You are on page 1of 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis Anak

2.1.1 Defenisi

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa, memiliki peran dan srategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut,
maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial dan berahlak mulia,
perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesehjatraan anak
dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakuan tanpa diskriminasi, berdasarkan kelompok umur anak, anak
dikelompokan menjadi tiga antara lain sebagai berikut :

a. Anak Usia Toddler


Anak usia toddler adalah usia 12-36 bulan (1-3 tahun). Pada periode ini anak
berusaha mencari tahu bagaimana mengontrol orang lain melalui kemarahan,
penolakan, dan tindakan keras kepala (Dewi Cintya Rizky, dkk, 2017). Anak usia
1-3 tahun (toddler) mulai untuk menguasai individualisme, seperti membedakan
diri sendiri dengan orang lain, pemisahan dari orang tua,mengontrol pada fungsi
tubuh, berkomunikasi dengan kata-kata, kemahiran perilaku yang dapat diterima
secara sosial dan interaksi egosentris dengan orang lain (Dewi Cintya Rizky,dkk,
2017).
b. Anak Usia Prasekolah
Menurut Ratna (2012) anak prasekolah merupakan periode kanak-kanak awal
antara usia 3-5 tahun. Pada usia ini anak mampu melakukan berbagai gerakan
seperti berlari, melempar, menari, berhitung. Ketika anak jatuh sakit, terkadang

6
orangtua tidak dapat memberikan perawatan maksimal di rumah. Keadaan yang
seperti itu memaksa anak harus mendapatkan perawatan yang intensif di rumah
sakit. Saat dirawat di rumah sakit anak mengalami keadaan hospitalisasi.
c. Anak Usia Sekolah
Anak usia sekolah adalah anak yang berada pada usia-usia sekolah. Masa
usia sekolah sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6-12
tahun. Karakteristik utama anak usia sekolah adalah mereka menampilkan
perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang, diantaranya
perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa,
perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik (Dewi Cintya Rizky, dkk,
2017).

2.1.2 Ciri-Ciri Umum Anak


a. Ciri-ciri umum anak usia toddler (Dewi Cintya Rizky, dkk, 2017) :
1) Tinggi dan berat badan meningkat, yang menggambarkan
pertumbuhan mendorong dan melambatkan karakteristik masa toddler
2) Karakteristik toddler dengan menonjolnya abdomen yang diakibatkan
karena otot-otot abdomen yang tidak berkembang.
3) Bagian kaki berlawanan secara khas terdapat pada masa toddler
karena otot-otot kaki harus menopang berat badan tubuh.
b. Ciri-ciri umum anak usia prasekolah (Dewi Cintya Rizky, dkk, 2017) :
1) Ciri fisik anak usia prasekolah
Anak prasekolah umumnya sangat aktif, mereka telah memiliki
penguasaan terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan yang
dilakukan sendiri. Anak masih sering mengalami kesulitan-kesulitan
apabila harus mengfokuskan pandangannya pada objek-objek yang
kecil ukuranya.
2) Ciri sosial anak usia prasekolah
Anak usia prasekolah biasanya mudah bersosialisasi dengan orang lain
disekitarnya. Kelompok bermainya cenderung kecil dan tidak terlalu
terorganisasi secara baik, oleh karena itu kelompok tersebut cepat

7
berganti-ganti. Anak menjadi sangat mandiri, agresif secara fisik dan
verbal, bermain secara asosiatif, dan mulai mengeksplorasi
seksualitas.
3) Ciri emosianal anak usia parasekolah
Anak cenderung mengeksploresikan emosinya dengan bebas dan
terbuka. Sikap sering marah dan iri hati sering diperlihatkan.
4) Ciri kongnitif anak usia prasekolah
Anak usia prasekolah umumnya telah terampil dan berbahasa.
Sebagian dari mereka senang berbicara, khususnya dalam
kelompoknya, sebagian dari mereka perlu dilatih untuk menjadi
pendengar yang baik.

c. Ciri umum anak sekolah


Secara umum ciri-ciri pertumbuhan anak usia 6 tahun adalah tingginya
sikap egosentris. Sikap-sikap yang biasa terlihat (Dewi Cintya Rizky, dkk,
2017) antara lain :
1) Ingin menjadi yang terbaik dan yang pertama.
2) Kelebihan energi dan seperti tidak ada habisnya.
3) Suka memberontak dan menjadi sangat kritis.
4) Cengeng, perilakunya sangat agresif dan sulit untuk dimengerti.
5) Kadang-kadang menjadi sangat patuh kepada guru.
6) Belum bersikap fleksibel dan menjadi penyakal.
Pada tahap kedua anak menginjak usia 7-8 tahun umunya mereka
mempunyai sifat antara lain :
1) Mulai bisa fokus pada perhatian tertentu.
2) Semakin peduli dan kritis pada dirinya sendiri tetapi kurang percaya
diri.
3) Semakin banyak menghabiskan waktu bersama gurunya.
4) Suka bersosialisasi dan tidak suka bermain
5) Memiliki sifat serba ingin tahu.
6) Semakin memahami tanggung jawab atas apa yang dilakukan.

8
7) Lebih senang memuji, bersikap kritis pada bebagai hal.
8) Mulai bekerja dengan orang lain.
Pada tahap ketiga anak menginjak usia 9-11 tahun. Pada usia ini umumnya
anak mengalami kekalutan dalam diriya. Mereka sering melakukan hal-hal
antara lain sebagai berikut :
1) Mulai mencari kemandirian.
2) Mulai bisa ber empati.
3) Mengiginkan aktivitas yang tinggi dan kurang percaya diri.

