Professional Documents
Culture Documents
Referensi Demam Tifoid
Referensi Demam Tifoid
LATAR BELAKANG
Demam tifoid atau yang dikenal juga sebagai demam enterik merupakan suatu penyakit multi
sistem yang berpotensi menjadi fatal, penyakit ini disebabkan oleh Salmonella enterica,
subspesies enterica ini memiliki beberapa serovar yaitu typhi, dan yang lebih jinak memiliki
serovar paratyphi A, B, dan C.
Beragamnya kemungkinan manifestasi klinis yang dapat muncul pada penyakit ini
merupakan tantangan dalam menegakkan diagnosis demam tifoid. Gejala klasik dari demam
tifoid terdiri atas; demam, malaise, nyeri abdominal difus dan konstipasi. Demam tifoid yang
tidak diobati dapat disertai dengan gejala delirium, obtundasi, perdarahan intestinal, perforasi
intestinal, dan kematian dalam satu bulan setelah onset penyakit. Penderita yang selamat dari
kejadian di atas dapat memiliki sequele berupa gangguan neuropsikiatrik jangka panjang atau
permanen.
S typhi telah menjadi patogen utama bagi manusia sejak ribuan tahun yang lalu, kondisi ini
dikaitkan dengan kondisi sanitasi yang jelek, kepadatan dan kekacauan populasi penduduk.
Bakteri ini diduga bertanggung jawab atas wabah penyakit yang terjadi di Athena pada akhir
masa peperangan Pelopenesia. Nama S typhi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu typhos
yang berarti asap atau kabut yang pada saat itu diduga dapat mengakibatkan penyakit serta
kegilaan. Hal ini sesuai dengan manifestasi klinis penderita demam tifoid yang berat akan
disertai dengan gangguan kesadaran. Meskipun semenjak penggunaan antibiotik pada kasus
demam tifoid telah menurunkan angka kejadian demam tifoid di negara berkembang tapi hal
ini masih menjadi penyakit endemis di beberapa negara berkembang.
Sebagai catatan beberapa penulis menulis bahwa demam tifoid dan paratifoid adalah sindrom
yang berbeda, dimana sebagian lagi menggunakan terminologi demam tifoid untuk infeksi
yang disebabkan oleh S thypi dan parathypi. Pada tulisan ini kita akan memakai terminologi
yang terakhir dengan anggapan bahwa secara kolektif serovar thypi dan parathypi dianggap
sebagai Salmonella thypoidial.
PATOFISIOLOGI
Seluruh Salmonella sp yang patogen ketika sampai di usus akan difagositosis oleh sel-sel
fagosit, nantinya bakteri ini akan dibawa melintasi mukosa usus menuju makrofag-makrofag
yang terdapat pada lamina propia. Salmonella non tifoidial akan difagositosis di ileum distal
dan kolon. Makrofag ini mengenali flagela dan molekul lipopolisakarida dari patogen
menggunakan toll-like receptor (TLR)-5 dan komplek TL-4/MD2/CD-14. Makrofag dan sel-
sel epitel intestinal kemudian akan menarik sel T dan neutrofil menggunakan interleukin-8
(IL-8), hal ini akan memicu respon inflamasi dan menekan proses infeksi.
Berlawanan dengan salmonella non tifoidial diatas. S thypi dan parathypi memasuki sistem
hostnya pada bagian ileum distal. Bakteri ini memiliki fimbriae spesifik yang akan menempel
pada sel-sel epitel yang menutupi jaringan limfoid pada ileum (Plak peyer), tempat ini
merupakan lokasi yang memungkinkan bakteri tersebut untuk pindah dari usus ke sistem
limfatik. Kemudian bakteri ini akan memancing makrofag hostnya agar lebih banyak lagi
makrofag lain berdatangan.
S typhi memiliki antigen kapsular Vi yang dapat mengelabui pathogen associated molecular
pattern (PAMPS) sehingga dapat menghindari reaksi inflamasi yang diperantarai oleh
neutrofil, dimana pada kebanyakan serovar parathypi, parathypi A tidak bisa memilikinya.
Hal ini menjelaskan mengapa S typhi lebih infeksius dibandingkan dengan S parathypi.
