You are on page 1of 11

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Secara etimologi, al-Jarh adalah bentuk isim masdar, bentuk fiil madhi dan
mudhari’nya yaitu jaraha-yajrahu yang berarti melukai. Apabila terjadi pada tubuh, berarti
melukai yang menyebabkan mengalirnya darah. Sedangkan jika digunakan hakim pengadilan
yang ditujukan kepada saksi, berarti menolak atau menggugurkan kesaksiannya. Sedangkan
menurut terminology ilmu hadits, al-Jarh ialah upaya mengungkap sifat-sifat tercela dari
perawi hadits yang menyebabkan lemah atau tertolaknya riwayat yang
disampaikan. Lafadz al-jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat
mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti
menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelamahan atau tetolak
apa yang diriwayatkannya. Adapun rawi dikatakan adil yaitu orang yang dapat
mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberi sifat-
sifat terpuji kepada rawi sehingga yang diriwayatkannya dapat diterima dan disebut men-
ta’dil-kannya.

Adapun kata ta’dil, secara etimologi, adalah bentuk masdar, bentuk fiil madhi dan
mudhari’nya yaitu ‘addala-yu’addilu yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang
dimiliki seseorang. Sedangkan menurut terminology ilmu hadits, ta’dil ialah upaya
mengungkap sifat-sifat bersih seorang periwayat hadits sehingga nampak keadilannya yang
menyebabkan diterimanya sebuah riwayat yang disampaikannya.[1]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ilmu al-jarh wa at-ta’dil ialah ilmu yang
membahas tentang keadaan periwayat-periwayat hadits, baik mengenai catatannya ataupun
kebersihannya dengan menggunakan lafal-lafal tertentu sehingga diterima atau ditolak
riwayatnya.

B. Perkembangan Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil


Jika kita lihat penjelasan tentang “urgensi” sanad dalam Islam, dapat disimpulkan
bahwa al-jarh wa al-ta’dil sudah ada sejak awal kemunculan Islam. Ilmu al-jarh wa al-
ta’dil muncul bersamaan dengan munculnya periwayatan di dalam Islam. Karena mengetahui
riwayat-riwayat harus lewat perawinya. Pengetahuan itu dapat memungkinkan seorang ulama
untuk menghukumi, apakah mereka itu jujur atau berdusta. Sehingga, mereka mampu untuk
membedakan riwayat yang dapat diterima (maqbul) dari yang tertolak (mardud). Oleh karena
itu, mereka mempertanyakan tentang perawi, melihat dengan cermat seluruh sisi hidup
mereka dan membahasnya secara kritis sampai mereka tahu siapa yang paling baik
hafalannya dan yang paling mujalasah (pergaulan dalam menunut hadits)nya dari yang paling
jelek.
Perlu dijelaskan bahwa jarh wa ta’dil bukanlah termasuk ghibah yang dilarang,
bahkan para ulama mengategorikannya sebagai nasehat dalam agama. Lebih dari itu dasar al-
jarh wa al-ta’dil sendiri sudah digariskan oleh Allah dalam al-Qur’an maupun sunnah Nabi,
diantaranya dalam surat al-Hujurat ayat 49 dijelaskan bahwa Allah memerintahkan agar kita
tidak mengambil riwayat-riwayat yang datang dari orang fasiq dan tidak tsiqot. Allah juga
mencerca orang-orang munafiq dan kafir dalam berbagai ayat, sebagaimana juga Allah
“bersikap adil” (melakukan ta’dil) terhadap para shahabat dan memuji mereka di dalam kitab-
Nya, seperti dalam QS. Ali Imran ayat 110.
Hadits menjelaskan bolehnya melakukan jarh wa ta’dil yaitu seperti sabda Rasulullah
SAW kepada orang laki-laki; “(dan) itu seburuk-buruk saudara ditengah-tengah
keluarganya” (HR. Bukhori) .

Oleh karena itu, para ulama membolehkan jarh wa ta’dil untuk menjaga
syariat/agama ini, bukan untuk mencela menusia. Dan sebagaimana dibolehkan jarh dalam
persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari
kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-jarh dan at-ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat,
tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan
Rasulullah SAW: “aka nada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang
menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak
kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah
mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim)
Dari sini, kemudian berkembanglah konsep al-jarh wa al-ta’dil, khususnya dalam
periwayatan hadits Nabi SAW. Lalu, para shahabat, seperti Abu Bakar, Umar, Zaid ibn
Tsabit, dan yang lainnya bersikap hati-hati dalam menerima riwayat dari para perawi, seperti
yang pernah disinggung pada bagian sebelumnya.
Seperti pendapat Dr. ‘Ajjal Al-Khathib mentakrifkanya sebagai berikut:

َ ‫ُىثو ِل ِر َوا َي ِت ِه ْم أَ ْو َردّها‬ ُ ‫الر َوا ِة ِم ْن َحي‬


ْ ‫ْث قَب‬ ُ ‫ه َُو اْل ِع ْل ُم اَّلَذِي َي ْب َح‬
ُّ ‫ث فِى اَحْ َوا ِل‬

“ Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau di tolak
periwayatamya.”

C. Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Men-Ta’dilkan dan Men-Tajrihkan

Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama’ terhadap ulama
lainnya, melainkan harus jelas dulu sebab-sebab penilaian tersebut. Terkadang, orang yang
menganggap orang lain cacat, mala ia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, kita tidak boleh
menerima langsung suatu perkataan sebelum ada yang menyetujuinya. Ada beberapa syarat
bagi oranng yang men-ta’dil-kan (mu’addil) dan orang yang men-jarh-kan (jarih), yaitu:
1) Berilmu pengetahuan

2) Takwa

3) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan
makruhat-makruhat)
4) Jujur

5) Menjauhi fanatic golongan

6) Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.

D. Pertentangan Antara Al-Jarh dan At-Ta’dil


Terkadang, pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang
yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian men-tajrih-kan, sebagian lain men-ta’dil-kan.
Bila keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya.
Dalam masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut:
1) Al-jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adilnya lebih banyak
daripada jarh-nya. Sebab jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh
mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut
lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniah yang tidak diketahui oleh si
mu’adil. Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama’.

2) Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena
banyaknya yang men-ta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan.
Menurut Ajjaj al Khathib, pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang men-ta’dil, meskipun
lebih banyak jumlahnya tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang
mentajrih.

3) Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan
adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara,
sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.

4) Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan.

Melihat perbedaan tersebut, dapat diketahui bahwa konsep mendahulukan jarh


daripada ta’dil bukan merupakan konsep yang mutlak, tetapi merupakan konsep dari
mayoritas ulama’.

E. Lafadz-Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu


bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz itu
disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5
tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu sebagai berikut:

 tingkatan dan lafadz-lafadz untuk men-ta’dilkan rawi-rawi, yaitu:


1) Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan,
dengan menggunakan lafadz-lafadz af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung
pengertian sejenis:

‫اوثق الناس‬ = orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalannya.

‫اثبت الناس حفظا وعدالة‬ = orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.

‫الىه المنتهى في الثبت‬ = orang yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya.

‫ثقة فوق ثقة‬ = orang yang tsiqat melebihi orang tsiqat.

2) Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang
menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafadz
(dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:

‫ثبت ثبت‬ = orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.

‫ثقة ثقة‬ = orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu yang sangat dipercaya.

‫حجة حجة‬ = orang yang ahli (lagi) petah lidahnya.

‫ثبت ثقة‬ = orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat
hafalannya.

‫حافظ حجة‬ = orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya.

‫ضابط متقن‬ = orang yang kuat ingatannya (lagi) meyakinkan ilmunya.

3) Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti
‘kuat ingatan’, misalnya:

‫ثبت‬ = orang yang teguh (hati-hati lildahnya).

‫ = متقن‬orang yang meyakinkan ilmunya.

‫ثقة‬ = orang yang tsiqah.

‫ = حافظ‬orang yang hafidz (kuat hafalannya).

‫حجة‬ = orang yang petah lidahnya.

4) Tingkatan keempat,menunujkkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafadz yang


tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil’ (tsiqah), misalnya:

‫صدوق‬ = orang yang sangat jujur


‫ماء مون‬ = orang yang dapat memegang amanat

‫ال باء س به‬ = orang yang tidak cacat

5) Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui ke-dhabit-an,


misalnya:

‫محلة الصدق‬ = orang yang berstatus jujur

‫جيد الحديث‬ = orang yang baik haditsnya

‫حس الحديث‬ = orang yang bagus haditsnya

‫ = مقارب الحديث‬orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits lain yang tsiqah

6) Tingkatan keenam, menunujukka arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut di


atas yang diikuti dengan lafadz “Insya Alla”, atau lafadz tersebut di-tashir-kan (pengecilan
arti), atau lafadz itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya:

‫صدوق ان شاءهللا‬ = orang yang jujur, insya Allah

‫فالن ارجو بان ال باء س به‬ = orang yang diharapkan tsiqah

‫فالن صويلج‬ = orang yang sedikit keshalihannya

‫فالن مقبول حديثة‬ = oranng yang diteruma hadits-haditsnya

Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-
ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun
hadits-hadits para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat
ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits periwayat lain.