2.2 Tinjauan Teoritis Hospitalisasi

2.2.1 Defenisi
Hospitalisasi adalah pengalaman penuh cemas/stres baik bagi anak maupun
keluarganya. Kecemasan utama yang dialami dapat berupa perpisahan dengan
keluarga kehilangan kontrol,serta lingkungan yang asing. Kehilangan
kemandirian dan kebebasan. Reaksi anak dapat di pengaruhi oleh perkembangan
usia anak, pengalaman terhaap sakit, diagnosa penyakit, sistem dukungan dan
koping ( Nursalam, 2013 ).
Hospitalisasi, baik itu hospitalisasi jangka pendek, pembedahan, atau pun
hospitalisasi jangka panjang dari suatu penyakit yang kronik sering kali menjadi
krisis pertama yang harus dihadapi anak, terutama pada selama tahun-tahun awal.
Hal ini sering menimbulkan stres karena anak akan mengalami ketakutan terhadap
orang asing yang tidak dikenalnya dan pekerjaan rumah sakit, perpisahan terhadap
orang terdekat, kehilangan kendali, ketakutan terhadap tubuh yang disakiti dan
nyeri (poterr, 2013).
Hospitaiasi adalah masuknya individu kerumah sakit sebagai pasien dengan
berbagai alasan seperti pemeriksaan diangnostik, prosedur operasi, perawatan
medis dan mengstabilkan atau pemantauan kondisi tubuh. Hospitalisasi ini
merupakan suatu keadaan krisis pada anak saat sakit dan dirawat di rumah sakit
(Suparto Hery, et, al, 2017).

9
2.2.2 Macam-macam Hospitalisasi
Macam-macam hospitalisasi menurut Lyndon (2011), dikutip oleh Supartini
(2015), sebagai berikut :
a. Hospitalisasi Informal
Perawatan dan pemulangan dapat diminta secara lisan, dan pasien dapat
meninggalkan tempat pada tiap waktu, bahkan jika menetang dengan nasehat
medis. sebagian besar pasien medis dan bedah dirawat secara informal.
b. Hospitalisasi Volunter
Hospitalisasi volunter memerlukan permintaan tertulis untuk perawatan dan
untuk pemulangan. Setelah pasien meminta pulang, dokter dapat mengubah
hospitalisasi volunter menjadi hospitalisasi involunter.
c. Hospitalisasi involunter
Hospitalisasi Involunter adalah sangat membatasi otonomi dan hak pasien.
Keadaan ini tidak memerlukan persetujuan pasien dan sering kali digunakan
untuk pasien yang berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain. Hospitalisasi
invonluter merupakan pegesahan (sertifikasi) oleh sekurang-kurangnya dua
dokter, pengesahan dapat berlaku sampai 60 hari dan dapat diperbaharui.
Keadaan ini mungkin diminta oleh pengadilan sebagai jawaban atas
permohonan dari rumah sakit atau keluarga.
d. Hospitalisasi Gawat Darurat
Hospitalisasi gawat darurat (sementara atau persetujuan satu orang dokter)
adalah bentuk yang mirip dengan komitmen involunter yang memerlukan
pengesahan atau sertivikasi hanya oleh satu orang dokter, pengesahan berlaku
selama 15 hari. Pasien harus diperiksa oleh dokter kedua dalam 48 jam untuk
menegakkan perlunya perawatan gawat darurat selama 15 hari, pasien harus
dipulangkan, diubah menjadi status involunter, atau diubah menjadi status
volunter.

10
2.2.3 Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi

Anak dapat bereaksi terhadap stress hospitalisasi sebelum mereka masuk,


selama hospitalisasi dan setelah pemulangan. Konsep sakit yang dimiliki anak
bahkan lebih penting dibandingkan usia dan kematangan intelektual dalam
memperkirakan tingkat kecemasan pengaruh perpisahan, meminimalkan
kehilangan kontrol dan otonomi, mencegah atau meminimalkan cedera fisik,
mempertahankan aktivitas yang menujang perkembangan, bermain,
memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak, mendukung anggota keluarga dan
mempersiapkan anak untuk dirawat di rumah sakit (Gordon,dkk,2013).
Reaksi anak terhadap penyakit di pengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
pengalaman dirawat dan lama dirawat. Reaksi anak terhadap penyakit dapat
berupa rasa cemas dan takut akan sakit, kurang kontrol dalam emosi, marah tidak
akdaptif dan regresi. Reaksi hospitalisasi pada anak usia prasekolah menunjukkan
reaksi tidak adaptif dimana dapat berupa menolak untuk makan, sering bertanya,
menangis, dan tidak kooperatif terhadap petugas (Hockenbrry & Wilson, 2013).
Reaksi yang timbul akibat hospitalisasi meliputi :
1. Reaksi anak
Secara umum anak lebih rentang terhadap efek penyakit dan hospitalisasi
karena kondisi ini merupakan perubahan dari status kesehatan dan rutinitas umum
pada anak. Hospitalisasi menciptakan serangkaian peristiwa traumatik dan penuh
kecemasan dalam iklim ketidak pastian bagi anak dan keluarganya, baik itu
merupakan prosedur efektif yang telah di rencanakan sebelumnya ataupun
disituasi darurat yang terjadi akibat trauma. Selain efek fisiologis masalah
kesehatan terdapat juga efek psikologis penyakit dan hospitalisasi pada anak (
Kyle & Carman,2015 ), yaitu sebagai berikut :
a) Ansietas ketakutan
Bagi banyak anak memasuki rumah sakit adalah seperti memasuki
dunia asing, sehingga akibatnya terhadap ansietas dan kekuatan. Ansietas
berasal dari cepatnya awalan penyakit dan cidera, terutama anak memiliki
pengalaman terbatas terkait dengan penyakit dan cidera.

