You are on page 1of 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

BTLS didirikan dengan latar belakang masih tingginya tingkat kematian dan kecacatan
akibat kegawatdaruratan (Emergency Case) pada kejadian kecelakaan transportasi, industri,
rumah tangga, gejolak sosial (terorisme, konflik masyarakat, kejahatan dan kekerasan) dan
bencana yang tidak henti-hentinya melanda negeri ini. Selain itu kegawatdaruratan medis
seperti penyakit kardiovaskular, jantung, hipertensi dan stroke masih menduduki peringkat
lima besar penyebab kematian di Indonesia.

Penyebab tingginya angka kematian dan kecacatan akibat kegawatdaruratan medis tersebut
adalah tingkat keparahan, kurang memadainya peralatan, sistem yang belum memadai dan
pengetahuan penanganan penderita gawat darurat yang kurang mumpuni. Pengetahuan
penanggulangan penderita gawat darurat memegang porsi besar dalam menentukan
keberhasilan pertolongan. Pada banyak kejadian banyak penderita gawat darurat yang
justeru meninggal dunia atau mengalami kecacatan yang diakibatkan oleh kesalahan dalam
melakukan pertolongan.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Diharapkan mahasiswa mampu menerapkan Basic Trauma Life Support (BTLS)

2. Tujuan Khusus
a. Diharapkan mahasiswa mampu melakukan pengakajian pada Basic Trauma Life
Support (BTLS)
b. Diharapkan mahsiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Basic
Trauma Life Support (BTLS)
c. Diharapkan mahasiswa mampu menyusun rencana tindakan Basic Trauma Life
Support (BTLS)

1
d. Diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan rencana tindakan Basic Trauma
Life Support (BTLS)
e. Diharapkan mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada Basic Trauma Life
Support (BTLS)

1.3 Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan
penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur
yang ada, baik di perpustakaan maupun di internet.

2
BAB II

KONSEP DASAR

2.1 Basic Trauma Life Suport (BTLS)

BTLS (Basic Trauma Life Suport) adalah bagian awal dari ATLS (Advanced Trauma
Life Suport. Pada BTLS, dokter atau tenaga kesehatan lainnya tidak diminta untuk
memberikan tatalaksana sesuai diagnosis definitifnya tapi hanya memberikan kesempatan
bagi pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan nantinya. Intinya pada tahap ini,
dokter atau pelayan kesehatan lainnya hanya diminta membantu pasien untuk tetap hidup
atau membuat reaksi kimia C6H12O6 + 6O2 ---> 6CO2 + 6H2O tetap berlangsung.

Hal dilakukan adalah Primary Survey. Di sini dokter diminta menilai secermat mungkin
hal apa yang mengancam nyawa pasien. Beberapa nemonic yang sering membantu antara
lain:

A : Airway with c-spine control

B : Breathing and ventilation

C : Circulation with haemorrage control

D : Disability (neurologic evaluation)

E : Exposure and Environment

2.1.1 Airway with c-spine contol.

Hal pertama yang harus diperiksa dalam penyelamatan seorang pasien. Pelayan
kesehatan diharapkan bisa memberikan distribusi oksigen dalam kurang waktu 8-
10 menit.

Assessmentnya :

Kalau pasien sadar, dia mampu berbicara dengan jelas tanpa suara tambahan. Ini
berarti laringnya mampu dilewati udara yang artinya airway is clear.
Terdapat pengecualian untuk pasien luka bakar. Kalau kita temukan jejas
3
kehitaman pada lubang hidung pasien atau lendir kehitaman yang keluar dari
hidung pasien itu mungkin disebabkan sudah terjadinya inflamasi pada saluran
pernapasan akibat inhalasi udara bersuhu tinggi. Pasien tidak langsung
menunjukan gejala obstruksi saluran nafas segera.

Kalau pasien tidak sadar maka segera lakukan penilaian Look - Listen - Feel.
Lihat gelisah atau tidak, gerakan dinding dada, dengarkan ada atau tidak suara
nafas, rasakan hembusan nafas pasien dari pipi dalam satu waktu.

Kalau terjadi obstruksi total maka akan timbul apnea biasanya disebabkan
obstruksi akibat benda asing. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain
memberikan penekanan pada dinding abdomen melalui manuver Heilmicth atau
Manuver Abdominal Trust. Kalau untuk anak kecil bisa dibantu dengan membalik
posisi anak secara vertikal agar mempermudah keluarnya benda asing. Tindakan
yang disebutkan diatas dilakukan pada pasien sadar. Sementara pada pasien tidak
sadar yang bisa dilakukan antara lain : finger sweep, abdominal trust, dan
instrumental.

Kalau terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda bunyi nafas
tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain:

4
1. Gurgling (kumur-kumur) = obstruksi akibat adanya air dalam saluran nafas.
Penanganannya melalui suction. Terdapat dua jenis suction yakni, yang elastic
dan yang rigid. Pilih saction yang rigid karena lebih mudah diarahkan. Jangan
melakukan tindakan yang berlebihan di daerah laring sehingga tidak timbul vagal
refleks.

2. Stridor (crowing) = obstruksi karena benda padat dan terjadi pada URT.
Penanganan pertama nya dengan penggunaan endotracheal tube (ETT)

5
3. Snorg (mengorok) = biasa nya obstruksi karenan lidah terlipat dan pasien dalam
keadaan tidak sadar. Penangannya yang pertama dengan membuka mulut pasien
dengan jalan; chin lift atau jaw trust. Kemudian diikuti dengan membersihkan
jalan nafas melalui finger sweep (cara ini tidak amam karena memungkinkan
trauma mekanik pada jari dokter) atau melalui bantuan instrumen.

Tidakan berikutnya dengan pemasangan oropharingeal tube (untuk pasien tidak


sadar) atau nasopharyngeal tube untuk pasien sadar. Sebagai tambahan info, bahwa
pada oropharingeal tube terdapat tiga jenis ukuran sehingga sebelum memasangnya
dokter harus menentukan ukuran yang sesuai. Cara mudahnya dengan menyamakan
ukuran dengan panjang dari lubang telinga ke sudut mulit atau panjang dari sudut
telinga ke lubang hidung, Begitu pula dengan pemasangan nasopharingeal tube.

C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien yang mengalami trauma
basis crania (Suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang tebal.
Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada Duramater). Cirinya adalah keluar
darah atau cairan bercampur darah dari hidung atau telinga. C-spine kontrol dilakukan
dengan indikasi:

a. Multiple trauma
b. Terdapat jejas di daerah serviks ke atas

6
c. Penurunan kesadaran.
d. Jika semuanya gagal, maka terapi bedah menjadi pilihan terakhir.

2.1.2 Breathing and Ventilation

Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau pasien sadar maka
pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang. Keadaan dada pasien yang
mengembung apalagi tidak simetris mungkin disebabkan pneuomotorak atau
pleurahemorage. Untuk membedakannya dilakukan perkusi di daerah paru. Suara
paru yang hipersonor disebabkan oleh pneumotorak sementara pada
pleurahemorage suara paru menjadi redup. Penanganan pneumotorak ini antara
lain dengan menusukan needle 14 G di daerah yang hipersonor atau pengguanan
chest tube.

Jika terdapat henti napas :

7
Hal yang dapat dilakukan antara lain Resusitasi Paru, bisa dilakukan melalui :

a. Mouth to mouth
b. Mouth to mask
c. Bag to mask (Ambu bag).

Jika menggunakan ventilator oksigen dapat diberikan melalui :

a. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan oksigen


24-44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.

b. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya
sebesar 35-60%.

c. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask


inilah pilihan utama pada pasien cyanosis. Konsentrasi oksigen yang
diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing mask dan non-
rebreathing mask terletak pada adanya valve yang mencegah udara ekspirasa
terinhalasi kembali.

Note : pada pasien pneumotorok perhatikan adanya keadaan pergesaran


mediastinum yang tampak pada pergeseran trakea, peningkatan tekanan vena
jugularis, dan kemungkinan timbul tamponade jantung

2.1.3 Circulation and haemorage control

Assessment :

Pertama kali yang harus diperhatikan adalah kemungkinan pasien mengalami


shock. Nilai sirkulasi pasien dengan melihat tanda-tanda perfusi darah yang turun
seperti keadaan pucat, akral dingin, nadi lemah atau tidak teraba. Shock yang
tersering dialami pasien trauma adalah shock hemoragik. Jadi dalam
penatalaksanaannya yang pertama adalah tangani status cairan pasien dan cari
sumber perdarahan, kemudian atasi perdarahan. Berikan cairan intravena
kemudian tutup luka dengan kain kassa, immobilisasi. Pemberian cairan
intravena harus pada suhu yang hangat agar tidak memperberat kondisi pasien

8
(pemasukan cairan yang memiliki suhu lebih rendah daripada suhu tubuh
menyebabkan vasokontriksi sehingga nantinya menurunkan perfusi). Status
hidrasi pasien juga harus diukur melalui output cairannnya sehingga sering diikuti
dengan pemasangan kateter. Namun pemasangan kateter dikontraindikasikan pada
pasien yang mengalami ruptur uteri. Cirinya terdapat lebam pada perineal atau
skrotum.

Luka pasien trauma yang sering menimbulkan keadaan shock antara lain luka
pada abdomen, pelvis, tulang panjang, serta perdarahan torak yang massive.

