You are on page 1of 12

BAB II

A. Pernikahan
1. Definisi Pernikahan
Definisi pernikahan menurut beberapa penulis antara lain :
a. Pernikahan adalah suatu hubungan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang diakui secara sosial, menyediakan hubungan
seksual dan pengasuhan anak yang sah, dan didalamnya terjadi
pembagian hubungan kerja yang jelas bagi masing-masing pihak
baik suami maupun istri. (Duvall dan Miller , 1985)
b. Pernikahan adalah antara dua mitra yang memiliki obligasi
berdasarkan minat pribadi dan kegairahan. (Seccombe and Warner,
2004).
c. Pernikahan adalah komitmen emosional dan hukum dari dua orang
untuk membagi kedekatan emosional dan fisik, berbagi bermacam
tugas dan sumber-sumber ekonomi. (Olson and deFrain, 2006).
B. Kesiapan Menikah
1. Definisi Kesiapan menikah
Kesiapan adalah tingkat perkembangan kematangan atau
kedewasaan individu, sehingga akan menguntungkan yang bersangkutan
untuk mempraktekan sesuatu (Chaplin 1989). Kesiapan juga
didefinisikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam
mempersiapkan diri untuk belajar dan menghadapi tugas perkembangan
(Corsini 2002). Kesiapan bisa berupa keahlian khusus yang diperoleh
melalui dukungan perkembangan fisik dan intelektual yang terjadi dalam
pergaulan sosial yang menyediakan saat-saat untuk dapat belajar.
Kesiapan menikah adalah keadaan siap berhubungan dengan
seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai suami
atau istri, siap berhubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan
mengasuh anak (Puteri 2010). Duvall (1971) mengatakan bahwa
kesiapan menikah adalah kondisi ketika seorang wanita maupun laki-laki
telah menyelesaikan masa remajanya, dan secara fisik, emosi,
pendidikan, finansial, dan kepribadian, telah siap untuk memikul
tanggung jawab dan hak-hak istimewa setelah menikah.
Kesiapan menikah bagi wanita dianggap lebih penting dibandingkan
dengan laki-laki karena dua pertimbangan sebagai berikut: pertama,
wanita sebagai istri yang akan menentukan asupan gizi makanan bagi
keluarganya. Pakar ekonomi Inggris, Alfred Marshall (1890) telah
mengingatkan mengenai isu penting ini dengan mengatakan:
“Much depends on the proper preparation of food; and a skilled
housewife with ten penny a week to spend on food will often do more for
the health and strength of her family than an unskilled housewife with
twenty penny. The great mortality of infants among the poor are largely
due the lack of care and judgment in preparing their food;…”
Pertimbangan yang kedua, berkaitan dengan status wanita yang akan
menjadi calon ibu baik menjelang kehamilan, selama masa kehamilan,
dan setelah melahirkan. Kondisi kesehatan baik fisik dan mental seorang
calon ibu, senantiasa akan berhadapan dengan gangguan eksternal,
misalnya gangguan penyakit, sehingga janin yang dikandung akan
memiliki peluang terkena efek samping penyakit yang diderita ibunya.
Selain itu, perubahan fisik janin yang begitu cepat selama masa
kandungan membutuhkan keterampilan ibu yang mengandung untuk
mengatur kecukupan asupan gizi sehingga kesehatan ibu dan janin bisa
terjaga dengan baik.
Holman & Li (1997) menyatakan bahwa kesiapan untuk menikah
merupakan persepsi terhadap kemampuan individu untuk dapat
menampilkan dirinya di dalam peran-peran pernikahan. Kesiapan untuk
menikah dapat pula dipandang sebagai sebuah aspek dari proses
pemilihan pasangan atau proses perkembangan hubungan.
Larson( 1988; dalam Badger, 2005) mendefinisikan kesiapan untuk
menikah sebagai sebuah evaluasi subjektif dari kesiapan diri sendiri
untuk dapat mengambil tanggung jawab dan menjaawab tantangan dari
pernikahan.

