You are on page 1of 19

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian
terbanyak di seluruh dunia. Pada tahun 2015 10,4 juta orang menderita
tuberkulosis. Dari angka tersebut, 1,8 juta orang meninggal akibat tuberkulosis.
Lebih dari 95% kematian akibat TB terjadi pada negara dengan pendapatan
rendah hingga menengah. Indonesia termasuk negara high burden tuberkulosis,
yang mana merupakan salah satu negara dengan jumlah insidensi tuberkulosis
terbanyak.1

Insidensi tuberkulosis di Indonesia menurut laporan WHO tahun 2015


sebesar 395 kasus per 100.000 penduduk, atau sebanyak 1.020.000 kasus. Dari
jumlah tersebut, 100.000 orang diantaranya meninggal karena tuberkulosis. 1 Di
Indonesia, tuberkulosis lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan wanita,
dengan jumlah kasus laki-laki sebesar 597.000 kasus dan pada wanita 420.000
kasus.1
Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama, baik di
negara berkembang maupun di negara maju. karena merupakan penyakit yang
menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di usia 5 tahun
(balita) juga pada lanjut usia. Kematian infeksi pneumonia terjadi lebih kurang 2
juta anak balita di Afrika dan Asia Tenggara.2
Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2011 terdapat 27,6 % kematian
bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori,
terutama pneumonia. Pada suatu penelitian di Amerika Serikat meneliti bahwa
pneumonia juga merupakan penyebab mortalitas yang tinggi pada lansia yang
menjalani perawatan di ICU (Intensive Care Unit) dimana dari 17,537 pasien
terdapat diantaranya 1,062 pasien meninggal akibat sepsis, 1,802 pasien meninggal
akibat pneumonia, 42 pasien meninggal akibat CLABSI (central-line-associated
bloodstream infection) dan 52 kasus pasien meninggal akibat VAP ( ventilator-
associated pneumonia).2
Dalam penulisan ini akan dilaporkan seorang laki – laki 22 tahun dengan TB
paru dan pneumonia yang dirawat di bangsal HND RSUD Rembang
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tb Paru
2.1.1 Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis complex.3 Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri berbentuk
batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul, dengan
dinding tebal tahan asam dari bahan lemak. Bakteri ini berukuran lebar 0,2 – 0,6
μm dan panjang 1 – 10 μm. 3 Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah
asam mikolat, lilin kompleks (complex waxes), trehalosa dimikolat, sulfolipid
mikobakterial yang berperan dalam virulensi, serta polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebebkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam.3 Sifat
tahan asam tersebut menyebabkan Mycobacterium tuberculosis tetap berwarna
merah pada pengecatan Ziehl-Neelsen secara mikroskopis, meskipun diberikan
larutan asam-alkohol dengan tujuan untuk menghilangkan warna merah tersebut.3,4
Mycobacterium tuberculosis bersifat sangat aerobik. Sesuai dengan sifatnya
tersebut, maka Mycobacterium tuberculosis sering didapatkan tumbuh pada apeks
paru, oleh karena pO2 alveolus pada area paru paling tinggi dibandingkan area
lainnya.3 Kelainan jaringan yang terjadi pada tuberkulosis lebih disebabkan oleh
respons tubuh terhadap kuman yang masuk ke dalam paru-paru. Reaksi jaringan
khas pada tuberkulosis diawali dengan terbentuknya granuloma. Jaringan yang
belum pernah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis akan berespons dengan
sebukan sel radang, baik sel leukosit polimorfonuklear (PMN) maupun sel fagosit
mononukleus. Kuman Mycobacterium tuberculosis yang telah difagosit makrofag
akan tetap berproliferasi dalam sel, sehingga sel makrofag mati. Ketika makrofag
berisi kuman mati, akan datang makrofag baru yang akan kembali memfagosit
kuman yang baru saja terlepas. Siklus ini berlangsung terus hingga terjadi
pembesaran sel makrofag menjadi sel epiteloid.3 Sebagian sel epiteloid ini
membentuk sel datia berinti banyak, diantaranya merupakan datia Langhans dan
datia benda asing.
Semakin lama, granuloma ini akan dikelilingi sel limfosit, sel plasma,
pembuluh darah kapiler, makrofag epiteloid, dan sel fibroblas. Di bagian tengah
granuloma tersebut akan terbentuk nekrosis kaseosa. Nekrosis kaseosa khas pada
tuberkulosis primer pada pasien yang baru pertama kali terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis dan memiliki imunitas yang baik.5 Tujuan dari pembentukan nekrosis
kaseosa ini adalah untuk melokalisir kuman, sehingga area di sekitar nekrosis
kaseosa akan berkurang jumlah kumannya.3,5 Semakin berkurangnya jumlah
kuman ini akan diikuti dengan terbentuknya simpai jaringan ikat yang
menyelubungi reaksi peradangan. Jika mikroba pada nekrosis kaseosa bersifat
virulen ataupun resistensi jaringan tubuh rendah, granuloma akan membesar serta
dinding kaseosa akan mencair oleh karena enzim protease dan hidrolase dari sel
epiteloid dan makrofag, yang menyebabkan kuman dapat keluar ke ekstraseluler
dan terjadi penyebaran penyakit.3