11
b) Ansietas perpisahan
Ansietas terhadap perpisahan merupakan kecemasan utama anak usia
tertentu.kondisi ini terjadi pada usia sekitar 8 bulan dan berakhir pada usia
3 tahun (American Academy of Pediatrics,2010).
c) Kehilanagan kontrol
Ketika hospitalisasi anak mengalami kehilangan kontrol secara
singnifikan.

2.2.4 Reaksi Keluarga Terhadap Anak Hospitalisasi


1). Reaksi orang tua
Reaksi orang tua terhadap anaknya yang sakit dan dirawat di rumah sakit
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor berikut:
a. Tingkat keseriusan penyakit anak.
b. Pengalaman sebelumnya terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit.
c. Prosedur pengobatan.
d. Sistem pedukung yang tersedia.
e. Kekuatan ego individu.
f. Kemampuan dalam penggunaan koping.
g. Dukungan dari keluarga.
h. Kebudayaan dan kepercayaan.
i. Komunikasi dalam keluarga.
1) Penolakan atau tidak kepercayaaan. Hal ini terjadi terutama bila anak tiba-
tiba sakitdan serius.
2) Marah dan merasa bersalah atau keduanya. Setelah mengetahui anaknya
sakit, maka reaksi orang tua adalah marah dan menyalahkan dirinya sendiri.
Mereka merasa tidak merawat anaknya dengan benar. Mereka mengigat-
ingat kembali tentang hal-hal yang mereka lakukan dan kemungkinan dapat
menyebabkan anaknya sakit. Jika anaknya dirawat di rumah sakit, orang tua
menyalahkan dirinya sendiri karena tidak dapat menolong mengurangi rasa
sakit yang dialami oleh anaknya.

12
3) Takut, cemas, dan frustasi. Ketakutan dan kecemasan dihubungkan dengan
tingkat keseriusan penyakit dan jenis prosedur medis. Frustasi dihubungkan
dengan kurangnya informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak
familiar dengan peraturan rumah sakit.
4) Depresi biasanya terjadi setelah masa krisis anak berlalu. Ibu sering
mengeluh mereka lelah, baik fisik maupun mental. Orang tua mulai merasa
khawatir terhadap anak-anak mereka yang lain yang dirawat oleh anggota
keluarga yang lain, teman, atau tetangga. Hal-hal lain yang membuat orang
tua cemas dan depresi adalah mengenai kesehatan anaknya di masa-masa
yang akan datang, misalnya, efek dari prosedur pengobatan dan biaya
pengobatan.
1) 5) Reaksi saudara (sibling)
Reaksi saudara terhadap anak yang sakit dan dirawat di rumah sakit adalah
kesepia, ketakutan, khawatir, marah, cemburu, benci, dan merasa bersalah.
Orang tua sering kali mencurahkan perhatian lebih besar terhadap anak yang
sakit dibandingkan dengan anak yang sehat. Hal ini akan menimbulkan
perasaan cemburu pada anak yang sehat merasa ditolak ( Nursalam, 2013).
2) 6) Penurunan Peran Anggota keluarga
Dampak dari perpisahan dalam peran keluarga adalah kehilangan peran
orang tua, saudara, anak cucu. Perhatian orang tua hanya tertuju pada anak
yang sakit. Saudaranya yang lain menganggap hal tersebut tidak adil.
Respons tersebut biasanya tidak disadari dan tidak disengaja. Orang tua
sering menyalahkan saudara sebagai perilaku antisosial. Sakit akan
membuat anak kehilangan kebersamaan mereka dengan anggota keluarga
yang lain atau teman sekelompok.
3) 7) Perubahan Peran Keluarga
Selain dampak perpisahan terhadap peran keluarga, kehilangan peran orang
tua dan sibling. Hal ini dapat mempengaruhi setiap anggota keluarga dengan
cara yang berbeda. Salah satu reaksi orang tua yang paling banyak adalah
perhatian khusus dan intensif terhadap anak yang sakit.

13
2.2.5 Dampak Hospitalisasi Terhadap Anak
Hospitalisasi atau sakit dan dirawat dirumah sakit bagi anak akan
menimbulkan stress dan tidak merasa bagi anak. Jumlah dan efek stress
tergantung pada persepsi anak terhadap penyakit dan pengobatan dan lingkungan
asing yang baru ditepati anak (Padila, 2013).
Ketika anak dirawat di rumah sakit, mereka akan mudah mengalami stress
akibat adanya perubahan dari segi status kesehatan maupun lingkungannya dalam
kebiasaan anak sehari-hari dan disebabkan juga anak-anak memiliki keterbatasan
koping dalam mengatasi masalah yang bersifat menekan. Anak juga akan
mengalami gangguan emosional dan gangguan perkembangan saat menjalani
hospitalisasi (Utami, 2014).
Depresi menarik diri sering kali terjadi setelah anak menjalani hospitalisasi
dalam waktu lama. Banyak anak dapat mengalami gangguan untuk tidur dan
makan, perilaku agresif, mudah tersinggung, terteror pada saat malam dan
negativisme (Herliana, 2010). Berikut ini dampak hospitalisasi terhadap anak usia
prasekolah menurut Nursalam (2013), sebagai berikut :
1. Cemas disebabkan perpisahan
Sebagian besar kecemasan yang terjadi bagi anak pertengahan sampai anak
periode prasekolah khususnya anak berumur 4-5 tahun adalah cemas karna
perpisahan. Hubungan anak dengan ibu sangat erat sehingga perpisahan dengan
ibu akan menimbulkan rasa kehilangan terhadap orang yang terdekat bagi diri
anak selain itu, lingkungan yang belum dikenal akan mengakibatkan perasaan
tidak aman dan rasa cemas.
2. Kehilangan kontrol
Anak yang mengalami hospitalisasi biasanya kehilangan kontrol. Hal ini
terlihat jelas dari perilaku anak dalam hal kemampuan motorik, bermain,
melakukan hubungan interpersonal, melakukan aktivitas hidup sehari-hari activity
daily living (ADL), dan komunikasi. Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak
akan kehilangan kebebasan pandangan ego dalam mengembangkan otonominya.
Ketergantungan merupakan karakterristik anak dari peran terhadap sakit. Anak
akan bereaksi terhadap ketergantungan dalam jangka waktu lama (karena peyakit