2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah


Blood (1969) menyatakan bahwa kesiapan menikah dapat terbagi
menjadi dua bagian, yaitu kesiapan personal dan kesiapan kondisional.
Kesiapan personal terdiri dari kematangan emosional , yang dipengaruhi
oleh usia; kematangan sosial, yang ipengaruhi oleh pengalaman pacaran
yang cukup; kesehatan emosional; dan persiapan peran. Sedangkan
kesiapan kondisional terdiri dari : sumber daya keuangan , dan sumber
daya waktu. Stinnett (1969, dalam badger, 2005) menyatakan bahwa
kesiapan untuk menikah berhubungan dengan marital competence,
dimana terdapat tiga faktor latar belakang yang mempengaruhi kesiapan
individu untuk marital competence, yakni: keadaan dari hubungan
dengan keluarga, pengalaman berpacaran, dan kepribadian individu.
Mengacu hasil Sunarti (2001), terdapat prasyarat minimal untuk
calon pasangan yang ingin menikah dan membangun keluarga. Prasyarat
minimal tersebut terdiri dari tiga unsur yaitu: memiliki kemampuan
untuk memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
dasar (basic needs) maupun kebutuhan perkembangan anggota keluarga,
memiliki kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai untuk
mengelola keluarga sebagai ekosistem mikro, dan memiliki kematangan
kepribadian untuk menjalankan fungsi, peran dan tugas keluarga. Blood
(1978) membagi kesiapan menikah menjadi beberapa kesiapan yaitu:

1. Kesiapan emosi, adalah kemampuan membangun dan merawat


hubungan baik dengan orang lain, mampu berbagi (sharing),
menerima kekurangan serta kelebihan orang lain, mampu
mencintai, berempati kepada orang lain, sensitif pada kebutuhan
orang lain, dan mau memikul tanggung jawab untuk memenuhi
kebutuhan orang tersebut.
Goleman (1997), membagi dimensi kecerdasan emosi kedalam lima
dimensi yaitu: (a) kesadaran diri, yaitu mengetahui apa yang dirasakan,
mengetahui kemampuan diri, dan penyebab munculnya perasaan, (b)
pengaturan diri, yaitu kemampuan mengelola emosi, mampu
mengendalikan amarah dan cepat pulih dari tekanan, (c) motivasi, yaitu
kemampuan memanfaatkan emosi sehingga menjadi pribadi yang
produktif, fokus pada tugas, dan bertanggung jawab, (d) empati, yiatu
peka dan mampu membaca perasaan orang lain. Mereka yang mampu
berempati biasanya mudah menyelarasakan diri dengan orang lain, dan
(e) keterampilan sosial, yaitu kemampuan membangun hubungan baik
dengan orang lain, menyelesaikan masalah, dan bekerja dalam tim.

2. Kesiapan usia biologis, biasanya mengacu kepada ketentuan


hukum yang berlaku disuatu Negara.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 6 dan 7, menjelaskan


usia minimal yang diizinkan untuk menikah adalah untuk laki-laki 19
tahun dan wanita 16 tahun, dan jika usia keduanya dibawah 21 tahun
maka disyaratkan harus mendapatkan izin kedua orang tua. Usia bisa
mempengaruhi kedewasaan seseorang, karena untuk menjadi pribadi
yang dewasa secara emosi membutuhkan waktu, namun hitungan usia
biologis manusia tidak selalu berbarengan dengan kedewasaan emosi.
Hal tersebut karena kematangan emosi seseorang juga berkaitan dengan
banyaknya peluang untuk belajar dan bersikap terhadap kehidupan.
Banyaknya peluang sendiri, dipengaruhi oleh lingkungan tempat
seseorang berada.

3. Kesiapan sosial, terbagi menjadi dua: (a) pengalaman berkencan


yang cukup (enough dating), yaitu kondisi ketika individu siap
berkomitmen hanya kepada satu orang yang terbaik baginya yaitu
pasangannya dan tidak merasa penasaran untuk menjalin hubungan
dengan orang lain dan; (b) pengalaman hidup sendiri (enough
single life), yaitu pengalaman individu memiliki waktu yang
memadai untuk dirinya sendiri dalam kehidupan yang mandiri.
Manfaat hidup sendiri adalah mengetahui identitas pribadi secara
jelas sebelum melakukan pernikahan.