Kalau terjadi henti jantung maka lakukan massasse jantung.

2.1.4 Disability

Pada tahap ini dokter diharapkan menilai keadaan neurologic pasien. Status
neurologic yang dinilai melalui GCS (Glasgow Coma Scale) dan keadaan pupil
serta kecepatannya.

9
Hal yang dinilai dari GCS antara lain (E-V-M)

Eye

4. Membuka spontan

3. Membuka terhadap suara

2. Membuka terhadap nyeri

1. Tidak ada respon

Verbal

5. Berorientasi baik

4. Berbicara tapi tidak berbentuk kalimat

3. Berbicara kacau atau tidak sinkron

2. Suara merintih atau menerang

1. tidak ada respon

Motorik

6. Mengikuti perintah

5. Melokalisir nyeri

4. Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)

3. Fleksi abnormal (dekortikasi)

2. Ekstensi abnormal (deserebrasi)

1. tidak ada respon (flasid)

Kesadaran baik >13, sedang 9 -12, Buruk /koma < 8

10
Respon pupil dinilai pada kedua mata. Jika terdapat lateralisasi maka
kemungkinan terdapat cedera kepala yang ipsilateral. Jika respon pupil lambat
maka kemungkinan terdapat cedera kepala.

2.1.5 Exposure dan Enviroment

Buka pakaian pasien untuk mengeksplorasi tubuh pasien untuk melihat


kemungkinan adanya multiple trauma. Kemudian selimuti pasien agar mencegah
hipothermi.

Setelah semua dilakukan dan keadaan pasien menjadi stabil lakukan kembali
Secondary Survey Pelayan Kesehatan diharapkan memeriksan kembali dari
awal, anamnesis riwayat pasien, lakukan pemeriksaan neurologi yang komplit (tes
refleks, CT-scan, MRI), dan membuat diagnosis spesifik, dan lainnya.

2.2 Deskripsi

Trauma adalah penyebab kematian utama pada manusia antara usia 1 dan 44 tahun.pada
kelompok usia yang lebih tua, penyebab kematian ini hanya di lampaui oleh kanker dan
kardiovaskular. Bagaimana pun kerugian akibat trauma dalam hal kehilangan kesempatan
hidup produktif, melebihi kerugian yang ditimbulkan oleh kanker dan penyakit
kardiovaskular. Sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan, trauma telah menjadi
masalah kesehatan dan social yang signifikan.

Kemajuan dalam bidang perawatan pasien trauma telah dicapai dalam beberapa dekade
terakhir. Pengembangan pusat-pusat pelayanan trauma telah menurunkan mortalitas dan
morbiditas diantara korban kecelakaan. Perawatan dan sarana angkutan prarumah sakit
yang semakin baik telah menyebabkan kenaikan jumlah korban kecelakaan dengan
keadaan kritis sampai ke rumah sakit dalam keadaan hidup. Akibatnya, pasien yang tiba
di unit perawatan kritis cenderung mengalami cedera serius yang menlibatkan banyak

11
organ, dan mereka sering kali membutuhkan asuhan keperawatan yang ekstensif dan
kompleks.

2.3 Pengkajian Awal dan Penatalaksanaan Awal

Orang yang mengalami cedera barat harus dikaji dengan cepat dan efisien. Kriteria dan
protokol untuk memudahkan pengkajian awal, intervensi, dan triage untuk korban
trauma telah dikembangkan oleh “American college of surgeons, committee on trauma”.

2.3.1. Prarumah Sakit

Penatalaksanaan awal sering kali menentukan hasil akhir. Fase ini dimulai pada
tempat kecelakaan dengan pengkajian cepat terhadap cedera-cedera yang
mengancam keselamatan jiwa. Setelah jalan nafas dipastikan, kemudian
pernafasan dan sirkulasi dievaluasi dan didukung. Resusitasi sirkulasi awal
termasuk kontrol terhadap hemoragi eksternal, melakukan terapi cairan intravena,
dan adakalanya pemasangan pneumatic antishock garment (PASG). Potensi
terhadap fraktur juga harus diimobilisasi sebelum dipindahkan.

2.3.2 Rumah Sakit

Pengkajian dan perawatan yang dilakukan setibanya di rumah sakit dibagi ke


dalam empat fase : evaluasi primer, resusiitasi, pengkajian skunder, dan perawatan
definitive.

2.3.2.1 Evaluasi Primer

Seperti halnya pada pengkajian prarumah sakit, evaluasi primer


mendeteksi masalah-masalah jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi, dan
menentukan kemungkinan ancaman terhadap jiwa dan anggota badan.
Informasi tentang mekanisme terjadinya cedera dan gambaran tentang
keadaan kecelakaan (spt,stang roda mobil yang bengkok )akan
memberikan petunjuk tentang kemungkinan terjadinya cedera serius.
Pemeriksaan neurologic yang seksama juga dilakukan.

12
2.3.2.2 Resusitasi

Resusitasi seringkali mulai dilaksanakan selama evaluasi primer dan


mencakup tindakan terhadap kondisi-kondisi yang mengancam
keselamatan jiwa. Pasien dapat memerlukan intubasi endotrakeal,
pemberian oksigen, terapi cairan intravena, dan kontrol terhadap
hemoragi. Kondisi-kondisi yang mengancam keselamatan jiwa, misalnya
tension, pneumotoraks terbuka, hemotoraks masif, dan tamponade
jantung, diatasi dengan cepat kecuali adanya kontraindikasi, kateter urin
dan selang nasogastrik dipasang.

2.3.2.3 Pengkajian sekunder

Apabila kondisi pasien sudah berhasil distabilkn, riwayat kesehatan yang


lengkap, termasuk informasi tentang mekanisme terjadinya cedera, harus
diperoleh dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh harus dilakukan.
Pemeriksaan dapat mencakup elektrokardiogram (ECG), berbagai uji
laboratorium, dan pemeriksaan radiologic (Table 44-1).jika diduga adanya
cedera abdomen, maka lavage peritoneal diagnostic (DPL) juga diperlukan
dilakukan.

2.3.3 Pola-pola cedera

Informasi tentang pola atau mekanisme terjadinya cedera sering kali akan sangat
membantu dalam mendiagnosa kemungkinan gangguan yang diakibatkan. Trauma
tumpul terjadi pada kecelakaan kenderaan bermotor (KKB) dan jatuh, sedangkan
trauma tusuk (penetrasi) seringkali di akibatkan oleh luka tembak, atau luka
tikam. Umumnya, makin besar kecepatan yang tetrlibat di dalam suatu
kecelakaan, akan makin besar cedera yang terjadi (mis,KKB kecepatan tinggi,
peluru dengan kecepatan tinggi, jatuh dari tempat yang sangat tinggi).

Trauma tumpulm pada kecelakaan kenderaan mobil, badan kenderaan


memberikan sebagian perlindungan dan menyerap energi dari hasil benturan

13
tabrakan. Pengendara atau penumpang yang tidak menggunakan sabuk pengaman.
Bagaimanapun akan terlempar dari mobil dan dampaknya mendapatkan cedera
tambahan. Pengendara sepeda motor mempunyai perlindungan yang minimal dan
seringkali akan menderita cedera yang parah apabila terlempar dari motor.

Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat menyebabkan kekuatan
yang terputus yang dapat merobek struktur tertentu. Organ-organ yang berdenyut
seperti jantung dapat terlepas dari pembuluh besar yang menahannya. Demikian
juga, organ-organ abdomen (limpa, ginjal, usus) akan terlepas dari mensenteri.

Tabel 2.1

Prosedur-prosedur Radiologi pada Trauma

Prosedur Dugaan Cedera


Radiografi
Dada Pneumotoraks
Hemothoraks
Fraktur iga
Kontusio pulmonal
Cedera trakeobronkial
Cedera pembuluh besar
Pelvis Fraktur
Ekstremitas Fraktur
Angiogram Cedera pembuluh besar
Cedera ginjal
Cedera vascular pelvis
Cedera vascular ekstremitas
Tomografi Komputer Dera abdomen
Cedera retroperitoneal
Cedera ginja

14
Fraktur pelvic
Serangkaian gastrografin Hematoma atau laserasi
GI bagian atas Duodenal
Skan hepar/limpa radio- Cedera seplenik
Nuklida Cedera Hepatik
Pielogram intravena Cedera ginjal
Uretrogram Retrograd Cedera uretra
Sistogram retrograde Cedera kandung kemih

Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang disebabkan oleh kekuatan
tabrakan berat. Pada kasus demikian, jantung dapat tetrhimpit diantara sternum
dan tulang belakang. Hepar, limpa, dan pancreas juga sering tertekan terhadap
tulang belakang. Cedera karena benturan seringkali menyebabkan kerusakan
internal dengan sedikit tanda-tanda trauma eksternal.

Tipe kerusakan pada kendraan seringkali memberikan petunjuk-petunjuk cedera


spesifik yang diderita pada KKB. Stir atau kemudi kenderaan yang bengkok atau
rusakmemperbesar dugaan akan kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung,
trakea, tulang belakang atau abdomen. Trauma kepala dan wajah, cedera tulang
belakang servikal, dan cedera trakeal sering berkaitan dengan kerusakan pada
kaca depan mobil atau dashboard. Benturan lateral dapat menyebabkan patah iga,
luka dada penetrasi akibat pegangan pintu atau jendela, cedera limpa atau hepar
dan fraktur pelvis.

