You are on page 1of 11

AL-QUR’AN HADITS

Toleransi Beragama

Oleh:
Rihadatun Aisy Santoso
Kelas VII-4

MTs Negeri 3 Medan

JANUARY 15, 2018


TOLERANSI BERAGAMA PADA ZAMAN RASULULLAH

Sekarang ini banyak yang menganggap umat Muslim adalah umat beragama yang
tidak toleran terhadap agama lain..apalagi sejak banyaknya teror yg mengatasnamakan
Islam, tetapi mereka sesungguhnya tidak melihat sejarah bahwa Islam adalah agama yg
paling toleran terhadap agama lain. Saya berikan contoh kejadian yang terjadi pada jaman
Rasululloh betapa Beliau sangat menghormati agama lain.
Pada saat itu ketika rombongan jenazah yahudi melewatinya, Rasulullah berdiri
(sebagai penghormatan). Sahabat protes “wahai rasulullah tapi dia itu orang yahudi?”
Rasulullah menjawab “bukankah dia manusia?” Bahkan dilain kesempatan ketika
Rasulullah ditanya tentang memberi bantuan materi kepada non Muslim, “Apakah kami
boleh memberi bantuan kepada orang-orang Yahudi?” Tanya sahabat kepada Rasulullah
saw. “Boleh, sebab mereka juga makhluk Allah, dan Allah akan menerima sedekah kita”,
jawab Rasulullah saw sambil bangga atas inisiatif sahabat-nya.
“Bukankah dia manusia?” kata ini penting, sebab darinya kita membangun konsep
hubungan antar manusia. Saling menghargai, menghormati, dan menumbuhkan saling
pengertian. Diatas bangunan kata itu tidak ada lagi Kami dan Mereka. Yang ada kita
“manusia”. Diatas kata itu pula, hilang segala sekat yang biasanya membatasi hubungan
kita dengan orang orang yang berbeda, baik agama, budaya, setatus social, dan lain
sebaginya. “Bukankah dia manusia”, adalah kata yang mendobrak segala kebekuan yang
ada, yang mengembangkan sikap toleran dalam hati kita. Agar secara adil menghadapi
manusia tanpa memandang siapa dia, termasuk juga agamanya apa! Sejak dini bahkan rasul
junjungan telah mencontohkan itu dalam hidupnya..
Seorang yahudi, yang tiap hari melempari kotoran kearah rasulullah, mencaci dan
menyakiti. Terbelalak matanya Karena justru orang yang pertama sekali menjenguknya
saat dia sakit adalah orang yang teramat dibencinya. Karena itulah lalu yahudi tersebut
dengan bergetar hatinya berkata; “Demi Allah, budi pekertimu sungguh mencerminkan
akhlaknya para nabi. Maka, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan
engkau adalah utusan ALLAH”. “Bukankah dia manusia”. Kata ini telah menjadi konsep;
bagaimana rasulullah bergaul dengan orang-orang yang berbeda, konsep tersebut terbukti
bukan hanya manis di mulut tapi kosong dari perbuatan nyata. “bukankah dia manusia”
telah melahirkan satu sikap indah untuk berlapang dada dengan orang yang berbeda,
bahkan sampaipun berbeda keyakinan.
Suatu ketika rombongan 60 orang nasrani kota Najran tiba di Madinah al-
Munawarah. Rasulullah kebetulan sedang ada di rumah. Pada saat Ashar, mereka masuk
ke Masjid Nabawi, dimana Rasulullah berada. Mereka menunaikan sembahyang di dalam
masjid. Spontan saja banyak orang yang ingin mencegah mereka. Tetapi dengan sigap,
rasulullah bersabda “Biarkanlah mereka menghadap ke arah timur untuk menunaikan
sembahyangnya”. Betapa indah sikap rasulullah terhadap keyakinan orang lain, beliau
tetap menghormatinya.
Ahmad Shawi men-ceritakan dalam tafsir-nya, Abu Hushain (sahabat Anshar)
mempunyai dua anak laki-laki beragama Nashrani. Di saat kedua anak-nya berjualan ke
Madinah, ia menemui keduanya. Abu Hushain sangat mengingin-kan kedua anaknya
masuk Islam. Dengan keadaan memaksa sambil emosi Hushain memboyong kedua
anaknya kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Ya Rasulullah, pantaskah di antara kami