Salmonella thypi memanfaatkan mekanisme sel makrofag itu sendiri untuk kepentingan
reproduksinya, dimana ketika bakteri ini dibawa dari kelenjar limfe mesentrial menuju duktus
thoracicus, dan melewati sistem limfatik sampai hingga ke jaringan retikuloendotelial sistem
pada hepar, lien, sum-sum tulang dan kelenjar limfe. Ketika sampai pada sistem RES bakteri
ini akan berdiam diri sesaat untuk membelah diri hingga tercapai kepadatan jumlah S thypi
yang bisa menginfeksi. Setelah memperbanyak diri bakteri ini kemudian akan memicu proses
apoptosis dari sel-sel makrofag, makrofag yang pecah akan mengeluarkan bakteri-bakteri tadi
ke dalam darah dan menginvasi seluruh tubuh.
Bakteri ini kemudian akan mengifeksi kandung empedu secara hematogen atau secara
lansung melalui cairan empedu yang telah terinfeksi. Hasil dari proses ini memungkinkan S
thypi memasuki saluran cerna dan mereinfeksi plak peyer. Sisa dari bakteri pada saluran
cerna yang tidak menginfeksi hostnya akan keluar melalui feses untuk menginfeksi individu
lainnya.
Individu dengan status carrier yang menahun bertanggung jawab atas transmisi dari penyakit
ini. Dimana pada mereka yang terinfeksi asimtomatik ini dapat mengeluarkan S thypi dalam
fesesnya selama berpuluh-puluh tahun. Organisme ini pada individu carrier akan menyelimuti
dirinya menggunakan biofilm pada batu empedu, epitel kandung empedu, atau bahkan secara
intra seluler pada sel epitel itu sendiri. Bakteri yang diekskresikan oleh seorang carrier
memiliki beragam genotip yang berbeda-beda sehingga menyulitkan untuk menyelidiki asal
dari suatu wabah demam tifoid.
FAKTOR RESIKO
Salmonella tifoidial tidak memiliki vektor selain manusia. Suatu penelitian berupa percobaan
menginokulasi sejumlah kecil S thypi (100.000 organisme) dapat mengakibatkan infeksi pada
50% sukarelawan yang sehat. Salmonella parathypi membutuhkan lebih banyak inokulum
agar dapat mengakibatkan infeksi, dan patogen ini bersifat kurang endemis pada daerah rural.
Transmisi oral melalui makanan dan minuman yang disajikan oleh seseorang
yang berstatus carrier, yang telah bertahun-tahun mengekskresikan bakteri ini
melalui fesesnya, dan pada kasus yang lebih sedikit melalui urine.
Transmisi dari tangan ke mulut setelah menggunakan toilet yang terkontaminasi
dan mengabaikan kebersihan tangan.\
Transmisi oral melalui meminum air atau memakan kerang yang telah
terkontaminasi oleh S thypi.
EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid dijumpai di seluruh negara di dunia. Umumnya pada negara berkembang
dengan kondisi sanitasi yang jelek. Demam tifoid endemik di Asia, Afrika, Amerika latin,
Kepulauan Karibia, dan Oseania, namun 80% kasus dijumpai di Bangladesh, Cina, India,
Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan dan Vietnam. Pada negara-negara ini demam tifoid
umumnya dijumpai pada daerah-daerah yang belum berkembang.
Dengan terapi antibiotik yang tepat demam tifoid merupakan kejadian demam yang tidak
lama, biasanya membutuhkan waktu rawatan 6 hari. Pada kasus yang diobati angka kematian
dari demam tifoid ini adalah 0,2%. Dimana pada kasus yang tidak diobati akan
mengakibatkan manifestasi klinis yang lama dan melibatkan sistem saraf pusat, case fatality
rate dari demam tifoid di Amerika serikat pada zaman sebelum penggunaan antibiotik sebesar
9-13%.
Usia
Kasus demam tifoid paling sering dijumpai pada anak usia sekolah dan dewasa muda. Namun
insiden pada anak balita dan bayi diperkirakan lebih tinggi. Hal ini diduga akibat presentasi
dari demam tifoid pada kelompok ini bersifat atipikal, dengan keluhan berupa demam ringan
hingga kejadian kejang yang berat, hal ini mengakibatkan seringnya terjadi infeksi S thypi
yang tidak terdeteksi.
MANIFESTASI KLINIS
Pada kasus demam nonspesifik yang berat dengan riwayat paparan S thypi sebelumnya perlu
mendapat perhatian lebih, hal ini mengingat meningkatnya kemungkinan terjadinya demam
tifoid.
Kumpulan gejala klinis yang timbul akibat infeksi S thypi dan parathypi sulit dibedakan.
