Professional Documents
Culture Documents
Pak Hasan (61 tahun) diantar anaknya datang ke puskesmas dengan keluhan batuk darah sejak
3 jam yang lalu, jumlah sekitar 100 cc. Dari anamnesis juga diketahui Pak hasan adalah penderita TB
dalam pengobatan fase intensif dan baru berlangsung selama satu bulan. selain itu Pak Hasan juga ada
riwayat gastritis. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan darah
100/70mmHg, nadi 82 x/menit, nafas 20 x/ menit, suhu afebril.
Dokter Puskesmas segera menganjurkan pemasangan cairan infus, dan meresepkan obat anti
perdarahan untuk Pak Hasan. Dokter muda yang bertugas di IGD menghitung kebutuhan cairan infus.
Obat anti perdarahan segera diinjeksikan kepada pasien. Selain obat antiperdarahan dokter juga
meresepkan obat lain. Mengingat Pak hasan juga menderita gastritis dan juga dalam pengobatan TB,
dokter harus memberikan obat yang aman untuk gastritisnya dan juga diperkirakan tidak ada interaksi
dengan tuberkulostatiknya, selain harga obat juga harus dipertimbangkan. Dokter Puskesmas masih
ingat bagaimana fase yang harus dilalui suatu obat sehingga dinyatakan aman dan dapat diberikan
kepada pasien, karena obat harus melalui berbagai rangkaian uji pra klinik pada binatang dan uji klinik
pada manusia.
Selama pemasangan infus dan pemberian obat-obatan kepada Pak Hasan, perlu juga dilakukan
monitoring terhadap efek samping obat (MESO) yang mungkin timbul. Obat indek terapi sempit bila
diberikan di rumah sakit yang punya fasilitas mungkin perlu dilakukan TDM (Therapeutic Drug
Moinitoring). Anak Pak Hasan bertanya kepada dokter apakah pemberian tuberkulostatika sementara
harus dihentikan.
1. Terminologi
a. Pengobatan fase intensif
b. Suhu afebril Afebris : Suhu tubuh mengalami penurunan dibandingkan
keadaan sebelumnya, disertai beberapa gejala klinis yang semakin memburuk.
Suhu tubuh normal 36,60 C – 37,20 C. Suhu tubuh febris 370 C - 380 C.
c. Uji pra klinik Uji praklinik yaitu pengujian yang dilakukan dengan
menggunakan senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis)
terlebih dahulu harus diuji dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan.
Sebelum obat baru ini dapat dicobakan pada manusia dibutuhkan waktu
beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik,
farmasetika, dan efek toksiknya.
i. Uji Farmakodinamik untuk mengetahui apakah bahan obat
menimbulkan efek farmakologi seperti yang harap atau tidak, titik
tangkap, dan mekanisme kerjanya.
ii. Uji Farmakokinetik untuk mengetahui ADME (Absorpsi, Distribusi,
Metabolisme, Eliminasi) dan untuk merancang dosis aturan pakai.
iii. Uji Farmasetika untuk memperoleh data farmasetiknya, tentang
formulasi, standarisasi, stabilitas, bentuk sediaan yang paling sesuai
dengan cara penggunaannya.
iv. Uji Toksikologi untuk mengetahui keamanannya.
d. Uji klinik Uji klinik adalah suatu pengujian khasiat obat baru pada
manusia, dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang
atau uji pra klinik. Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas,
keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada
manusia akibat pemberian suatu obat.
e. Monitoring efek samping obat
f. Indeks terapi Indeks terapi adalah perbandingan antara dosis yang
menghasilkan efek pada 50% hewan percobaan (ED 50) dengan dosis
yang mematikan 50% hewan percobaan (LD 50) Indeks terapi
merupakan ukuran keamanan obat. Intensitas efek obat pada makhluk
hidup lazimnya meningkat jika dosis obat yang diberikan kepadanya
juga ditingkatkan.
g. Therapeutic Drug Monitoring is a branch of clinical chemistry and
clinical pharmacology that specializes in the measurement
ofmedication concentrations in blood. Its main focus is on drugs with a
narrow therapeutic window.
h. Tuberkulostatika Sekelompok obat yang mempunyai efek menghambat
pertumbuhan Mycobacterium Tuberculosis
2. Rumusan Masalah
a. Mengapa Pak Hasan batuk darah?
b. Bagaimana pengobatan fase intensif dilakukakn?
c. Pengaruh riwayat gastritis pak hasan ke keluhan penyakit saat
ini dan terapinya?