sebagainnya masuk neraka?” sambil menunjuk kedua anaknya dengan kesal. Namun
Rasulullah saw diam. Maka di saat peristiwa itu turun ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 156: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”. bahkan Rasulullah tidak
memaksakan orang tua untuk memaksa keyakinan anaknya sama dengan keyakinan orang
tuanya. Apalagi memaksa keyakinan orang lain. Begitulah toleransi yang diajarkan oleh
Islam.
Tetapi harus diingat toleransi tersebut harus dengan pluralisme agama. Hal tersebut
senada dengan toleransi Rasulullah kepada mereka yang berbeda keyakinan. Bahwa
toleransi rasulullah kepada mereka tidak menjadikan rasulullah membenarkan apa yang
menjadi keyakinan mereka. Seperti pada kasus 60 nasrani dari kota Najran yang tertulis
diatas. dalam dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan utusan Najran
itu tidak ada “kese-pakatan” karena mereka tetap menganggap bahwa Isa adalah “anak
Tuhan” dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpegang teguh bahwa Isa adalah
utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai Nabiyullah, Isa adalah manusia biasa. Para
utusan itu tetap dijamu oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hari.
Beliau menganjurkan toleransi antar sesama umat lainnya. Namun berbeda dalam memper-
tahankan aqidah. Ketika beliau diajak oleh orang kafir untuk saling menukar waktu, tempat
dan bergantian menyembah tuhan, beliau menjawab tegas: “LAKUM DÎNUKUM
WALIYADÎN” (Agama kamu untukmu dan agamaku untukku).
Hal ini untuk menghindari pola pikir “Islam Liberal” yang ingin mengatakan,
bahwa jika kita beragama dengan baik, meniru apa yang dilakukan rasulullah, meniru
bagaimana rasulullah bergaul dengan pemeluk agama yang berbeda, bagaimana rasulullah
mensikapi pemeluk keyakinan yang berbeda, kita akan menjadi sumber keonararn karena
merasa benar sendiri! Karena itulah maka kelompok Islam Liberal dgn Islam Inklusivenya,
gencar menyerukan agar ummat Islam tidak merasa paling benar sendiri, dan mengakui
adanya kebenaran pada agama-agama yang lain, yang kemudian itu semua kita kenal
dengan istilah ” Pluralisme Agama”.
Islam dengan masa lalunya telah memberikan contoh toleransi yang sangat komplit.
Ajaran itu kemudian menjadi worldview Islam bagaimana membangun peradabannya
ditengah peradaban-peradaban yang lain. Sebab jika kita lihat dari sejarah, bukannya Islam
yang tidak kenal toleransi, melainkan Peradaban Barat dimana orang-orang liberal belajar
untuk toleransi dengan paham pluralism agamanya itu yang tidak pernah memiliki konsep
toleransi. Hal tersebut bahkan bisa dilacak sejak pertama sekali peradaban Islam
bersentuhan dengan peradaban Barat. Dr. Gustav lypon dalam bukunya “Peradaban Arab”
mengatakan “Pembaca akan menemukan ulasan saya mengenai peperangan bangsa Arab
dan sebab musabab di balik kemenangan mereka. Bahwa kekuatan (power) tidak
selamanya menjadi factor penentu tersebarnya ajaran al-Qur’an. Bangsa Arab (kaum
Muslimin) membiarkan orang-orang yang pernah memerangi negeri mereka hidup dengan
bebas dalam menjalankan keyakinan agamanya. Jika ada sebagian ummat kristiani yang
memeluk Islam dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa kesahariannya, hal itu
mungkin terjadi karena prinsip mereka yang melihat adanya keadilan di kalangan Arab
yang tidak ditemukan di kalangan mereka, kaum non-muslim. Mungkin juga karena
mereka tertarik dengan sikap toleransi dan keramah tamahan yang ditampakan Islam,
dimana kedua sikap itu tidak dikenal dalam agama-agama selainnya”
TOLERANSI BERAGAMA DI INDONESIA

Manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial.


Sebagai makhluk sosial manusia diwajibkan mampu berinteraksi dengan individu /
manusia lain dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam menjalani kehidupan sosial
dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang
berbeda dengannya salah satunya adalah perbedaan kepercayaan / agama.
Dalam menjalani kehidupan sosial tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan
yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan agama
atau ras. Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam masyarakat maka
diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati, sehingga tidak terjadi gesekan-
gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian.
Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa "Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya" Sehigga kita sebagai warga
Negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara
kita demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar
umat beragama.
Arti dan Makna Toleransi
Toleransi berasal dari bahasa latin dari kata "Tolerare" yang berarti dengan sabar
membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas adalah suatu perilaku atau sikap
manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau
menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain.
Toleransi juga dapat dikatakan istilah pada konteks agama dan sosial budaya yang
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap golongan-
golongan yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas pada suatu masyarakat.
Misalnya toleransi beragama dimana penganut Agama mayoritas dalam sebuah masyarakat
mengizinkan keberadaan agama minoritas lainnya. Jadi toleransi antar umat beragama
berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk
menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.
Istilah toleransi juga dapat digunakan dengan menggunakan definisi "golongan /
Kelompok" yang lebih luas, misalnya orientasi seksual, partai politik, dan lain-lain. Sampai
sekarang masih banyak kontroversi serta kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari
kaum konservatif atau liberal.
Pada sila pertama dalam Pancasila, disebutkan bahwa bertaqwa kepada tuhan
menurut agama dan kepercayaan masing-masing merupakan hal yang mutlak. Karena
Semua agama menghargai manusia oleh karena itu semua umat beragama juga harus saling
menghargai. Sehingga terbina kerukunan hidup anatar umat beragama.
Contoh Perwujutan Toleransi Beragama:
 Memahami setiap perbedaan.
 Sikap saling tolong menolong antar sesama umat yang tidak membedakan
suku, agama, budaya maupun ras.
 Rasa saling menghormati serta menghargai antar sesama umat manusia.
Contoh pelaksanaan Toleransi Beragama:
 Memperbaiki tempat-tempat umum
 Kerja bakti membersihkan jalan desa
 Membantu korban kecelakaan lalu-lintas.
 Menolong orang yang terkena musibah atau bencana alam
Jadi, bentuk kerjasama ini harus kita praktekkan dalam kegiatan yang bersifat sosial
kemasyarakatan serta tidak menyinggung keyakinan pemeluk agama lain. melalui toleransi
diharapkan terwujud ketertiban, ketenangan dan keaktifan dalam menjalankan ibadah
menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Toleransi Umat Beragama di Indonesia
Pandangan ini muncul dilatarbelakangi oleh semakin meruncingnya hubungan
antar umat beragama di indonesia. Penyebab munculnya ketegangan antar umat beragama
tersebut antara lain:
 Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama
pihak lain.
 Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam
kehidupan masyarakat.
 Sifat dari setiap agama, yang mengandung misi dakwah dan tugas dakwah.
 Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat.
 Para pemeluk agama tidak mampu mengontrol diri, sehingga tidak menghormati
bahkan memandang randah agama lain.
 Kecurigaan terhadap pihak lain, baik antar umat beragama, intern umat beragama,
atau antara umat beragama dengan pemerintah.
Pluralitas agama hanya dapat dicapai seandainya masing-masing kelompok
bersikap lapang dada satu sama lain. Sikap lapang dada dalam kehidupan beragama akan
memiliki makna bagi kemajuan dan kehidupan masyarakat plural, apabila ia diwujudkan
dalam:
 Sikap saling mempercayai atas itikad baik golongan agama lain.
 Sikap saling menghormati hak orang lain yang menganut ajaran agamanya.
 Sikap saling menahan diri terhadap ajaran, keyakinan dan kebiasan kelompok
agama lain yang berbeda, yang mungkin berlawanan dengan ajaran, keyakinan dan
kebiasaan sendiri.
Contoh Toleransi Umat Beragama dalam Kehidupan Nyata
Toleransi antarumat beragama antara pemeluk Agama Islam dan Kristen di
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan dan Masjid Al Hikmah, Serengan, Kota Solo,
Jateng. yang tercipta sejak dahulu.
"Dua bangunan tersebut berdampingan serta memiliki alamat yang sama, yaitu di
Jalan Gatot Subroto Nomor 222, Solo,"
Namun Perbedaan keyakinan tidak menyurutkan semangat pemeluk Kristen
dan Islam setempat untuk saling menjaga kerukunan, menghormati dan mengembangkan
sikap toleransi. Bangunan Masjid Al Hikmah didirikan pada tahun 1947 sedangkan GKJ
Joyodingratan didirikan 10 tahun sebelumnya atau sekitar 1937. namun Toleransi
antarumat beragama telah tercipta sejak lama disini.
Misalnya saat pelaksanaan Idul Fitri yang jatuh pada Minggu. Pengelola gereja
langsung menelepon pengurus masjid untuk menanyakan soal kepastian perayaan Idul
Fitri. Kemudian pengurus gereja merubah jadwal ibadah paginya pada Minggu menjadi
siang hari, agar tidak mengganggu umat Islam yang sedang menjalankan shalat Idul Fitri.
Contoh lainnya adalah pengurus masjid selalu membolehkan halaman Masjid untuk parkir
kendaraan bagi umat kristiani GKJ Joyoningratan saat ibadah Paskah maupun Natal.
Hal tersebut merupakan contoh kecil toleransi antarumat beragama yang hingga
saat ini terus dipelihara. Baik pihak gereja maupun Pihak masjid, saling menghargai dan
memberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah dengan khusyuk dan lancar bagi
masih-masing pemeluknya. seandainya terdapat oknum tertentu yang akan mengusik
kerukunan antar umat beragama di tempat tersebut, baik pihak masjid maupaun gereja akan
bergabung untuk mencegahnya.

