Professional Documents
Culture Documents
Toleransi Beragama
Oleh:
Rihadatun Aisy Santoso
Kelas VII-4
Sekarang ini banyak yang menganggap umat Muslim adalah umat beragama yang
tidak toleran terhadap agama lain..apalagi sejak banyaknya teror yg mengatasnamakan
Islam, tetapi mereka sesungguhnya tidak melihat sejarah bahwa Islam adalah agama yg
paling toleran terhadap agama lain. Saya berikan contoh kejadian yang terjadi pada jaman
Rasululloh betapa Beliau sangat menghormati agama lain.
Pada saat itu ketika rombongan jenazah yahudi melewatinya, Rasulullah berdiri
(sebagai penghormatan). Sahabat protes “wahai rasulullah tapi dia itu orang yahudi?”
Rasulullah menjawab “bukankah dia manusia?” Bahkan dilain kesempatan ketika
Rasulullah ditanya tentang memberi bantuan materi kepada non Muslim, “Apakah kami
boleh memberi bantuan kepada orang-orang Yahudi?” Tanya sahabat kepada Rasulullah
saw. “Boleh, sebab mereka juga makhluk Allah, dan Allah akan menerima sedekah kita”,
jawab Rasulullah saw sambil bangga atas inisiatif sahabat-nya.
“Bukankah dia manusia?” kata ini penting, sebab darinya kita membangun konsep
hubungan antar manusia. Saling menghargai, menghormati, dan menumbuhkan saling
pengertian. Diatas bangunan kata itu tidak ada lagi Kami dan Mereka. Yang ada kita
“manusia”. Diatas kata itu pula, hilang segala sekat yang biasanya membatasi hubungan
kita dengan orang orang yang berbeda, baik agama, budaya, setatus social, dan lain
sebaginya. “Bukankah dia manusia”, adalah kata yang mendobrak segala kebekuan yang
ada, yang mengembangkan sikap toleran dalam hati kita. Agar secara adil menghadapi
manusia tanpa memandang siapa dia, termasuk juga agamanya apa! Sejak dini bahkan rasul
junjungan telah mencontohkan itu dalam hidupnya..
Seorang yahudi, yang tiap hari melempari kotoran kearah rasulullah, mencaci dan
menyakiti. Terbelalak matanya Karena justru orang yang pertama sekali menjenguknya
saat dia sakit adalah orang yang teramat dibencinya. Karena itulah lalu yahudi tersebut
dengan bergetar hatinya berkata; “Demi Allah, budi pekertimu sungguh mencerminkan
akhlaknya para nabi. Maka, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan
engkau adalah utusan ALLAH”. “Bukankah dia manusia”. Kata ini telah menjadi konsep;
bagaimana rasulullah bergaul dengan orang-orang yang berbeda, konsep tersebut terbukti
bukan hanya manis di mulut tapi kosong dari perbuatan nyata. “bukankah dia manusia”
telah melahirkan satu sikap indah untuk berlapang dada dengan orang yang berbeda,
bahkan sampaipun berbeda keyakinan.
Suatu ketika rombongan 60 orang nasrani kota Najran tiba di Madinah al-
Munawarah. Rasulullah kebetulan sedang ada di rumah. Pada saat Ashar, mereka masuk
ke Masjid Nabawi, dimana Rasulullah berada. Mereka menunaikan sembahyang di dalam
masjid. Spontan saja banyak orang yang ingin mencegah mereka. Tetapi dengan sigap,
rasulullah bersabda “Biarkanlah mereka menghadap ke arah timur untuk menunaikan
sembahyangnya”. Betapa indah sikap rasulullah terhadap keyakinan orang lain, beliau
tetap menghormatinya.
