You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia aplastik merupakan penyakit hematologi yang tidak biasa. Anemia aplastik
dikenal sebagai sindrom gagalnya sumsum tulang dalam memproduksi sel darah.1
Dalam banyak kasus, anemia aplastik disebabkan oleh mediasi sistem kekebalan
imun, yang dimediasi oleh oligoklonal dan sel T sitotoksik dan menginduksi kematian sel
punca dan progenitor hematopoetik melalui apoptosis dan kegagalan hematopoetik.2
Insiden anemia aplastik bervariasi dari 10-52,7% di antara pasien dengan
pansitopenia. Insiden anemia aplastik berat dan sedang dilaporkan masing-masing sekitar
33,33% dan 57,14% kasus di Bengal barat dan utara.2
Anemia aplastik yang didapat kadang-kadang dapat ditelusuri penyebabnya seperti
hepatitis seronegative, obat, racun atau kehamilan. Manifestasi klinis dapat berupa dyspnea
saat aktivitas, kelelahan, mudah memar, petekie, epistaksis, perdarahan gingiva, menstruasi
berat, sakit kepala dan demam. Pemeriksaan darah lengkap, hitung leukosit, jumlah
retikulosit dan aspirasi sumsum dan biopsi sumsung tulang dapat menegakkan diagnosis.3
Dahulu anemia aplastik merupakan penyakit yang fatal, namun sekarang dapat
disembuhkan dengan transplantasi stem cell atau terapi obat imunosupresif.1,4
Pada laporan kasus ini, seorang laki – laki berumur 25 tahun yang datang ke RSPAD
Gatot Soebroto dengan keluhan lemas sejak 2 hari yang lalu.. Pasien menderita anemia
aplastik sejak tahun 2017 dan rutin tranfusi setiap satu bulan sekali. Pada laporan ini akan
dibahas pasien dengan anemia aplastik.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn E.M
Tanggal Lahir : 11 September 1992 (25 tahun)
Alamat : KP Sidamukti RT 001 RW 010 Sukamaju, Cilodong
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Pegawai swasta
Masuk RS : 25 Juni 2018
Dilakukan Pemeriksaan : 26 Juni 2018

2.2. ANAMNESIS
Keluhan utama: Lemas sejak 2 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan lemas sejak 2 hari
SMRS, lemas dirasakan di seluruh badan dan terus menerus. Pasien juga mengeluh sakit
kepala yang tidak berputar, tidak berdenyut dan kadang mata dirasakan berkunang-kunang,
tetapi tidak sampai pingsan. Pasien juga mengeluh mual tetapi tidak sampai muntah. Selain
itu pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hati dan rasa pahit dilidah, terdapat perdarahan gusi,
tidak ada trauma pada gusi sebelumnys. Nafsu makan pasien masih baik. keluhan seperti rasa
terbakar di dada ataupun rasa asam yang naik ke lidah disangkal oleh pasien. Pasien
mengatakan cepat lelah dan sulit melakukan aktivitas. Tidak ada riwayat bicara pelo maupun
kelemahan satu sisi Pasien juga mengeluh dada kadang dirasakan berdebar-debar. Keluhan
nyeri dada menjalar, rasa seperti ditindih atau ditimpa beban berat disangkal oleh pasien.
Pasien tidak ada demam dalam 1 bulan terakhir. Telinga berdenging, mimisan dan gangguan
penglihatan seperti pandangan ganda disangkal oleh pasien. BAK normal dengan warna
kuning jernih tidak berwarna kecoklatan atau kemerahan dan tidak disertai darah. BAB
normal dengan warna kecoklatan, tidak berubah menjadi kehitaman seperti aspal dan tidak
disertai tetesan darah di akhirnya. Pasien tidak mengalami penurunan berat badan drastis
dalam 6 bulan terakhir.
Pasien menderita anemia aplastik sejak Agustus 2017. Awalnya pasien mengeluh
keluhan lemas, cepat lelah, pusing kepala, konsentrasi menurun saat bekerja dan keluhan
2
lemas dirasakan terus menerus dan mengganggu aktivitas. Selain itu pasien sebelumnya
pernah mengalami perdarahan pada gusi, sebelum terjadi perdarahan pada gusi, pasien
mengatakan bahwa tidak ada luka pada daerah tersebut. Pasien juga mengatakan pada kedua
tangan dan kaki muncul tanda lebam tanpa sebab yang jelas, lebam berwarna hijau, sedikit
sakit bila ditekan. Sebelum muncul lebam, pasien tidak mengalami benturan pada seluruh
anggota geraknya. Sama seperti kemunculan lebam, pada tangan kanan pasien dan kaki kiri
pasien juga muncul bitnik – bintik merah kecil yang banyak tanpa sebab yang jelas. Pasien
sempat di rawat di RS KRAMAT 128 kemudian di rujuk ke RS Sakit Kanker “Dharmais”
dan dilakukan pemeriksaan darah dan BMP didapatkan hasil sumsum tulang hiposeluler,
aktifitas eritropoesis dan trombosit kurang.
Pasien sekarang rutin berobat ke Poliklinik IPD dan rutin melakukan transfusi darah
setiap bulan di RSPAD Gatot Soebroto, tranfusi terakhir yaitu bulan Mei 2018. Dan diberi
obat Metil prednisolone 2x4 mg, asam folat 3x1 dan vitamin B12 3x1. Pasien mengatakan 1
minggu yang lalu kontrol ke poli IPD dan mengatakan hasil labnya yaitu Hb 5,3 g/dl dan
trombosit 11.000/uL, dan akan dilakukan transfusi tetapi belum sempat karena belum dapat
darah.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat alergi, darah tinggi, kencing manis, asma, penyakit jantung, penyakit paru-
paru, penyakit ginjal, dan keganasan disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
 Di keluarga pasien tidak ada yang menderita anemia aplastik.
 Di keluarga pasien juga tidak ada yang menderita kencing manis, darah tinggi, alergi,
asthma, penyakit jantung, ginjal, dan keganasan.
Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien adalah seorang pegawai swasta. Pasien tinggal bersama orang tua dan kedua
adiknya. Pasien mengatakan di rumahnya walaupun ada jendela tetapi hanya sedikit sinar
yang masuk ke dalam rumah karena terhalang oleh rumah lain. Pasien selalu menjaga
kebersihan dirinya dengan mandi dua kali sehari.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik di IGD pada tanggal 25 Juni 2018. Pukul 08:40 WIB
Kesadaran : Compos mentis