2.3.4 Lavage periotoneal Diagnostik (LPD)

Tujuan : untuk mendeteksi perdarahan intraperitoneal

Indikasi-indikasi :

a. Cedera tumpul dengan abdominal


b. Perubahan respons nyeri

15
Penurunan : cedera kepala atau medula spinalis ; adanya alcohol dan obat-obatan.
Peningkatan : fraktur pelvik, tulang belakang lumbar atau iga bawah.
c. Hipovolemia yang tidak dapat dijelaskan pada korban trauma multiple
d. Trauma abdomen penetrasi (jika eksplorasi tidak dikasikan)

Kontraindikasi :

a. Riwayat operasi abdomen multiple


b. Kebutuhan laparotomi segera

Prosedur :

a. Pasang kateter lavege kedalam rongga peritoneal melalui insisi 1-2 cm.
b. Coba mengespirasi cairan peritoneal.
c. Infus normal salin atau Ringer laktat dengan bantuan gaya gravitasi.
d. Ubah posisi pasien dari satu sisi kesisi yang (kecuali jika ada kontraindikasi)
e. Beriakan cairan mengalir kembali kekantung dengan bantuan gaya gravitasi.
f. Kirim spesimen ke laboratorium.

Hasil-hasil positif :

a. 10-20 ml darah nyata pada aspirasi awal


b. Lebih besar dari 100.000 SDP/mm³
c. Lebih besar dari 500 SDP/mm³
d. adanya bilirubin, bakteri, atau bahan feses.

Trauma penetrasi, Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih
tinggi dari luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebabkan luka di sekitar jaringan
dan dapat terpecah atau merubah arah di dalam tubuh, mengakibatkan
peningkatan cedera. Perdarahan internal, perforasi organ, dan fraktur kesemuanya
dapat disebabkan oleh cedera penetrasi.

16
Dengan menggunakan keterampilan pengkajian yang baik dan kewaspadaan pada
mekanisme terjadinya cedera, perawat unit keperawatan kritis dapat membantu
dalam mengidentifikasi cedera yang tidak didiagnosa di unit kegawatdaruratan.

2.3.5 Perawatan definitive

Meskipun perawatan definitif dapat dimulai pada unit gawat darurat atau ruang
operasi. Perawatan ini sebagian besar terdiri atas perawatan yang diberiakan pada
unit rawat itensif, dan yang konstan adalah penting dalam memudahkan
penatalaksanaan masalh-masalah yang ada. Elemen penting lainnya dari
perawatan definitif termasuk evaluasi tanda-tanda serta gejala-gejala baru,
penatalaksaan terhadap kondisi-kondisi medis yang sudah ada terlebih dahulu,
identifikasi cedera yang terlewatkan selama tindakan terhadap masalah-masalah
yang mengancam jiwa.

2.4 Pengkajian dan Penatalaksanaan Trauma yang Terjadi

2.4.1 Trauma Torak

Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena cedera torakik.
Banyak cedera torakik yang secara potensial mengancam jiwa, misalnya tension
atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, iga melayang (flail chest), dan
mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak ditangani, maka akan
mengancam jiwa.

2.4.2 Cedera pada Paru dan Iga

2.4.2.1 Pneumotoraks dan Hemotoraks

Trauma tumpul dan penetrasi dapat menyebabkan pneumotoraks atau


hemotoraks Seringkali, satu-satunya tindakan yang diperlukan adalah
pemasangan selang dada. Hemotoraks massif (>1.500 ml pada awalnya
atau >100-200 ml/jam) akan memerlukan torakotomi, sedangkan selang
dada untuk mengembangkan kembali paru-paru sering kali sudah

17
memadai tamponade dengan sumber pendarahan yang lebih kecil.
Intervensi pembedahan juga mungkin diperlukan dalam kasus
pneumotoraks terbuka (luka menyedot dada) atau kebocoran udara yang
tidak terkontrol.

Selain memberikan perawatan rutin posoporasi (spirometri, batuk, latihan


nafas dalam), perawat unit perawatan kritis harus mengkaji fungsi
pernafasan dan hemodinamik dengan cermat. Pasien dengan cedera paru
mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami komplikasi pulmonal
seperti etelekstatis, peneumonia, dan empiema. Selang dada harus dikaji
patensi dan fungsinya serta dokter harus diberitahu jika drainase menjadi
berlebihan. Untuk kehilang darah dalam jumlah besar dari selang dada,
mungkin harus dilakukan ototranfusi.

2.4.2.2 Iga melayang

Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan fraktur multiple


iga, menyebabkan ketidak stabilan dinding dada. Iga melayang berkaitan
dengan pneumotoraks, hemotoraks, kontusio pumonal, kontusio
miokardial. Tujuan utama daari perawatan terhadap iga mengambang
adalah untuk meningkatkan fentilasi yang ade kuat. Jika status pernafasan
terganggu atau diperlukan operasi untuk cidera terjadi, maka ada indikasi
pemasang intibasi dan fentilasi mekanis. Mungking juga digunakan
tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP). Pada kejadian yang langka,
mungkin dilakukan stabilisasi operatif dengan kawat dan staples. Fraktur
iga tidak pernah dibalut karena hal ini nantinya hanya akan mengutangi
pul monal.

Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri yang hebat. Control nyeri yang
ade kuat dapat meningkatkan ekspansi paru tanpa memerlukan ventilasi
mekanis jangka panjang. Sering diberikan analgesi parenteral,
intramuscular, atau analgesia yang dikontrol pasien. Analgetik sistemik,
bagaimanapun tidak cukup kuat untuk menghilangkan nyeri iga melayang,

18
sehingga membutuhkan metode lain untuk menghilangkan nyeri seperti
blok interkosta atau analgesia epidural.

Asuhan keperawatan pada pasiaen denga iga melayang ditujukan pada


pengkajian dan pengontrolan nyeri, disertai dengan peningkatan
oksigenasi dan pertukaran gas yang ade kuat. Hipoventilasi. Akibat nyeri
meningkatkan resiko terhadap komplikasi pernafasan, termasuk atelektasis
dan peneumonia. Berbagai intervensi untuk memperbaiki fungsi
pernafasan dapat dilaksanakan termasuk batuk dan panas dalam,
spirometrik, drainase dan chapping, mukolitik, bronkodilator, pernafasan
tekanan positif intermiten (PTPI). Suksionendotrakeal dan nasotrakeal,
bronkoskopi terapeutik.

Serangkain pengkajian pulmonal, termasuk sinar-x dada, gas-gas aterial


darah, pemeriksaan fisik, dan kadang-kadang pemantauan dengan
oksimetrik adalh penting.

Tabel 2.2

Prosedur-prosedur antara Kontusio Pulmonal dan ARDS

Kontusio Pulmonal ARDS

Awitan gagal pernapasan bertahap Awitan gagal pernapasan mendadak


Perubahan-perubahan gambaran Perubahan-perubahan gambaran radiografi
radiografi dapat segera terlihat sering kali tertunda 2-3 hari setelah timbul
gejala-gejala
Infiltrate setempat Infiltrate menyebar
Dapat mengarah pada terbentuknya Dapat mengaah pada fibrosis pulomanal
rongga dan abses kronis

2.4.2.3 Kontusio Pulmonal

19
Kontusio Pulmonal adalah memar pada parenkim paru, seringkali akibat
trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak terdiagnosa pada foto dada awal:
bagaimanapun adanya fraktur iga atau iga melayang harus mengarah pada
dugaan kemungkinanadanya kontusio pulmonal.

Kontusio pulmonal terjadi bila perlambatan cepat memecahkan dinding sel


kapiler, menyebabkan hemoragi dan ekstravasasi plasma dan protein ke
dalam alveolar dan spasium interstisial. Tanda-tanda dan gejala-gejalanya
termasuk dispnea, rales, hemoptitis, dan takipnea.

Pasien dengan kontusio ringan memerlukan pengamanan ketat. Perlu


sering dilakukan pengukuran gas darah arterial (GDA) atau oksimetri nadi.
Intervensi keperawatan tambahan termasuk pengkajian pernapasan yang
kerap, perawatan pulmonal, dan kontrol nyeri.

2.4.2.4 Cedera Trakeobronkial

Cedera pada trakea atau bronki dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau
penetrasi dan seringkali disertai dengan kerusakan pada esophagus dan
vascular. Cedera trakeobronkial yang parah mempunyai angka kematian
yang tinggi, bagaimanapun dengan bertambah baiknya perawatan dan
transportasi prarumah sakit akhir-akhir ini, maka makin banyak pasien ini
yang bertahan hidup.

Cedera jalan udara seringkali tidak tersamar. Tanda-tandanya termasuk


dispnea (ada kalanya satu-satunya tanda), hemoptisis, batuk, dan
emfisema subkutan. Perbaikan operasi dengan ventilasi mekanis
pascaoperasi melalui selang endotrakeal atau trakeostomi akan diperlukan.

Asuhan keperawatan melibatkan pengkajian terhadap oksigenisasidan


pertukaran gas, disertai dengan perawatan pulmonalyang tepat. Pneumonia
adalah komplikasi jangka pendek, sedangkan stenosis trakeal dapat terjadi
kemudian.

