia yang sulit untuk menyatu dengan jaringan lemak, sehingga kandungan air di
dalam sel lemak lebih rendah daripada kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah
daripada kandungan air di dalam sel otot. Pada pasien obesitas, cairan tubuhnya lebih
rendah daripada pasien yang berat badannya normal kondisi ini terkait dengan prinsip air
dan lemak.
Secara umum cairan dibagi menjadi 2 komponen (Dobson, 1994), yaitu:
1. Cairan intraseluler (intraseluler fluid) sebesar 60% dari cairan tubuh total.
Cairan intraseluler merupakan cadangan cairan tubuh terbesar, untuk
mempertahankan volume dan osmolaritas cairan ekstrasel . Ion kalium (140-15
mmol/liter) dan ion natrium (8-10 mmol/liter) serta ion klorida (3mmol/liter).
2. Cairan ekstraseluler (ekstraseluler fluid) sebesar 40% dari cairan tubuh total.

Meliputi cairan intravaskuler (IVF), cairan interstitial (ISF), dan cairan transeluler.
1. Cairan intravaskuler (IVF)
Cairan intravaskuler dalam tubuh sekitar 10% dari total cairan tubuh. Volume
darah normal sebagai cairan intravaskuler kira-kira 70 ml/kgBB pada dewasa
dan 85-90 ml/kgBB pada neonates. Komponen dari cairan intravaskuler meliputi
protein plasma dan ion natrium, ion klorida, ion bikarbonat.
2. Cairan interstitial (ISF)
Cairan interstitial dalam tubuh manusia sebesar 30% dari cairan tubuh total.
cairan interstitial ini lebih besar daripada cairan intravaskuler. Jumlah total
5
cairan ekstraseluler adalah intravaskuler ditambah interstitial. Cairan transeluler
sendiri merupakan cairan pada secret percabangan trakeobronkial, saluran cerna,
berbagai kelenjar, cairan serebrospinal, ginjal dan humor aqueus mata.

Intraselular
(40%)
Cairan tubuh Interstitial
(60%) (15%)
Ekstraselular
(20%)
Intravaskuler
(5%)

2.1 Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan
mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energi
sedangkan mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi, filtrasi dan osmosis
adalah mekanisme transpor pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan
dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP.
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel
(permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih
tinggi hingga kadarnya sama.1 Tekanan osmotik mencegah perembesan atau difusi
cairan melalui membran semipermeabel ke dalam cairan yang memiliki konsentrasi
lebih tinggi. Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan isotonik,
yaitu larutan yang memiliki tekanan osmotik sesuai plasma adalah NaCl 0,9 %,
Dextrosa 5 %, dan Ringer laktat.
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik
pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi
difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.

6
c. Filtrasi
Filtrasi adalah suatu perpindahan air dan substansi yang dapat larut karena adanya
tekanan cairan. Proses ini dipengaruhi tekanan hidrostatik adalah tekanan yang
dihasilkan oleh cairan di suatu ruangan. Dengan kata lain, tekanan hidrostatik
merupakan tekanan di dalam pembuluh darah yang sangat ditentukan oleh tekanan
darah.
d. Transportasi Aktif
Dalam proses transport aktif, akan diperlukan energy untuk menggerakan materi yang
akan menembus membrane sel. Akan terjadi aktifitas metabolic pada proses tersebut.
Contoh dari transport aktif adalah pompa natrium-kalium-ATPase, ATP akan berubah
menjadi ADP dan melepaskan energy.

2.2 Patofisiologi keseimbangan cairan


Perubahan cairan tubuh yaitu :
Perubahan volume

a. Defisit volume ( dehidrasi )


Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling umum
terjadi pada pasien bedah.
1) Dehidrasi Isotonis (isonatremik130-150 mEq/L) terjadi ketika kehilangan cairan
hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan
natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun
kompartemen ekstravaskular.5
2) Dehidrasi hipotonis (hiponatremik<130 mEq/L) secara garis besar terjadi kehilangan
natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum
rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular,
sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular.5
3) Dehidrasi hipertonis ( hipernatremik >150 mEq/L) secara garis besar terjadi
kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar
natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen
intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.