d. Interpretasi pemeriksaan fisik
e. Mengapa diberi cairan infus dan diresepkan obat anti
perdarahan?
f. Hubungan obat anti perdarahan dengan keluhan saat ini?
g. Penyakit apasaja yang ditangani di IGD?
h. Obat dan alat apa saja yang harus selalu tersedia di IGD?
i. Bagaimana cara menghitung kebutuhan cairan infus?
j. Apa saja yang harus diperhatikan seorang dokter dalam
merespkan obat?
k. Bagaimana hubungan interaksi antara satu obat dengan obat
yang lain?
l. Bagaimana tahapan pengujian keamanan obat?
m. Mengapa bisa muncul efek samping obat?
n. Bagaimana prosedur monitoring terhadap efek samping obat?
o. Bagaimana jendela terapi obat?
p. Fasilitas apa yang diperlukan untuk TDM?
q. Apakah pemberian tuberkulostatika sementara harus
dihentikan?
3. Hipotesis
a. Mengapa Pak Hasan batuk darah?
TBC -> pecah pembuluh darah
b. Bagaimana pengobatan fase intensif dilakukakn?
Pengobatan Tb dilakukan dalam 2 tahap yaitu: tahap intensif dan tahap lanjutan.
Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari, berlangsung 2 bulan (56 hari),
sedang pada tahap lanjutan pasien mendapat KDT 3 x seminggu dan berlangsung lebih
lama (4 bulan).
Panduan OAT yang digunakan adalah: kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3, kategori II:
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 dan kategori anak: 2HRZ/4HR. Kategori I diberikan
pada pasien baru Tb paru BTA positif, Tb paru BTA negatif, foto thoraks positif dan
Tb ekstra paru.
c. Pengaruh riwayat gastritis pak hasan ke keluhan penyakit saat
ini dan terapinya?
Pengaruh obat anti perdarahan -> lambung
d. Interpretasi pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan darah
100/70mmHg, nadi 82 x/menit, nafas 20 x/ menit, suhu afebril.
TD agak rendah
Nadi normal
Nafas normal
Suhu normal
e. Mengapa diberi cairan infus dan diresepkan obat anti
perdarahan?
Infus biar gak kekurangan cairan karena perdarahan
Obat anti perdarahan biar perdarahan berkurang
10 kg I: 4 cc/kgBB/jam x 10 kg = 40
10 kg II: 2 cc/kgBB/jam x 10 kg = 20
10 kg III: 1 cc/kgBB/jam x 10 kg = 10
–––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– +
Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu bersamaan dapat memberikan
efek masing-masing atau saling berinteraksi. Interaksi tersebut dapat bersifat
potensiasi atau antagonis satu obat oleh obat lainnya, atau kadang dapat
memberikan efek yang lain. Interaksi obat yang merugikan sebaiknya
dilaporkan kepada Badan/Balai/Balai Besar POM seperti halnya dengan reaksi
obat merugikan lainnya.
Interaksi obat dapat bersifat farmakodinamik atau farmakokinetik.
Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai
efek farmakologi atau efek samping yang serupa atau yang berlawanan.
Interaksi ini dapat disebabkan karena kompetisi pada reseptor yang sama, atau
terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama. Interaksi
ini biasanya dapat diperkirakan berdasarkan sifat farmakologi obat-obat yang
berinteraksi. Pada umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan
terjadi juga dengan obat sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang
berbeda pada kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat yang saling
berinteraksi.
Interaksi Farmakokinetik
Yaitu interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi,
metabolisme, atau ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini
meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk
dapat menimbulkan efek farmakologinya. Tidak mudah untuk memperkirakan
interaksi jenis ini dan banyak diantaranya hanya mempengaruhi pada sebagian
kecil pasien yang mendapat kombinasi obat-obat tersebut. Interaksi
farmakokinetik yang terjadi pada satu obat belum tentu akan terjadi pula dengan
obat lain yang sejenis, kecuali jika memiliki sifat-sifat farmakokinetik yang
sama .
Mempengaruhi absorpsi
Kecepatan absorpsi atau total jumlah yang diabsorpsi dapat dipengaruhi oleh
interaksi obat. Secara klinis, absorpsi yang tertunda kurang berarti kecuali
diperlukan kadar obat dalam plasma yang tinggi (misal pada pemberian
analgesik). Namun demikian penurunan jumlah yang diabsorbsi dapat
menyebabkan terapi menjadi tidak efektif.
Mempengaruhi metabolisme.