TOLERANSI BERAGAMA DI LUAR NEGERI (AUSTRALIA)

Melbourne - Pada Catatan Kamisan kali, saya akan mengangkat persoalan


kebebasan beragama di Australia. Pasal 116 Konstitusi Australia mengatur, "The
Commonwealth shall not make any law for establishing any religion, or for imposing any
religious observance, or for prohibiting the free exercise of any religion, and no religious
test shall be required as a qualification for any office or public trust under the
Commonwealth". Yang pada intinya mengatur di Australia tidak boleh membuat undang-
undang untuk mendirikan agama, atau memaksakan ajaran agama, atau melarang
kebebasan beragama, dan agama tidak boleh dijadikan dasar kualifikasi untuk menduduki
posisi apapun.
Terkait kebebasan beragama tersebut di Indonesia diatur dalam Pasal 29 UUD
1945, "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan "Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
Jika dibandingkan, terlihat bahwa Australia tidak mengatur soal-soal agama,
meskipun tetap memberikan kebebasan—tetapi tidak memaksakan—pelaksanaan
kehidupan dan ajaran agama tersebut. Wujud kebebasan bahkan sampai jaminan kebebasan
untuk tidak memilih agama apapun. Hal demikian tentu berbeda dengan Indonesia, yang
menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Nomor
84/PUU-X/2012 terkait pengujian Pasal 156a KUHP jo Undang-Undang Nomor 1 /PNPS
tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, menegaskan Indonesia adalah negara
berketuhanan, yaitu "negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai prinsip utama, serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan
negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara". Karena
negara berketuhanan itulah, MK menegaskan NKRI tidak menjamin kebebasan untuk tidak
beragama.
Masih banyak lagi persoalan terkait konstitusionalitas UU Pencegahan dan
Penodaan Agama, yang oleh MK dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan
karenanya masih berlaku sebagai hukum positif di tanah air. Namun, pada catatan kali ini
saya tidak akan membahas persoalan itu secara detail. Dalam kolom pendek ini, saya lebih
ingin memberikan catatan ringan, meski bukan berarti tidak serius.
Jika Indonesia adalah negara beragama yang beragam, maka Australia adalah
negara yang tidak mengatur soal agama, tetapi agamanya lebih beragam lagi. Jika saat ini
ada enam agama yang diakui berada di Indonesia, maka menurut sensus penduduk tahun
2011, ada 120 aliran agama yang berbeda di Australia. Tetap, berdasarkan sensus 2011
agama terbesar adalah Kristen 61,1%, Budha 2,5%, Islam 2,2%, Hindu 1,3% dan Yahudi
0,5%. Sedangkan sisanya 22,3% menyatakan tidak beragama dan 9,4% memilih untuk
tidak menjawab pertanyaan terkait tentang agama. Angka yang menyatakan tidak
menganut agama itu meningkat dari sebelumnya sekitar 15% berdasarkan sensus tahun
2001. Peningkatan itu lebih banyak pada penduduk usia muda, dimana 28% warga berusia
15 sampai 34 tahun menyatakan dirinya tidak beragama.
Perbedaan agama demikian tidak aneh, karena Australia adalah negara heterogen,
yang warga negaranya berasal dari dari 240 negara yang berbeda dari seluruh belahan
dunia. Lebih dari 43% warga negaranya lahir di luar Australia atau paling tidak mempunyai
salah satu orang tuanya yang lahir di luar Australia. Yang juga tidak kalah menarik adalah
angka bahwa 20% warga negara Australia adalah penyandang berbagai jenis disabilitas.
Singkatnya, Australia adalah negara yang paling beragam warga negaranya.
Dengan keberagaman itu, maka sikap toleransi dan antidiskriminasi adalah satu hal
yang niscaya dalam kehidupan keseharian maupun kebijakan publik di Australia. Salah
satu pelatihan yang harus saya ikuti sebagai Guru Besar Tamu di Melbourne Law School