20
2.4.3 Cedera Pada Jantung

2.4.3.1 Kontusio Miokardial

Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh benturan dada pada


batang stir atau dashboard selama KKB. Gejala-gejala kontusio jantung
bervariasi dari tidak ada gejala (umum) sampai pada gagal jantung
kongestif yang berat dan syok kardiogenik. Setelah trauma, keluhan-
keluhan tentang nyeri dada harus dievaluasi dengan cermat.

Secara histology, kontusio jantung mirip dengan infark miokardial.


Diagnosa bias sulit ditegakkan. Untuk menegakkannya dilakukan
serangkaian pemeriksaan EKG dan serangkaian pengukuran keratin
kinaseinsoenzim miokardial. Yang lebih umum dari kontusio miokardial
yang sudah dipastikan adalah cedera tipe “konkusio” (gegar) yang dapat
pulih. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang bersifat temporer (mis;
takikardia, kontraks premature) akan terlihat tanpa adanya perubahan
dalam insoenzim. Manakala kontusi sudah dipastikan, maka tindakan yang
dilakukan serupa dengan untuk infark miokardial akut.

2.4.3.2 Cedera penetrasi

Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian korban prarumah


sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus. Pada 10% sisanya, hemoragi
dan syok adalah yang umum terlihat. Luka tikam kecil yang mengenai
ventrikel ada kalanya menutup sendiri karena tebalnya muskulatur
ventrikuler.

Setelah operasi perbaikan, kateter arteri pulmonal (Swan-Ganz) dan selang


arterial dipasang unutk memudahkan pemantauan hemodinamik dengan
cermat. Pada peristiwa transfusi multipel, risiko terhadap ARDS dan
koagulasi intravascular diseminata makin tinggi (Tabel 44-4). Hipotensi
berkepanjangan meningkatkan kemungkinan terjadinya gagal renal.

21
Tabel 2.4

Komplikasi yang Berhubungan dengan Transfusi Darah Multipel


ARDS
Koagulopati
KID
Hipokalemia atau Hiperkalemia
Hipokalsemia
Metabolik asidosis
Hipotermia
Kelebihan volume
Reaksi Transfusi
Penularan infeksi
Cedera pada Pembuluh Darah Besar

2.4.3.3 Tamponade

Tamponade jantung dapat terjadi akibat trauma penetrasi maupun trauma


tumpul. Tanda-tanda awal dapat mencakup penurunan tekanan darah,
peningkatan tekanan vena sentral sebagaimana yang ditunjukan oleh
distensi vena leher, dan bunyi muffle pada jantung. Asuhan keperawatan
pasca pembedahan mirip dengan tindakan cedera penetrasi jantung

Sebagian besar pasien dengan transeksi atau robekan pada aorta


mengalami pengeluaran darah sebelum sampai dirumah sakit. Tempat
yang paling umum terjadinya cedera adalah dekat ligamentum arteriosum.
Kematian mendadak dapat dihindari jika hemoragi benda didalam
adventisia aortic. “Aneurisma palsu” ini dapat pecah setiap saat, sehingga
memerlukan diagnosa dan tindakan yang cepat.

Kecurigaan akan cedera pada aorta atau pembuluh darah lainnya


meningkat dengan adanya fraktur iga pertama dan kedua atau hemotoraks
masif sebelah kiri. Tanda-tanda diagnostik tambahan, meskipun tidak

22
selalu ada, termasuk hipertensif ekstremitas atas dengan penurunan nadi
ekstremitas bawah. Cedera pada subklavia atau arteri innominata dapat
menyebabkan penurunan nadi pada ekstremitas atas.

Komplikasi-komplikasi serius termasuk gagal ginjal karena iskemia,


disertai dengan ARDS dan KID karena transfuse multipel. Pada kasus
yang langka, perbaikan atau pengkleman silang aorta totatik asending
dapat menyebabkan iskemia medula spinalis, mengakibatkan paralysis
pemanen dari ekstremitas bawah.

2.4.3.4 Trauma Abdomen

Rongga abdomen memuat baik organ-organ yang padat maupun yang


berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan
yang serius organ-organ padat, dan trauma penetrasi sebagian besar
melukai organ-organ berongga. Secara umum, organ-organ padat berespon
terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-organ berongga pecah dan
mengeluarkan isinya dan ke dalam rongga peritoneal, menyebabkan
peradangan dan infeksi.

Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang


memperlihatkan adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam peritoneal,
ketidakstabilan hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejala-gejala abdomen
akut dilakukan eksplorasi dngan pembedahan.

Pasien dikaji untuk mendapatkan tanda-tanda abdomen akut; distensi,


rigiditas, guarding dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan menjadi perlu
dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejala-gejala yang
mengindikasikan cedera. Penggunaan CT abdomen telah memperoleh
popularitas dan sering digunakan, atau sebagai tambahan LPD. Namun
skan CT tidak dapat terlalu diandalkan dalam mendeteksi cedera pada
rongga-rongga berongga.

23
2.4.3.5 Cedera pada Lambung dan Usus Halus

Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui, namun usus halus lebih
umum mengalami cedera. Meskipun sering mengalami kerusakan oleh
trauma penetrasi. Mobilitas usus di sekitar titik tetap (seperti ligamentum
Treitz) mencetuskan terjadinya cedera dengan adanya perlambatan.
Cedera tumpul usus halus atau lambung dapat terlihat dengan adanya
darah pada aspirasi nasogastrik atau hematemesis. Cedera penetrasi
biasanya menyebabkan LPD positif. Meskipun kontusio usus ringan dapat
diatasi secara konservatif (dekompresi lambung dan menunda masukan
per oral), pembedahan biasanya diperlukan untuk memperbaiki luka-luka
penetrasi.

Dekompresi pascaoperasi, baik dengan selang nasogastrik atau selang


lambung, dipertahankan sampai fungsi usus pulih. Selang pemberi makan
dapat dipasangkan segera pascaoperasi. Karena lambung dan usus halus
mengandung jumlah bakteri yang signifikan, maka resiko terhadap sepsis
adalah kecil, namun pemberian anti biotik profilaktik dapat dilakukan
kapan saja terjadi perforasi usus.

Pada sisi lain, getah asam lambung mengiritasi peritoneum dan dapat
menyebabkan peritonitis. Potensial komplikasi lainnya termasuk
perdarahan pascaoperasi. Hipovolemia karena “spasium ketiga” serta
timbulnya fistula atau obstruksi. Beberapa dari keadaan ini mengharuskan
adanya tindakan pembedahan tambahan. Sindrom malabsorpsi jarang
terjadi kecuali jika lebih dari 200 cm usus telah diangkat.

2.4.3.6 Cedera pada Duodenum dan Pankreas

Pankreas dan duodenum akan dibahas bersama-sama karena keduanya


adalah organ-organ retroperitoneal dan secara anatomi dan fisiologi
mempunyai hubungan yang dekat. Diperlukan kekuatan yang besar untuk
mencederai organ-organ ini, karena organ-organ ini terlindung dengan
baik, jauh di dalam abdomen. Tanda-tanda dan gejala-gejala dapat

24
mencakup abdomen akut, peningkatan kadar amylase serum, nyeri
epigastrik yang menjalar ke punggung, mual, dan muntah-muntah.

Laserasi minor atau kontusio hanya akan memerlukan pemasangan drain,


sedangkan luka-luka besar memerlukan perbaikan pembedahan. Prosedur
pembedahan yang dilakukan pada kasus-kasus ini termasuk
pankreotikoduodenektomi, anastomosis Roux-en-Y, dan pada keadaan
yang langka, dilakukan pankreatektomi total.

Pengkajian dan asuhan keperawatan pascaoperasi adalah sama untuk


berbagai prosedur. Patensi drain harus dipertahankan dan pasien dipantau
terhadap timbulnya fistula. Perlindungan terhadap kulit adalah penting jika
fistula telah terbentuk, karena tingginya kandungan enzim dari getah
pankreatin. Awitan Diabetes Militus jarang terjadi kecuali jika dilakukan
pankreatektomi total.

Cedera pada duodenum sendiri dapat disembuhkan dengan anastomosis


primer atau Billroth II. Trauma tumpul pada duodenum juga dapat
mengarah pada obstruksi duodenal. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan diatrizoate (Gastrografin) gastrointestinal atas. Obstruksi
menyeluruh umumnya memerlukan drainase pembedahan dari hematoma.

2.4.3.7 Cedera pada Kolon

Cedera pada kolon biasanya berkaitan dengan trauma penetrasi. Sifat dari
cedera paling sering menuntut segera dilakukannya operasi eksplorasi.
Perbaikan primer adalah tindakan pilihan untuk laserasi kolon. Kolon
mempunyai jumlah bakteri yang tinggi, tumpahnya isi kolon dapat
mencetuskan terjadinya sepsis intra-abdominal, dan pembentukan abses.

Asuhan keperawatan pascaoperasi difokuskan pada pencegahan infeksi.


Pada kasus perbaikan kolon eksterior, dan dilakukan anastomosis ujung-
ke-ujung dan tempat perbaikan eksterior untuk memudahkan identifikasi
kebocoran. Karena sepsis adalah komplikasi utama pada cedera kolon,

25
mungkin diperlukan serangkaian prosedur radiografi dan pembedahan
untuk menemukan dan mengalirkan abses.