Banyak obat dimetabolisme di hati. Induksi terhadap sistem enzim mikrosomal
hati oleh salah satu obat dapat menyebabkan perubahan kecepatan metabolisme
obat lainnya secara bertahap, sehingga menyebabkan rendahnya kadar plasma
dan mengurangi efek obat. Penghentian obat penginduksi tersebut dapat
menyebabkan meningkatnya kadar plasma obat yang lainnya sehingga terjadi
gejala toksisitas. Barbiturat, griseofulvin, beberapa antiepilepsi dan rifampisin
adalah penginduksi enzim yang paling penting. Obat yang dipengaruhi antara
lain warfarin dan kontrasepsi oral.
Sebaliknya, saat suatu obat menghambat metabolisme obat lain, akan terjadi
peningkatan kadar plasma, sehingga menghasilkan peningkatan efek secara
cepat dan juga meningkatkan risiko. Beberapa obat yang meningkatkan potensi
warfarin dan fenitoin memiliki mekanisme seperti di atas.
Isoenzim dari sistem sitokrom hepatik P450 berinteraksi dengan sebagian besar
obat. Obat dapat bertindak sebagai substrat, penginduksi, atau penghambat dari
isoenzim yang berbeda. Beberapa informasi in-vitro tentang efek obat terhadap
insoenzim telah tersedia, tetapi karena eliminasi obat dapat melalui beberapa
jalur metabolisme seperti eliminasi oleh ginjal maka efek klinik dari interaksi
tidak dapat diprediksi secara tepat berdasarkan data laboratorium tentang
isoenzim sitokrom P450. IONI hanya menampilkan interaksi yang telah
dilaporkan pada tenaga kesehatan, kecuali kombinasi dua obat memang
dikontraindikasikan. Pada tiap kasus kemungkinan interaksi harus
dipertimbangkan jika terjadi efek toksik atau jika aktivitas obat tersebut menjadi
hilang.
PENTINGNYA INTERAKSI
Banyak interaksi obat tidak berbahaya tetapi banyak juga interaksi yang
potensial berbahaya hanya terjadi pada sebagian kecil pasien. Terlebih, derajat
keparahan suatu interaksi bervariasi dari satu pasien ke pasien lain. Obat-obat
dengan indeks terapi sempit (misalnya fenitoin) dan obat-obat yang
memerlukan kontrol dosis yang ketat (antikoagulan, antihipertensi dan
antidiabetes) adalah obat-obat yang paling sering terlibat.
Pasien dengan peningkatan risiko mengalami interaksi obat adalah lansia dan
orang-orang dengan gagal ginjal atau hati.
2. Uji Klinik
Uji Klinik Yaitu suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana
sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau pra klinik (Katzung,
1989)
UJI KLINIK: Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan
gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian
suatu obat. Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase IV (Ganiswara, 1995).
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada sekelompok kecil
penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat. Tujuannya ialah melihat
apakah efek farmakologik yang tampak pada fase I berguna atau tidak untuk
pengobatan. Fase II ini dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli dalam masing-
masing bidang yang terlibat. Mereka harus ikut berperan dalam membuat
protocol penelitian yang harus dinilai terlebih dulu oleh panitia kode etik lokal.
Protokol penelitian harus diikuti dengan dengan ketat, seleksi penderita harus
cermat, dan setiap penderita harus dimonitor dengan intensif (Ganiswara, 1995).
Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka karena
masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap biasanya belum dapat
diambil kesimpulan yang mantap mengenai efek obat yang bersangkutan karena
terdapat berbagai factor yang mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya
perjalanan klinik penyakit, keparahannya, efek placebo (Ganiswara, 1995).
Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu dilakukan uji klinik
komparatif yang membandingkannya dengan placebo; atau bila penggunaan
placebo tidak memenuhi syarat etik, obat dibandingkan dengan obat standard
yang telah dikenal. Ini dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung
dari siapa yang melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya.
Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi penderita harus acak
dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini dsebut uji klinik acak
tersamar ganda berpembanding.
Pada fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk menentukan dosis
optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut mengenai
eliminasi obat, terutama metabolismenya. Jumlah subjek yang mendapat obat
baru pada fase ini antara 100-200 penderita (Ganiswara, 1995).
b ) Uji Klinik Fase II
Pada fase ini dicobakan pada pasien sakit. Tujuannya adalah melihat apakah
obat ini memiliki efek terapi. Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat
dikerjakan secara terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif,
karena itu belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efikasi obat
yang bersangkutan.
Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan uji
klinik komparatif (dengan pembading) yang membandingkannya dengan
plasebo; atau jika penggunaan plasebo tidak memenuhi persyaratan etik, obat
dibandingkan dengan obat standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan
pada fase II akhir atau awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi
pasien, dan monitoring pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik
komparatif ini , alokasi pasien harus acak dan pemberian obat dilakukan secara
tersamar ganda. Ini disebut uji klinik berpembanding, acak, tersamar ganda.
Fase ini terjakup juga studi kisaran dosis untuk menetapkan dosis optimal yang
akan digunakan selanjutnya(Ganiswara, 1995).
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat-baru benar-
benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit fase II) dan untuk
mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan obat standard. Penelitian ini
sekaligus akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang (1) efeknya bila
digunakan secara luas dan diberikan oleh para dokter yang ‘kurang ahli’; (2)
efek samping lain yang belum terlihat pada fase II; (3) dan dampak
penggunaannya pada penderita yang tidak diseleksi secara ketat (Ganiswara,
1995).
Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita yang tidak terseleksi
ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak terlalu ahli, sehingga
menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari-hari dimasyarakat.
Pada uji klinik fase III ini biasanya pembandingan dilakukan dengan placebo,
obat yang sama tapi dosis berbeda, obat standard dengan dosis ekuiefektif, atau
obat lain yang indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian
dilakukan secara acak dan tersamar ganda.
Bila hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa obat baru ini cukup aman dan
efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan. Jumlah penderita yang
diikut sertakan pada fase III ini paling sedikit 500 orang
Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena merupakan
pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini bertujuan
menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola efektifitas dan
keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Survei ini tidak tidak terikat
pada protocol penelitian; tidak ada ketentuan tentang pemilihan penderita,
besarnya dosis, dan lamanya pemberian obat. Pada fase ini kepatuhan penderita
makan obat merupakan masalah.Penelitian fase IV merupakan survey
epidemiologic menyangkut efek samping maupun efektif obat. Pada fase IV ini
dapat diamati (1) efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul
setelah pemakaian obat bertahun-tahun lamanya, (2) efektifitas obat pada
penderita berpenyakit berat atau berpenyakit ganda, penderita anak atau usia
lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali dalam jangka panjang, dan (3)
masalah penggunaan berlebihan, penyalah-gunaan, dan lain-lain. Studi fase IV
dapat juga berupa uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk
menentukan efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga datanya
menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi.
Dewasa ini waktu yang diperluka untuk pengembangan suatu obat baru, mulai
dari sintetis bahan kimianya sampai dipasarkan, mencapai waktu 10 tahun atau
lebih.
Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan secara luas, dapat ditemukan
kemungkinan manfaat lain yang mulanya muncul sebagai efek samping. Obat
demikian kemudian diteliti kembali di klinik untuk indikasi yang lain, tanpa
melalui uji fase I. Hal seperti ini terjadi golongan salisilat yang semula
ditemukan sebagai antireumatik dan anti piretik. Efek urikosurik dan
antiplateletnya ditemukan belakangan. Hipoglikemik oral juga ditemukan
dengan cara serupa
m. Mengapa bisa muncul efek samping obat?
Apa saja faktor pemicu terjadinya efek samping obat?
Faktor-faktor pendorong terjadinya efek samping obat dapat berasal dari faktor
pasien dan dari faktor obatnya sendiri.
1. Faktor pasien. Yaitu faktor intrinsik yang berasal dari pasien, seperti
umur, faktor genetik, dan penyakit yang diderita
a. Umur
Pada pasien anak-anak (khususnya bayi) sistem metabolismenya
belum sempurna sehingga kemungkinan terjadinya efek
samping dapat lebih besar, begitu juga pada pasien geriatrik
(lansia) yang kondisi tubuhnya sudah menurun.
b. Genetik dan kecenderungan untuk alergi
Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik,
suatu obat mungkin dapat memberikan efek farmakologi yang
berlebihan sehingga dapat menyebabkan timbulnya efek
samping. Genetik ini juga berhubungan dengan kecenderungan
terjadinya alergi. Contohnya pada penisilin, sekitar 1-5% orang
yang mengonsumsi penisilin mungkin mengalami reaksi alergi.
c. Penyakit yang diderita
Untuk pasien yang mengidap suatu penyakit tertentu, hal ini
memerlukan perhatian khusus. Misalnya untuk pasien yang
memiliki gangguan hati atau ginjal, beberapa obat dapat
menyebabkan efek samping serius, maka harus dikonsultasikan
pada dokter mengenai penggunaan obatnya.