2.1.2 Patogenesis

A. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui traktus respiratorius akan


bereplikasi pada jaringan paru dan membentuk sarang primer atau afek primer. 3
Sarang primer ini dapat timbul di area paru manapun, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan terlihat peradangan saluran kelenjar getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut akan berlanjut
menjadi pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu keadaan sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restitution ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,


garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar, dengan cara:

● Perkontinuitatum, yaitu persebaran bakteri dalam kompleks primer


ke area sekitarnya. Salah satu contoh penyebaran perkontinuatum
adalah epituberkulosis.3 Epituberkulosis merupakan suatu kejadian
dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan
obstruksi pada saluran napas tersebut, sehingga menimbulkan
atelektasis. Perjalanan penyakit ini bermula dari kuman
tuberkulosis yang menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ke
lobus yang mengalami atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis.
● Penyebaran secara bronkogen, baik di paru unilateral maupun
kontralateral.

Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini


bersifat sistemik serta berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah
dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara
spontan. Namun, jika imunitas tubuh tidak adekuat, persebaran
secara hematogen dan limfogen akan menimbulkan keadaan
kegawatan seperti tuberkulosis milier maupun meningitis
tuberkulosa. Penyebaran hematogen maupun limfogen juga dapat
menimbulkan berkembangnya kuman tuberkulosis pada organ
tubuh yang lain, seperti tulang, ginjal, kelenjar adrenal, genitalia
dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan sembuhnya pasien namun dengan meninggalkan sekuele,
atau pasien meninggal.
B. Tuberkulosis post-primer

Tuberkulosis post-primer muncul sekitar lima belas hingga empat puluh tahun
setelah tuberkulosis primer.3 Tuberkulosis post-primer inilah yang menjadi
problem kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan, terlebih
jika pasien tidak sadar bahwa dirinya sudah sembuh tuberkulosis namun masih
potensial untuk menularkan kuman tuberkulosis ke orang lain. Tuberkulosis post-
primer diawali dengan terbentuknya sarang dini berupa suatu sarang pneumonik
kecil yang pada umumnya terletak pada segmen apikal lobus superior maupun
lobus inferior paru. Sarang pneumonik ini akan berkembang sebagai berikut:
1. Sarang di-resopsi kembali, sehingga pasien sembuh dengan tidak
meninggalkan cacat.
2. Sarang dini tersebut awalnya meluas, namun segera terjadi proses
penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya, jaringan
tersebut akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran,
dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya, dapat juga sarang
tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan perkejuan (kaseosa)
dan menimbulkan kavitas bila jaringan perkejuan dikeluarkan melalui
batuk.
3. Sarang dini yang aktif meluas membentuk jaringan perkejuan (kaseosa).
Kavitas akan muncul seiring dengan dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Pada awalnya, kavitas berdinding tipis, namun lama-kelamaan akan
menjadi tebal (sklerotik).3

Gambar 1. Skema perjalanan sarang tuberkulosis post-primer dan perjalanan


penyembuhannya.