14
kronis), maka anak akan kehilangan otonominya dan pada akhirnya menarik dari
hubungan interpersonal.

2.2.6 Mengatasi Dampak Hospitalisasi


Menurut Supartini (2013), cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi
dampak mengatasi hospitalisasi adalah sebagai berikut :
a. Upaya meminimalkan stresor :
Upaya meminimalkan stresor dapat dilakukan dengan cara mencegah atau
mengurangi dampak perpisahan, mencegah perasaan kehilangan kontrol dan
mengurangi /meminimalkan rasa takut terhadap pelukaan tubuh dan rasa nyeri.
b. Untuk mencegah/meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan dengan
cara:
 Melibatkan keluarga berperan aktif dalam merawat pasien dengan cara
membolehkan mereka tinggal bersama pasien selama 24 jam (rooming in).
 Jika tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan keluarga untuk
melihat pasien setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antara
mereka.
 Modifikasi ruangan perawatan dengan cara membuat situasi rawat
perawatan seperti dirumah dengan cara membuat dekorasi ruangan.

2.2.7 Manfaat Hospitalisasi


Hospitalisasi pada anak merupakan sebuah proses yang dapat menimbulkan
tekanan serta dapat menimbulkan tekanan serta berdampak negatife seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, tetapi hospitalisasi juga memiliki manfaat. Manfaat
utama yang dapat dirasakan berkaitan dengan hospitalisasi adalah penyembuhan
dari penyakit, disamping itu hospitalisasi juga dapat memberikan kesempatan
kepada anak untuk dapat belajar menghadapi rasa takut dan stres serta merasa
kompeten dengan kemampuan koping yang ia miliki. Lingkungan rumah sakit
dapat mengfasilitasi anak untuk mengenal pengalaman baru bersosialisasi yang
dapat memperluas hubungan inter personal anak (Hockenberry & Wilson, 2010).

15
2.2.8 Peran Perawat Terhadap Anak Hospitalisasi
Peran perawat anak yang hospitalisasi adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu
sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar
dan bersifat stabil (Kusnanto, 2009). Jadi peran perawat adalah suatu cara untuk
menyatakan aktivitas perawat dalam pratik. Dimana telah menyelesaikan
pendidikan formalnya yang diakui dan diberikan kewenangan oleh pemerintah
untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara profesional
sesuai dengan kode etik profesinya. Peranyang dimiliki oleh seorang perawat
antara lain peran sebagai pelaksana. Dalam melaksanakan asuahan keperawatan
anak. Perawat mempunyai peran dan fungsi sebagai perawat anak diantaranya
pemberi perawatan, sebagai avokat perawatan keluarga, pencegahan penyakit,
pendidikan konseling, kolaborasi, pengambilan keputusan etik dan penelitik
(Hidayat, 2012).
a. Peran Perawat Dalam Mengatasi Hospitalisasi Pada Anak
Dampak hospitalisasi pada anak dapat diatasi dengan mengoptimalkan peran
perawat. Berikut ini adalah peran perawat dalam mengatasi dampak hospitalisasi
pada anak (wong, 2009).
1. Menyiapkan anak untuk hospitalisasi
Persiapan dalam penerimaan anak untuk dirawat di rumah sakit menjadi hal
yang sangat penting bagi perawat. Persiapan tersebut berbeda untuk setiap anak
tergantung pada kondisinya yang tidak terlepas dari berbagai prosedur awal medis
seperti pengambilan spesimen darah, uji sinar –X atau pemeriksaan fisik. Setiap
tindakan dalam penerimaan itu dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan bagi
anak yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pembentukan rasa percaya
perawat dengan anak-anak tersebut. Perawat sangat memberi pengaruh yang besar
untuk mengatasi semua ini. Selama prosedur penerimaan awal perawat harus
meluangkan waktu bersama dengan anak dan memberi kesepatan untuk lebih jauh
mengenal anak dan mengkaji setiap pemahamannya akan prosedur yang
dialaminya selama dirawat di rumah sakit dan semua ini berpengaruh terhadap