3
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Status Gizi : BB : 50 kg
TB : 164 cm
BMI : 18,6 (Berat badan normal)
Tanda vital : TD : 120/60 mmHg
Nadi : 76 x/menit
Suhu : 36,3OC
Pernapasan :20 x/menit
Kepala : Normocephali
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Pupil isokor, refleks cahaya +/+, konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -
/-
Hidung : Sekret -/- , deviasi septum (–)
Telinga : Sekret -/- , liang telinga lapang, nyeri tekan tragus (–)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Mulut : Mukosa lembab, sianosis (-), coated tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax :
Pulmo Depan Belakang
Inspeksi  Bentuk dada normal  Bentuk dada bagian belakang
 Pernapasan regular, tidak ada normal
dinding dada yang tertinggal  Bentuk scapula simetris
 Jenis pernapasan  Tidak ditemukan bekas luka
abdominothorakal ataupun benjolan
 Otot-otot bantu pernapasan (-)
Palpasi  Tidak teraba adanya pembesaran  Perbandingan gerakan nafas dan
kelenjar getah bening vokal fremitus sama kuat di kedua
 Vokal fremitus sama kuat di lapang paru
kedua lapang paru
 Gerakan nafas sama kuat di kedua
paru
Perkusi  Perkusi terdengar sonor pada  Pada dada kanan dan kiri terdengar
kedua lapang paru sonor

4
Auskultasi  Suara nafas vesikuler  Suara nafas vesikuler
 Ronkhi - / -  Ronkhi - / -
 Wheezing - / -  Wheezing - / -

Kardiovascular
Inspeksi  Tidak terlihat pulsasi pada ictus cordis
Palpasi  Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi  Batas kiri jantung terletak pada ICS V lateral linea midclavicularis sinistra
 Batas pinggang jantung terletak pada ICS III linea parasternalis sinistra
 Batas kanan jantung terletak pada ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi  Bunyi jantung I dan II terdengar regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi  Perut datar, tidak terdapat striae, tidak terdapat tanda-tanda peradangan
Auskultasi  Bising usus (+) normoperistaltik
Palpasi  Supel, nyeri tekan (+) pada epigastrium, pembesaran hepar 3 jari di bawah
arkus kosta dan 2 jari di bawah prosesus xypoideus, tidak teraba pembesaran
lien (-), kedua ginjal tidak teraba
Perkusi  Bunyi pekak pada kuadran kanan atas dan bunyi timpani pada ketiga
kuadran abdomen
Ekstremitas
 Superior : Akral dingin, sianosis (-/-), edema (-/-), Petechiae (-), CRT>2”, motorik 4/4
 Inferior : Akral dingin, sianosis (-/-), edema (-/-), Petechiae (-), CRT > 2”, motorik 4/4

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium IGD pada tanggal 25 Juni 2018. Pukul 09:09 WIB

Hematologi Rutin Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 5,2 12.0 – 16 g/dL
Hematokrit 16 37 – 47%
Eritrosit 1,5 4.3 – 6.0 juta/uL
Leukosit 4.770 4.800 – 10.800 / uL
Trombosit 5000 150000 – 40000/uL
MCH 107 80-96 fl

5
MCV 35 27-32 pg
MCHC 33 32-36 g/dl
Koagulasi Hasil Nilai Rujukan
PT 10,9 9,3 – 11,8 detik
APTT 29,4 31 – 47 detik
Kimia Klinik Hasil Nilai Rujukan
Bilirubun total 0,45 < 1,5 mg/dl
SGOT (AST) 29 < 35 U/l
SGPT (ALT) 35 < 40 U/l
Albumin 3,0 3.5 – 5.0 g/dl
Ureum 0,7 0.5-1.0 mg/dl
Kreatinin 26 20 – 50 mg/dl
Glukosa darah sewaktu 123 70 -140 mg/dl
Natrium 134 135 – 147 mmol/L
Kalium 3,9 3.5 - 5.0 mmol/L
Klorida 102 95 – 105 mmo/L

2.5. RESUME
Laki-laki 25 tahun dengan keluhan lemas sejak 2 hari SMRS. Pusing (+), mata
berkunang-kunang (+), mual (+), nyeri di epigastrium (+), rasa pahit dilidah (+), cepat lelah
(+), ekimosis (+), petekie (+), gingival bleeding (+). Pasien didiagnosis menderita anemia
aplastik pada tahun 2017. Pasien rutin melakukan tranfusi setiap bulan di RSPAD Gatot
Soebroto dan diberi obat metil prednisolon 2x4 mg, asam folat 3x1 dan vitamin B12 3x1.
Konjungtiva anemis +/+, hepatomegali, akral dingin, CRT > 2 detik, motorik 4/4
Hb menurun, hematokrit menurun, eritrosit menurun, leukopenia, trombositopenia, anemia
makrositik.