2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis

Pasien tuberkulosis diklasifikasikan menurut :

a. Lokasi anatomis tuberkulosis, terditi atas:

Tuberkulosis paru:

Tuberkulosis yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru, tidak


termasuk pleura. Tuberkulosis milier dianggap sebagai tuberkulosis paru
karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis tuberkulosis dirongga
dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran
radiologis yang mendukung tuberkulosis pada paru, dinyatakan sebagai
tuberkulosis ekstra paru. Pasien yang menderita tuberkulosis paru dan
sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien
tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru dibagi menjadi tuberkulosis paru BTA (+) dan
tuberkulosis paru BTA (-). Menurut Pedoman Diagnosis dan Pelaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia (2006), tuberkulosis paru BTA (+) didefinisikan
sebagai tuberkulosis paru dengan sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak menunjukkan hasil BTA (+), namun pedoman ini telah direvisi
menjadi 1 dari 3 spesimen positif BTA pada Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis 2014.3,4 Tuberkulosis paru BTA (-) didefinisikan
sebagai tuberkulosis dengan hasil pemeriksaan BTA (-) namun dengan
gambaran klinis dan radiologis tuberkulosis aktif yang tidak berespons
terhadap pemberian antibiotik spektrum luas; ataupun tuberkulosis paru
dengan gambaran klinis dan radiologis tuberkulosis aktif dengan hasil BTA
(-) dan kultur positif Mycobacterium tuberculosis.3
Diagnosis TB Paru seyogyanya ditegakkan dengan pemeriksaan
bakteriologis. Jika didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan BTA, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis dengan pemeriksaan
penunjang setidak-tidaknya pemeriksaan foto ronsen toraks. Tidak
dibenarkan untuk mendiagnosis TB hanya dengan berdasarkan foto toraks
saja, oleh karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
spesifik pada TB paru.4

Tuberkulosis ekstra paru:

Tuberkulosis yang terjadi pada organ selain paru, di antaranya pada


kelenjar limfe (limfadenitis TB), abdomen (khususnya pleuritis TB), selaput
otak (meningitis TB) dan tulang belakang (spondilitis TB). 3,4 Gejala dan
keluhan pada tuberkulosis ekstra paru bervariasi, tergantung organ mana
yang terkena. Diagnosis tuberkulosis ekstra paru dapat ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis, klinis maupun histopatologis
dari organ yang terkena.4 Diagnosis tuberkulosis ekstra paru harus
diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Gambar 2. Lokasi-lokasi yang memungkinkan terjadinya TB ekstrapulmoner

Pasien tuberkulosis ekstra paru yang menderita tuberkulosis pada beberapa


organ, diklasifikasikan sebagai pasien tuberkulosis ekstra paru pada organ
menunjukkan gambaran tuberkulosis yang terberat.4
b. Riwayat pengobatan sebelumnya

1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan


pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB
terakhir, yaitu:
● Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi).
● Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
● Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow
up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien
setelah putus berobat /default).
● Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
● Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
● Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
● Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
● Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus
juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin)
● Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional).

d. Status HIV

1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien koinfeksi TB/HIV): adalah


pasien TB dengan
● Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART
atau
● Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan

● Hasil tes HIV negatif sebelumnya atau


● Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.

Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV


menjadi positif maka pasien harus disesuaikan kembali
klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa
ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV
maka pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil
tes terakhir.4

2.1.4 Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala


respiratorik dan gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik

● batuk ≥ 3 minggu

● batuk darah

● sesak napas

● nyeri dada

b. Gejala sistemik

● demam

● gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat


badan menurun
Pemeriksaan Fisik

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luaskelainan


struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak
(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah
apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold
abscess.3
Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis


mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH).
Pengambilan dahak untuk dilakukan pemeriksaan mikrobiologis dilakukan 3
kali, dengan cara sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan), dahak pagi
(keesokan harinya), sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi). Pasien
sebaiknya diedukasi untuk memastikan sampel yang dikirim adalah dahak
(sputum) dan bukan air liur (saliva).
Gambar 3. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa, tanpa
kecurigaan atau bukti hasil tes HIV (+) ataupun terduga TB Resisten Obat.4