 Kemudian, tingkatan dan lafadz-lafadz untuk men-tajrih rawi-rawi, yaitu;

1) Tingkatan pertama, menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan


menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alu al ta’dil atau ungkapan lain yang
mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:

‫اوضع الناس‬ = orang yang paling dusta

‫اكذب الناس‬ = orang yang paling bohong

‫اليه المنتهى في الوضع‬ = orang yang paling menonjol kebohongannya

2) Tingkatan kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafadz-lafadz


berbentuk sighat muballaghoh, misalnya:
‫كذاب‬ = orang yang pembohong

‫وضاع‬ = orang yang pendusta

‫دجال‬ = orang yang penipu

3) Tingkatan ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, misalnya:

‫فالن متهم بالكذب‬ = orang yang dituduh bohong

‫او متهم بالوضع‬ = orang yang dituduh dusta

‫فالن فيه النظر‬ = orang yang perlu diteliti

‫فالن ساقط‬ = orang yang gugur

‫فالن ذاهب الحديث‬ = orang yang haditsnya telah hilang

‫فالن متروك الحديث‬ = orang yang ditinggalkan haditsnya

4) Tingkatan keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:

‫مطروح الحديث‬ = orang yang dilempar haditsnya

‫فالن ضعيف‬ = orang yang lemah

‫فالن مردود الحديث‬ = orang yang ditolak haditsnya

5) Tingkatan kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai


hafalannya, misalnya:

‫فالن اليحتج به‬ = orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya

‫فالن مجهول‬ = orang yang tidak dikenal haditsnya

‫فالن منكر الحديث‬ = orang yang mungkar haditsnya

‫فالن مضطرب الحديث‬ =orang yang kacau haditsnya

‫فالن واه‬ = orang yang banyak duga-duga

6) Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya,


tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya:

‫ضعف حديثه‬ = orang yang di-dha’if-kan haditsnnya

‫فالن مقال فيه‬ = orang yang diperbincangkan


‫فالن فيه خلف‬ = orang yang disingkiri

‫فالن لين‬ = orang yang lunak

‫فالن ليس بالحجة‬ = orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya

‫فالن ليس بالقوي‬ =orang yang tidak kuat

Orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, haditsnya
tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan menurut
tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat diapakai sebagai i’tibar (tempat
pembanding).[2]

F. Manfaat Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil


Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seoranng
rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para
ahli sebagai seoranng rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang
rawi dipuji sebagai seorang adil, niscaya periwatannya diterima, selama syarat-syarat yang
lain untuk menerima hadits terpenuhi.
Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan
mencampuradukkan antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah dan hadits yang palsu
(maudhu’). Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi
mana hadits shahih, hasan, ataupun hadits dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari
matannya. Adapun keaiban seorang rawi pada umumnya yaitu:

1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, di luar ketentuan syari’at),


2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah),
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalatu’l-Hal (tidak di kenal identitasnya) .
5. Da’wa’l-inqhitha’ (di duga keras sanadnya tidak bersambung).
6. Metode untuk Mengetahui Keadilan dan Kecacatan Rawi serta Masalah-Masalahnya
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut ini:

Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang
yang adil (bisy-syuhroh).

Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang
adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum terkenal sebagai rawi
yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh:
1. Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang
men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan hadits.
2. Setiap orang yang dapat diterima periwatannya, baik laki-laki maupun perempuan,
baik yang merdeka ataupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat diketahui melalui dua cara, yaitu:

1. Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang
sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak
perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan
kecacatannya.
2. Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab
dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin,sedangkan menurut para
fuqoha, sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.

Ada beberapa masalah yang berhubungan dengan men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan


seorang rawi, diantaranya secara mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan ada
kalanya mufasar (disebutkan sebab-sebabnya). Tentang mubham ini diperselisihkan oleh para
ulama’ dalam beberapa pendapat, yaitu:

1. Menta’dilkan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu


banyak sekali , sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan menyibukkan saja
adapun mentajrihkan tidak diterima, katau tidak menyebutkan sebab-sebabnya, karena
jarh dapat berhasil dengan satu sebab saja . Dan karena orang-orang itu berlainan
dalam mengemukakan sebab jarh, sehingga tidak mustahil seseorang men-tajrih
menurut keyakinannnya , tetapi tidak dalam kenyataan nya . Jadi agar jelas apakah ia
tercacat atau tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya.[3]
2. Untuk ta’dil harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarh-kan tidak perlu .
Karena sebb-sebab menta’dilkan itu, bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan,
sedang men-tajrih-kan tidak bisa dibuat-buat.
3. Untuk kedua-duanya, harus disebut sebab-sebabnya.
4. Untuk kedua-duanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya, sebab
siJarh dan Me,addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Diantara
sebab munculnya kreteria Mumham dan musafar karena terjadi perbedaan
pemahaman tentang penilaian terhadap para rawi .