2.4.3.8 Cedera pada Hepar

Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling umum mengalami
cedera. Baik trauma tumpul maupun trauma penetrasi dapat menyebabkan
cedera. Pada banyak kasus, baik sifat dari cedera atau LPD positif atau
skan CT digabung dengan kondisi klinis pasien akan menuntut
dilakukannya pembedahan. Cedera pada hepar juga memrlukan drainase
empedu dan darah pascaoperasi melalui drain.

Setelah pembedahan, mungkin timbul syok hipovolemik dan koagulopati.


Dengan koagulopati, perdarahn timbul dari berbagai tempat, sedangkan
dengan hemostasis inkomplit perdarahan terutama berasal dari tempat
pembedahan. Asuhan keperawatan termasuk penggantian produk darah
sambil memantau hematokrit dan pemeriksaan koagulasi. Pengkajian tipe
dan jumlah selang drainase, disertai keseimbangan cairan, juga adalah
penting. Potensial komplikasi dari cedera hepar termasuk abses hepatic
atau perihepatik, obstruksi atau kebocoran saluran empedu, sepsis, ARDS
dan KID.

2.4.3.9 Cedera pada Limpa

Limpa adalah oragan abdomen yang paling umum mengalami cedera.


Lebih sering sebagai akibat trauma tumpul. Tanda-tanda dan gejala-gejala
yang ditunjukkan termasuk nyeri kuadran kiri atas menjalar sampai ke
bahu kiri, syok hipovolemik, dan temuan-temuan nonspesifik dengan
peningkatan jumlah sel darah putih. LPD, skan CT abdominal, atau
pemeriksaan radionuklida biasanya penting untuk diagnosa.

Orang dewasa dengan cedera minor atau kebanyakan anak-anak ditangani


tanpa tindakan operasi, dengan observasi (serangkaian pemeriksaan
abdomen, hematokrit) dan dekompresi nasogastrik. Tindakan pembedahan

26
terdiri atas splenorafi atau splenektomi. Ototransplantasi splenik, suatu
prosedur yang masih sangat baru dan controversial, terdiri atas implantasi
fragment-fragment splenik ke dalam kantung omentum.

Komplikasi dini termasuk perdarahan berulang, abses subfrenik, dan


pankreatitis karena trauma pembedahan. Komplikasi akhir terdiri atas
trombositosis dan sepsis berat postplenektomi (SBPS). Penyuluhan harus
difokuskan pada deteksi terhadap tanda-tanda dan gejala-gejala dari
infeksi. Autotransplantasi splenik terbukti dapat bermanfaat dalam
menurunkan insiden SBPS.

2.4.4 Cedera pada Ginjal

2.4.4.1 Cedera Vaskular

Cedera penetrasi dapat mengarah baik pada hemoragi “bebas”, hematoma


terkandung, atau berkembangnya trombus intraluminal. Tanda-tanda dan
gejala-gejala, jika ada, terdiri atas hematuria, nyeri, dan massa panggul.
Skan CT, pielogram intravena, atau engiogram biasanya dapat membantu
dalam menegakkan diagnosa. Laserasi yang lebih kecil diperbaiki,
sedangkan cedera yang lebih besar mengharuskan dilakukan nefrektomi.

Pengkajian pascaopersi dan dukungan fungsi ginjal adalah penting.


Mungkin diberikan dopamine dosis rendah, dan keseimbangan cairan
optimal harus dipertahankan untuk menjamin perfusi ginjal. Komplikasi
utama terdiri atas trombosis arterial atau vena dan gagal ginjal akut.

2.4.4.2 Cedera Parenkin

Trauma tumpul atau penetrasi dapat menyebabkan laserasi atau kontusio


parenkin ginjal atau pecahnya system koligentes. Diagnosanya serupa
dengan cedera vskular ginjal. Pembedahan diperlukan untuk cedera yang

27
lebih besar. Komplikasi lainnya termasuk perdarahan, sepsis (terutama
dengan ekstravasasi dari urine yang terinfeksi), berkembangnya fistula
uriner, dan awitan lambat hipertensi.

2.4.5 Trauma Pelvik

2.4.5.1 Cedera pada Kandung Kemih

Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah, paling sering


sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada kandung kemih
seringkali berhubungan dengan fraktur pelvic. Adanya hematuria, nyeri
abdomen bawah, atau ketidakmampuan berkemih memerlukan
pemeriksaan terhadap cedera uretra dengan uretrogram retrogad sebelum
pemasangan kateter urine.

Cedera pada kandung kemih dapat menyebabkan ekstravasasi urine


intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Ekstravasasi ekstraperitoneal sering
dapat ditangani dengan drainase kateter. Komplikasi jarang terjadi namun
dapat saja terjadi infeksi karena kateter urine atau sepsis akibat
ekstravasasi urine.

2.4.5.2 Fraktur Pelvik

Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang tinggi.


Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paling sering dari kematian
dini, sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas. Angiogram
seringkali diperlukan untuk menemukan letak dan menyumbat sumber
perdarahan.

Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah untuk mencegah
syok hemoragi. Transfusi multipel dan pemantauan hemodinamik
diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan. Komplikasi utama lain

28
dari fraktur pelvik termasuk keterlibatan saraf pelvik dan emboli
pulmonal. Penting untuk dilakukan terapi fisik yang berkepanjangan dan
rehabilitsi yang sering.

2.4.6 Trauma pada Ekstremitas

2.4.6.1 Fraktur

Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang pada trauma
penetrasi. Manakala radiografi sudah memastikan adanya fraktur, maka
harus dilakukan stabilitasi atau perbaikan fraktur. Fiksasi internal fraktur
sering memungkinkan ambulasi dini pada pasien dengan cedera multipel
yang mungkin akan mengalami komplikasi akibat tirah baring
berkepanjangan (ulkus dekubitus, emboli pulmonal, penyusutan otot).

Tanggung jawab keperawatan termasuk pengkajian status neurovaskuler,


sejalan dengan perawatan luka dan pin. Asuhan keperawatan harus
diarahkan terhadap pencegahan dan deteksi dini tentang masalah-masalah
ini. Perawat juga harus bekerja sama dengan terapis fisik untuk
meningkatkan kekuatan dan mobilisasi dini.

2.4.6.2 Cedera Vaskular

Cedera vaskular sering kali mengakibatkan perdarahan atau trombosis


pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh trauma penetrasi,
dan kurang sering karena fraktur. Angiogram juga dapat digunakan untuk
menentukan tempat cedera dan mengidentifikasi fistula arteriovenosa,
pseudoaneurisme, dan penutupan intima. Dilakukan perbaikan
pembedahan primer atau tandur vaskuler.

Segera setelah periode pasceoperasi, terdapat resiko perdarahan berlanjut


atau oklusi trombotik dari pembuluh. Perawat harus mengkaji nadi distal,
warna kulit, sensasi, gerakan, dan suhu ekstremitas yang cedera. Indeks

29
ankle-brakial (ABI) seringkali berguna dalam mendeteksi perkembangan
oklusi setelah trauma ekstremitas bawah. Penurunan ABI menunjukan
peningkatan gradient tekanan yang menembus pembuluh. Metode ini
memberikan data yang lebih objektif ketimbang hanya meraba nadi.
Perawat juga harus memperhatikan perkembangan sindrom kompartemen.

2.5 Pengkajian dan Penatalaksanaan Trauma Lanjutan

2.5.1 Trauma Torak

Trauma torak sering ditemukan, sekitar 25% dan penderita multi-trauma ada
komponen trauma toraks. 90% pada penderita dengan trauma toraks ini dapat
diatasi dengan tindakan yang sederhana oleh dokter rumah sakit (atau paramedic
dilapangan), sehingga hanya 10% yang memerlukan operasi.

2.5.2 Pemeriksaan Fisik Paru

a. Inspeksi
Pemeriksaan paru dilakukan dengan melihat adanya jejas pada kedua sisi
dada,serta ekspansi kedua paru simektris atau tidak
b. Palpasi
Palpasi dilakukan dengan kedua tangan memegang kedua sisi dada.Nilai
peranjakan kedua sisi dada penderita apakah teraba simektris atau tidak oleh
kedua tangan pemeriksa.
c. Perkusi
Dengan mengetukan jari tengah terhadap jari tengah yang lain yang diletakan
mendatar di atas dada.Pada daerah paru berbunyi sonor,pada daerah jantung
berbunyi redup (dull),sedangkan diatas lambung (dan usus) berbunyi
timpani.Pada keadaan pnuemothorax akan berbunyi hipersonor,berbeda
dengan bagian paru yang lain.Pada keadaan hemotorak akan berbunyi redup
(dull)
d. Auskultasi

30
Auskultasi dilakukan pada 4 tempat yakni dibawah kedua klavikula,(pada
garis mid-klavikularis) ,dan pada kedua mid-aksila (kosta 4-5) bunyi nafas
harus sama kiri sama dengan kanan.

2.5.3 Jenis Trauma Torak

2.5.3.1 Manifestasi : gangguan airway (obstruksi)


Penekanan pada trakea didaerah toraks dapat terjadi karna mislnya fraktur
seternum.Pada pemeriksaan klinis penderita aka nada gejala penekanan airway
seperti stridor inspirasi dan suara serak.

