You are on page 1of 5

MEMANTAPKAN KESADARAN HUKUM GURU

A. Pengantar

“mengapa obrolan disini sedikit-sedikit masalah politik. Setiap saat ngomongin politik
di sekolah, ah, saya mah, biasa aja, tidak mau ikut-ikutan dalam masalah itu...” Kata seorang
guru ekonomi yang kami anggap sudah senior di sekolah/madrasah

Pernyataan serupa dikemukakan pula oleh guru laik-laki yang megajar mata pelajaran
sejarah. Guru pelajaran sejarah ini relatif masih muda usia. Apabila bila dikaitkan dengan
usia mengajarnya disekolah ini. Usianya masih dibawah 40 tahun, dan usia mengajarnyapun
kurang dari 10 tahun. Tetapi, sikap dan pemikirannya sudah serupa dengan guru perempuan
yang mengajar ekonomi.

Sikap dan perilaku dua guru yang dimaksud, berbeda jauh dengan guru lainnya. Sebut
saja, guru bahasa indonesia. Sikap prasangka politisnya guru bahasa indonesia ini sangat
tinggi. Jangankan masalah yang terkait dengan kegiatan yang beraroma’pemerkayaan diri
sendiri’, sekedar masalah pembagian tugas pun, tak luput dari prasangka politiknya. Misalkan
saja, mengapa seorang ditugaskan sebagai pengawas umum dalam ujian nasional, dan
sementara orang-orang tertentu menjadi panitia lokal disatuan kerjanya. Pembagian kerja ini,
ternyata tidak luput dari kepentingan politik pimpinan sekolah/madrasahnya sendiri.

Tingkat sentimen politik guru bahasa indonesia sangat tinggi. Tetapi sikap dan perilaku
seperti guru bahasa indonesia ini tidak sendirian. Terdapat sejumlah sikap dan perilaku guru
yang seperti ditunjukkan oleh guru bahasa indonesia ini.

B. Tidak mesti politis

Hal yang perlu ditegaskan disini, kendatipun beraroma seperti di dunia politik, tetapi
sikap dan obrolan tersebut tidak berarti bermain politik. Sekolah sebagai lembaga pendidikan,
tidak boleh dimasuki atau dirasuki oleh kepentingan politik, atau masalah politik praktis.

Sekedar mengingatkan, yang dimaksud politik praktis itu, yang mengikut sertakan
bendera partai politik kedalam lingkungan sekolah/ madrasah. Ini adalah perilaku yang
kurang sehat dan memang tidak sehat.

Saya ingat, lima tahun lalu, ketika pemilihan rektor universitas pendidikan indonesia
(upi) ramai dibicaran banyak orang banyak orang. Baik orang dalam upi maupun orang luar
upi turut membicarakan masalah ini. Perebutan kursi rektorat ini, ternyata bukan sekedar
perebutan citra akademik, tetapi juga permainan lobi kekuasaan dengan pemain-pemain
politik. Untuk mendapat dukungan dari mentri pendidikan nasional waktu itu. Setiap
kelompok memainkan kartu politiknya. Ada yang menggunakan jalur organisasi keagamaan,
jalur organisasi kemahasiswaan, dan jalur partai politik, atau jalur birokrasi. Semua jalur itu,
digunakan secara maksimal dengan tujuan untuk mendapatkan hasil maksimal.

Perjuangan itu mereka gunakan dengan maksud untuk memanfaatkan suara yang
dimiliki oleh seorang mentri. Dalam konteks peraturan perundangan yang berlaku, seorang
mentri pendidikan nasional atau mentri agama dalam bagi perguruan tinggi islam, memiliki
suara sebanyak 30% dari suara yang berhak memilih rektorat baru. Suara sebanyak itulah
yang diperebutkan. Dan cara memperebutkannya adalah dengan cara politik.

Sekolah/ madrasah adalah lembaga pendidikan. Tetapi intrik politik kerap muncul
dilingkungan pendidikan.

Sembilan tahun yang lalu, saat pemilihan kepala madrasah 2002, dua calon sudah
terpilih. Waktu itu ayng berhak memilih kepala adalah dewan gurudengan arahan dari
komite madrasah bahkan hasil pemilihan komite madrasah, kepla terpilih sudah ditentukan.
Kemudian kepala terpilih berdasarkan musyawarah dewan guru itu diajukannya ke kantor
wilayah departemen agaman provinsi jawa barat.

Kelompok berkepentingan lainnya, ternyata memiliki suara kurang, dan tidak menjadi
kepala, kemudian bergerak politis. Manuver politik yang digunakannya itu, adalah dengan
menggunakan jalur organisasi, isu yang menguak waktu itu, kepala terpilih adalah kepala
muhammadiyah , sedangkan guru-guru banyak yang nu, kemudian kepala kementrian pun,
baik dikabupaten/kota maupun di provinsi banyak yang berafiliasi ke nu. Maka isu
keagamaan ini diangkat, dan ternyata bermanfaat. Hanya dalam waktu setengah malam, sk
yang sudah ditanda tangani oleh kanwil itu, berubah nama menjadi orang yang dianggap
guru berafiliasi ke nu, dan bukan muhammadiyah.

Mencermati contoh-contoh yang dikemukakan ini, dapat disimpulkan bahwa


mengajukan diri sebagai seorang calon kepala adalah hak setiap guru. Ini adalah pemahaman
penting yang perlu dimiliki. Tetapi, menggunakannya dengan cara berafiliasi dengan partai
politik, atau kekuatan luar khususnya penguasa, merupakan bentuk lain dari politik praktis.