2.6. DAFTAR MASALAH DAN PENGKAJIAN MASALAH


1. Pansitopenia
Keluhan lemas, pusing, mata berkunang-kunang, mual dan cepat lelah. Terdapat
pansitopenia yang jelas, ekimosis (+), petekie (+), gingival bleeding (+).
Pasien tampak lemas, konjungtiva anemis +/+, nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali,
akral dingin, CRT > 2 detik, motorik 4/4

6
Penurunan Hb dan eritrosit, leukopenia dan trombositopenia
- Rencana diagnostik : Pemeriksaan darah lengkap, PT APTT, pemeriksaan sitogenik
dengan FISH dan imunofenotipik dengan flow cytometry, tes ham atau tes hemolisis sukrosa,
pemeriksaan apusan darah tepi, SI, TIBC, Feritin, Retikulosit dan Saturasi Transferin, BMP
- Rencana pengobatan : IVFD NS 0,9% 20tpm, inj premed dexa 1 amp, tranfusi PRC
1000cc. tranfusi TC 10ui
- Rencana monitoring : TTV dan keluhan pasien
- Edukasi : pasien perlu diingatkan untuk menjaga nutrisi, dan karena leukosit pasien
rendah, pasien harus langsung berobat ke dokter jika ada batuk pilek, demam dan gejala lain
yang mengarah kepada infeksi. Pasien juga perlu diberi tahu tentang risiko perdarahan yang
meningkat, sehingga perlu diingatkan untuk berhati-hati agar tidak mengalami kecelakaan.

2.Anemia Aplastik
Keluhan lemas, pusing, mata berkunang-kunang, mual, dan cepat lelah. Pasien juga
mengeluh gusi berdarah. Terdapat pansitopenia yang jelas, ekimosis (+), petekie (+), gingival
bleeding (+). serta adanya riwayat anemia aplastik sebelumnya berdasarkan hasil
pemeriksaan sumsum tulang yang dlakukan sebelumnya berdasarkan hasil pemeriksaan
sumsung tulang yang dilakukan 8 bulan yang lalu.
Konjungtiva anemis +/+, hepatomegali, akral dingin, CRT > 2 detik, motorik 4/4
Hb menurun, hematokrit menurun, eritrosit menurun, leukopenia, trombositopenia, anemia
makrositik.
- Rencana diagnostik : Pemeriksaan darah lengkap, PT APTT, pemeriksaan darah tepi, SI,
TIBC, Feritin, Retikulosit dan Saturasi Transferin, BMP
- Rencana pengobatan : IVFD NS 0,9% 20tpm, IVFD NS 0,9% 20tpm, inj premed dexa 1
amp, tranfusi PRC 1000cc. tranfusi TC 10ui
- Rencana monitoring : monitoring TTV dan keluhan pasien
- Edukasi : pasien perlu diingatkan untuk menjaga nutrisi, dan karena leukosit pasien
rendah, pasien harus langsung berobat ke dokter jika ada batuk pilek, demam dan gejala lain
yang mengarah kepada infeksi. Pasien juga perlu diberi tahu tentang risiko perdarahan yang
meningkat, sehingga perlu diingatkan untuk berhati-hati agar tidak mengalami kecelakaan.

7
2.7 PROGNOSIS
 Quo ad Vitam : dubia
 Quo ad Functionam : dubia
 Quo ad Sanationam : dubia ad malam

2.8. FOLLOW UP BANGSAL


Pemeriksaan fisik di bangsal lantai 4, pada tanggal 26 Maret 2018, pukul 13.30 WIB
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tanda vital : TD : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,0OC
Pernapasan : 20 x/menit
Kulit : Sawo matang
Kepala : Normocephali
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Pupil isokor, refleks cahaya +/+, konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -
/-
Hidung : Sekret -/- , deviasi septum (–).
Telinga : Sekret -/- , liang telinga lapang, nyeri tekan tragus (–)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Mulut : Mukosa lembab, sianosis (-), coated tongue (-)
Leher : KBG tidak teraba, Tiroid tidak ada pembesaran
Thorax :
Pulmo Depan Belakang
Inspeksi  Bentuk dada normal  Bentuk dada bagian belakang
 Pernapasan regular, tidak ada normal
dinding dada yang tertinggal  Bentuk scapula simetris
 Jenis pernapasan  Tidak ditemukan bekas luka
abdominothorakal ataupun benjolan
 Otot-otot bantu pernapasan (-)
Palpasi  Tidak teraba adanya pembesaran  Perbandingan gerakan nafas dan

8
kelenjar getah bening vokal fremitus sama kuat di kedua
 Vokal fremitus sama kuat di lapang paru
kedua lapang paru
 Gerakan nafas sama kuat di kedua
paru
Perkusi  Perkusi terdengar sonor pada  Pada dada kanan dan kiri terdengar
kedua lapang paru sonor