Keluhan berupa demam tifoid akan muncul setelah 7-14 hari terpapar organisme tersebut.
Pola demamnya adalah stepwise, yang memiliki karakteristik berupa peningkatan suhu tubuh
pada siang dan sore hari lalu diiringi dengan penurunan suhu tubuh saat pagi hari. Hal ini
akan semakin meningkat setiap harinya.
Setelah kejadian demam selama seminggu, maka akan muncul keluhan gastrointestinal.
Keluhan gastrointestinal berupa nyeri abdomen difus, nyeri tekan abdomen difus, dan pada
beberapa kasus dijumpai keluhan berupa nyeri kolik pada bagian kanan atas abdomen.
Infiltrasi monosit pada plak peyer yang mengalami inflamasi akan mempersempit lumen
usus, hal ini lah yang mengakibatkan munculnya keluhan konstipasi pada penderita demam
tifoid. Individu yang terinfeksi selanjutnya akan mengalami batuk kering, nyeri kepala
tumpul pada bagian frontal, delirium, dan meningkatnya stuporous malaise.
Diperkirakan pada akhir dari minggu pertama sejak munculnya demam, suhu puncak demam
akan mencapai 39-400C. Pada pasien dapat dijumpai rose spot, yaitu suatu ruam kulit
makulopapular, berwarna seperti daging ikan salmon, pucat, pada daerah batang tubuh
biasanya dengan ukuran lebar 1-4cm dengan jumlah kurang dari 5. Rose spot ini akan hilang
sendirinya dalam 2-5 hari. Rose spot ini terbentuk akibat adanya emboli bakteri pada dermis
dan biasanya juga dijumpai pada penderita shigellosis dan salmonellosis nontifoidial.
Selama minggu kedua dari onset penyakit, keluhan dan gejala yang dijelaskan di atas akan
berlanjut. Pada pemeriksaan abdomen akan dijumpai distensi, dan splenomegali. Dapat juga
dijumpai bradikardi relatif dan denyut nadi dikrotik (Dimana dijumpai denyut nadi yang
double, dengan denyut nadi kedua yang lebih lemah dibanding denyut nadi pertama).
Pada minggu ketiga onset penyakit, penderita demam tifoid akan tampak semakin toksik,
anoreksia dengan penurunan berat badan yang signifikan. Konjungtiva dari penderita demam
tifoid pada minggu ketiga ini akan terinfeksi, pasien akan mengalami takipneu, dengan
denyut nadi yang halus, dan dijumpai ronkhi pada bagian basal paru. Distensi abdomen pada
pasien akan semakin hebat. Beberapa pasien mengalami diare yang berbau sangat busuk,
berwarna kuning kehijauan, cair (Pea soup diarrhea). Penderita bisa jatuh kedalam kondisi
thypoid state, dengan karakteristik apatis, bingung, atau bahkan menunjukkan gejala psikosis.
Plak peyer yang mengalami nekrotik dapat mengakibatkan perforasi intestinal dan
mengakibatkan peritonitis. Kondisi ini terkadang tidak terlalu jelas dan kabur pada pasien
yang mendapatkan terapi kortikosteroid. Pada kondisi ini dapat dijumpai kondisi toksemia,
myokarditis, dan perdarahan intestinal yang berujung dengan kematian.
Pada penderita demam tifoid yang dapat bertahan hingga minggu ke empat, keluhan berupa
demam, gangguan kesadaran, distensi abdomen akan berangsur-angsur hilang dalam
beberapa hari. Komplikasi intestinal dan neurologis yang muncul dapat saja bersifat menetap
pada penderita yang selamat dari penyakit ini. Penurunan berat badan dan kelemahan pada
tubuh biasanya akan bertahan hingga beberapa bulan. Beberapa individu yang dapat bertahan
hingga minggu ke empat ini akan menjadi carrier dan akan mentransmisikan S typhi selama
bertahun-tahun masa hidupnya.
Manifestasi klinis yang muncul pada penderita demam tifoid dapat juga berbeda dengan
manifestasi klinis klasik demam tifoid seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Onset dari
munculnya gejala klasik dari demam tifoid dapat saja berbeda-beda hal ini dipengaruhi daya
tahan tubuh host, kondisi geografis, faktor ras, dan strain dari bakteri yang menginfeksi.
