You are on page 1of 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepatitis Imbas Obat

2.1.1 Definisi

Hepatitis imbas obat atau dikenal juga sebagai “Drug-Induced Liver Injury”,
berarti keadaan inflamasi yang terjadi jika kita mengkonsumsi bahan kimia beracun,
obat, atau jamur beracun tertentu.3

Hepatitis imbas obat merupakan tipe kerusakan hati akibat obat yang sering
dijumpai. Kerusakan hati akibat obat biasanya didefenisikan sebagai abnormalitas
pada uji biokimia, khususnya peningkatan serum Alanine Amino-Transferasi (ALT),
Alkali Fosfatase atau kadar bilirubin, sampai dengan lebih dari dua kali batas
normal.4

2.1.2 Epidemiologi

Efek samping obat dapat terjadi pada semua sistem organ tubuh, hati
merupakan organ yang paling rentan karena sebagian besar obat menjalani
metabolism parsial atau komplek serta eliminasi melalui hati.

Berbagai survei di dunia menunjukkan bahwa frekuensi hepatitis imbas obat


sebagai penyebab penyakit hati akut maupun kronik relatif rendah. Insidens
hepatotoksisitas imbas obat dilaporkan sebesar 1:10.000 sampai 1:100.000 pasien.
Meskipun demikian insidens hepatitis imbas obat sulit diketahui.5

2.1.3 Klasifikasi
Hepatotoksisitas akibat obat secara umum dibagi menjadi dua kategori besar,
yaitu hepatotoksisitas intrinsik (disebut juga hepatotoksisitas direk atau dapat
diprediksi) dan hepatotoksisitas idiosinkratik (disebut juga hepatotoksisitas indirek
atau tidak dapat diprediksi). Contoh hepatotoksisitas intrinsik adalah hepatotoksisitas

3
akibat pajanan terhadap zat kimia industri maupun lingkungan atau toksin, seperti
karbon tetraklorida, fosfor, atau beberapa jenis jamur yang menyebabkan jejas hati.
Sebaliknya, hepatotoksisitas idiosinkratik merupakan hepatotoksisitas yang
disebabkan oleh obat-obat konvensional dan produk herbal yang menyebabkan
hepatotoksisitas hanya pada sejumlah kecil resipien.6

2.1.4 Etiologi
a. Analgesik
Asetaminofen (parasetamol) merupakan salah satu analgesik yang paling
umum digunakan. Obat ini secara efektif menurunkan demam dan mengurangi nyeri
ringan sampai sedang, dan dianggap secara umum sebagai obat yang sangat aman.
Kerusakan sel yang disebabkan oleh asetaminofen tidak hanya berhubungan dengan
overdosis atau penggunaan dosis tinggi, melainkan juga dapat diakibatkan oleh
penggunaan kronis pada dosis rendah (<4g /hari), terutama ditambah faktor
predisposisi lain, seperti konsumsi alkohol kronis. Injuri sel hati setelah meminum
asetaminofen bukan karena disebabkan oleh obat itu sendiri, tetapi karena metabolit
beracun dari asetaminofen yang dihasilkan oleh kelompok enzim dalam hati, yaitu
sitokrom P450. Metabolit ini biasanya tidak berbahaya karena berinteraksi dengan
antioksidan endogen, glutathione. Namun, bila terjadi overproduksi dari metabolit
asetaminofen, cadangan glutathione dalam hati menjadi habis, dan metabolit mulai
menumpuk dan menyebabkan kerusakan jaringan. Injury sel hepar dapat dibatasi
dengan pemberian N-acetylcysteine yang mengembalikan cadangan glutathione liver.
Baru-baru ini, Aspirin telah diketahui berpotensi hepatotoksik. Hampir semua
kasus yang dilaporkan terjadi pada anak-anak dan dewasa muda dengan kelainan
pada jaringan ikat seperti Still's disease, rheumatoid arthritis dan systemic lupus
erythematosus, dan perempuan telah lebih sering terpengaruh dari pada laki-laki.
Sekitar 50% dari pasien dengan juvenile rheumatoid arthritis terbukti
menderita/mengalami berbagai derajat injury sel liver yang ditandai oleh peningkatan
dari plasma aminotransferase selama menjalani terapi aspirin dosis tinggi