Auskultasi  Suara nafas vesikuler  Suara nafas vesikuler


 Ronkhi - / -  Ronkhi - / -
 Wheezing - / -  Wheezing - / -

Kardiovascular
Inspeksi  Tidak terlihat pulsasi pada ictus cordis
Palpasi  Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi  Batas kiri jantung terletak pada ICS V lateral linea midclavicularis sinistra
 Batas pinggang jantung terletak pada ICS III linea parasternalis sinistra
 Batas kanan jantung terletak pada ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi  Bunyi jantung I dan II terdengar regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi  Perut datar, tidak terdapat striae, tidak terdapat tanda-tanda peradangan
Auskultasi  Bising usus (+) normoperistaltik
Palpasi  Supel, nyeri tekan (+) pada epigastrium,
Organ : Hepar
Kanan : pembesaran hepar 3 jari di bawah arkus kosta
Kiri : 2 jari di bawah prosesus xypoideus
Lien : tidak teraba pembesaran lien
Ginjal : kedua ginjal tidak teraba
Perkusi  Bunyi pekak pada kuadran kanan atas dan bunyi timpani pada ketiga
kuadran abdomen
Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), Petechiae (-), CRT<2”, motorik 5/5
 Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), Petechiae (-), CRT< 2”, motorik 5/5

9
2.9 FOLLOW UP HARIAN
25 Juni 2018 S : pasien mengeluh lemas P : IVFD NS 0,9% 20 tpm
O : KS: CM, Ku: TSS TD: 110/70mmHg, Inj premed dexa 1 amp
N:80x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,2 C Tranfusi PRC 1000cc
Mata : CA +/+, SI -/-
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop -
Abd : datar, bising usus normal,
nyeri tekan (+) pada epigastrium, hepar teraba
membesar 3 jari dibawah arkus kosta dan 2 jari
dibawah prosesus xypoideus
A : pansitopenia pada anemia aplastik

26 – 6 – 2018 S : perdarahan gusi P:


O : Ks: CM, Ku: TSS TD: 110/80mmHg, Inj dexametason 1 amp
N:82x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,0 C Tranfusi TC 10ui
Mata : CA +/+, SI -/- Pemeriksaan DPL post
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/- tranfusi
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop -
Abd : datar, bising usus normal,
nyeri tekan (+) pada epigastrium, hepar teraba
membesar 3 jari dibawah arkus kosta dan 2 jari
dibawah prosesus xypoideus
A : pansitopenia pada anemia aplastik

28 – 6- 2018 S : tidak ada keluhan P:


O : Ks: CM, Ku: TSS TD: 120/70mmHg, Obat pulang : metil
N:78x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,2 C prednisolone 2 x 4 mg
Mata : CA +/+, SI -/- Asam folat 1 x 5 mg
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/- B12 3 x 1 mg
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop -

10
Abd : datar, bising usus normal,
nyeri tekan (+) pada epigastrium, hepar teraba
membesar 3 jari dibawah arkus kosta dan 2 jari
dibawah prosesus xypoideus
A : pansitopenia pada anemia aplastik

2.10 Pemeriksaan Penunjang setelah di Tranfusi 27 Juli 2018


Hematologi Rutin Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,2 12.0 – 16 g/dL
Hematokrit 36 37 – 47%
Eritrosit 4,2 juta/uL 4.3 – 6.0 juta/uL
Leuk 5622 4.800 – 10.800 / uL
osit
Trombosit 336000 150000 – 40000/uL
MCH 79 80-96 fl
MCV 30 27-32 pg

MCHC 33 32-36 g/dl

Koagulasi Hasil Nilai Rujukan


PT 9,8 9,3 – 11,8 detik
APTT 33 31 – 47 detik
Kimia Klinik Hasil Nilai Rujukan
Bilirubun total 0,45 < 1,5 mg/dl

SGOT (AST) 27 < 35 U/l


SGPT (ALT) 36 < 40 U/l
Albumin 3,4 3.5 – 5.0 g/dl
Ureum 0,7 0.5-1.0 mg/dl
Kreatinin 24 20 – 50 mg/dl
Glukosa darah sewaktu 126 70 -140 mg/dl
Natrium 134 135 – 147 mmol/L
Kalium 3,5 3.5 - 5.0 mmol/L
Klorida 100 95 – 105 mmo/L

11
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anemia Aplastik

Anemia aplastik merupakan penyakit hematologi yang tidak biasa. Anemia aplastik
dikenal sebagai sindrom gagalnya sumsum tulang dalam memproduksi sel darah.1
Sel-sel darah yang mengalami penurunan adalah eritrosit, leukosit dan trombosit.
Berdasarkan The International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut
anemia aplastik bila kadar hemoglobin ≤ 10 g/dL atau hematokrit ≤ 30 %; hitung trombosit ≤
50.000/mm3 ; hitung leukosit ≤ 3.500/mm3 atau granulosit ≤ 1,5 x 109/L.3
Anemia aplastik merupakan kegagalan hematopoesis yang relatif jarang ditemukan
namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia
sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada seorang perempuan
muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat,
perdarahan dan hiperpireksia.5
Dasar penyakit ini adalah kegagalan sumsum tulang dalam memproduksi sel-sel
hematopoetik dan limfopoetik, yang mengakibatkan tidak ada atau berkurangnya sel-sel
darah di darah tepi, keadaan ini disebut sebagai pansitopenia. Pada tujuh puluh persen kasus
penyebab anemia aplastik didapat tidak dapat diterangkan, sedangkan sisanya diduga akibat
radiasi, bahan kimia termasuk obat-obatan, infeksi virus, dan lain-lain. Gejala-gejala yang
timbul pada pasien anemia aplastik merupakan gejala pansitopenia seperti pucat, perdarahan,
dan infeksi. Etiologi penyakit ini kebanyakan tidak diketahui maka tata laksananya juga
belum optimal dan seringkali menimbulkan masalah-masalah baru pada pasien, bukan hanya
memperburuk kondisi pasien atau bahkan dapat mengancam jiwa pasien.6