Ahmad Shawi men-ceritakan dalam tafsir-nya, Abu Hushain (sahabat Anshar)
mempunyai dua anak laki-laki beragama Nashrani. Di saat kedua anak-nya berjualan ke
Madinah, ia menemui keduanya. Abu Hushain sangat mengingin-kan kedua anaknya
masuk Islam. Dengan keadaan memaksa sambil emosi Hushain memboyong kedua
anaknya kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Ya Rasulullah, pantaskah di antara kami
sebagainnya masuk neraka?” sambil menunjuk kedua anaknya dengan kesal. Namun
Rasulullah saw diam. Maka di saat peristiwa itu turun ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 156: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”. bahkan Rasulullah tidak
memaksakan orang tua untuk memaksa keyakinan anaknya sama dengan keyakinan orang
tuanya. Apalagi memaksa keyakinan orang lain. Begitulah toleransi yang diajarkan oleh
Islam.
Tetapi harus diingat toleransi tersebut harus dengan pluralisme agama. Hal tersebut
senada dengan toleransi Rasulullah kepada mereka yang berbeda keyakinan. Bahwa
toleransi rasulullah kepada mereka tidak menjadikan rasulullah membenarkan apa yang
menjadi keyakinan mereka. Seperti pada kasus 60 nasrani dari kota Najran yang tertulis
diatas. dalam dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan utusan Najran
itu tidak ada “kese-pakatan” karena mereka tetap menganggap bahwa Isa adalah “anak
Tuhan” dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpegang teguh bahwa Isa adalah
utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai Nabiyullah, Isa adalah manusia biasa. Para
utusan itu tetap dijamu oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hari.
Beliau menganjurkan toleransi antar sesama umat lainnya. Namun berbeda dalam memper-
tahankan aqidah. Ketika beliau diajak oleh orang kafir untuk saling menukar waktu, tempat
dan bergantian menyembah tuhan, beliau menjawab tegas: “LAKUM DÎNUKUM
WALIYADÎN” (Agama kamu untukmu dan agamaku untukku).
Hal ini untuk menghindari pola pikir “Islam Liberal” yang ingin mengatakan,
bahwa jika kita beragama dengan baik, meniru apa yang dilakukan rasulullah, meniru
bagaimana rasulullah bergaul dengan pemeluk agama yang berbeda, bagaimana rasulullah
mensikapi pemeluk keyakinan yang berbeda, kita akan menjadi sumber keonararn karena
merasa benar sendiri! Karena itulah maka kelompok Islam Liberal dgn Islam Inklusivenya,
gencar menyerukan agar ummat Islam tidak merasa paling benar sendiri, dan mengakui
adanya kebenaran pada agama-agama yang lain, yang kemudian itu semua kita kenal
dengan istilah ” Pluralisme Agama”.
Islam dengan masa lalunya telah memberikan contoh toleransi yang sangat komplit.
Ajaran itu kemudian menjadi worldview Islam bagaimana membangun peradabannya
ditengah peradaban-peradaban yang lain. Sebab jika kita lihat dari sejarah, bukannya Islam
yang tidak kenal toleransi, melainkan Peradaban Barat dimana orang-orang liberal belajar
untuk toleransi dengan paham pluralism agamanya itu yang tidak pernah memiliki konsep
toleransi. Hal tersebut bahkan bisa dilacak sejak pertama sekali peradaban Islam
bersentuhan dengan peradaban Barat. Dr. Gustav lypon dalam bukunya “Peradaban Arab”
mengatakan “Pembaca akan menemukan ulasan saya mengenai peperangan bangsa Arab
dan sebab musabab di balik kemenangan mereka. Bahwa kekuatan (power) tidak
selamanya menjadi factor penentu tersebarnya ajaran al-Qur’an. Bangsa Arab (kaum
Muslimin) membiarkan orang-orang yang pernah memerangi negeri mereka hidup dengan
bebas dalam menjalankan keyakinan agamanya. Jika ada sebagian ummat kristiani yang
memeluk Islam dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa kesahariannya, hal itu
mungkin terjadi karena prinsip mereka yang melihat adanya keadilan di kalangan Arab
yang tidak ditemukan di kalangan mereka, kaum non-muslim. Mungkin juga karena
mereka tertarik dengan sikap toleransi dan keramah tamahan yang ditampakan Islam,
dimana kedua sikap itu tidak dikenal dalam agama-agama selainnya”
TOLERANSI BERAGAMA DI INDONESIA