dan Faculty of Arts di University of Melbourne adalah kursus Promoting positive
workplace behaviours, yaitu kursus untuk meningkatkan pengetahuan untuk
antidiskriminasi, pelecehan dan bullying. Namun, itu bukan berarti kehidupan
antidiskriminasi di Australia sudah dapat diatasi. Pada tahun 2011—2012, Komisi HAM
Australia menerima 1997 pengaduan terkait isu rasialisme, yang merupakan kenaikan 23%
pada tahun itu.
Namun, selama tinggal di Melbourne, yaitu tahun 2002 – 2005 saat menempuh
program doktoral, maupun sekarang sebagai Visiting Professor, saya tidak merasakan
kesulitan untuk tinggal dan beribadah di Australia. Meskipun islam adalah agama
minoritas, di setiap universitas di Melbourne, selalu disediakan ruang sholat. Di Melbourne
University, ruang sholat itu juga digunakan untuk sholat Jumat dan berbagai kegiatan
keagamaan lainnya. Ketika pertama kali mengantar dua anak saya ke Laverton Secondary
College, saya menanyakan soal tempat sholat di sekolah. Guru yang menemui kami dengan
tulus membantu dan menyediakan ruang di sekolah untuk dijadikan tempat sholat.
Memang belum ada tempat khusus, tetapi poin yang ingin saya sampaikan adalah tidak
adanya kesulitan untuk tetap melakukan ibadah sholat di sekolah.
Masyarakat Indonesia di Melbourne sendiri mempunyai tiga pusat dakwah Islam,
yaitu masjid Westall, Surau Kita dan Baitul Makmur. Saya sendiri tinggal di daerah
Laverton, yang hanya berjarak kurang 5 menit berkendaraan ke Baitul Makmur. Kehidupan
keagamaan berjalan baik tanpa hambatan. Pengajian sering dilakukan, dengan
menghadirkan penceramah di lingkungan Melbourne ataupun dari tanah air. Setiap bulan
suci Ramadhan, pengurus masjid mengundang ustadz dari tanah air, dan menyusun
program kegiatan sebulan penuh—semuanya berjalan lancar. Sholat-sholat hari raya
biasanya memang diadakan dengan meminjam tempat di lingkungan universitas atau
community centre, yang semuanya belum pernah mengalami persoalan.
Di Baitul Makmur, setelah selesai Ramadhan tahun ini, kegiatan sholat jumat mulai
dilakukan untuk komunitas muslim Indonesia. Kenapa tidak dari dulu? Sebenarnya
pertimbangannya lebih pada soal teknis persiapan, salah satunya soal kerapihan parkir
kendaraan. Beberapa sholat jumat akhirnya ditiadakan dan tidak diizinkan lebih karena
parkir kendaraan yang tidak rapih dan mengganggu lalu lintas di sekitar masjid. Jadi
persoalannya bukan pada pelaksanaan sholat jumatnya, tetapi karena gangguan lalu lintas
yang disebabkannya.
Soal toleransi beragama di Melbourne juga dirasakan Profesor Moh. Mahfud MD
ketika kemarin sekitar 10 hari berada di Australia. Kami menikmati makanan halal yang
banyak tersedia di retoran Melbourne. Pun, ketika beberapa saat lalu mendampingi
beberapa staf pengajar Universitas Islam Negeri yang berkunjung ke Australia, panitia
memastikan makanan yang disajikan semuanya adalah halal.
Itulah sedikit perbandingan toleransi kehidupan beragama di Australia. Tidak ada
tirani mayoritas ataupun minoritas. Toleransi memang mensyaratkan saling menghormati
dari semua pihak. Terakhir, soal isu penistaan agama, memang harus hati-hati ditangani
secara hukum, yang harus berjalan fair dan tanpa intervensi dari siapapun, tidak dari
Presiden yang mendorong, ataupun tidak pula dari unsur masyarakat manapun yang
melindungi. Soal penistaan agama ini, satu catatan penutup, saya sering merasa terganggu
dengan jilbab atau peci yang tiba-tiba menjadi pakaian bagi terdakwa kasus korupsi,
misalnya. Tapi, mungkin juga saya salah. Siapa tahu, para terdakwa itu memang sudah
bertobat, dan bukan sedang mempolitisasi agama saja supaya tidak dihukum atau divonis
ringan oleh majelis hakim.

You might also like