4. Kesiapan model peran adalah siap menjalankan tugas dan peran


dalam rumah tangga. Banyak orang belajar bagaimana menjadi
suami dan istri yang baik dengan mencermati sosok (figure) yang
paling dekat dengan mereka, yaitu orang tua mereka sendiri.
Lord Chesterfield (1750) mengatakan:
“We are, in truth, more than half what we are by imitation. The great point
is, to choose good models, and to study them with care..”
Penting untuk mengetahui apa saja peran dan tugas sebagai suami istri,
sehingga pasangan yang hendak menikah bisa menyadari hal-hal yang harus
dipersiapkan sebelum memasuki jenjang pernikahan dan membina rumah
tangga.
5. Kesiapan finansial, berhubungan dengan jumlah minimum
pendapatan yang harus dimiliki seseorang yang akan menikah
bergantung pada nilai-nilai yang dipegang calon pasangan karena
setiap pasangan memiliki standar minimum bagaimana cara untuk
hidup. Umumnya standar minimum seseorang dimulai pada level
yang diraih orang tua mereka.

Berdasarkan faktor-faktor kesiapan menikah menurut tokoh-tokoh


diatas, terdapat beragam faktor yang sebagian faktor memiliki beberapa
kesamaan, misalnya memiliki sumber daya ekonomi dalam Sunarti (2001)
sama dengan dengan faktor kesiapan finansial oleh Blood (1978).
Wiryati (2004) membagi faktor-faktor yang dapat dinilai dalam
kesiapan menikah menjadi beberapa poin:
1. Faktor Komunikasi antar pasangan
Menurut Wiryasti (2004), kesiapan individu di dalam area
komunikasi meliputi kemampuan untuk mengekspresikan ide dan
perasaan, serta untuk mendengarkan pesan. Kesiapan individu di
dalam area ini dapat diketahui dari keterbukaan, kejujuran,
kepercayaan, dan empati individu terhadap pasangannya di dalam
proses komunikasi.Proses komunikasi yang baik dapat terjadi
apabila individu mampu untuk menyampaikan keinginan dan
perasaan kepada pasangannya secara bebas, tak peduli apapun
reaksi pasangannya. Proses komunikasi juga dapat berjalan dengan
baik apabila individu mampu menjadi pendengar yang baik bagi
pasangan, dengan selalu berusaha untuk mendengarkan apa yang
disampaikan oleh pasangan terlebih dahulu sebelum memberikan
komentar atau pendapat, bahkan ketika topik pembicaraan yang
disampaikan pasangan tidak menarik.

2. Faktor Keuangan dan finansial


Area keuangan meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
pengaturan ekonomi rumah tangga. Kesiapan individu di dalam
area ini dapat diketahui dari kemampuan individu untuk
merencanakan pengaturan keuangan dan dari
diperolehnya kesepakatan diantara individu dengan pasangan
terkait rencana pengaturan keuangan.
Individu diharapkan telah membicarakan dengan
pasangannya mengenai rencana pengelolaan keuangan rumah
tangga, yang dilandasi oleh pengetahuan akan kondisi keuangan
masing-masing. Selain sudah berdiskusi mengenai rencana
pengaturan keuangan, yang terpenting yaitu diharapkan individu
juga telah memperoleh kesepakatan dengan pasangan terkait
rencana pengaturan keuangan yang telah dibicarakan.
3. Faktor kesiapan pengasuhan anak
Area anak dan pengasuhan meliputi di dalamnya
perencanaan untuk memiliki anak serta perencanaan mengenai cara
pengasuhan atau didikan yang akan diberikan kepada anak
nantinya. Individu telah dapat dikatakan siap di dalam area ini
apabila individu telah membicarakan dan memperoleh kesepakatan
dengan pasangan terkait waktu yang tepat untuk memiliki anak dan
jumlah anak yang diharapkan, serta rencana pengasuhan dan
didikan yang akan diberikan kepada anak.
Selain itu, individu juga diharapkan telah mengetahui dan
membicarakan dengan pasangan mengenai kemungkinan pengaruh
dari kehadiran anak nantinya terhadap hubungan mereka.