16
pembentukan rasa percaya antara anak dengan perawat selama hospitalisasi
(Wong, 2009).
Apabila rasa percaya sudah terbentuk maka anak akan merasa lebih nyaman
dirawat selama dirawat di rumah sakit, perawat akan melakukan prosedur
penerimaan rumah sakit yaitu memperkenalkan dirinya dan dokter yang akan
menangani, memilih ruangan untuk anak yang sesuai, mengorientasikan anak
terhadap ruangan beserta fasilitas didalamnya, memberi label identitas,
menjelaskan peraturan rumah sakit dan melakukan berbagai pemeriksaan dan
pengkajian keperawatan awal. Pemilihan ruangan pada anak dilakukan berdasrkan
kelompok usia, jenis kelamin dan penyakitnya karena dapat memberikan manfaat
psikologis dan medis (Simatupang, 2015).
2. Mencegah meminimalkan perpisahan
Perpisahan anak dengan orangtua atau orang-orang yang dikasihinya menjadi
hal yang sangat ditakuti oleh anak selama mereka dirawat dirumah sakit. Orangtua
atau saudara dari anak tersebut dapat memberi kenyamanan baginya dibanding
orang-orang sekitar yang berada dirawat di rumah sakit termasuk perawat. Saat
ini, rumah sakit sudah mengeluarkan suatu kebijakan untuk menjadikan keluarga
sebagai pusat asuhan selama anak di rumah sakit tampa mengabaikan peran
perawat. Dalam hal ini perawat berkolaborasi dengan orangtua/saudara,
melibatkan orangtua selama proses asuhan selama di rumah sakit misalnya
membantu memberi makan anak atau menyusun jadwal yang lengkap sesuai
rutinitas harian anak. Anak yang mengalami perpisahan selama dirawat di rumah
sakit akan menimbulkan berbagai reaksi seperti menangis (Hastiti, 2015).
Kehadiran perawat disamping anak menjadi salah satu srategi untuk
mengatasinya untuk menunjukkan sikap empati dengan mempertahankan kontak
mata, bersuara dengan nada tenang, memberikan sentuhan untuk memberikan
anak kenyamanan. Jika tidak berhasil maka perawat harus menganjurkan orangtua
untuk berada didekat anak atau tetap mempertahankan kontak misalnya melalui
telepon atau surat yang membuat anak selalu mengigat orangtuanya (simatupang,
2015).

17
Perawat juga memberi penjelasan tentang reaksi anak jika mengalami
perpisahan dengan orangtuanya sehingga apa bila memang orangtua harus
meninggalkan, anak tidak akan merasa cemas, sebelum orangtua pergi, perawat
menganjurkan orangtua untuk bekomunikasi kepada anaknya alasan kepergian
orangtua dan kapan orangtua akan datang kembali atau jika memungkinkan tidak
bisa mengujungi anak, kehadiran saudara atau keluarga lain yang dapat memberi
kenyaman bagi anak. Srategi lain juga dapat dilakukan seperti menganjurkan
orangtuanya seperti benda-benda kesukaannya seperti boneka, mobil-mobilan dan
mainan yang lain yang ia sukai (Wong, 2011).
Perawat juga dapat memfasilitasi anak untuk belajar, mendapat kunjungan
dari guru atau teman sekolah, telepon atau surat menyurat bagi anak yang di
hospitalisasi dalam jangka waktu yang panjang. Perawat bisa mungkin membuat
ruangan senyaman mungkin dengan membuat dekorasi dinding gambar kartun
atau bunga-bunga yang membuat ruangan itu serasa milik pribadi anak dan
selama anak dirawat akan diperhadapkan dengan suara bising seperti peralatan
medis, maka perawat harus melindungi anak dengan memberi penjelasan yang
dapat membuatnya mengerti akan itu semua sehingga rasa cemas mereka pun
akan berkurang (Wong, 2010).
3. Meminimalkan kehilangan pengendalian
Anak yang di hospitalisasi akan mengalami perasaan kehilangan
pengendalian yang dapay disebabkan oleh beberapa hal diantaranya perpisahan
dengan orangtua, adanya pembatasan aktivitas fisik, perubahan rutinitas,
pemaksaan ketergantungan bahkan pemikiran. Kondisi anak yang harusnya
dirinya mengalami imobilisasi akibat penyakit tertentu akan mengakibatkan stres
bagi anak yang dapat menganggu perkembangan sensorik maupun motoriknya.
Pemeriksaan medis tertentu yang dilakukan perawat bersifat kaku, yang membuat
anak harus tetap berbaring ditepat tidur membuat sebuah pengalaman yang penuh
tekanan bagi anak (Rizka, 2015). Lingkungan juga menjadi salah satu faktor
yang mengakibatkan anak mengalami kehilangan pengendalian misalnya anak
harus ditempatkan didalam kotak bermain lebih leluasan. Anak yang di
hospitalisasi juga akan mengalami perubahan rutinitas yang berbeda dengan

18
kondisi sebelum anak masuk rumah sakit dapat bersifat kaku atau fleksibel yang
dapat membuat anak mengalamu streshospitalisasi ditambah lagi anak mengalami
perpisahan dengan orangtuanya. Anak memiliki penstruktural waktu yang teratur
dan jelas sebelum anak masuk ruamah sakit misalnya bangun tidur, belajar,
mandi, makan, bermain dan tidur sedangkan setelah dirawat justru mengalami hal
yang berbeda dari kondisi tersebut (Hastuti, 2015). Selain karena adanya
pembatasan aktifitas fisik atau perubahan rutinitas, anak dapat mengalami
kehilangan pengendalian karena ketergantungan sepenuhnya kepada
perawat/orangtua selama mereka dirawat di rumah sakit baik dalam mengambil
keputusan atas tindakan yang akan diberikan kepadanya atau dalam melakukan
perawatan dirinya sendiri. Anak yang mengalami hospitalisasi juga sering
mengalami interprestasi yang keliru atau pemahaman yang kurang terhadap semua
hal yang dialaminya selama dirawat di rumah sakit akibatnya kurangnya informasi
yang mereka terima dari perawat sehingga hal ini mengakibatkan stres
hospitalisasi pada anak dan akhirnya tidak dapat mengendalikan pikiranya.
Perawat sangat berperang penting dalam mengatasi kehilangan pengendalian
ini diantarnya mempertahankan kontak antara anak dengan orangtua saat anak
mengalami nyeri. Perawat juga perlu memodifikasi cara pemeriksaan fisik anak
yang di sesuaikan dengan kondisi misalnya digendong oleh ibunya atau dipeluk
bahkan berada dipangkuan orangtuanya. Mobilisasi anak juga dapat ditingkatkan
misalnya memindahkan anak kegendongan, kursi roda, cart, wargon, atau
brankar sehingga anak tidak mengalami kekakuan hanya berbaring ditempat
tidur.Untuk perubahan rutinitas, perwat perlu membuat jadwal harian anak yang
disusun bersama anak dan orangtua lalu menempatkanya disamping tempat tidur
anak disertai jam dinding untuk dapat mengigatkan setiap kegiatan yang berlalu
atau yang sedang dikerjakannya.
Perawat juga memberikan otonomi kepada anak untuk mengambil setiap
keputusan misalnya mengenai tindakan yang akn diberikan kepadanya atau
bahkan memandirikan anak melakukan perawatan dirinya selama di rumah sakit
sesuai dengan tingkat perkembanganya. Pemberian informasi sangat berperang
penting dalam mengatasi stres anak saat ini dirawat di rumah sakit. Perawat perlu