Terkait hal ini, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa fenomena perilaku guru
dimaksud memberikan gambaran yang berbeda dengan apa yang ada dilingkungan
aktivitasnya masing-masing. Bermain politik bahkan membawa bendera kekuasaan dari luar
sekolah kedalam lingkungan sekolah. Berbagai atribut di luar sekolah, seperti organisasi
agama, partai politik, kekuasaan, adalah faktor eksternal sekolah yang kerap kali muncul
dalam lingkungan pendidikan.

Wacana ini hendak mengambil posisi, bahwa di lembaga pendidikan itu, hendaknya
afiliasi politik praktis tidak dilakukan. Tetapi peka dan peduli terhadap sekolah, dengan
mengedepankan kesadaran hukum menjadi wajib untuk dimiliki oleh seorang guru. Simpul
sederhananya, sadar hukum yes, dan berpolitik praktis no.

C. Kesadaran hukum

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam menjalankan tugas profesinya seorang


guru sudah dilingkari oleh berbagai peraturan perundangan. Seorang guru sudah memiliki
track tersendiri dalam menjalankan tugas profesinya. Hak-hak dan kewajiban asasinya
sebagai guru, sudah ditetapkan dalam berbagai perangkat peraturan perudangan yang berlaku
di indonesia.

Untuk sekedar menyebutkan contoh, di indonesia ini sudah ada UU sistem pendidikan
nasional nomor 20 tahun 2003, kemudian UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen,
berikutnya ada dalam peraturan pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru. Ini adalah
beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan profesi guru. Selain itu, ada juga
peraturan perundangan lain terkait dengan pengelolaan pendidikan di indonesia, yang
bersangkut erat dengan masalah keguruan (profesi guru).

Oleh karena itu, menjadi sangat ironis bila kemudian menjalankan tugasnya, para guru
tidak peka terhadap peraturan perundangan yang mengikat dirinya sendiri. Bagaimana dia
bisa menjalankan tugas perofesinya dengan aman, nyaman dan optimal, jika peraturan
perundangan yang mengatur dirinya pun tidak dipahaminya.

Bila kita meminjam salah satu pemahaman mengenai fungsi kehadiran hukum,
dikemukakan dengan tegas oleh moctar kusumaatmaja, bahwa hukum itu adalah alat atau
tools untuk melakukan social engineering(rekayasa sosial). Hukum hadir dengan maksud
untuk melakukan pembenaran, supaya cita-cita untuk membangun dan menata masyarakat
dapat tercapai dengan baik. Dengan kata lain, pembaharuan sistem pendidikan dan budaya
pendidikan, dapat dilakukan dengan cara memperbaiki peraturan perundangannya, kehadiran
hukum pendidikan , pada dasarnya tiada lain adalah dengan maksud untuk meningkatkan
kualitas pelayanan pendidikan, sehingga visi dan misi pendidikan nasional dapat diwujudkan.

Harapan terwujudnya visi dan misipendidikan itu, akan sulit diwujudkan, bila perataan
perundangan yang mengatur dan mengarahkan seluruh komponen pendidikan ke tujuan
dimaksud tidak dipahami. Alih-alih diataati dan bergerak sama kearah yang dimaksud oleh
misi pembaharuan pendidikan, untuk sekedar paham dan tahu mengenai perubahan
perundangan pun tidak terjadi. Disinilah, problem pendidikannya muncul.

Pembaharuan pendidikan diindonesia mengalami banyak kesulitan, salah satu


diantaranya bisa disebabkan karena hukum pendidikan belum mampu menjadi alat
pembaharuan atau rekayasa sosial dalam dunia pendidikan, kehadiran peraturan perundangan
itu, tidak menjadi alat pembaharuan bagi dunia pendidikan.

Sampai tahun 2011 misalnya, sejumlah guru dilingkungan madrasah di kota bandung,
masih banyak yang belum memahami bahwa wakil kepala madrasah itu harus dipilih oleh
dewan pendidik (guru). Karena mereka tidak tahu peraturan terbaru, dan mereka tidak peka
pada aspek-aspek seperti ini, maka aturan main jabatan dan/atau pemilihan jabatan-jabatan
selian kepala sekolah/ madrasah atau kepala tu diserahkan kepada otoritas kepala terpilihnya
sendiri.

Kepala sekolah sebagaimana tradisi sebelumnya, dianggap memiliki otoritas dan hak
prerogatifnya sendiri untuk memilih dan menetapkan pejabat-pejabat yang akan membantu
dirinya. Misi dari pembaharuan budaya kerja dan manajemen organisasi sekolah,
sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundangan pendidikan ini, gagal dan tidak
bisa berjalan, karena para guru itu sendiri tidak peka terhadap perubahan peraturan
perundangan kependidikan dimaksud. Peraturan pendidikan yang baru, sejatinya berupaya
untuk melakukan pembaharuan dalam manajemen pendidikan di indonesia, malah menjadi
teks mati di atas meja para guru.

Pada konteks itulah, fungsi hukum sebagai alat sosial menjadi tidak optimal karena
tidak terkait dengan kesadaran hukum para guru yang lemah, dan sikap taat dari pimpinan
sekolah yang rendah. Maksudnya, jika para pimpinan sekolah memiliki kesadaran hukum
yang tinggi, dan tidak dihinggapi oleh kepentingan pribadi, maka kondisi kedikpekaan guru
terhadap hukum pendidikan itu, harus menjadi bagian dari tanggung jawab dirinya untuk
melakukan komponen pendidikan. Namun, sayangnya kita masih kesulitan menemukan
pimpinan sekolah/madrasah yang memiliki kesadaran hukum yang tinggi, dan mau
mensosialisasikan berbagai peraturan perundangan kepada para guru. Sikap-sikap yang ada,
malah berbagai peraturan perundangan itu, dibiarkan tetap tersembunyi, dengan maksud,
supaya guru tidak melakukan banyak penuntutan kepada pimpinan.

You might also like