3.2 Epidemiologi
Anemia aplastik adalah anemia kegagalan sumsum tulang ditandai adanya
pansitopenia dengan sebagian besar kasus terjadi kelainan sumsum tulang hypoplasia.
Insiden anemia aplastik didapat berkisar antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta penduduk
per tahun dengan variasi geografis. Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15

12
sampai 25 tahun, puncak insiden kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur
dan jenis kelamin pun bervariasi secara geografis.5
Dari tahun 1980 sampai tahun 2003 tercatat 235 kasus anemia aplastik. Insidennya
adalah 3-6 kasus per 1 juta penduduk pertahun dan insiden meningkat berdasarkan umur
penderita. Laki-laki lebih sering terkena anemia aplastik dibandingkan dengan wanita.
Kebanyakan kasus anemia aplastik adalah kasus berat. Angka bertahan hidup dari 3 bulan, 2
tahun dan 15 tahun adalah 73%,57%, dan 51%.7
Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun;
peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di
Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta
penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa
insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas.8
Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti
peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini
terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di
Amerika.9

3.3 Etiologi
Mayoritas kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Namun ada hubungannya dengan
gangguan autoimun lainnya seperti rheumatoid artritis, SLE, thymoma, anorexia nervosa,
paroxydmal nocturnal hemoglobinuria (PNH) dan khususnya gangguan langka eosinophilic
fasciitis. Dalam ¼ pasien, obat atau toksin dapat diimplikasikan. Ada banyak obat yang telah
dikaitkan dengan laporan kasus individu dengan anemia aplastik, seperti kloramfenikol,
sulfonamid, klorokuin, garam emas, indometasin dan tiourasil. Terdapat juga peningkatan
insiden akibat infeksi virus, dalam beberapa bulan sebelum diagnosis anemia aplastik seperti
virus hepatitis (non A, non B dan non C, infeksi Ebstein barr). Selain itu dapat disebabkan
oleh radiasi, bahan kimia beracun (benzene, pelarut dan uap lem).10,11,12

Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik13,14


Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan

13
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

14
Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia
aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti
insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan
kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.15

Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan
progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis
yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif. Bila stem sel hematopoiesis yang
terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum
tulang dan menyebabkan fibrosis. Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis
radiasi, dosis dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi
dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum
tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada
pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima.
Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy
atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis
radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi
pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan
sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi
sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat
menyebabkan anemia aplastik.14,15

Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan.
Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi
genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain
yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan,
obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.5

Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus
Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering.

15
Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun
anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis
seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.10,15
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang,
biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat menyebabkan
kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel
hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses
autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan
stroma penunjang.14

Faktor Genetik
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari
padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi
merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai
pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan
seksual, kelainan ginjal dan limpa.5

Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain


Anemia aplastik dapat juga ditemukan pada keadaan/penyakit lain, seperti: pada
leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan hipoplasia
sumsum tulang. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH), penyakit ini dapat
bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia mengkin termasuk
kelainan PNH. Dan kehamilan, kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah
dilaporkan, tetapi hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien,
kehamilan mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan
membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan
dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan berikutnya.5,8

3.4 Patofisiologi
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang
diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh
ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic
anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi.

16
Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun
terhadap stem sel.16
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling
sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada
penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-
obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi
aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan
DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal
ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya
dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan
kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.16
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh
paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai
DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.16
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan
mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui
benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa
terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang
ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram
(apoptosis).16

3.5 Manifestasi Klinis


Pasien dengan anemia aplastik, sebelum terdiagnosis datang ke dokter dengan
keluhan lemas dan mudah lelah dan gejala lain yang terkait anemia progresif. Presentasi yang
lebih umum terjadi termasuk infeksi berulang karena neutropenia atau perdarahan mukosa
karena trombositopenia. Infeksi biasanya diakibatkan oleh bakteri, infeksi jamur invasif
adalah penyebab umum kematian terutama pada pasien dengan neutropenia yang berat dan
berkepanjangan. Meningkatnya aliran menstruasi juga merupakan keluhan umum pada
wanita premenopause.17

17
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin.
Keluhan yang dapat ditemukan saat bervariasi. Pada tabel terlihat bahwa perdarahan, badan
lemah dan pusing merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.5

Tabel 2. Keluhan pasien anemia aplastik (n=70)5

Jenis keluhan %
Perdarahan 83
Badan lemas 30
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak nafas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

3.6 Pemeriksaan Fisik


Petekie dan ekimosis adalah tanda yang cukup khas dan perdarahan retina juga dapat
dijumpai. Hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan perdarahan
ditemukan lebih dari setengah jumlah pasien, yang sebabnya bermacam-macam, ditemukan
pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali dan limfadenopati justru meragukan
diagnosis.5,18
Pemeriksaan pelvis dan rektum juga bisa dilakukan tetapi ketika dilakukan harus
dengan lembut untuk menghindari trauma, hasil pemeriksaan ini dapat menunjukkan
perdarahan dari serviks dan terdapat darah di tinja. Pucat pada kulit dan membran mukosa
sering terjadi, kecuali pada banyak kasus akut dan sudah dilakukan tranfusi. 5,18

