You are on page 1of 4

1.

Terapi awal infark miokard akut/AMI (STEMI dan NSTEMI) sama, yaitu
MONACO (mungkin ditambah antikoagulan). Namun strategi utama
penatalaksanaan definitifnya berbeda.
2. Semua pasien dengan angina tipikal harus masuk ke triage merah di IGD
agar assestment dan penanganan cepat.
3. Pada STEMI strategi utama adalah Reperfusi ASAP! (dengan PCI atau
Fibrinolitik).
4. Prinsip
5. Bila tersedia fasilitas PCI : pilih PCI (dengan door balloon time <90
menit).
6. Bila tidak tersedia fasilitas PCI atau bila waktu rujuk ke fasilitas RS yang
ada PCI >120 menit : pilih fibrinolitik (door  needle time dalam 30
menit). Terbaik fibrinolysis dilakukan dalam 3 jam setelah diagnosis
STEMI, setelahnya angka keberhasilannya menurun drastis.

7. Pada NSTEMI strategi utama adalah risk stratification dulu (masuk resiko
rendah, tinggi, atau sangat tinggi) untuk menentukan tatalaksana
definitive selanjutnya.

8. Risk stratification untuk NSTEMI :

 GRACE score >140 : angka mortalitas dan rehospitalisasi tinggi dalam 6


bulan

 TIMI > 7 : angka mortalitas/rehospitalisasi tinggi dalam 14 hari

 Risk criteria untuk STEMI : dibagi menjadi resiko rendah, sedang, tinggi,
dan sangat tinggi. Prinsip : pasien NSTEMI dikatakan memiliki resiko
sangat tinggi bila mengalami gejala/symptoms (slide no 14).

 CRUSADE score >40 menandakan resiko perdarahan meningkat

9. Yang menentukan tatalaksana definitive ini adalah dengan risk criteria


yang terdapat di slide 14

10. Strategi reperfusi pada NSTEMI berdasarkan stratifikasi resiko

 Resiko sangat tinggi : immediate invasive (dalam 2 jam)

 Resiko tinggi : Early invasive (dalam 24 jam)

 Resiko sedang : Invasive (dalam 72 jam)

 Resiko rendah : non-invasive

11. Pada ACS, selain diberikan terapi awal berupa MONACO, dapat
dipertimbangkan pemberian antikoagulan (terutama bila pasien akan
menjalani PCI). Bila pasien mendapat fibrinolitik, sebaiknya antikoagulan
dihindari karena meningkatkan resiko perdarahan.
12. Antikoagulan yang dipilih untuk pasien CKD stage 1-5 (eGFR <15) adalah
UFH karena durasi kerja yang singkat dan tidak diperlukan penyesuaian
dosis. Enoxaparin, Fondaparinux dan Bivalirudin masih dapat digunakan
pada CKD stage 1-4 (kecuali Fondaparinux pada eGFR <20)

13. Pada pemberian Heparin, APTT diperiksa ulang tiap 12-24 jam.

14. Terapi awal ACS :

15. Morfin IV

16. O2 4 lpm bila sat O2 <95%

17. ISDN sublingual 3 x 5 mg

18. Loading Aspirin loading 160-325 (2-4 tablet kunyah-kunyah, rasanya


manis)  maintenance 1 x 80 mg selama 1 tahun

19. Loading Clopidogrel 300-600 mg (600 mg bila resiko tinggi) : (4 x 75 mg)


 1 x 75mg selama 1 tahun

20. Loading Ticagrelor 180 mg (2 x 90 mg)  1 x 90 mg selama 1 tahun

21. Pemilihan DAPT :

22. Pasien rencana PCI : pilihan Ticagrelor

23. Pasien rencana fibrinolitik : pilih Clopidogrel karena resiko perdarahan


rendah. Bila pasien fail fibrinolitik (data epidemiologi memang
menunjukkan angka keberhasilan fibrinolitik hanya 50%)  dilakukan
rescue PCI. Pada kasus rescue PCI, Clopidogrel dapat switch ke Ticagrelor.