2.5.3.2 Manifestasi : gangguan breathing (sesak)


Ada 4 gangguan breathing :
a. Pneumotoraks terbuka /open pneumo-thorax (sucking chest wound)
Depek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan
pneumo-thorax terbuka.Tekanan didalam rongga pleora akan segera
menjadi sama dengan tekanan atmosfer.
b. Tension pneumothorax
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan fentilasi mekanik (fentilator) dengan fentilasi tekanan positif
pada penderita yang ada kerusakan pada pleura visceral.Tension
pneumothorax juga ditandai dengan gejala nyeri dada,sesak yang
berat,distress pernafasan takikardea,hipotensia deviasi trakea,hilang suara
nafas pada satu sisi,dan ditensi venaleher
c. Hematothorax massif
Pada keadaan ini terjadi perdrahan hebat dalam rongga dada.Pada keadaan
ini akan terjadi sesak karna darah dalam rongga pleura dan sok karna
kehilangan darah.Pada perkusi dada akan dull karan adarah dalm rongga
pleura (pada pneumothorax adalah hipersonor)
d. Flail chest

31
Terjadinya flail chest dikarnakan fraktur iga multiple pada dua atau lebih
tulang dengan dua atau lebih garis fraktur.Adanya sigmen flail chest
(segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding
dada.Pada ekspirasi segman akan menonjol keluar,pada inspirasi justru
akan masuk kedalam ini dikenal sebagai pernafasan paradogsal. Flail chest
mungkin tidak terlihat pada awalnya, karna spilnthing pada awalnya
(terbelat) dengan dinding dada.Gerkan pernafasan menjadi buruk dan torak
bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi.Palpasi gerakan
pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan
membentuk diagnosis.

2.5.3.3 Manifestasi : circulation (shok)


Cirdera torak yang akan mempengaruhi sirkulasi yang harus ditemukan pada
primary survey adalah hemotorak mosip karna terkumpulnya darah dengan
cepat dirongga pleura.Juga dapat terjadi pada tampo nade jantung,walaupun
penderita tidak dalam keadaan sesak namun dalam keadaan shok ( syok
nonhemoragik ) terjadi paling sering karna luka tajam jantung,walaupun
trauma tumpul juga dapat menyebabkannya.

2.5.4 Trauma Abdomen

Trauma abdomen akan ditemukan pada 25% penderita multi-trauma. Sering kali terjadi
bahwa diagnostic akan adanya cedera intra-abdomen terlambat karna:

a. Gejala dan tanda yang ditimbulkannya kadang-kadang lambat.


b. Adanya penurunan kesadaran karna ada cedera kepala yang bersamaan, sehingga
gejala nyeri abdomen tidak ada.
c. Adanya cedara spinal, sehingga tidak adanya rasa nyeri.
d. Pemakaian obat-obatan atau minuman keras.

32
2.5.4.1 Insiden

Trauma abdomen bisa disebabkan karna trauma tajam dan trauma tumpul.
Trauma tajam di Indonesia cukup sering terjadi umumnya disebabkan oleh luka
tikam, luka bacok atau luka tembak. Penderita umumnya pria dari kelompok
usia produktif. Pada luka bacok biasanya penderitanya mengalami luka-luka
ditempat lain, misalnya dikepala, dileher, dada, extremitas dan kadang-kadang
menimbulkan syok hypovolemik.

2.5.4.2 Mekanisme trauma

Luka tikam bisa dibedakan oleh pisau, golok, obeng, pisau lipat, kaca atau
benda-benda yang menancap.

Luka tembak bisa disebabkan menjadi 2 (dua) jenis:

a. Kecepatan rendah : < 1000 feet/detik, umumya pada senjata sipil/polisi


b. Kecepatan tinggi : > 3000 feet/detik, umumnya pada senjata standar
militer

2.5.4.3 Gejala Dan Tanda Trauma Abdomen

Pada trauma tajam abdomen seharusnya kita mampu mendeteksi cedera yang
potensial pada organ-organ intra abdomen. Pemeriksaan color dubur sangat
penting pada trauma tajam abdomen dan bila ditemukan adanya darah pada
sarung tangan berarti ada cedera pada usus. Bila pada pemeriksaan tidak
ditemukan tanda dan gejala klinis yang positif kita harus hati-hati dan tetap
waspada.atau team harus melakukan resusitasi dan stabilisasi secepat mungkin.

Ada beberapa indikasi untuk melakukan pemeriksaan secara teliti pada kasus
yang kita curigai adanya trauma tumpul abdomen antara lain:
a. Perdarahan yang tidak diketahui
b. Riwayat syok
c. Adanya trauma dada mayor
d. Adanya trauma pelvis

33
e. Penderita dengan penurunan kesadaran
f. Adanya hematuri
g. Pada pemeriksaan fisik ditemukan jejas diabdomen (luka lecet, kontusio,
dan perut distensi)
h. Mekanisme trauma yang besar

Inspeksi

Semua pakaian harus dilepas.abdomen bagian depan dan belakang diteliti


apakah mengalami ekskoriasi atau memar,m adakah laserasi, tusukan dan
sebagainya dengan cara log roll

Auskultasi

Lakukan auskultasi untuk mendengarkan bising usus terdengar atau tidak.

Perkusi

Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada tympani karna dilatasi lambung
akut dikwadran kiri atas ataupun adanya perkursi redup bila ada
hemoperitoneum. Perkusi mengakibatkan pergerakan peritoneum dan
mencetuskan tanda peritonitis. Shifting dullness (adanya darah dalam
abdomen) terjadi kalau pasien dimiringkan.

Palpasi

Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-
kadang dalam. Dengan palpasi juga kita dapat menentukan besarnya uterus dan
usia kehamilan.

2.5.4.4 Penanganan Trauma Abdomen

Pada dasarnya semua trauma abdomen tumpul dan dan tajam, penanganan awal
tindakan penyelamatan selalu didahulukan dan mengacu prosedur ABCDE.
Disini penolong atau tim harus melakukan resusitasi dan stabilisasi secepat
mungkin.

34
a. Airway dan breathing
Ini diatasi terlebih dahulu. Selalu ingat bahwa cedera bisa lebih dari satu
area tubuh, dan apapun yang ditemukan, ingat untuk memprioritaskan
airway dan breathing terlebih dahulu.
b. Circulation
Kebanyakan trauma abdomen tidak dapat dilakukan tindakan apa-apa pada
fase pra-RS namun terhadap syok yang menyertainya perlu penanganan
yang agresif
c. Disability
Tidak jarang trauma abdomen disertai dengan trauma kapitis. Selal periksa
tingkat kesadaran (dengan GCS) dan adanya lateralisasi (pupil anisokor
dan motorik yang lebih lemah satu sisi).
d. Apabila ditemukan usus yang menonjol keluar (eviserasi) cukup denga
menutupnya dengan kasa steril yang lembab supaya usus tidak kering.
Apabila ada benda menancap, jangan dicabut tetapi dilakukan fikasi benda
tersebut terhadap dinding perut.

2.5.5 Trauma Termal

Kulit manusia banyak fungsinya, antara lain menghindari terjadinya kehilangan cairan.
Apabila terjadi lka ternal maka kulit akan mengalami denaturasi protein yang ada dalam
sel, sehingga kehilangan fungsinya,kematian sel di dalam jaringan, dan kemudian terjadi
luka. Semakin banyak kulit yang hilang maka semakin berat kehilangan cairan. Saat ini
luka ternal (luka bakar) masih merupakan masalah yang cukup besar, dan pertolongan
pertama yang baik akan sangat membantu prognosis penderita.

2.5.5.1 Penanganan Luka Bakar

Pada saat penderita ditemukan, biasanya api sudah mati, apabila penderita masih
dalam keadaan terbakar,maka dapat ditempuh dengan cara :

35
a. Menyiram air dengan jumlah yang banyak apabila api disebabkan karena
bensin atau minyak, kerana apabila dalam jumlah sedikit hanya akan
memperbesar api.
b. Menggulingkan penderita pada tanah yang datar, kalau bisa dalam selimut
basah (penolong jangan sampai turut terbakar).

Survei primer
Airway
Pada permulaan airway biasa tidak terganggu. Dalam keadaan ekstrim bisa
saja airway terganggu, misalnya karena lama berda dalam ruangan tertutup
yang terbakar sehingga terjadi pengaruh panas yang lama terhadap jalan nafas.
Menghisap gas atau pertikel korban yang terbakar dalam jumlah juga dapat
mengganggu airway. Apabila obsruksi parsial dibiarkan, maka akan menjadi
total dengan akibat kematian penderita indikasi klinis adanya trauma inhalasi
anatara lain:
a. Luka bakar yang mengenai wajah dan leher
b. Alis mata dan bulu hidung hangus
c. Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut orofaring
d. Sputum yang mengandung karbon atau arang
e. Suara serak
f. Riwayat gangguan mengunyah dan terkurung dalam api
g. Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan

Breathing
Gangguan breating yang timbul cepat, dapat disebabkan karena:
a. Inhalasi partikel panas yang menyebabkan proses peradangan dan
edema pada saluran jalan nafas yang paling kecil. Mangatasi sesak yang
terjadi adalah dengan penangan yang agresif, lakukan airway definitive
untuk menjaga jalan nafas.

36
b. Keracuanan Co (karbondioksida). Asap dan api mengandung Co.
apabila penderita berada dalam ruangan tertutup yang terbakar maka
kemungkinan keracunan Co cukup besar.

Circulation
Kulit yang terbuka akan menyebabkan penguapan air yang berlebih dari
tubuh, dengan akibat terjadi dehidrasi.