19
memberi penjelasan sebelum melakukan tindakan bahkan memberitahu apa yang
akan terjadi pada anak sehingga ketakutan anak akan berkurang (Simatupang,
2015).
4. Mencegah atau meminimalakan akan cidera tubuh dan nyeri
Anak yang mengalami hospitalisi tidak akan pernah terlepas dari berbagai
prosedur yang menyakitkan seperti mendapat suntikan, pemasangan infus, atau
bahkan anak takut akn mengalami cidera tubuh misalnya mutilasi, instruksi tubuh,
perubahan citra tubuh , disabilitas bahkan mengalami kematian. Banyak hal yang
dapat cidera tubuh pada anak misalnya penggunaan mesin sinar-X yang
penempatannya salah diruangan, penggunaan alat asinguntuk pemeriksaan, ruang
yang tidak dikenal atau bahkan prosedur yang mengharuskan anak untuk di
amputasi. Semua ini dapat mengakibatkan stres atau ketakutan pada anak selama
mereka di hospitalisasi. Perawat sangat berperan penting dalam mengatasi
ketakutan anak cedera tubuh yang dialaminya. Secara umum, perawat harus
mempersiapkan anak untuk menghadapi prosedur dengan cara memberi
penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan dengan bahasa yang sesuai
dengan tingkat perkembangan kongnitif sehingga mereka akan memahami dan
ketakutan mereka akan berkurang. Selain itu, perawat dapat memanipulasi atau
memodifikasi teknik prosedur yang akan diberikan pada anak sesuai dengan
kondisinya, secepat ini melakukan prosedur pada anak bahkan tetap melakukan
kolaborasi dengan orangtua melalui cara mempertahankan kontak antara orangtua
dengan anak (Hastuti, 2015).
Anak yang didapati meras marah/stres dengan kondisi penyakit yang
dialaminya, perawat perlu mengubah persepsi anak dengan cara memberi
penjelasan yang berbeda yang tidak terlalu memandang penyakit itu sebagai
sesuatu yang negatif/menyakitkan sekali misalnya menyampaikan pada anak jika
suatu prosedur dilakukan pada anak tindakan yang sama tidak akan diulangi lagi.
Sebagai contoh anak yang mengalami tonsilektomi dapat diubah menjadi
penjelasan bahwa tonsil yang diperbaiki dilain waktu. Jadi apbila suatu waktu dia
mengalami sakit tengorokkan. Anak tidak akan memahami bahwa ia tidak
diopersi lagi.

20
2.3 Tinjauan Teoritis Ketakutan

2.3.1 Defenisi

Ketakuatan merupakan hal yang berbeda dengan kecemasan. Stuart dan


Laraia (2014) menyatakan bahwa ketakutan adalah tampilan atau respon
intelektual terhadap suatu stimulus yang mengancam, sedangkan kecemasan
adalah sebuah respon emosional yang ditampilkan tanpa adanya objek yang
spesifik. Ketakutan dapat disebabkan oleh paparan fisik atau psikologis yang
mengancam, dan ketakutan dapat mengakibatkan terjadinya kecemasan.
Ketakutan juga memiliki sumber yang spesifik atau objek yang dapat dijelaskan
dan diidentifikasi.

2.3.2 Hubungan Takut Dengan Hospitalisasi


Shives (2016) menjelaskan bahwa sakit dan dirawat dirumah sakit atau
hospitalisasi merupakan sebuah pengalaman yang mengancam serta menimbulkan
berbagai respon emosional dari orang yang mengalaminya. Respon emosional
yang timbul tersebut antaralain adalah kecemasan, ketakutan, kesepian, ketidak
berdayaan dan putus asa. bahaya yang telah pasien kenali, misalnya takut untuk
disuntik, takut tidak bisa bangun lagi saat dilakukan anestesi atau takut berdarah.
Perawat dapat berupaya untuk mengeksplorasi alasan takut pada pasien dan
merencanakan berbagai upaya untuk mengurangi ketakutan tersebut. Ketakutan
yang disebabkan oleh anak yang dirawat di rumah sakit, menurut Salmela,
Salantera dan Arone (2014) adalah takut menjadi pasien, takut berhubungan
dengan orang lain dan lingkungan asing, ketakutan dalam menghadapi tindakan
serta takut yang berkaitan dengan tingkat perkembangannya.