4. Faktor pembagian peran antar pasangan


Area pembagian peran suami isteri berkaitan dengan persepsi dan
sikap individu di dalam memandang peran-peran dalam rumah
tangga (domestik) dan publik, serta kesepakatan dengan pasangan
dalam pembagiannya.
Kesiapan individu di dalam area ini dapat diketahui dari telah
dilakukannya pembicaraan dan telah diperolehnya kesepakatan
dengan pasangan terkait kedudukan suami/ isteri nantinya setelah
menikah, peran yang diharapkan dari masing-masing setelah
menikah, pembagian tugas, serta pengaturan waktu sehubungan
dengan pembagian tugas tersebut.

5. Faktor latar belakang dan relasi serta lingkungan pasangan


Area latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga
besar meliputi hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai dan
sistem keluarga besar (asal) yang membentuk karakter individu,
serta relasi antar anggota keluarga. Individu dapat dikatakan siap
di dalam area ini apabila ia telah mengetahui latar belakang
pasangannya serta telah mampu menerima dan menghargai nilai-
nilai keluarga besar pasangannya. Individu juga telah dapat
diterima oleh keluarga pasangannya, yang ditunjukkan oleh
sambutan hangat atau dukungan dari keluarga pasangan.

6. Faktor agama dan kepercayaan pasangan


Area agama berhubungan dengan nilai-nilai religius yang menjadi
dasar pernikahan. Kesiapan di dalam area ini meliputi adanya
kesamaan prinsip agama antara individu dengan pasangan, serta
digunakannya agama sebagai landasan di hubungan, yang
ditunjukkan melalui digunakannya pendekatan agama di dalam
menyelesaikan masalah dengan pasangan dan di dalam
merencanakan pendidikan untuk anak.

7. Faktor minat antar pasangan


Area minat dan pemanfaatan waktu luang meliputi sikap terhadap
minat pasangan dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu
luang bagi diri sendiri dan pasangan. Dalam area ini, individu dapat
dikatakan siap apabila ia telah dapat mendukung hobi
pasangannya, memiliki waktunya sendiri untuk melakukan
hobinya, serta telah memiliki kesepakatan dengan pasangan terkait
waktu yang akan digunakan untuk melakukan aktivitas bersama.

8. Faktor perubahan pada pasangan dan pola hidup

Area perubahan pada pasangan dan pola hidup meliputi persepsi


dan sikap terhadap individu terhadap perubahan pasangan dan pola
hidup, yang mungkin terjadi setelah menikah. Individu dikatakan
siap apabila ia telah dapat memprediksi dan telah membicarakan
dengan pasangan mengenai kemungkinan perubahan yang akan
terjadi nantinya pada diri pasangan dan pola hidup, setelah
menikah.
Individu menyadari bahwa nantinya akan terjadi perubahan pada
diri pasangan dan pola hidup, dan ia menerima kemungkinan
terjadinya perubahan itu nantinya.

C. Pre Marital Psychological Screening


Ketika bicara tentang persiapan menikah, sering yang dibicarakan orang
hanyalah tentang persiapan akad atau resepsi pernikahan. Pasangan sering lupa
bahwa sebetulnya ada berbagai persiapan lain yang jauh lebih dibutuhkan, agar
kehidupan setelah pesta dapat berjalan dengan indah. Padahal pernikahan adalah
rumah dari kehamilan, pertumbuhan anak, juga pertumbuhan orang-orang dalam
keluarga tersebut. Dalam premarital health screening (Pemeriksaan Kesehatan
Pranikah), ada 3 hal penting yaitu:

1. Kondisi kesehatan secara umum


2. Penyakit yang ditularkan melalui darah / cairan tubuh
3. Penyakit yang diturunkan / genetik.

Dari sisi psikologis, ada premarital screening yang dilakukan oleh psikolog
perkawinan, psikolog keluarga, atau psikolog klinis dewasa. Tujuannya serupa
dengan premarital health screening, namun yang dicari tahu lebih ke arah kondisi
kesehatan mentalnya, sehingga dapat disebut sebagai premarital mental health
screening atau premarital psychological screening. Sebagai tambahan, psikolog
juga perlu memeriksa kondisi kedua calon pengantin sebagai pasangan, untuk
memahami pola relasi antara keduanya. Pemeriksaan yang dilakukan adalah :