18
Tabel 3. Pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik (n=70)5

Jenis pemeriksaan fisik %


Pucat 100
Perdarahan 63
 Kulit 34
 Gusi 26
 Retina 20

 Hidung 7

 Saluran cerna 6

 Vagina 3

Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0

3.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium5,18
Diagnosis anemia aplastik dan penilaian keparahan relatifnya bergantung pada
evaluasi laboratorium menyeluruh.
Darah Tepi
Darah tepi biasanya memperlihatkan pansitopenia. Jumlah granulosit absolut rendah
atau menjadi berkurang secara progresif selama sakit. Sel darah merah normokromik dan
biasanya agak makrositik, yang mencerminkan eritropoisis stress, dan jumlah retikulosit
terkoreksi rendah. Pada sebagian kecil kasus, presentasi retikulosit ditemukan lebih dari 2%.
Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia maka diperoleh persentase
retikulosit normal atau rendah. Adanya retikulosis setelah dikoreksi menandakan bukan
anemia aplastik. Karena perdarahan serius dan/atau infeksi berkaitan dengan derajat
trombositopenia atau neutropenia, maka nilai trombosit dan neutofil harus ditentukan sejak
awal dan diikuti secara berkala. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi
menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah.

19
Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh
trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal.

Sumsum Tulang
Aspirat sumsum tulang mungkin menghasilkan dry tap, tetapi biopsy sumsum tulang
akan memperlihatkan sumsum yang sangat hiposeluler atau aplastik yang terisi lemak.
Biasanya terdapat penekanan megakariosit dan sel-sel myeloid dan penekanan mencolok
tetapi lebih ringan prekursor eritroid.

Besi Serum
Peningkatan kadar besi serum disertai kadar transferrin yang normal menyebabkan
peningkatan kejenuhan transferrin. Karena adanya penurunan pada prekursor eritroid, klirens
besi plasma memanjang, dan masuknya besi ke dalam sel darah merah sangat menurun.
Tidak terdapat bukti peningkatan kerusakan sel darah merah.

Virus
Evaluasi diagnosis anemia aplastic meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV,
parvovirus dan sitoegalovirus.

Tes Ham atau tes hemolisis Sukrosa


Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab.

Kromosom
Pada anemia aplastic didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan
sitogenik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan flow
cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasa
hiposeluler,

Pemeriksaan Radiologis
Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI), pemeriksaan ini merupakan cara
terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara
daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang berseluler.

20
Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning), luasnya kelainan
sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid
radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium
chloride yang akan terikat pada transferrin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat
ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenik
atau kultur sel-sel induk.

3.8 Diagnosis
Pasien dengan anemia aplastik, memiliki temuan klinis seperti pansitopenia, terutama
pucat dan munculnya petekie. Hati, limpa atau kelenjar getah bening umumnya tidak
membesar. Diagnosis anemia aplastik didasarkan pada hal berikut : adanya pansitopenia atau
bisitopenia dengan sumsum tulang hiposeluler dan terdapat lemak, dan tidak ada infiltrasi
abnormal dan tidak ada peningkatan retikulin. Diagnosis banding yang penting adalah
hipoplastik myelodysplastic syndrome (MDS), harus diingat perbedaan signifikan penting
dalam tatalaksana dan prognosis.10,19

Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut20 :


1. Klasifikasi menurut kausa :
a. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
b. Sekunder : bila kausanya diketahui.
c. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia
Fanconi
2. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis
Tabel 4. Klasifikasi Anemia Aplastik21

21
3.9 Diagnosis Banding
Splenomegali dan/atau limfadenopati merupakan temuan yang menyangkal adanya
anemia aplastic. Invasi maligna dan nonmaligna terhadap sumsum tulang harus disingkirkan
dengan pemeriksaan mkroskopik atas sumsum tulang. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
dan lupus eritematosus sistemik harus disingkirkan dengan pemeriksaan-pemeriksaan yang
sesuai, termasuk uji hemolisis asam dan gula. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat dapat
disingkirkan dengan pemeriksaan serum dan perubahan morfologik. Walaupun jarang,
pansitopenia dapat timbul akibat berbagai infeksi, termasuk AIDS. Sebelum anemia aplastic
dapat diklasifikasikan sebagai idiopatik, harus dilakukan anamnesis yang cermat untuk
menyingkirkan pajanan semua obat atau bahan yang dicurigai. Pada masyarakat kita yang
kompleks, semua pasien terpajan oleh bahan yang potensial toksik di lingkungan.
Bagaimanapun, kendala ini seharusnya tidak menghambat pencarian penyebab yang cermat
dan ekstensif. 18
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia
tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan
sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang
abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger-Hüet), prekursor
eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta
sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia
aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan
megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit
unilobuler).8
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan
adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik
abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati,
hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.22,23
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell
leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel
limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.23
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik
lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang
normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.23