2.3.3 Penyebab Takut


Penyebab pasti tentang rasa takut yang dimiliki oleh seorang anak untuk saat
ini masih kurang dipahami. Beberapa ahli teori tentang proses pembelajaran
menyatakan bahwa kondisi yang dialami oleh anak dalam lingkungan
kehidupannya dapat menjelaskan tentang timbulnya takut yang spesifik. Racman

21
(2012) dalam ollendick et al., (2015) menjelaskan tentang tiga hal yang menjadi
penyebab rasa takut pada anak yaitu kondisi langsung dalam hal ini contohnya
seorang anak yang mengalami situasi menyakitkan atau mengerikan seperti
mendapatkan suntikan atau pernah dikejar anjing. Yang kedua pemodelan
dihasilkan oleh kegiatan anak yang secara sengaja atau tidak sengaja melihat dan
mengobservasi situasi menyakitkan atau menakutkan yang pernah dialami oleh
teman, atau saudaranya. Penyebab yang ketiga yaitu informasi yang didapatkan
seorang anak dari orang lain tentang hal yang menakutkan, misalnya anak sering
mendengar cerita atau membaca buku tentang pengalaman anak lain yang dirawat
di rumah sakit dengan berbagai tindakan medis.

2.3.4 Perkembangan Takut Berdasarkan Usia


Kecemasan dan rasa takut yang normal pada anak menunjukkan sebuah pola
perkembangan yang jelas. Marks (2014) menjelaskan pola tersebut sebagai sebuah
“Ontogenetik Parade” yang diartikan sebagai muncul dan hilangnya rasa takut
dalam tahapan waktu yang dapat diprediksi selama masa pertumbuhan dan
perkembangan anak. Sebagai contoh, seorang anak usia prasekolah mengalami
ketakutan berkaitan dengan mahluk imajinasi seperti hantu atau penyihir, binatang
dan lingkungan alam (kegelapan dan petir), binatang terutama binatang besar,
mutilasi tubuh, nyeri dan objek serta orang-orang yang berhadapan dengan
pengalaman yang menyakitkan. Pengalaman anak selama periode prasekolah ini
umumnya lebih menakutkan dibandingkan dengan periode usia lainya (Muscari,
2015). Anak usia sekolah menghadapi ketakutan karena bahaya fisik, perlukaan
tubuh dan prestasi sekolah, sedangkan selama masa remaja anak lebih sering
memperlihatkan dan menceritakan ketakutan seputar hubungan sosial, kematian
dan penyakit (Muris et al, 2013).
Perbedaan rasa takut pada berbagai usia pada dasarnya dipengaruhi oleh
tingkat perkembangan kongnitif. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan anak
untuk mengkonseptualisasikan stimulus-stimulus yang anak hadapi berkaitan
dengan ketakutan yang dirasakanya. Konseptualisasi atas suatu kondisi tergantung

22
dari kemampuan kongnitif seseorang (Fravell et al, 2012 dalam Muris & Broeren,
2015).
Bukti empiris yang menyatakan hubungan antara kemampuan kongnitif dan
tingkat takut seorang anak dijelaskan oleh Muris. Merckelbach dan Luijten
(2015). Penelitianya bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara
perkembangan kongnitif dan ketakutan pada anak normal dan anak yang
mengalami retardasi mental. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak
dengan gangguan intelektual memiliki intensitas dan variasi rasa takut yang lebih
besar dibandingkan dengan anak yang kemampuan intelektualnya normal. Selain
itu isi atau bentuk ketakutan yang dialami anak dengan gangguan intelektual lebih
jelas dibandingkan anak normal pada usia yang sama.

2.3.4 Reaksi Ketakutan Pada Anak


Sebagian besar anak memperlihatkan frenkuensi dan intensitas takut yang
tinggi berkaitan dengan pengalaman medis (Aho & Erickson, 2013 dalam Nelson
& Allen, 2016). Selama anak dirawat dan menjalani berbagai prosedur di rumah
sakit. Anak dengan rasa takut yang tinggi lebih banyak memperlihatkan perilaku
negatif seperti menolak prosedur, menjerit keras dan menyerang orang lain dari
pada anak yang memiliki rasa takut yang rendah (Broome, 2011 dalam Nelson &
Allen, 2013). Selain perilaku tersebut, anak yang ketakutan selama di rumah sakit
juga sering memperlihatkan berbagai perilaku yang lain seperti gangguan nafsu
makan dan perilaku regresi (Martin & Haey, 2011 dalam Nelson & Allen, 2014).
Selain reaksi yang diperlihatkan lewat perilaku, ketakutan juga menimbulkan
reaksi fisik sepeti peningkatan detak jantung, peningkatan tekanan darah, produksi
keringat, penegangan otot, penajaman sensasi dan dilatasi pupil (Lewis &
Haviland, 2014). Ekspresi muka yang dapat didentifikasi pada individu yang
mengalami takut antara lain mata melebar sebagai upaya antisipasi terhadap apa
yang akan terjadi, dilatasi pupil untuk mendapatkan lebih banyak cahaya, bibir
atas terangkat, alis terangkat bersamaan dan bibir melebar secara horizontal. Efek
fisiologis terhadap takut tersebut terjadi sebagai respon dari saraf simpatis.