4
konvensional (conventional high-dosage aspirin therapy). Obat lain dalam kategori
ini termasuk gabapentin yang menunjukkan hepatotoksisitas sebagai salah satu efek
samping.7
b. Obat Anti Tuberkulosis
Hepatotoksisitas adalah salah satu efek samping obat paling penting yang
terkait dengan obat anti-tuberkulosis yang mungkin membatasi penggunaan obat
tersebut. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan peningkatan sementara serum
enzim hepatoseluler (misalnya alanine aminotransferase dan aspartat
aminotransferase) pada sekitar 10% dari pasien yang menerima kombinasi
kemoterapi standar, termasuk isoniazid dan rifampisin, dari 1-2% penderita
keluar/menghentikan terapi karena hepatotoksisitas berat yang akhirnya
menyebabkan hepatitis fulminan. Meskipun terjadinya hepatotoksisitas yang
diinduksi obat sulit diprediksi, telah diamati bahwa pasien tertentu memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengalami hepatotoksisitas selama menjalani kemoterapi anti-
tuberkulosis. Obat anti-tuberkulosis lain yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas
yaitu pirazinamid, rifabutin, etambutol.7
c. Obat Anti Hipertensi
Methyldopa digunakan dalam pengobatan hipertensi. Telah dilaporkan terjadi
kerusakan liver ringan atau berat pada pasien yang mendapat terapi methyldopa. Pada
kasus yang ringan bias asimtomatik, peningkatan sementara dari transaminases, dan
menurut berbagai laporan dapat terjadi pada 2% sampai 10% pasien yang mendapat
methyldopa. Kerusakan hati dalam bentuk acute hepatitis, chronic active hepatitis
atau cholestasis lebih sering terjadi pada wanita.
Dalam studi in vitro telah ditunjukkan bahwa obat ini dimetabolisme oleh
mikrosom liver baik pada manusia atau pada tikus, oleh system cytochrome P-450,
dengan konsekuensi terbentuk ikatan kovalen dengan makromolekul seluler. Ikatan
kovalen ini dihambat oleh berbagai agen, termasuk gluthatione, ascorbic acid, dan
superoxide dismutase.

5
Banyak obat yang dapat menyebabkan kerusakan hati, beberapa diantaranya yang
termasuk yaitu:
 Obat analgesik: obat-abatan Non-steroidal anti inflammatory drugs (NSAID)
seperti celecoxib, nimesulide, ibuprofen, sulindac, dan diclofenac
 Obat antibakterial: obat-obatan penicillin dan cephalosporin, macrolide,
quinolone, sulfonamide dan trimethoprim serta tetracylines
 Obat anti-fungal: seperti golongan azole dan terbinafine
 Obat antiretroviral
 Obat kardiovaskular: seperti angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitors, amiodarone, hydralazine dan sebagainya.
 Central nervous system drug : seperti anticonvulsants (anti kejang)
 Obat antidepressant yang memiliki kandungan seperti trycialic
 Obat antidiabetik, seperti thiazolidinediones
 Obat hypolipidaemics, seperti fibrats, niacin dan sebagainya
 Obat anastesi inhalasi yang memiliki kandungan seperti halogen.7

2.1.5 Faktor Risiko


Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya Drug Induced Liver Injury
antara lain:8
a. Ras
Beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras tertentu. Misalnya
ras kulit hitam akan lebih rentan terhadap toksisitas isoniazid. Laju
metabolisme dikontrol oleh enzim P-450 dan itu berbeda pada tiap individu.
b. Umur
Reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusakan hepar meningkat
pada orang dewasa oleh karena interaksiobat, penurunan aliran darah hepar,
variasi ikatan obat, dan volume hepar yang lebih rendah. Diperberat oleh
infeksi yang berat menjadi alasan penting akan terjadinya hepatotoksisitas
obat.