Sebagai gambaran munculnya gejala demam berupa stepladder hanya muncul pada 12 %
kasus demam tifoid. Pada kebanyakan kasus hanya dijumpai keluhan berupa demam yang
semakin hari dari munculnya onset akan semakin meningkat.
Anak-anak, penderita AIDS, sepertiga dari penderita dewasa yang imunokompeten yang
mengalami demam tifoid akan menunjukkan gejala diare yang lebih menonjol dibandingkan
konstipasi. Sebagai tambahan juga di beberapa daerah akan dijumpai penderita demam tifoid
dengan gejala diare yang lebih menonjol dibanding gejala diare.
Manifestasi atipik dari demam tifoid melipulti nyeri kepala hebat yang dapat menyerupai
meningitis, acute lobar pneumonia, nyeri sendi, keluhan saluran kemih, ikterik berat, atau
hanya berupa demam tanpa disertai keluhan lainnya. Pada beberapa pasien, terutama di
daerah India dan Afrika akan datang dengan keluhan primer gangguan neurologis seperti
delirium, atau pada kasus yang ekstrim disertai dengan keluhan parkinsonisme, dan Guillan-
Barre syndrome. Beberapa komplikasi lain yang jarang dijumpai meliputi pankreatitis,
meningitis, orchitis, osteomyelitis, dan abses pada bagian tubuh mana saja.
Pada kasus demam tifoid yang mendapatkan terapi yang tepat dalam beberapa hari pertama
setelah onset penyakit, maka penyakit ini akan membaik setelah 2 hari terapi, dan kondisi
pasien akan tampak perbaikan dalam 4-5 hari. Dimana pada kasus yang tertunda
mendapatkan terapi yang tepat akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dan
memperlama waktu penyembuhan.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari demam tifoid meliputi; Abses abdominal, Abses heper amebik,
appendisitis, brucellosis, demam dengue, influenza, leishmaniasis, malaria, rickettsia,
toxoplasmosis, tuberkulosis, tularemia, infeksi saluran kemih dan malaria.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis demam tifoid secara primer dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis saja.
Sebagai gambaran di sini, dijumpai hasil sensitivity test yang beragam terhadap S thypi antar
beberapa literatur, bahkan hal ini juga dijumpai pada artikel-artikel serta jurnal-jurnal terbaru
dan terpercaya.
Kultur
Kriteria standar dari diagnosis demam tifoid adalah kultur, dimana pemeriksaan ini
secara luas dipercayai memiliki tingkat spesifisitas 100%.
Kultur yang dilakukan terhadap cairan yang diaspirasi dari sum-sum tulang dilaporkan
memiliki sensitivitas 90% setelah terapi dengan antibiotik selama 5 hari. Namun
tindakan ini jarang dilakukan karena mengakibatkan nyeri yang hebat pada pasien.
Pada penderita demam tifoid minggu pertama setelah onset penyakit, maka kultur
menggunakan darah, sekret intestinal (Cairan muntah atau aspirasi duodenum) , dan
feses memiliki sensitivitas sebesar 85-90%.
Pemeriksaan PCR menggunakan sampel darah dan urine memiliki sensitivitas sebesar
82,7% dan spesifisitas sebesar 100%. Namun pemeriksaan ini jarang dilakukan untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid.
Sebagian besar penderita demam tifoid akan mengalami anemia derajat sedang,
peningkatan LED, trombositopenia, dan limfopenia relatif. Sebagian penderita juga
mengalami peningkatan kecil pada pemeriksaan prothrombin time (PT), activated
partial thromboplastin time (aPTT) dan penurunan kadar fibrinogen.
Sirkulasi dari produk hasil degradasi fibrin umumnya akan meningkat menyerupai
pasien dengan kondisi subklinis disseminate intravascular coagulation (DIC).
Dapat juga dijumpai peningkatan kadar fungsi hepar dan bilirubin serum dua kali dari
nilai rujukan.
Dapat juga dijumpai hiponatremia dan hipokalemia ringan pada sebagian umum kasus.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos abdomen maupun BNO dapat dilakukan untuk menilai adanya
dugaan perforasi intestinal. Sedangkan pemeriksaan CT dan MRI dapat dilakukan untuk
menginvestigasi adanya abses tulang atau hepar.