Masalah berikutnya adalah perselisian dalam menentukannya mengenai jumlah orang


yang dipandang cukup untuk dan menta’dilkan dan mentajrihkan rawi sebagaimana berikut:
1. Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayat. Demikian
pendapat kebanyaakan fuqoha Madinah.
2. Cukup seorang saja dalam soal riwayat bukan dalm soal syahadah. Sebab, bilangan
tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadis, maka tidak pula disyaratkan
dalam menta’dilkan dan men-tajrih-kan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
3. Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soalsyahadah.

Adapun kalau ke-adilan-nya itu diperolah atas dasar pujian orang banyak atau
dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu, tidak diperlukan lagi orang
yang menta,dilkan(muzakky=mua’dil). Seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal
, Al-Laits, Ibnu Mubarak, Sya’aibah, Ishak, dan lain-lain.

G. Buku Referensi Al-Jarh Wa at-Ta’dil


Para ulama ahli kritik hadits dalam usahanya untuk mengetahui kualitas pribadi
maupun kapasitas intelektual para perowi hadits, yang telah dirintis sejak zaman shahabat
sampai perkembangannya pda masa tabi’in telah dibukukan bersaman dengan upaya
pembukuan ilmu-ulmu keislaman yang lain, sehingga menghasilkan beberpa kitab yang
menjadi referensi bagi karya-karya yang muncul kemudian.
Kitab-kitab jarh wa ta’dil yang disusun para ulama beragam cakupan isinya, ada yang
sederhana dan ada yang memiliki cakupan luas. Kitab yang paling sederhana hanya terdiri
atas satu jilid dan hanya menerangkan beberapa ratus periwayat hadits. Sedangkan kitab yang
cakupannya luas terdiri atas beberapa jilid dan memuat ribuan periwayat hadits. Demikian
pula mengenai metode penyusunannya; ada yang menerangkan keadaan periwayat secara
umum, baik yang tsiqah maupun yang dhaif, ada yang hanya menerangkan keadaan
periwayat yang tsiqah saja, dan ada pula yang hanya menerangkan keadaan periwayat yang
dhaif dan dusta dengan menyebutkan pula hadits-hadits yang maudhu’.

a. Kitab jarh wa ta’dil secara umum.

Kitab-kitab yang termasuk kategori ini adalah kitab-kitab yang menerangkan keadaan hadits
secara umum, baik yang tsiqah maupun yang dhaif, di antaranya yaitu :
1) At-Tarikh al-Kabir.
Kitab ini adalah karya Imam al-Bukhari (194-256 H) yang disusun dalam format kitab yang
besar, memuat 12.305 periwayat hadits. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam
dengan memperhatikan huruf yang pertama dari nama periwayat hadits dan nama bapaknya.
Imam al-Bukhari memulai pembahasannya dengan menyebutkan nama-nama Muhammad
karena mulianya nama Nabi Muhammad. Seperti halnya dia mendahulukan nama-nama
shahabat dalam setiap nama periwayat tanpa memperhatikan uruyan nama bapaknya.
Selain itu, Imam al-Bukhari juga mnyebutkan istilah-istilah jarh dan ta’dil. Untuk istilah jarh
beliau memakai istilah yang halus, seperti : fihi nazhrun atau sakatu ‘anhu digunakan untuk
menilai perowi yang ditangguhkan haditsnya. Sedangkan istilah yang lebih keras adalah
munkir al-hadist digunakan untuk periwayat yang tidak boleh diriwayatkan haditsnya. Jika
beliau berpaling dari seseorang dan tidak menilai tsiqah atau dhaifnya, berarti beliau menilai
orang tersebut tsiqah.

2) Kitab al-Jarh wa Ta’dil.