TATALAKSANA STEMI

Target utama tatalaksana STEMI adalah revaskularisasi/reperfusi DINI!

Siapa saja yang menjadi kandidat utama revaskularisasi?


 Semua pasien dengan iskemia 12 jam atau kurang dengan ST elevasi
persisten atau LBBB baru
 Semua pasien STEMI yang onsetnya >12 jam dengan salah satu dari
berikut : gejala iskemia yang masih berlanjut, instabilitas hemodinamik,
dan aritmia maligna

2 modalitas revaskularisasi : fibrinolitik dan PCI


Memang idealnya bila tersedia pilihan pertama strategi reperfusi adalah PCI,
namun kenyataannya di Indonesia, fasilitas cathlab masih sangat sedikit dan
banyak kendala dalam transfer pasien yang dapat menyebabkan delayed onset
 oleh karena itu trend terapi di Indoensia adalah trombolitik.

Persiapan Fibrinolitik
 Ceklis fibrinolitik
 Informed consent resiko perdarahan intra-perawatan RS : 10% dan
perdarahan intrakranial 0.8%
 Persiapan pasien  2 IV line large bore (jarum besar) karena pengalaman
awal-awal pemberian Streptokinase, tensi cenderung turun.
PS : Bagaimana membedakan penurunan tensi pada pemberian Streptokinase
antara syok anafilaktik atau penurunan tensi transient saja? Pada syok
anafilaktik, pasti tensinya benar-benar drop dan sustained, tidak respon dengan
cairan saja.

Ada 2 jenis obat fibrinolitik  fibrin specific dan non-fibrin specific


(contoh Streptokinase)
Fibrinolitik yang paling gampang diberikan adalah Tenecteplase karena dapat
diberikan secara dosis tunggal bolus, sedangkan Sreptokinase harus diberikan
secara kontinu sehingga monitoring harus lebih ketat (tiap jam).

Dulu kriteria keberhasilan fibrinolitik ada 3 yaitu


 Resolusi nyeri dada
 Resolusi segmen ST
 Aritmia reperfusi (accelerated ventricular rhythm : gelombang seperti VT
namun cepat resolusi, biasa dalam 10 detik).
Namun sekarang kriteria aritmia reperfusi tidak dipakai sebagai kriteria
keberhasilan fibrinolitik lagi.

Setelah dilakukan fibrinolitik wajib dilakukan coroangiography dalam 3 -


24 jam untuk menilai ada tidaknya restenosis.

Setelah dilakukan fibrinolitik harus dilanjutkan Heparinisasi selama 3-5


hari.
NB : Sebelum dilakukan fibrinolitik, sebaiknya pasien tidak mendapat
antikoagulan terlebih dahulu (ceklis fibrinolitik). Namun, bagaimana bila
sebelumnya pasien sudah mendapat terapi antikoagulan (contoh dalam kasus
VTE prophylaxis), lalu mengalami STEMI di faskes yang tidak memiliki PCI,
sehingga harus dilakukan trombolitik? Strateginya adalah stop antikoagulan
dulu, dapat tetap diberikan fibrinolitik pilihan pada kasus ini adalah
Streptokinase karena onset kerja yang lambat (bermanfaat utk efek wear off dari
antikoagulan sebelumnya). Lakukan juga informed consent pada pasien dan
keluarga pasien bahwa resiko perdarahan akan lebih tinggi.

Timeline pemilihan strategi reperfusi :

 0-3 jam = angka keberhasilan PCI dan fibrinolitik sama. namun bila faskes
memiliki PCI, utamakan PCI
 3-12 jam = PCI > superior dibandingkan fibrinolitik.
 12-48 jam = masih dapat dilakukan PCI
 >48 jam = PCI tidak ada manfaat lagi.

You might also like