Disability
Jangan lupa memeriksa skor GCS dan tanda lateralisasi (pupil dan motorik).
Kepanikan mungkin menimbulkan benturan sehingga perdarahan
intracranial dapat saja terjadi.

Eksposure
Pada eksposure selaluperhatikan penderita jangan sampai hipotermi

Survey Sekunder
Anamnesis
Penting untuk menanyakan dengan teliti hal sekitar kejadian.Tidak jarang
terjadi bahwa disamping luka bakar akan ditemukan pula perlukaan lain
yang disebabkan usaha melarikan diri dari dari api dalam keadaan panic
tersebut.

a. Pemeriksaan ujung rambut sampai ujung rambut sampai ujung


kaki.Pemeriksaan teliti di lakukan apabila ada waktu.Apabila ditemukan
kelainan maka diberikan pertolongan sesuai.
b. Luka bakarnya sendiri Tidak perlu dilakukan apa-apa,selain menutup
dengan kain bersih.Menyemprot dengan air hanya dilakukan bila tiba
sebelum 15 menjangan memecit setelah kejadian.Pada fase pra-RS hkan
bula atau vesikula

37
2.5.5.2 Penatalaksanaan Luka

Perawatan luka dilakukan segera setelah tindakan resusitansi jalan nafas dan
mekanisme bernafas serta resusitasi cairan dilakukan:melakukan tindakan
debridement,nekrotomi,dan pencucian luka.Tentunya tindakan ini di lakukan di
Ruang Operasi Luka Bakar

2.5.5.3 Luka Bakar Listrik

Luka listrik cukup sering di temukan. Yang harus di perhatikan adalah :

a. Yang menyebabkan kematian adalah kuat arus (ampere)dan bukan voltase


b. Apabila penderita datang masih dalam keadaan terkena arus listrik ,yang
perlu diperhatikan adalah:
 Matikan listrik dari sumber listrik
 Apabila tidak mungkin,maka coba lepaskan penderita dengan
perataran kayu kering,baju kering dsb
c. Luka bakarnya sendiri
Bahaya gamgguan irama jantung juga selalu ada ,betapapun kecil arus
listrik,karena selalu pasang EKG.Bila ada kelainan berikan terapi yang sesuai.
d. Bila sudah meninggal,selalu berikan RJP(kecuali bila kematian pasti.
e. Masalah luka karena arus listriknya : dianggap sebagai luka bakar. Patut di
tambhakan bahwa luka karena aruskan listrik akan masuk kekulit

2.5.5.4 Luka Bakar Kimia

a. Zat yang bersifat basa kuat lebih berbahaya di bandingkan zat bersifat asam
kuat. Semakin asam atau basa, semakin berbahaya pula.
b. Apabila menemukan penderita masih dalam keadaan terkena zat kimia:
 Selalu proteksi diri

38
 Apabila zak kimia bersifat cair, langsung semprot dengan air mengalir.
 Apabila sifat kimia bersifat bubuk safu dulu sampai zat kimia tipis baru
siram.
c. Luka karna zat kimia diperlakukan sebagai luka bakar.

2.5.5.5 Indikasi rawat

Pada beberapa kasus luka bakar yang perlu dirujuk kepusat luka bakar sebagai
berikut :

 Kasus LB derajat II > l5% persen pada dewasa dan >10% pada anak-anak.
 Kasus LB derajat II pada muka, tangan dan kaki. Perinium, sendi.
 Kasus LB derajat III >2% pada dewasa, setiap derajat III pada anak-anak.
 Kasusu LB disebabkan oleh listrik disertai cedera, jalan nafan atau
komplikasi lain.

2.5.5.6 Cedara akibat cuaca dingin: efeknya pada jaringan lokal

Ada 3 jenis truma dingin :

a. Frostnip, merupakan bentuk paling ringan trauma dingin, ditandai dengan


nyeri, pucat, dan kesemutan pada daerah yang terkena.
b. Frostbite, adalah pembekuan jaringan yang diakibatkan oleh pembentukan
Kristal es intraseluler dan bendungan mikrofasikuler sehingga terjadi
anoriksia jaringan.

2.5.5.7 Derajat frostbite:


a. Derajat 1 : kulit tampak memucat, edema tanpa nekrosis kulit.
b. Derajat 2 : mulai gelembung atau bulae
c. Derajat 3 / dalam: nekrosis seluruh lapisan kulit daan jaringan sekutan.
d. Derajat 4 : nekrosis seluruh lapisan kulit dan ganggreng otot serta tulang.

2.5.5.8 Penanganan

39
 Proteksi diri dan lingkungan
 Selalu mendahulukan hal yang mengancam ABC terlebih dahulu.
 Penangan harus segara dilakukan untuk memperpendek berlangsunya pembekuan
jaringan.
 Re-warming
 Jangan lakukan pada frost bite dalam/lanjut
 Selalu memakapenhangatan lembab jangan kering misalnya mamakai hair drayer
 Jika terdapat luka lakukan seperti penangan luka bakar

2.5.5.9 Cedera akibat cuaca dingin : hipotermi sistem

Hipotermi adalah keadaan dimana suhu tubuh inti (core body temperature)
dibawah 35 C tanpa adanya trauma lain, hipotermi dibagi menjadi ringan sampai
berat .Manula lebih rentan terhadap trauma hipertermi ini di sebabkan terbtasnya
kemampuan menghasilkan panas dan mengurangi kehilangan panas dan
mengurangi kehilangan panas melalui vasokonstriksi.

2.5.5.10 Penanganan

Lakukan penilaian ABCDE cegah hilangnya panas dengan memindahkan


penderita dari lingkungan dingin dan lepaskan baju yang basah dan dingin serta
tutup dengan selimut hangat.Selalu berikan oksigen sesuai kebutuhan penderita.

2.5.6 Trauma Kapitis

Trauma kapitis merupakan kejadian yang sangat sering dijumpai. Lebih dari 50%
penderita trauma kapitis, bila multi-trauma (cedera lebih dari satu bagian tubuh), maka
50% penderita ada masalah trauma kapitis.

2.5.6.1 Jenis trauma kapitis

1. Fraktur

40
Fraktur kalvaria (atap tengkorak) apabila tidak terbuka (tidak ada hubungan
otak dengan dunia luar) tidak memerlukan perhatian segera. Yang lebih
penting adalah keadaan intra-kranialnya. Fraktur basis cranium dapat
berbahaya terutama karena perdarahan yang ditimbulkan sehingga
menimbulkan ancaman terhadap jalan nafas.

2. Cedera Otak
Cedera otak dapat berupa Cedera Difus dan Cedera Fokal
Cedera Difus dapat kehilangan kesadaran yang sebentar (komosio serebri)
atau lebih lama (difuse axonal injury). Cedera otak difus yang berat biasanya
diakibatkan hipoksia,iskemik dari otak karena syok yang berkepanjangan atau
priode apnu yang terjadi segera setelah trauma.
Cedera Fokal dapat berupa kontusio atau perdarahan intra-kranial. Perdarahan
intra-kranial dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural atau
perdarahan intracranial. Paling sering ditemukan adalah perdarahan
perdarahan sub-dural, perdarahan epidural lebih jarang. Perdarahan subdural
mempunyai prognosis lebih buruk karena kerusakan otak dibawahnya.

2.5.6.2 Penilaian Trauma kapitis

1. Penurunan kesadaran

Penurunan kesadaran merupakan tanda utama trauma kapitis. Saat ini penurunan
kesadaran dinilai memakai Glosgow Coma Scale (GCS), dan merupakan
keharusan untuk dikuasai oleh setiap para medic. GCS memakai 3 komponen,
yakni Eye (mata), Verbal (kemampuan berbicara), dan Motorik (gerakan).

Eye

4. Membuka spontan

3. Membuka terhadap suara

2. Membuka terhadap nyeri

41
1. Tidak ada respon

Verbal

5. Berorientasi baik

4. Berbicara tapi tidak berbentuk kalimat

3. Berbicara kacau atau tidak sinkron

2. Suara merintih atau menerang

1. tidak ada respon

Motorik

6. Mengikuti perintah

5. Melokalisir nyeri

4. Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)

3. Fleksi abnormal (dekortikasi)

2. Ekstensi abnormal (deserebrasi)

1. tidak ada respon (flasid)

Keadaan koma apabila diterjemahkan ke GCS adalah :

Tidak membuka mata : Eye =1

Tidak dapat berkata-kata : Verbal =2 atau 1

Tidak dapat mengikut perintah : Motorik = 5

Maka koma adalah GCS 8 atau kurang.

42
Tingkatan GCS

1. GCS Ringan (GCS=14-15)

Penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan


cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat
namun sulit untuk dibuktikan terutama bila dibawah pengaruh alcohol atau obat-
obatan

2. GCS Sedang (GCS=9-13)

Penderita masih mampu menuruti perintah sederhana namun biasanya tampak


bingung atau mengantuk dan dapat desertai deficit neurologis fokal seperti
hemiparesis. Sebanyak 10-20% dari penderita cedera otak sedang mengalami
pemburukan dan jatuh dalam koma.

3. GCS Berat (GCS 3-8)

Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah sederhana
walaupun status kardiopulmonalnya telah stabil.

2.5.6.3 Tanda lateralisasi

Tanda lateralisasi disebabkan karena adanya suatu proses pada satu sisi otak,
seperti misalnya perdarahan intra-kranial.