22
3.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia
dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien.8
Manajemen awal anemia aplastik : a) menghentikan semua obat-obat atau penggunaan
agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik; b) anemia : transfusi PRC bila
terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan; c) pendarahan hebat akibat trombositopenia :
transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan; d) tindakan pencegahan terhadap infeksi bila
terdapat neutropenia berat; e) infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila
organisme spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat
badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan
transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF; dan f) assessment untuk
transplantasi stem sel allogenik: pemeriksaan histokompatibilitas pasien, orang tua dan
saudara kandung pasien.8
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi
stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon)
atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya
donor saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif
atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik
mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda
umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai
GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai
komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai
untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.5,9

23
Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat. 5

a. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red
cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit
kardiovaskular.5
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi
trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3
sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit
konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila
terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara
kandung).5
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak
dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit
yang ditransfusikan sangat pendek.5

b. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin
(ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG
diindikasikan pada5,12 :
- Anemia aplastik bukan berat

24
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak
terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui
koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau
tidak langsung terhadap hemopoiesis.5
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan
sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Siklosporin juga
diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir
limfosit sitotoksik.5 Dosis test ATG16 :
- ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan dengan
saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya. Bila tidak ada reaksi
anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
- Asetaminofen 650 mg peroral
- Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
- Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
- ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari

Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG adalah prednison 100 mg/mm2 peroral 4
kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila
tidak terjadi serum sickness, tappering dosis setiap 2 minggu. Siklosporin 5mg/kg/hari peroral
diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih
lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga
harus diturunkan bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG,
siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia
aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%.9
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif.
Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid
dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut,
siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran
obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang
25
melebihi dari pada kombinasi ATG dan siklosporin.Pemberian dosis tinggi siklofosfamid
sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum
dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon lebih
dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps
dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.5,8

c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)


Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-faktor
pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.5
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap
siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda
tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.5
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-Colony
Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi
neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh
stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik
tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF
dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus
yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah
pada beberapa pasien.5,16
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel
induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastik ringan dan pada
anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi
penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.5,8

d. Transplantasi sumsum tulang


Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik
berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi,
transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya
sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA).2 Pasien dengan usia >
40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia
muda.8,24
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih
baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien dengan umur kurang

26
dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi
sumsum tulang dapat dipertimbangkan.5 Akan tetapi survival pasien yang menerima
transplantasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek
daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.8,24
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi
selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari
donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk
mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk
akibat tansfusi.5
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation (EBMT)
adalah sebagai berikut5 :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan trombosit
sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3 dan
trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.

3.11 Pencegahan
Umumnya tidak ada pencegahan untuk sebagian besar kasus anemia aplastik.
Menghindari paparan insektisida, herbisida, pelarut organik, penghilang cat, bahan kimia
beracun dan radiasi dapat menurunkan risiko penyakit.25

3.12 Prognosis
Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa : 1) berakhir dengan remisi sempurna.
Hal ini jarang terjadi kecuali bila iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna
biasanya terjadi segera. 2) meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar
kasus. 3) bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup lama
namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.5

27
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan


komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum
tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita
mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah,
sel darah putih, dan trombosit. Keadaan Tn. E selama masa perawatan di RSPAD baik rawat
jalan maupun rawat inap selalu menunjukkan kondisi ini. Bila diikuti catatan hasil lab dari
awal hingga terdiagnosa anemia aplatik, kadar eritrosit, leukosit dan trombosit Tn. E selalu
turun dibawah normal. Penegakkan diagnosis anemia aplastik biasa dilakukan berdasarkan
temuan pansitopenia pada pemeriksaan darah tepi dan hiposelularitas pada biopsi sumsum
tulang. Atas dasar teori tersebut dilakukan pemeriksaan BMP pada pasien, agar dapat
diketahui penyebab gejala pansitopenia yang ada. Didapatkan hasil BMP yang telah di
lakukan bahwa hasil kepadatan sel sumsum tulang Tn. E ditemukan kurang (hypoplasia)
dengan gambaran akhir sesuai dengan gambaran aplasia. Secara klasifikasi etiologi, anemia
aplastik dapat dibedakan menjadi anemia yang didapat, anemia yang diturunkan dan idiopatik
anemia aplastik. Setelah dilakukan anamnesa pada awal pertemuan, pasien mengatakan
bahwa dalam keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa serta tidak adanya obat –
obatan rutin yang digunakan selama ini. Hal ini dapat menjadi dasar bahwa anemia aplastik
yang diderita oleh pasien termasuk dalam anemia aplastik idiopatik yang penyebabnya tidak
dapat diketahui. Usia Tn. E pada tahun ini yaitu 25 tahun dan termasuk dalam usia puncak
insidensi anemia aplastik yang ditemukan. Menurut hasil epidemiologi yang ada, anemia
aplastik umumnya di temukan pada usia 15 sampai 25 tahun dan puncak insidensi kedua
ditemukan pada usia setelah 60 tahun. Tatalaksana yang diterapkan pada pasien ini, berupa
tatalaksana konservatif dan suportif. Pasien di berikan immunosupresan agar dapat menekan
efek autoimun yang terjadi pada tubuhnya, dan juga diberikan terapi suportif berupa transfusi
PRC dan transfusi TC. Terapi imunosupresan yang diberikan kepada Tn. E berupa
metilprednisolon 4 mg yang di konsumsi 2 kali sehari. Transfusi PRC biasa diberikan dengan
target Hb 7 - 8 g% atau lebih bagi pasien yang mengalami anemia. Transfusi trombosit diberikan
kepada pasien yang mengalami penurunan trombosit khususnya yang kurang dari 20.000/mm 3
untuk mencegah terjadinya perdarahan. Pasien juga diberikan vitamin B12 dan asam folat yang
diharapkan dapat mendorong peningkatan hematopoiesis, khususnya eritropoiesis pada
pasien. Pasien perlu diingatkan untuk menjaga nutrisi, dank arena leukosit pasien rendah,

28
pasien harus langsung berobat ke dokter jika ada batuk pilek, demam dan gejala lain yang
mengarah kepada infeksi. Pasien juga perlu diberi tahu tentang risiko perdarahan yang
meningkat, sehingga perlu diingatkan untuk berhati-hati agar tidak mengalami kecelakaan.