1. Kondisi psikologis masing-masing individu secara umum


2. Adakah gangguan psikologis yang mungkin akan mengganggu kelak
3. Adakah kondisi psikologis yang mungkin diturunkan atau ‘ditularkan’ baik
secara genetik ataupun lewat interaksi sosial
4. Kondisi relasi pasangan tersebut

Tujuannya adalah :
1. Meningkatkan kematangan pribadi, sehingga lebih siap menikah. Dengan
menuntaskan masalah pribadi, hidup kita jadi lebih ringan, kita juga lebih
mampu mengolah masalah yang datang kelak.
2. Melakukan tindakan pencegahan sebelum terjadi masalah lebih besar.
3. Bisa mengambil keputusan sesuai nilai bersama yang telah dibicarakan
sebelumnya.
4. Mampu menjalin interaksi yang jauh lebih sehat secara psikologis.

Cara pemeriksaan psikolog dengan menggunakan alat-alat tes psikologi, bisa


sama ataupun berbeda dengan ‘psikotes’ yang selama ini dikenal masyarakat.
Namun cara periksa yang paling utama adalah wawancara dan observasi.
Wawancara dan observasi ini digunakan untuk menggali penilaian individu antara
lain :

1. Kepercayaan diri. Bagaimana tingkat kepercayaan diri masing-masing


calon pengantin..
2. Kemandirian. Sudahkah masing-masing calon mampu memenuhi
kebutuhan pribadinya? Kemampuan komunikasi.
3. Efek masa lalu.
4. Kemampuan mendengarkan dan berkomunikasi.
5. Cara bertengkar.
6. Relasi dengan keluarga besar.

Selain itu, untuk mencari adanya gangguan psikologis yang mungkin mengganggu
kelak. Seperti :

1. Insomnia,
2. Anorexia nervosa,
3. Depresi,
4. Gangguan obsesif kompulsif/ obsessive compulsive disorder (OCD)
 Skizofrenia / schizophrenia,
 Korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Dari hasil pemeriksaan ini, psikolog akan memberikan pandangan tentang
masalah apa saja yang mungkin timbul. Diberikan pula saran apa saja yang dapat
dilakukan untuk mengantisipasi masalah tersebut. Jika calon pengantin
menghendaki, maka dapat dilakukan terapi ataupun pelatihan untuk dapat
mengatasi potensi masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Chaplin J.P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Corsini R. 2002. The Dictionary of Psychology. London: Brunner/Route Kedge
Duvall,E.M & Miller,C.M. 1985. Marriage & Family Development 6th ed. New
York : Harper & Row Publishers
Olson, D.H.,DeFrain,J.(2006). Marriages & Families. Boston : McGrawHill.

Puteri SO. 2010. Kesiapan Menikah pada Dewasa Madya yang Bekerja.
www.library.usu.ac.id.

Secombe,K., Warner, R.L. (2004). Marriages and Families . Canada :Wadsworth.

Sunarti, Euis, dkk. (2012). Kesiapan menikah dan pemenuhan tugas keluarga pada
keluarga dengan anak prasekolah, Jur.Ilm.Kel.& Kons., 5,2, 110-119.
Wisnuwardhani, S.F. (2012). Hubungan interpersonal. Jakarta: Salemba Humanika.

Sunarti E. 2001. Theorical and Methodological Issues on Family Resilience (Presented


at Senior Official Forum, Part of East Asian Ministrial Forum on Families). Bali.
Departement of Family and Cosumer Science. Faculty of Human Ecology. Bogor
Agricultural University

Blood M.B. 1978. Marriage (3rd ed.). New York: Free Press

Goleman D. 2007. Social Intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Chesterfield L. 1750. Letter. London: Macmillan&Co Ltd

You might also like