Pemeriksaan Histopaologi
Pada pemeriksaan histopatologis dapat djumpai nodul tifoid yang merupakan ciri khas dari
demam tifoid, nodul tifoid dapat dijumpai pada intestinal, kelenjer limfe mesenterium, lien,
hepar, dan sum-sum tulang, pada kasus yang jarang dapat juga dijumpai nodul tifoid pada
jaringan ginjal, testis, dan kelenjar parotid. Pada nodul tifoid ini akan dijumpai infiltrasi
makrofag (Yang mengandung S thypi), disertai bakteri, eritrosit dan degenerasi dari sel
limfosit.
PENATALAKSANAAN
Diet
Pada penderita demam tifoid intake cairan dan elektrolit perlu dipantau dengan baik.
Makanan oral yang dianjurkan adalah diet yang gampang dicerna, diet ini diutamakan pada
penderita demam tifoid yang disertai dengan distensi dan ileus.
Aktivitas
Tidak ada batasan spesifik dari kegiatan dan aktivitas bagi penderita demam tifoid.
Sebagaimana penderita penyakit sistemik lainnya istirahat akan sangat membantu, namun
mobilisaasi dapat dilakukan sesuai dengan teloransi penderita. Penderita demam tifoid
dianjurkan untuk istirahat di rumah sampai pemulihan.
Terapi Medikamentosa
Penderita dengan keluhan yang mengarah kepada demam tifoid perlu mendapatkan antibiotik
spektrum luas segera. Terapi ini sebaiknya tidak menunggu sampai diperoleh hasil
pemeriksaan penunjang, hal ini dilakukan untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
dari demam tifoid. Jika hasil pemeriksaan penunjang telah tersedia dan mendukung untuk
demam tifoid maka perlu dipilih antibiotik yang lebih spesifik. Penderita demam tifoid yang
tidak memiliki komplikasi dapat dirawat jalan, namun mereka harus diajarkan bagaimana
cara menjaga kebersihan tangan dan dilarang untuk menyajikan makanan untuk individu
yang sehat. Penderita rawat inap sebaiknya dirawat di ruangan terpisah dengan pasien
lainnya, terutama selama fase akut demam tifoid.
Terapi Antibiotik
Pilihan terapi antibiotik yang dapat diberikan pada penderita demam tifoid, yaitu
Chloramphenicol. Dengan dosis 50-100 mg/kgBB/Hari dibagi q6hr selama 10-14
hari.
Amoxicillin. Dengan dosis 100 mg/kgBB/ hari dibagi q8hr selama 14 hari.
Trimethoprim/Sulfamethoxazole. Dengan dosis 48 mg TMP/kgBB/hari dibagi q12hr
atau q6hr.
Azithromycin. Dapat mengobati demam tifoid tanpa komplikasi pada anak usia 4-17
tahun, dengan dosis 10 mg/kgBB/PO/hari (Dosis maksimal 500 mg).
Ceftriaxone. Dengan dosis 80-100 mg/kgBB/hari dibagi q12hr atau q24hr selama 7
hari.
Cefixime. Dengan dosis 20 mg/kgBB/hari dibagi q12hr selama 10 hari.
Cefotaxime. Dapat diberikan pada kasus yang diduga resisten dengan antibiotika lain.
Pada anak dengan usia <12 tahun atau berat badan <50 kg diberikan dengan dosis
150-200 mg/kgBB/day dibagi q6hr atau q8hr (Dosis maksimal 12 gram per hari).
Sedangkan untuk anak dengan usia >12 tahun atau berat badan>50 kg dapat diberikan
1-2 gram q 4-6hr.
Terapi Kortikosteroid
Tindakan Pembedahan
PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk demam tifoid ini adalah menjaga higiene
dari makanan serta makanan yang dikonsumsi. Selain itu dapat juga dilakukan vaksinasi
terhadap S thypi.
KOMPLIKASI
Pada penderita demam tifoid dapat dijumpai komplikasi, berupa; neuropsikiatri, respirasi,
kardiovaskular, hepatobilier, intestinal, genitourinari, hematologi, dan muskuloskeletal.
PROGNOSIS
Prognosis dari demam tifoid dipengaruhi oleh cepatnya diagnosis ditegakkan dan dimulainya
terapi yang tepat. Secara umum, kasus demam tifoid yang tidak mendapatkan pengobatan
memiliki angka mortalitas sebesar 10-20%. Sedangkan pada penderita demam tifoid yang
mendapatkan pengobatan memiliki angka mortalitas sebesar kurang dari 1%.
Demam Tifoid dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Tim Adaptasi
Indonesia. Jakarta WHO Indonesia2009