Kitab ini adalah karya Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi (240-377 H) yang isinya
memuat 18.050 periwayat hadits, terdiri atas 8 jilid beserta mukadimahnya. Dalam kitab ini
biografi periwayat hadits ditulis singkat, hanya mencapai 1 sampai 15 baris dan disusun
berdasarkan huruf hijaiyah dengan memperhatikan huruf pertama nama periwayat hadits dan
nama bapaknya. Dimulai dari nama-nama para shahabat, serta disebutkan pula nama kunyah
dan nisbahnya, Negara asal, tempat tinggal, akidah dan terkadang disebutkan tahun
wafatnya.

b. Kitab jarh wa ta’dil tentang periwayat-periwayat yang tsiqah.

Kitab-kitab dalam kategori ini hanya membicarakan biografi periwayat hadits yang tsiqah
saja, di antara kitab yang terkenal adalah :
1) Kitab ats-Tsiqah.
Kitab ini adalah karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Busti (w. 354 H) yang disusun
berdasarkan thabaqat (tingkatan) sesuai dengan huruf hijaiyah. Dalam thabaqah itu disajikan
3 juz, juz pertama untuk Thabaqat atba’ at-tabi’in. menurut al-Qattani, dalam kitab Ibnu
Hibban banyak menyebutkan periwayat majhul yang hanya dikenal keadaannya. Dan
penilaian tsiqahnya yang hanya tersebut dalam kitab ini menempati urutan yang paling
rendah. Sebab, menurutnya, adil adalah orang yang tidak diketahui catatannya, karena catatan
adalah kebalikan dari adil.

2) Tarikh Asma ats-Tsiqat min Man Nuqila anhum al-Ilm.


Kitab ini disusun oleh Umar bin Ahmad bin Syahin (w. 385 H) yang disusun berdasarkan
urutan huruf mu’jam dengan hanya menyebutkan nama periwayat dan nama bapaknya serta
pendapat ahli jarh wa ta’dil mengenai periwayat itu. Terkadang juga disebutkan guru dan
muridnya
.
3) Ats-Tsiqah wa al-Mutsabbitun, karya Ali ibn Abdillah al-Madini (w. 234 H).

4) Ats-Tsiqah, karya Ahmad ibn Abdillah ibn Shalih al-‘Ijli (w. 261 H). Buku ini memuat
2.116 biografi periwayat hadits
.
5) Ats-Tsiqah, karya Abu al-‘Arab al-Qayruwani Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad at-
Tamimi (w. 333 H).[4]

c. Kitab jarh wa ta’dil tentang periwayat-periwayat yang dhaif.

Kitab-kitab dalam kategori ini hanya membicarakan biografi periwayat hadits yang dhaif
saja, di antara kitab-kitab itu adalah :
1) ad-Du’afa al-Kabir dan ad-Du’afa as-Shagir.
Kedua kitab ini adalah karangan Imam al-Bukhari yang disusun berdasarkan urutan huruf
mu’jam dengan hanya memperhatikan huruf pertma pada setiap nama periwayat.
2) Ad-Du’afa wa al-Matrukin.
Kitab ini merupakan karya Imam an-Nasa’i (215-303 H) yang disusun berdasarkan urutan
huruf mu’jam, dengan hanya memperhatikan huruf pertma pada setiap nama periwayat.

3) Ma’rifat al-Majruhin min al-Muhadditsin.


Kitab ini merupakan karya Ibnu Hibban yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam,
diawali dengan mukadimah kitab yang berisi tentang pentingnya mengetahui periwayat dhaif,
kebolehan menilai catatannya dan yang berhubungan dengan hal tersebut.

4) Al-Kamil li Du’afa ar-Rijal.


Kitab ini adalah karya Imam Abu Ahmad Abdullah bin Adi al-Jurjani (w. 356 H). kitab ini
luas cakupannya, tetpi memuat boigrafi periwayat yang masih dibicarakan kualitasnya, meski
menurut pendapat yang ditolak. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam.

5) Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal.


Kitab ini adalah karya Abu Abdullah Ahmad bun Utsman az-Zahabi (w. 748 H). kitab ini
menghimpun 11.053 biografi periwayat yang disusun berdasarkan huruf mu’jam dengan
memperhatikan nama periwayat dan bapaknya, serta disebutkan nama kunyah (panggilan),
nisbah atau laqabnya.

6) Lisan al-Mizan.
Kitab ini adalah karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang disusun berdasarkan huruf mu’jam yang
dimulai dari nama asli, nam kunyah, kemudian periwayat yang mubham (samar). Kitab ini
terbagi menjadi tiga pasal, pasal pertama tentang periwayat yang menggunakan nasab, kedua
tentang periwayat yang terkenal dengan nama kabilah atau pekerjaannya, dan ketiga tentang
priwayat yang disandarkan kepada nama lain.

You might also like