7
SKOR 1 2 3
Keadaan umum Baik Lesu/haus Gelisah, lemas,
mengantuk hingga
syok
Mata Biasa Cekung Sangat cekung
Mulut Biasa Kering Sangat kering
Pernapasan < 30 x/menit 30-40 x/menit > 40 x/menit
Turgor Baik Kurang Jelek
Nadi < 120 x/menit 120-140 x/menit > 140 x/menit
Interpretasi :
 Skor: 6 : tanpa dehidrasi
 7 – 12 : dehidrasi ringan-sedang
 ≥ 13 : dehidrasi berat

Derajat Dehidrasi Dewasa Anak – anak


Ringan 4% 4%-5%
Sedang 6% 5 % - 10 %
Berat 8% 10% – 15 %

Cara rehidrasi :
A. Nilai status rehidrasi (sesuai tabel di atas), banyak cairan yang diberikan (D) =
derajat dehidrasi (%) x BB x 1000 cc
B. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan
C. Pemberian cairan :
a. 6 jam I = ½ D + ¼ M atau 8 jam I = ½ D + ½ M
b. 18 jam II = ½ D + ¾ M atau 16 jam II = ½ D + ½ M 11Berat badan
Kcal/hari atau mL/hari Kcal/jam atau mL/jam

Kebutuhan Cairan per jam


Berat badan Kebutuhan cairan per jam
0 – 10 kg 4 ml/kgBB/jam
10 – 20 kg 2 ml/kgBB/jam
> 20 kg 1 ml/kgBB/jam

8
b. Kelebihan volume ( overhidrasi )
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic
(pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl
ataupun pemberian cairan intravena glukosa yang menyebabkan kelebihan air) ataupun
dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR),sirosis, ataupun gagal
jantung kongestif.
Gejala overhidrasi:
 Nadi tak teratur Edema (menetap) di ekstremitas bawah
 Tensi meningkat Edema disekitar periorbital
 Meningkatnya BB
 Sesak nafas
 Penurunan Hb dan Hematokrit
 Moist cracles
 Rhonki
Gejala tambahan lainnya yang banyak ditemukan saat pemeriksaan pasien adalah
level kesadaran yang menurun, bingung (karena oksigenasi ke otak berkurang), kelemahan
otot rangka, dan peningkatan bising usus.

Tabel . Komposisi Elektrolit pada Cairan Tubuh


Elektrolit Plasma (mEq/L) Cairan Interstitial (mEq/L) Cairan Intracellular
(mEq/L)
Na+ 142 145 10
K+ 4 4 159
Mg2+ 2 2 40
Ca2+ 5 3 1
Cl- 103 117 10
HCO3- 25 27 7
Adapted from Campbell I: Physiology of fluid balance. Anaesth Intensive Care Med 7:462-
465 2006.

9
2.3 Asupan dan ekskresi cairan dan elektrolit fisiologis
Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah oleh
stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada
paru-paru, kulit atau traktus gastrointestinal.
Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-2500 ml per
hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan cairan rata rata 250
ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak
disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.

2.4 Perubahan cairan tubuh


Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling
umum. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah,
penyedot nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa
kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis,
obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan
menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan
cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan ekstraselular yang
berat terjadi.

b. Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari
natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau
hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi
(80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.
 Dehidrasi isotonis (isonatremik): terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama
dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif
sama dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.
 Dehidrasi hipotonis (hiponatremik): terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara garis
besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena

10
kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen
ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular.
 Dehidrasi hipertonis (hipernatremik): terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis
besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena
kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen
intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.

c. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic
(pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl
ataupun pemberian cairan intravena glukosayang menyebabkan kelebihan air) ataupun
dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal
jantung kongestif.9,10 Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan
cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.

2. Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia
Kadar natrium normal 135-145 mEq/L, bila kurang dari 135 mEq/ L, sudah dapat
dibilang hiponatremia. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan
mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L
maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia
(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third
space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan
restriksi cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan
untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.12
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahanlahan,
sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang
dibutuhkan dapat menggunakan rumus :
Na= Na1 – Na0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)
11
b. Hipernatremia
Bila kadar natrium lebih dari 145 mEq/L disebut dengan hiperkalemia. Jika kadar
natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental, letargi, kejang,
koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah,
diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium
berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air
sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.12
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari
cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh.
Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS
segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria,
intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis,
hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild
hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan
monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG,
kelemahan otot yang hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit kalium18 :
K = K1 – K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)

d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau
obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik).
Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot)
dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat
berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq
dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.

12
3. Perubahan komposisi
a. Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan
ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang
tidak adekuat termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri
dari insisi abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan.
Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi
endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene
trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting.
b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang
dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai
hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah
yang mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari
ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.
c. Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan
bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil,
diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah
peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik
ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol. Terapi sebaiknya
ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya
diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah kompensasi alkalosis
respirasi digunakan.
d. Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat
dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah
hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan
adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis
harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit
yang sering.

13
2.5 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum
terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, intraoperatif dan
postoperatif.

A. Faktor-faktor preoperatif
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh stres akibat
operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat
menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek diuresis
osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan elektrolit
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit dari
traktus gastrointestinal.
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan sekitar
300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam atau
adanya kehilangan abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya harus dikoreksi sebelum operasi untuk
meminimalkan efek dari anestesi.

B. Faktor-faktor intraoperatif
1. Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif
karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan
cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)
14
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi
yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)

C. Faktor-faktor postoperatif
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
2. Peningkatan katabolisme jaringan
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif

2.6 Terapi Cairan


Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma
ekspander) secara intravena.
Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang
terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.
 Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh atau
ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya
pada keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan
pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL)
sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam
10 menit.
 Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi. Orang
dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2
mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti
cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat
kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses.
Untuk anak digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu :

15
Table 2. Rumus Holiday Segar

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan


karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang
juga mengandung karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's
dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah
dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang
antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti sudah
dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang
berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium
sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum,
ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :
 6-8 ml/kg untuk bedah besar
 4-6 ml/kg untuk bedah sedang
 2-4 ml/kg untuk bedah kecil

A. Jenis-Jenis Cairan
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Cairan
kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama
efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler.
Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk
resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme
di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl
0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik

16
(delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat
peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak
menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya
dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan
kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta
berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang
mendapat infus 1 liter NaCl 0,9Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga
dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.

2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau
“plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering
digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok
hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan
kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid alami:
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara
memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis
dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga
mengandung alfa globulin dan beta globulin.
b. Koloid sintetis:
1. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex)
dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B
yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander
yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki
aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah.
Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet
adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan
17
aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross
match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1
(Promit) terlebih dahulu.

2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)


Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-rata 71.000,
osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini
pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64%
dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan
dapat meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang). Low molecullar weight
Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume
plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena
potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan
tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi
cairan pada penderita gawat.