Pupil

Kedua pupil mata harus diperiksa. Biasanya sama lebar (3mm) dan reaksi sama
cepat apabila salah satu lebih lebar (lebih dan 1mm), maka keadaan ini disebut
sebagai anisokoria.

Motorik

43
Dilakukan perangsangan pada kedua lengan dan tungkai, apabila salah satu lengan
atau dan tungkai kurang atau sama sekali tidak bereaksi maka disebut sebagai
adanya tanda lateralisasi

2.5.6.4 Tanda-tanda peningkatan tekanan intra-kranial (TIK)


a. Pusing dan muntah
b. Tekanan darah sistolik meninggi
c. Nadi melambat (bradikardia)
d. Tanda – tanda peninggian tekanan intra-kranial tidak mudah untuk dikenali,
namun apabila ditemukan maka harus sangat waspada.

2.5.6.5 Pengelolaan cedera kepala


Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur sevikal.

Airway dan Breathing

Gangguan airway dan breathing sangat berbahaya pada trauma kapitis karena
akan dapat menimbulkan hipoksia atau hiperkarbia yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan otak skunder. Bila koma harus dipasang jalan nafas
definitive, karena reflex menelan dan reflex batuk kemungkinan sudah tidak ada
sehingga ada bahaya obstruksi jalan nafas. Oksigen selalu diberikan dan bila
pernafasan meragukan lebih baik memulai ventilasi tambahan.

Circulation

Gangguan Circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi darah keotak


yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian syok trauma
kapitis harus dilakukan penanganan dengan agresif.

Disability

Selalu dilakukan penilaian GCS, pupil dan tanda lateralisasi yang lain. Penurunan
kesadaran dalam bentuk penurunan GCS lebih dan 1 (2 atau lebih) menandakan

44
perlunya konsultasi bedah syaraf dengan cepat. Selalu ingat upayakan mencegah
kerusakan otak sekunder.

2.6 Komplikasi-Komplikasi Pada Trauma Multipel Penyebab Kematian Dini (Dalam 72


Jam)

Hemoragi dan Cedera Kepala

Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab kematian dini setelah trauma multipel.

Mekanisme yang Mengarah pada Penurunan Perfusi Jaringan

Faktor penyebab (spt, penurunan volume. pelepasan toksin)

Penurunan arus balik vena

Penurunan isi sekuncup

Penurunan curah jantung

Penurunan perfusi jaringan yang tidak sama

Untuk mencegah kehabisan darah, maka perdarahan harus dikendalikan. Ini dapat
diselesaikan dengan operasi ligasi (pengikatan) dan pembungkusan, dan embolisasi
dengan angiografi. Hemoragi berkelanjutan memerlukan Transfusi multiple, sehingga
meningkatkan kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC. Hemoragi berkepanjangan
mengarah pada syok hipovolemik dan akhirnya terjadi penurunan perfusiorgan (Tabel 44-

45
5). Berbagai organ memberikan respons yang berbeda terhadap penurunan perfusi yang
disebabkan oleh syok hipovolemik.

2.6.1 Penyebab Lambat Kematian

(Setelah 3 Hari)

Sepsis

Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma multipel. Pelepasan
toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang mengarah pada pengumpulan
venosa yang mengakibatkan penurunan arus balik vena. Pada mulanya, curah
jantung meningkat untuk mengimbangi penurunan tahanan vaskular sistemik.
Akhirnya, mekanisme kompensasi terlampaui dan curah jantung menurun sejalan
dengan tekanan darah dan perfusi (y.i. syok septik).

Sumber infektif harus ditemukan dan dibasmi. Diberikan antibiotik, dilakukan


pemeriksaan kultur, mulai dilakukan pemeriksaan radiologik. operasi eksplorasi
sering dilakukan. Abses intra Abdomen merupakan penyebab sepsis paling sering.
Sebagian abses dapat keluarkan perkutan, sedangkan yang lainnya memerlukan
pembedahan. Setelah pembedahan drainase abses abdomen, insisi dibiarkan
terbuka, dengan drains terpasang, untuk memungkinkan penyembuhan dan
menghindari kekambuhan. Sumber-Sumber infeksi lainnya yang perlu
diperhatikan adalah selang invasif, saluran kemih, dan paru-paru. Diperkirakan
bahwa pemberian nutrisi yang dini dapat menurunkan perkembangan sepsis dan
gagal organ multipel.

2.6.2 Gagal Organ Multipel

Awitan sepsis sering bertepatan dengan awitan gagal organ multipel (GOM) yang
terjadi pada 7% sampai 12% dari Pasien-pasien cedera kritis. Infeksi dan riwayat
Syok hipovolemik diduga dapat meningkatkan potensi perkembangan GOM.

46
Ditandai dengan kegagalan dua organ atau lebih, GOM ditandai dengan tingkat
mortalitas 25% samapai 95%. Paru-paru dan Hepar Cenderung untuk gagal
pertama kali, diikuti oleh ginjal, sistem pencernaan,dan jantung.

Gagal pulmonal dalam bentuk ARDS biasanya timbul 5 smpai 7 hari setelah
cedera. Gagal Pulmonal ditandai dengan hipoksemia dengan pemirauan,
penurunan komplians paru, takipnea, dispnea, dan timbulnya infiltrat pulmonal
bilateral difus. Sindrom memerlukan bantuan ventilator intensif. Faktor-faktor
penyebab termasuk trauma pulmonal mayor, tranfusi darah multipel, sepsis dan
syok.

Gagal hepar dapat diakibatkan oleh kerusakan awal. Melemahnya vaskular, syok,
dan sepsis. Ikterik adalah indikator umum dari penyimpangan fungsi hepar,
meskipun penyebab lain seperti obstrusi saluran empedu pasca traumatik harus
disingkirkan. Uji Fungsi hepar merupakan Diagnostik. Gagal hepar dapat
mengarah pada penururnn tingkat kesadaran, pemeriksaan pembekuan abnormali,
dan hipoglikemia.

Gagal ginjal dapat dicetuskan oleh cedera ginjal, iskemia, bahan kontras
radiografi, hipovolemia (karena hemoragi, spasium ketiga) atau sepsis. Tanda-
tanda awal termasuk peningkatan nitrogen urea darah dan kreatinin serum. Gagal
ginjal dapat poliurik, oligurik. Dialisis seringkali diperlukan.

Gagal Gastrointestinal ditunjukkan dengan perdarahan stres yang membutuhkan


tranfusi darah. Netralisasi profolaktik asam lambung dapat meminimalkan resiko
perdarahan.

Gagal Jantung biasanya merupakan kompilkasi akhir, bagimanapun, adanya


kondisi jantung sebelumnya dapat mencetuskan korban tauma multipel pada
awitan dari gagal jantung. Dapat terlihat hipotensi, penurunan curah jantung, dan
penurunan fraksi ejeksi.

47
Koagulasi intravaskular diseminata dan perubahan-perubahan sistem syaraf pusat,
berkisar dari kekacauan mental sampai obtundasio, dapat juga merupakan tanda
GOM.

Banyak teradapat komplikasi yang berkaitan dengan trauma multipel. Karena


kebanyakan pasien-pasien trauma berada pada unit perawatan intensif saat
komplikasi ini timbul, maka perawat unit perawatan kritis memainkan peranan
penting dalam mendeteksi dan mencegah akibat ini.

Sifat tak teduga dari trauma cenderung memperkuat rasa takut dan ansietas. Oleh
karena itu, asuhan keperawatan juga harus memeberika dukungan psikososial
terhadap pasien cedera berat dan keluarga mereka melalui pendekatan
multidisiplin yang mengetahui permasalahan dan sering memberikan penjelasan-
penjelasan.

48
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

BTLS (Basic Trauma Life Suport) adalah bagian awal dari ATLS (Advanced Trauma Life
Suport. Pada BTLS, dokter atau tenaga kesehatan lainnya tidak diminta untuk memberikan
tatalaksana sesuai diagnosis definitifnya tapi hanya memberikan kesempatan bagi pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan nantinya. Intinya pada tahap ini, dokter atau pelayan
kesehatan lainnya hanya diminta membantu pasien untuk tetap hidup atau membuat reaksi
kimia C6H12O6 + 6O2 ---> 6CO2 + 6H2O tetap berlangsung.

Hal dilakukan adalah Primary Survey. Di sini dokter diminta menilai secermat mungkin hal apa
yang mengancam nyawa pasien. Beberapa nemonic yang sering membantu antara lain:

A : Airway with c-spine control

B : Breathing and ventilation

C : Circulation with haemorrage control

D : Disability (neurologic evaluation)

E : Exposure and Environment

49
DAFTAR PUSTAKA

Tabrani (1998), Agenda Gawat Darurat, Pembina Ilmu, Bandung

Hudack & Galo (1996), Perawatan Kritis; Pendekatan Holistik, EGC , Jakarta

Emanuelsen, K.L. & Rosenlicht, J.McQ. (1986). Handbook of critical care nursing. New York:
A Wiley

Dorland,2002,Kamus Saku Kedokteran .Jakarta :EGC

American College of Surgeon Committee of Trauma,2004.Advanced Trauma Life Support


Seventh Edition.Indonesia: Ikabi

Scheets,Lynda J.2002.Panduan Belajar Keperawatan Emergency.Jakarta: EGC

Medical Publication.http://askep-askeb.cz.cc/

http://emedicine.medscape.com/article/822099-overview

50

You might also like