Professional Documents
Culture Documents
Referat Trauma Uretra Fix
Referat Trauma Uretra Fix
PENDAHULUAN
Trauma uretra merupakan kasus yang jarang, dan lebih sering ditemukan pada
pria yang biasanya berhubungan dengan fraktur pelvis atau straddle injury. Trauma
uretra ini jarang dialami oleh wanita dan biasanya berkaitan dengan fraktur pelvis.
Cedera ini biasanya berhubungan dengan laserasi vagina dan merupakan petunjuk
utama untuk mengarah ke diagnosis. Tetapi, cedera ini sering terlewatkan karena
pemeriksaan vagina, biasanya hanya dilakukan pada cedera yang berat. Bermacam-
macam bagian dari uretra dapat terkena laserasi,transeksi, ataupun kontusio.
Tatalaksananya pun berbeda-beda tergantung dari tingkat cederanya.
Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan
trauma uretra posterior, Hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal
etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Urethra masculine panjangnya sekitar 8 inci (20 cm) dan terbentang dari
collum vesicae urinaria sampai ostium uretra eksternum pada glans penis.
Uretra masculine dibagi menjadi tiga bagian yaitu pars prostatica, pars
membranacea dan pars cavernosa.
Sedangkan panjang urethra feminine kurang lebih 1,5 inci (3,8 cm). uretra
terbentang dari collum vesicae urinaria sampai ostium urethane externum yang
bermuara kedalam vestibulum sekitar 1 inci (2,5 cm) distal dari clitoris. Urethra
menembus sphincter urethrae dan terletak tepat didepan vagina. Disamping
ostium urethrae externum terdapat muara kecil dari ductus glandula
paraurethralis. Urethra dapat dilebarkan dengan mudah.
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika dan uretra pars
membranacea. Urethra pars prostatica panjangnya 3 cm (1 ¼ inci), sesuai
namanya berada/melewati prostat. Pada dinding posterior urethra pars
prostatica terdapat peninggian longitudinal yang dinamakan crista urethralis,
pada tiap-tiap sisi terdapat celah sempit dinamakan sinus prostaticus yang
terdiri dari 15-20 muara kelenjar prostat. Pada kira-kira pertengah crista
urethralis terdapat tonjolan disebut colliculus seminalis (verumontanum) yang
membuka ke arah utriculus prostaticus. Colliculus seminalis merupakan saluran
yang tak tampak, panjangnya sekitar 5 mm, berjalan turun dari lobus medius
prostat. Bagian ini diyakini ekuivalen dengan vagina pada wanita. Pada sisi lain
orificium dari utriculus prostaticus terdapat pembukaan ductus ejaculatorius,
yang dibentuk dari gabungan ductus vesicula seminalis dengan ujung vas
deferens. Sedangkan Urethra pars membranacea panjangnya sekitar 1,25 cm
(0,5 inci), menembus sphincter externa urethra (sphincter volunter vesica
urinaria) dan membrana fascia perinealis yang menutupi bagian superficial
sphincter. Bagian ini merupakan bagian urethra yang paling tidak bisa
dilebarkan.
Uretra anterior pada pria merupakan bagian uretra yang dibungkus oleh
korpus spongiosum penis. Uretra pasr spongiosa terdiri atas : (1) pars bulbosa,
3
(2) pars pendularis, (3) fossa navikularis dan (4) metaus uretra eksterna. Urethra
pars spongiosa panjangnya sekitar 15 cm (6 inci), berada dalam corpus
spongiosum penis. Pada mulanya berjalan ke atas dan ke depan untuk
menempati bagian bawah symphisis pubis kemudian sedikit demi sedikit akan
menekuk ke bawah dan ke depan. Ostium urethrae extrenum merupakan bagian
yang tersempit dari seluruh urethra. Bagian urethra yang terletak di dalam glans
penis melebar membentuk fossa navikularis (fosa terminalis).
Daerah potensial untuk cedera dapat disimpulkan dari studi lebih lanjut
tentang anatomi uretra. Uretra pars membranosa rentan terhadap cedera dari
fraktur panggul karena ligamen puboprostatic mengikat puncak kelenjar prostat
ke tulang panggul dan dengan demikian menyebabkan adanya kerusakan dari
uretra ketika panggul bergeser. Uretra pars bulbar rentan terhadap cedera benda
tumpul karena adanya jalan sepanjang perineum. Cedera kangkang (straddle
injury) karena jatuh atau tendangan ke daerah perineum dapat menyebabkan
trauma bulbar. Sebaliknya, uretra penis memiliki sedikit kemungkinan terluka
4
dari kekerasan eksternal karena mobilitasnya, tetapi cedera iatrogenik dari
kateterisasi atau manipulasi dapat juga terjadi pada fossa navicularis.