3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata 35.000
dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin

Table 3. Keuntungan dan kerugian cairan kristaloid dan koloid


Kristaloid Koloid
Keuntungan - Tidak mahal - Mempertahankan cairan
- Aliran urin lancar intravaskular lebih baik (1/3 cairan
(meningkatkan volume bertahan selama 24 jam)
intravaskular) - Meningkatkan tekanan onkotik
- Pilihan cairan pertama u/ plasma
resusitasi perdarahan & trauma - Membutuhkan volume yang lebih

18
- Mengembalikan kehilangan sedikit
pada ruang cairan ke-3 - Mengurangi kejadian edema
perifer
- Dapat menurunkan tekanan
intrakranial
Kerugian - Mengencerkan tekanan - Mahal
osmotik koloid - Menginduksi koagulopati
- Menginduksi edema (dextran & helastarch)
perifer - Jika tdpt kerusakan kapiler,
- Insidensi terjadinya dpt berpotensi tjd perpindhn cairan
edema pulmonal lebih tinggi ke interstitial
- Membutuhkan volume yg - Mengencerkan faktor
lebih besar pembekuan dan trombosit
- Efeknya sementara - Berpotensi menghambat
tubulus renalis dan sel
retikuloendotelial di hepar
- Kemungkinan adanya reaksi
anafilaksis (dextran)

B. Terapi Cairan Preoperatif


Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi.
Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan,
sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF
ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan
Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup
maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa
yang dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan
penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau
kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya
harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi
anestesi.

19
Usia Jumlah Kebutuhan
(ml/Kg/Jam)

Dewasa 1,5 – 2
Anak 2–4
Bayi 4–6
Neonatus 3

Table 4. Pengganti deficit prabedah

C. Terapi Cairan Intraoperatif


Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan
dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi
cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada
prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.
1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata
(ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.
2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk
pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa
cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.
3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam
untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10
ml/kgBB/jam.

D. Terapi Cairan Postoperatif


1. Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk
penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari
pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium
dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress
pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi
air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium.
Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian

20
karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat
menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5
gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan
garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.

2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:


- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1°C Suhu
tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.

3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang


belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi
darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.

4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.


Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi
nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh
dan warna kulit.

21
BAB III
KESIMPULAN

Cairan tubuh merupakan saran untuk transpor zat makanan maupun sisa-sisa
metabolisme, membawa nutrien (komponen makanan) mulai dari proses absorbsi,
metabolisme. Hasil metabolisme akan didistribusikan ke seluruh tubuh dan ekskresinya
akan dikeluarkan dari tubuh.

Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu perubahan volume,


perubahan komposisi dan perubahan konsentrasi yang dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dan dapat diatasi dengan terapi cairan

Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma
ekspander) secara intravena. Tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk
mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian.

Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan selama


pembedahan ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi. Gangguan dalam
keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien bedah
karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.

Terapi cairan parenteral digunakan untuk mempertahankan atau mengembalikan


volume dan komposisi normal cairan tubuh. Dalam terapi cairan harus diperhatikan
kebutuhannya sesuai usia dan keadaan pasien, serta cairan infus itu sendiri. Jenis cairan
yang bisa diberikan untuk terapi cairan adalah cairan kristaloid dan cairan koloid.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Adelmen, R.D., Solhaug, M.J., 2000. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi
Cairan. In: Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Arvin, Ann.M., Ilmu Kesehatan Anak
Nelson ed 15, jilid 2. Jakarta: EGC; 258-266
2. Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J [ serial online ] 2006 Mar [dikutip 6
Okt 2007]. Tersedia dari: URL: http://www.emedicine.com/CHILD/topic925.htm.
3. Fatimah Nur, D. syok hipovolemik 2010. Tersedia dari URL :
http://www.gogle.com/syokhipovolemik.htm
4. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian
Farmakologi Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
5. Hasan F. Terapi Cairan. 2008. Di unduh dari
http://drfhasan.blogspot.com/2008/01/referat-terapi-cairan.html .
6. Latief S, Kartini, Dachlan. (editor). Terapi Cairan Pada pembedahan. Dalam :
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI. 2002.
7. Schwartz SI, ed. Principles of surgery companion handbook. 7th ed. New york:
McGraw-Hill; 1999
8. Senaphati, tjokorda. dkk, “ Buku Ajar Anestesi dan Reanimasi ”, indeks Jakarta.
2010.
9. Tutuko, bambang. Dkk, “ Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif”,
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia, 2009

23

You might also like