6
c. Jenis Kelamin
Walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar lebih
banyak pada wanita.
d. Konsumsi Alkohol
Peminum alkohol akan lebih rentan pada toksisitas obat karena alkohol
menyebabkan kerusakan hepar dan perubahan sirotik yang mengubah metabolisme obat.
Alkohol menyebabkan deplesi simpanan glutation yang menyebabkannya
lebih rentan terhadap toksisitas obat.
e. Penyakit Hepar
Pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya memiliki
peningkatan resiko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P-450
berkurang, beberapa orang mungkin terpengaruh lebih dari yang lainnya.
Modifikasi dosis pada penderita penyakit hati harus berdasarkan pengetahuan
mengenai enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme.
Pasien dengan infeksi HIV dan Hepatitis B atau C, resiko efek hepatotoksik
meningkat jika diberikan terapi antiretroviral. Pasien dengan sirosis juga
resikonya meningkat terhadap dekompensasi pada obat.
f. Faktor Genetik
Perbedaan genetik pada enzim P-450 menyebabkan reksi abnormal terhadap
obat, termasuk reaksi idiosinkratik. Debrisoquine merupakan obat antiaritmia
yang menyebabkan rendahnya metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6.
Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi PCR dari gen mutasi.
g. Penyakit Lain
Seseorang dengan AIDS dan malnutrisi lebih rentan terhadap reaksi obat
karena rendahnya simpanan glutation.

2.1.6 Patofisiologi
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein
transport pada membrane kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis

7
hepatosit imbas empedu dimana terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam
hati karena gangguan transport pada kanalkuli yang menghasilkan translokasi
sitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami
pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Disamping itu
banyak reaksi hepatoseluler yang melibatkan enzim sitokrom P-450 yang
mengandung heme yang menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat
membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang
tidak mempunyai peran. Kompleks enzim - obat ini bermigrasi ke permukaan sel di
dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai immunogen sasaran serangan sitolitik
sel T, merangsang respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan
berbagai sitokin. obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek
ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit
toksik yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu.9

2.1.7 Manifestasi Klinis9


Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip
dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat
gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah,
anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada
kegagalan hati akut.
Jika dalam pasien tuberkulosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan
memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan
acuan diagnosisis hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti
akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan,
muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam
pekat.
2.1.8 Diagnosis8
Dalam International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas
imbas obat berdasarkan :

8
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi
nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel
(kurang dari 5 hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak
lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak
lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari
penghentian obat).
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam
30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari
reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti,
termasuk biopsy hati pada tiap kasus.
4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama
paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati.

Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau
jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan
ulang obat.

2.1.9 Diagnosis Banding12


Diagnosis banding hepatitis imbas obat yaitu hepatitis virus akut, hepatitis
autoimun, kolesistitis, kolangitis, penyakit hati karena alkohol, dan kolestatik.

2.1.10 Penatalaksanaan10
Penatalaksanaan:
- Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop

9
- Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT
distop
- SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
- SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan
Paduan obat yang dianjurkan
- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
- Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium
kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid
(H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan
klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan
laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi
RHES.
- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi.
-
2.1.11 Prognosis
Prognosis hepatitis imbas obat sangat bervariasi tergantung keadaan klinik
pasien dan tingkat kerusakan hati. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat
antara tahun 1998-2001 menunjukkan overall survival rate (termasuk yang menjalani
transplantasi hati ) sebesar 72%. Akibat dari gagal hati akut ditentukan oleh etiologi,
derajat encephalophaty hepatikum saat masuk perawatan dan komplikasi yang timbul,
seperti infeksi.4

2.1.12 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada kasus DILI biasanya mirip dengan komplikas
yang umumnya terjadi pada pasien hepatitis, yaitu asites, serosis hepatis, perlemakan
hati, dll.11

10
2.1.13 Pencegahan12
 Jangan mengkonsumsi obat lebih dari dosis yang dianjurkan khususnya yang
mengandung acetaminophen (tylenol).
 Jika memiliki penyakit hati, harus menghindari obat-obat seperti
acetaminophen dan fenitoin serta obat-obat lain yang diketahui mempunyai
efek toksik terhadap hati.

11

You might also like