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan


pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (BAL), urin, feces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan. Pemeriksaan mikroskopik dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik biasa (cahaya), yaitu
dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dan Kinyoun-Gabbett, maupun dengan
pemeriksaan mikroskopik flouresens dengan pewarnaan auramin-rhodamin,
khususnya untuk screening. Pemeriksaan biakan kuman dapat dilakukan dengan
media egg based (Lowenstein-Jensen, Ogawa, atau Kudoh) maupun agar based
media seperti Middle Brook.
Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi: foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

● Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
● Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
● Bayangan bercak milier

● Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral


(jarang) Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
● Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

● Kalsifikasi atau fibrotik

● Kompleks ranke

● Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.3

Pemeriksaan Penunjang

1. Polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan PCR adalah teknologi


canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M. tuberculosis.
2. Pemeriksaan serologi

a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat


mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang
terjadi.
b. Mycodot

Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh


manusia.
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi.
d. ICT

Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)


adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis
dalam serum. Terdapat sedikit perbedaan mengenai antigen yang
dideteksi serta jumlah garis dan jumlah sampel pada masing-
masing kit rapid diagnostic test tuberkulosis dari pabrik yang
berbeda. Secara umum, uji ICT tuberculosis merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan antigen spesifik yang berasal
dari membran sitoplasma M. tuberculosis, diantaranya antigen M.
tb 38 kDa, M. Tb 1 dan M. Tb 2. Antigen-antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk garis melintang pada membran
immunokromatografik. Terdapat garis uji (jumlahnya tergantung
pada alat tes) maupun garis kontrol. Serum yang akan diperiksa
sebanyak 100 μl diteteskan ke sample well, yang mana serum akan
berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung
antibodi IgG terhadap M. tuberculosis, maka antibodi akan
berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda.
Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol
dan garis uji (test).

Gambar 4. Interpretasi pemeriksaan ICT TB.

3. Pemeriksaan BACTEC

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode


radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
4. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
5. Pemeriksaan histopatologi jaringan

Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan


trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi
paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ
lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus
(BJH =biopsi jarum halus).
6. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang


spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan
kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat
kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta
kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita.
Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan
tubuh penderida, yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
7. Uji tuberkulin

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di


daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa.2
2.1.5 Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah


kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan tuberkulosis harus meliputi dua tahap, yaitu
● Tahap awal (intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
● Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, tetapi dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.4
Tabel 1. OAT lini pertama3
Tabel 2. Dosis OAT lini pertama3

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis


di Indonesia:3
● Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

● Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

● Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia


terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin,
Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and
etambutol.4
Paduan OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) Lini Pertama

a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

● Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.

● Pasien TB paru terdiagnosis klinis

● Pasien TB ekstra paru


Tabel 3. Dosis OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)33

Tabel 4. Dosis OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R33

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
● Pasien kambuh

● Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya

● Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).3

Tabel 5. Dosis OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E33

3
Tabel 6. Dosis OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E33

2.1.7 Pemantauan kemajuan pengobatan TB

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa


dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan
dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan
radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED)
tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik
untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua
contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila
kedua contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau
keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.4
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif
merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien
harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila
tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan
ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.4
Daftar Pustaka

1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2016. Geneva; 2016.


2. Rahmawati, FA. 2014. Angka Kejadian Pneumonia pada Paisen Sepsis di ICU RSUP
Dr. Kariadi Semarang. Available from
http://eprints.undip.ac.id/44629/3/FIDA_AMALINA_22010110120027_BAB2KTI.pd
f (Accessed 3 Agustus 2018)
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.
4. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Katalog Dalam Terbitan : Kementerian
Kesehatan Nasional. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. p. 1–210
5. Hunter RL. Pathology of post primary tuberculosis of the lung: an illusrated critical
review. Tuberc [Internet]. 2012;91(6):497–509. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3215852/pdf/nihms309952.pdf

You might also like