2. Faktor intrinsik dari obat. Yaitu sifat dan potensi obat untuk
menimbulkan efek samping, seperti pemilihan obat, jangka waktu
penggunaan obat, dan adanya interaksi antar obat.
a. Pemilihan obat
Setiap obat tentu memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda,
tempat kerja yang berbeda, dan tentunya efek yang berbeda pula.
Maka dari itu, harus diwaspadai juga efek samping yang
mungkin terjadi dari obat yang dikonsumsi
b. Jangka waktu penggunaan obat
Efek samping beberapa obat dapat timbul jika dikonsumsi dalam
jangka waktu yang lama. Contohnya penggunaan parasetamol
dosis tinggi pada waktu lama akan menyebabkan hepatotoksik
atau penggunaan kortikosteroid oral pada jangka waktu lama
juga dapat menimbulkan efek samping yang cukup serius seperti
moonface, hiperglikemia, hipertensi, dan lain-lain. Lain lagi
dengan penggunaan AINS (anti inflamasi non steroid)
berkepanjangan, dapat muncul efek samping berupa iritasi dan
nyeri lambung.
c. Interaksi obat
Interaksi obat juga merupakan salah satu penyebab efek
samping. Ada beberapa obat ketika dikonsumsi secara
bersamaan, akan muncul efek yang tidak diinginkan. Contohnya
kombinasi antara obat hipertensi inhibitor ACE dengan diuretik
potasium-sparing (spironolakton) dapat menyebabkan
hiperkalemia.
2. Tujuan MESO
a. Memberikan kesempatan untuk mengenali suatu obat dengan baik dan
untuk mengenali respon orang terhadap obat.
b. Membantu meningkatkan pengetahuan tentang obat, manusia atau
penyakit dari waktu ke waktu.
c. Menerima info terkini tentang efek samping obat (Purwantyastuti, 2010).
d. Menemukan efek samping obat (ESO) sedini mungkin terutama yang
berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang.
e. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah
dikenal dan yang baru saja ditemukan.
f. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat
menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya efek
samping obat.
g. Meminimalkan resiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki.
h. Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki
PENGERTIAN TDM
PROSES TDM
Tim dari TDM antara lain ahli farmakologi klinik, farmasi klinik, ahli analisis
dan tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan pasien termasuk
dokter maupun perawat.
Proses TDM terdiri dari empat komponen utama yang dimulai dan diakhiri
dengan pelayanan pasien (patient care). Komponen tersebut meliputi pre
analisis, analisis, post analisis dan pengaturan lingkungan. Pengaturan
lingkungan merupakan kondisi dan atmosfer disekitar proses analisis. Pre
analisis terdiri dari empat tahap. Tahap pertama dimulai dengan munculnya
pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi medis pasien, pertanyaan tersebut
muncul setelah klinisi melakukan observasi terhadap pasien. Tahap kedua,
klinisi menentukan tes yang mungkin dapat menjawab pertanyaan tersebut,
Tahap ketiga yaitu klinisi meminta hasil tes dari pasien, dan tahap yang terakhir
klinisi mengambil sampel dan dikirim ke laboratorium klinis untuk dianalisis.
Komponen analisis, terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama yaitu preparasi
sampel meliputi kegiatan pengiriman sampel ke tempat analisis dan pemisahan
serum atau plasma dari sel darah untuk dianalisis. Tahap kedua, melakukan
analisis dengan menggunakan metode yang sesuai. Tahap ketiga yaitu
memverifikasi hasil analisis obat.
FUNGSI TDM
TDM memiliki beberapa fungsi antara lain dalam hal pemilihan obat,
perancangan aturan dosis, penilaian respon penderita, pemantauan konsentrasi
obat dalam serum, penilaian secara farmakokinetik kadar obat, penyesuaian
kembali aturan dosis, dan adanya persyaratan khusus.
TARGET TDM
1. Jika penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat seperti yang
diharapkan, maka obat dan aturan dosis hendaknya ditinjau kembali dari segi
kecukupan, ketelitian, dan kepatuhan penderita. Dokter hendaknya menentukan
perlu atau tidak konsentrasi obat dalam serum penderita diukur, karena tidak
semua respon penderita dikaitkan dengan konsentrasi obat dalam serum.
Contoh : alergi dan rasa mual ringan.
2. Bila “therapeutic window” suatu obat sempit, maka individualisasi dosis
menjadi sangat penting, karena perbedaan dosis yang kecil saja sudah dapat
menimbulkan perbedaan nyata dalam respon pasien.