Professional Documents
Culture Documents
Keracunan Organofosfat
Keracunan Organofosfat
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan Rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
KERACUNAN ORGANOFOSFAT. Makalah ini kami buat sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan program Kepanitraan Klinik Senior (KKS) dibagian KEDOKTERAN
FORENSIK RSUD. DJASAMEN SARAGIH P.SIANTAR.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing dr. REINHARD .J.D.
HUTAHAEAN SH. SpF yang telah memberikan bimbingan dan juga kepercayaan kepada
kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Sekian dan Terimakasih
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia
yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya. Racun adalah zat atau bahan
yang bila masuk kedalam tubuh melalui mulut, hidung, suntikan dan diabsorpsi melaui kulit
atau digunakan terhadap organism hidup dengan dosis relative kecil akan merusak
kehidupan atau mengganggu dengan serius fungsi satu atau lebih organ atau jaringan.
Sebagai suatu bagian vital dalam tubuh, susunan saraf dilindungi dari toksikan dalam darah
oleh suatu mekanisme protektif yang unik, yaitu sawar darah otak dan sawar darah saraf. Meskipun
demikian, susunan saraf rentan terhadap berbagai jenis toksikan. Lebih rentannya sebagaian dapat
dirangsang oleh listrik, neuron cenderung lebih mudah kehilangan integritas membran sel. Panjang
akson merupakan alasan lain mengapa susunan saraf terutama rentan terhadap efek toksik, karena
badab sel harus memasok aksonnya secara struktural maupun metabolisme.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Organofosfat adalah nama unsur ester dari asam fosfat. Keracunan organofosfat
merupakan suatu keadaan intoksikasi yang disebabkan oleh senyawa organofosfat seperti
malathion, parathion, tetraetilpirofosfat (TEPP) dan oktamil pirofosforamida (OMPA) yang
bisa masuk kedalam tubuh baik dengan cara tertelan, terhirup nafas, atau terabsorbsi lewat
kulit dan mata.
2. Keadaan tubuh
a. Umur
Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun bila
dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis racun seperti
barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan.
b. Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal, biasanya akan
lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang sehat, walaupun racun yang
masuk ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti
karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan dengan baik,
demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka yang menderita penyakit yang
disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit pada saluran pencernaan, maka
penyerapan racun pada umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi
kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kematian
penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya pula kita tidak boleh tergesa-gesa
menentukan sebab kematian seseorang karena penyakit tanpa melakukan penelitian
yang teliti, misalnya pada kasus keracunan arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini
gejala keracunannya mirip dengan gejala gastroenteritis yang lumrah dijumpai.
c. Kebiasaan
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat menimbulkan
gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya toleransi. Tetapi perlu
diingat bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap. Menurunnya toleransi sering
terjadi misalnya pada pencandu narkotik, yang dalam beberapa waktu tidak
menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi inilah yang dapat menerangkan
mengapa pada para pencandu tersebut bisa terjadi kematian, walaupun dosis yang
digunakan sama besarnya.
d. Hipersensitif (alergi – idiosinkrasi)
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan preparat-preparat
yang mengandung yodium menyebabkan kematian, karena sikorban sangat rentan
terhadap preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu kehakiman, keadaan tersebut tidak
boleh dilupakan, kita harus menentukan apakah kematian korban memang benar
disebabkan oleh karena hipersensitif dan harus ditentukan pula apakah pemberian
preparat-preparat mempunyai indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi preparat tersebut
dapat mempengaruhi berat-ringannya hukuman yang akan dikenakan pada pemberi
preparat tersebut.
3. Racunnya sendiri
a. Dosis
Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya akibat yang
ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor toleransi, dan
intoleransi individual. Pada intoleransi, gejala keracunan akan tampak walaupun racun
yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan intoleransi tersebut
dapat bersifat bawaan / kongenital atau intoleransi yang didapat setelah seseorang
menderita penyakit yang mengakibatkan gangguan pada organ yang berfungsi
melakukan detoksifikasi dan ekskresi.
b. Konsentrasi
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya zat-zat korosif,
konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut
berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah
yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan oleh racun
tersebut.
c. Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila
dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam
keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan dengan
orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya berisi makanan.
d. Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol, morfin, atau
CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang diberikan jauh di
bawah dosis letal. Dari segi hukum kedokteran kehakiman, kemungkinan-
kemungkinan terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan, terutama jika
menghadapi kasus dimana kadar racun yang ditemukan rendah sekali, dan dalam hal
demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain yang mempunyai sifat aditif
(sinergitik dengan racun yang ditemukan), sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa
kematian korban disebabkan karena reaksi anafilaksi yang fatal atau karena adanya
intoleransi.
e. Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan
menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal yang
sebaliknya.
f. Antagonisme
Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih dari satu macam
racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi tersebut saling
menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini dimanfaatkan
untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk mengatasi
depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada keracunan akut obat-
obatan golongan narkotik. (1)
2.4 PATOFISIOLOGI
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya
dan sering menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat
menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi
pseudokholinesterase dalam plasma kholinesterase dalam sel darah merah dan pada
sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan
kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan
berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal
tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian
tubuh.
Organofosfat diabsorbsi dengan baik melalui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan
dengan jalan utama pekerjaan adalah melalui kulit.
2.7 PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan terhadap pasien yaitu segera muntahkan
pasien dengan cara mengorek dinding belakang tenggorok dengan jari atau alat lain,
dan/atau dengan memberikan susu penuh dalam segelas air hangat. Bila penderita tidak
sadar, tidak boleh dimuntahkan karena bahaya aspirasi.7,8
Hati-hati pada orang tua dan bayi. Bila penderita berhenti nafas, segeralah dimulai
pernafasan buatan. Terlebih dulu bersihkan mulut dari air liur, lendir atau makanan yang
menyumbat jalan nafas. Bila organofosfat tertelan, jangan dilakukan pernafasan dari mulut
ke mulut.
Penanganan lain yang dapat dilakukan antara lain:
1. Stabilisasi
Terapi suportif berupa:
a. Penatalaksanaan jalan nafas (valve bag mask)
b. Penatalaksanaan fungsi pernapasan : ventilasi dan oksigenasi
c. Penatalaksanaan sirkulasi
d. Jika terjadi kejang, beri diazepam dengan dosis Dewasa 10-20 mg iv dengan
kecepatan 2,5 mg/30 detik atau 0,5ml/30 menit. Jika perlu dosis ini dapat diulangi
setelah 30-60 menit. Mungkin perlu infus kontinue sampai maksimal 3 mg/kg BB/24
jam. Sedangkan dosis untuk anak-anak adalah 200-300 µg/kg BB
2. Dekontaminasi gastrointestinal
a. Induksi muntah, dengan menyentuh pangkal tenggorokan dengan jari atau ujung
sendok. Induksi muntah dilakukan bila terjadi intoksikasi organofosfat dengan
konsentrasi 20% atau lebih.
Induksi muntah tidak boleh dilakukan pada pasien tidak sadar atau sangat
mengantuk/somnolen dan pasien kejang karena dapat menyebabkan aspirasi ke
saluran pernapasan dan dapat memperparah keadaan. Induksi muntah juga tidak boleh
dilakukan bila sudah terpapar lebih dari empat jam, bila bahan pelarut organofosfat
merupakan petroleum distilat.
b. Aspirasi dan kumbah lambung
Jika konsentrasi 20% atau lebih. Efektif bila dilakukan 2-4 jam pertama dan dengan
teknik yang baik.
Dosis maksimum: 50 mg (200 ampul) dalam 24 jam. Pada kasus yang berat dapat
sampai 100 mg. Dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 2x24 jam dengan
Pemberian intermiten dengan interval 30 menit, 60 menit, 2 jam, dst. Atau dengan infus
kontinu 0,02-0,08 mg/kg BB/jam. Rata-rata pasien keracunan organofosfat memerlukan
40 mg atropin/hari, tetapi dapat juga sampai 1000 mg/hari. Dosis sulfas atropin yang
berlebih dapat menimbulkan agitasi dan takikardi. Jika sulfas atropin tidak dapat
diberikan secara iv, dapat diberikan melalui im, subkutan, endotrakheal (2,5 kali dosis
iv) atau intraosseus (pada anak).
2. Pralidoxim : dosis awal dewasa 2 gram, anak 30 mg/kg BB iv diikuti infus kontinu 8
mg/kg BB/jam selama 24 jam dan diberikan sampai perbaikan klinis.