23
2.4 Teoritis Keperawatan
2.4.1 Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dari proses keperawatan dengan
mengumpulkan data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui berbagai
permasalahan yang ada (Hidayat, 2016). Menurut (Nanda, 2015) pengkajian
ketakutan pada anak merupakan respon terhadap persepsi ancaman yang secara
sadar dikenal sebagai sebuah bahaya. Ada pun pengkajian yang dilakukan :
a. Pada pengkajian biodata atau identitas klien dapat dikaji meliputi :
 Nama.
 Umur.
 Jenis kelamin (L/P).
 Nomor CM.
 Ruang rawat.
 Tanggal masuk MRS.
b. Penanggung jawab klien meliputi :
 Orang tua
 Wali atau orang lain
c. Faktor predisposisi :
 Tanyakan riwayat masa lalu klien yang pernah diderita dan trauma yang
pernah diderita dan trauma yang pernah dialami seperti aniaya fisik,
aniaya seksual, penolakan, kekerasan dalam keluarga, tindakan criminal
dan lain-lain. Sehingga menyebabkan dia harus masuk rumah sakit atau
hospitalisasi dan juga tanyakan pengobatan seperti apa yang pernah
dilakukan klien.
 Kemudian tanyakan pada klien apakah didalam anggota keluarganya
ada yang mengalami gangguan jiwa.
 Kaji juga pengalaman yang tidak meyenangkan yang pernah dialami
oleh klien.
d. Pemeriksaan fisik :
 Tanda vital meliputi : tekanan darah, nadi, suhu, dan respirasi.

24
 Ukuran berat badan dan tinggi badan.
 Perkembangan
Bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat perkembangan saat ini dan
keterampilan yang dicapai.
e. Observasi respon terhadap hospitalisasi
Bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku koping saat ini dan intesitas
mereka.
f. Riwayat penyakit hospitalisasi dan perpisahan sebelumnya
Bertujuan untuk megidentifikasi pola koping sebelumnya dan pengaruh
koping tersebut.
g. Riwayat pengobatan
Bertujuan untuk megidentifikasi keseriusan masalah dan pengaruhnya
pada perkembangan kemampuan.
h. Persepsi tentang penyakit
Bertujuan untuk mengidentifikasi pemahaman pasien saat ini tentang
penyakit dan alasan hospitalisasi.
i. Sistem pedukung yang tersedia
Bertujuan untuk megidentifikasi tersedianya dan kesediaan keluarga untuk
berpatisipasi dalam perawatan dan pemberian dukungan.
j. Koping keluarga
Bertujuan untuk mengambarkan kemampuan keluarga apakah
memperlihatkan perilaku destruktif yang jelas atau terselubung atau juga
menunjukkan adaptasi merusak terhadap stressor.
k. Ketakutan, kecemasan dan kesedihan keluarga
Bertujuan untuk megidentifikasi apakah keluarga yang mengalami suatu
perasaan gangguan fisiologis ataupun emosional yang berhubungan
dengan suatu sumber yang dapat didentifikasi yang dirasakan
membahayakan pasien saat dihospitalisasi.

25
2.4.2 Diagnosa Keperwatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat berdasarkan perry & potter
(2014), adalah sebagai berikut :
l. Ketakutan berhubungan dengan lingkugan rumah sakit yang menakutkan dan
perpisahan dengan kelurga.
2. Ketidak efektifan koping individu berhubungan dengan sistem pendukung
yang tidak adekuat.

2.4.3 Rencana Keperawatan


Rencana asuhan keperawatan berdasarkan Perry & Potter (2014), adalah
sebagai berikut :
1. Ketakutan berhubungan dengan lingkungan rumah sakit yang menakutkan dan
perpisahan dengan keluarga.
a. Tujuan :
Pasien akan mengatasi secara efektif rasa takut yang dihubungkan dengan
hospitalisasi.
b. Kriteria Hasil :
 Salah satu keluarga tetap tinggal bersama pasien.
 Keluarga berpasitipasi dalam pemberian makanan, kebersihan dan
kegiatan pasien sehari-hari.
c. Intervensi & Rasional :
 Beri dorongan kepada keluarga untuk menetap kedalam ruangan dengan
pasien atau meminta anggota keluarga lain untuk bersama pasien.
Rasional : Keluarga dapat memberikan rasa aman dan mencegah dari
perkembangan dari ketidak percayaan.
 Tanyakan kepada keluarga bagaimana mereka berharap untuk
berpatisipasi dalam perawatan pasien.
Rasional : Untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan keluarga
maupun pasien.
 Orientasi keluarga pada devisi, suplai dan lingkungan keperawatan.

26
Rasional : Lingkungan yang asing akan mengancam kepercayaan
keluarga dan menimbulkan kelemahan terhadap layanan keperawatan
yang diberikan.
2. ketidak efektifan koping individu berhubungan dengan sistem pendukung yang
tidak adekuat.
a. Tujuan :
Mengidentifikasi respon-respon yang mengbahayakan atau mengabaikan.
b. Kriteria Hasil :
 Mengukapkan kebutuhan akan dalam mengatasi situasi.
 Menghubungi sumber-sumber komunitas yang tersedia.
c. Intervensi & Rasional :
 Terima perilaku agresif
Rasional : Perilaku awal yang nyaman memberikan rasa aman.
 Jelaskan kepada keluarga bahwa perilaku ini normal.
Rasional : Penjelasan akan membuat keluarga tahu bahwa ini adalah
perilaku koping.
 Berikan kesempatan kepada pasien untuk keluar menghilangkan rasa
takut dan perasaannya.
Rasionalnya : Media ini merupakan cara pasien mengekspresikan
perasaan dari dalam.

2.4.4 Evaluasi
Penilaian terakhir proses keperawatan didasarkan pada tujuan keperawatan
yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan
pada perubahan perilaku dari kriteria hasil yang ditetapkan. Yaitu terjadinya
adaptasi bagi anak usia prasekolah yang mengalami ketakutan terhadap dampak
hospitalisasi, Nursalam (2016).

27
28

You might also like