29
BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus di atas, dengan anamnesis yang benar dan terarah kita dapat mengetahui
“benang merah” bahwa gejala-gejala dan penyakit pada pasien disebabkan oleh suatu hal.
Pasien dengan riwayat terdiagnonis menderita anemia aplastik datang dengan keluhan lemas,
hal ini diakibatkan karena kadar Hb yang rendah, selain itu beberapa hari pasien juga
mengeluh gusi berdarah, ini diakibatkan karena trombositopenia yang dapat mengakibatkan
pasien mudah mengalami perdarahan. Anemia aplastik adalah anemia kegagalan sumsum
tulang ditandai adanya pansitopenia dengan sebagian besar kasus terjadi kelainan sumsum
tulang hypoplasia. Gejala klinis yang timbul akibat anemia aplastik adalah anemia,
leukopenia dan trombositopenia. Leukopenia akan menyebabkan infeksi berupa ulserasi
mulut, febris dan sepsis atau syok septik. Trombositopenia akan menyebabkan perdarahan
pada kulit seperti petekie dan ekimosis, perdarahan pada mukosa seperti epistaksis,
perdarahan subkonjungtiva, perdarahan gusi dan lain-lain. Diagnosis anemia aplastik dibuat
berdasarkan adanya bisitopenia atau pansitopenia tanpa adanya keganasan, infiltrasi dan
supresi pada sumsum tulang. Penatalaksanaan anemia aplastik terdiri dari terapi utama, terapi
suportif dan terapi jangka panjang.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Young NS, Calado RT, Scheinberg P. Current concept in the pathophysiologi and
treatment of aplastic anemia. Blood : the American society of hematology. 2008;
108(8):p.2509
2. Melinkeri SR. Epidemiology, pathogenesis and diagnosis of aplastic anemia. India:
journal of the association of physician. 2015 March;p.8
3. Dezem A, Brodsky AR. Clinical management of aplastic anemia. NCBI : Expert rev
hematol. 2011 Apr; 4(2)
4. Young NS, Scheinberg P, Calado RT. Aplastic anemia. NCBI: Curr opin
hemato.2008; 15(3)
5. Widjanarko A, Sudoyo AW, Salonder H. Buku ajar ilmu penyakit dalam : Anemia
aplastik. Edisi ke 6 Jakarta : Interna publishing. 2015; h.2648-58
6. Isyanto, Abdulsalam M. Masalah pada tatalaksana anemia aplastik didapat. Jakarta :
Sari pediatri. 2005;7(1): h.26-31
7. Thaha. Lestari AAW, Yasa IW. Diagnosis, Diagnosis Differensial dan
Penatalaksanaan Immunosupresif dan Terapi Sumsum Tulang pada Pasien Anemia
Aplastik. Udaya : jurnal portal garuda. 2015; h.1-11
8. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007
9. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia-An
experience of 89 Cases.2004;18(1):p.76-9
10. Marsh, J.C., et al., Guidelines for the diagnosis and management of acquired aplastic
anaemia. Br J Haematol. 2003;123(5): p.782-801
11. Baumelou, E., M. Guiguet, and J.Y. Mary, Epidemiology of aplastic anemia in
France: a case-control study. I. Medical history and medication use. The French
Cooperative Group for Epidemiological Study of Aplastic Anemia. Blood.
1993;81(6): p.1471-8
12. Singh P, Kamath AP, et al. Aplastic anemia – a quick review. Medcrave : J cancer
prev and curr res. 2017;7(5):p.1-6
13. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik. Jakarta :
Q-communication.2003;h.6

31
14. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure
syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine.
18th ed. New York: McGraw Hill.2011:p.617-25.
15. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New York:
Lange McGraw Hill. 2005
16. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al. Modern
Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey: Humana Press.
2007;p.207-16
17. Torres HA, Bodey GP, Rolston KV, Kantarjian HM, Raad II, et al. Infections in
patients with aplastic anemia: experience at a tertiary care cancer center. Cancer.
2003;98(1): p.86-93
18. Isselbacher, Braunwald, Wilson, et al. Harrison : Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Jakarta :EGG.2018;h.1952-58
19. Rovó A, Tichelli A, Dufour C. Diagnosis of acquired aplastic anemia. Bone Marrow
Transplant. 2013;48(2):p.162-167
20. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2009;p.1116-26
21. Piliotis E, Gupta V. Aplastic anemia. 2007;p.1-7
22. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni. 1997;p.95-101
23. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al. Current Medical
Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill. 2013;p.510-11
24. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow failure
disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al. Post Graduate
Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing. 2005;p.190-206
25. Mayoclinic. Aplastic anemia. Mayo foundation for medical education and research :
MFMER. 2018

32

You might also like