Diberikan segera setelah pasien diberi atropin yang merupakan reaktivator enzim
kolinesterase. Jika pengobatan terlambat lebih dari 24 jam setelah keracunan,
keefektifannya dipertanyakan.
Dosis normal yaitu 1 gram pada orang dewasa. Jika kelemahan otot tidak ada perbaikan,
dosis dapat diulangi dalam 1 – 2 jam. Pengobatan umumnya dilanjutkan tidak lebih dari
24 jam kecuali pada kasus pajanan dengan kelarutan tinggi dalam lemak atau pajanan
kronis. Pralidoksim dapat mengaktifkan kembali enzim kolinesterase pada sinaps-sinaps
termasuk sinaps dengan otot rangka sehingga dapat mengatasi kelumpuhan otot rangka.
3. Diazepam: untuk meningkatkan toleransi atropin.
Dosis dewasa : 5-10 mg, anak-anak 0,24-0,4 mg/kg iv
4. Oximes: pada kasus keracunan organofosfat yang sedang-berat (misalnya ada paralisis
otot pernapasan atau kejang), perlu diberi reaktivator asetilkolinesterase (Oximes) yang
diberikan setelah pemberian antidotum sulfas atropin.
5. Obidoxime : dosis awal dewasa 0,25 gram, anak 4 mg/kg BB iv diikuti infus kontinu
0,5 mg/kg BB/jam selama minimal 24 jam dan diberikan sampai perbaikan klinis.
Pemeriksaan Luar :
1. Bau : dari bau yang tercium dapat diperoleh dapat petunjuk racun yang kiranya
ditelan oleh korban. Segera setelah pemeriksaan berada disamping mayat ia harus
menekan dada mayat untuk menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar
dari lubang-lubang hidung dan mulut.
2. Pakaian dan kulit: perhatikan adanya bercak, bau, dan distribusi, biasanya pada
pembunuhan (bercak tidak beraturan/disiram), bunuh diri (bercak beraturan pada
tangan dari atas ke bawah), kecelakaan(tidak khas).
3. Lebam mayat, perhatikan warna : merah terang (keracunan sianida, CO, atau kontak
dengan benda suhu dingin); coklat kebiruan (anilin, nitrobenzena, kina, potasium-
chlorate danacetanilide), hijau (H2S).
4. Bercak, warna, dan distribusi sekitar mulut: yodium (kulit menjadi hitam), nitrat
(kulit menjadi kuning), zat korosif (luka bakar merah-coklat), dan distribusi
menginformasikan cara kematian.
Pemeriksaan Dalam :
1. Pada permukaan rongga toraks dan abdomen biasanya tercium bau minyak tanah,
terutama waktu membuka lambung, usus, bronkus dan paru.
2. Pada beberapa kasus paru-paru akan tampak mengalami oedem dan berbuih. Bintik-
bintik perdarahan pada pleura tampak konstan, terutama pada daerah hipostatik, yang
mana akan menampakkan gambaran kolaps pada pleura.
3. Tanda-tanda yang tampak pada sismtem GIT antara lain: tampak warna kehitaman pada
usus, adanya darah dalam usus, kongesti pada mukosa usus dengan bintik-bintik
perdarahan pada lapisan submukosa usus dan bisa juga terjadi erosi dan perlukaan usus.
4. Adanya cairan yang berminyak dalam lambung atau usus
5. Tidak ditemukan kelainan organ yang spesifik, tetapi terkadang terdapat oedema paru,
dilatasi kapiler dan kongesti organ-organ viseral.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keracunan organofosfat merupakan suatu keadaan intoksikasi yang disebabkan oleh
senyawa organofosfat seperti malathion, parathion, tetraetilpirofosfat (TEPP),diazinon dan
lain-lain yang bisa masuk kedalam tubuh baik dengan cara tertelan, terhirup nafas, atau
terabsorbsi lewat kulit dan mata.
Senyawa Organofosfat ini bekerja dengan menghambat dan menginaktivasikan enzim
asetilkolinesterase. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin. menjadi
asetat dan kholin.. Hambatan asetilkolinesterase menyebabkan tertumpuknya sejumlah
besar asetilkolin. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh
pada seluruh bagian tubuh.
DAFTAR PUSTAKA