2.3 Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan
cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang
menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan ruptur uretra pars
membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle
injury dapat menyebabkan ruptur uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau
businasi pada uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra
karena fals route atau salah jalan; demikian pula tindakan operasi trans uretra
dapat menimbulkan cedera uretra iatrogenic.
Dalam banyak hal peristiwa traumatis, etiologi cedera uretra dapat
diklasifikasikan sebagai trauma tumpul atau penetrasi. Di uretra posterior,
cedera tumpul hampir selalu terkait dengan kejadian akibat perlambatan seperti
jatuh dari beberapa jarak atau tabrakan kendaraan. Pasien-pasien ini paling
5
sering mengalami patah tulang panggul yang melibatkan panggul anterior.
Trauma tumpul ke uretra anterior paling sering terjadi pada pukulan ke segmen
bulbar seperti terjadi ketika mengangkangi suatu objek atau dari serangan
langsung atau tendangan ke perineum..Trauma uretra anterior tumpul kadang-
kadang diobservasi jika terdapat fraktur penis.
6
Gambar 3. Gambaran “Teardrop atau pie in the sky” pada pasien fraktur pelvis
7
kadang-kadang disertai pula dengan pembengkakan perineum dan
batang penis, disebut sebagai hematoma kupu-kupu.
4. Pada patah tulang panggul dan ruptur uretra posterior,
kemungkinan besar terjadi kerusakan organ ganda (multipel).
Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang paling
penting dari kerusakan uretra. Pada kerusakan uretra tidak diperbolehkan
melakukan pemasangan kateter, karena dapat menyebabkan infeksi pada
periprostatik dan perivesical dan konversi dari incomplete laserasi menjadi
complete laserasi. Cedera uretra karena pemasangan kateter dapat
menyebabkan obstuksi karena edema dan bekuan darah. Abses periuretral atau
sepsis dapat mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah
dapat meluas jauh tergantung fascia yang rusak. Pada ekstravasasi ini mudah
timbul infiltrat urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi
infeksi. Adanya darah pada ostium uretra eksterna mengindikasikan pentingnya
uretrografi untuk menegakkan diagnosis
8
Gambar 4. Uretra normal pada pemeriksaan uretogram (Radiopedia.org)
9
Jika dicurigai terjadi trauma uretra posterior, maka kateter suprapubik
dimasukan dan untuk menyingkirkan trauma leher kandung kemih
menggunakan cystogram. Cystogram simultan dan uretrogram dapat dilakukan
untuk menilai tempat, tingkat keparahan dan lamanya cedera dan fungsi dari
leher kandung kemih.
Cystography statis memungkinkan untuk cedera kandung kemih yang
terjadi secara bersamaan, untuk dikecualikan dalam penatalaksanaan akut.
Ketika mempertimbangkan untuk perbaikan, voiding cystography (dilakukan
melalui kateter suprapubik) menunjukkan leher kandung kemih dan anatomi
uretra pars prostatika dan memungkinkan untuk perencanaan bedah yang tepat.
Ketika uretra proksimal tidak dapat divisualisasikan menggunakan
cystogram dan uretrogram, maka dapat digunakan MRI pada uretra posterior
dan endoskopi melalui saluran suprapubik.
Pemeriksaan endoskopi (Urethroscopy) tidak digunakan dalam diagnosis
awal trauma uretra posterior pada laki-laki. Namun endoskopi diperlukan untuk
informasi gangguan parsial dari urtra anterior distal. Pada wanita uteroskopi
merupakan tambahan penting untuk identifikasi dan derajata trauma uretra.
10
a. Klasifikasi Ruptur Uretra Posterior
Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976)
membagi derajat cedera uretra dalam 3 jenis :
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching
(perengangan). Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya
ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang
2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea,
sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram
menunjukkan ekstravasai kontras yang masih terbatas di atas
diafragma
3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa
sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan
ekstvasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma sampai ke
perineum
11
menimbulkan banyak perdarahan. Ruptur uretra posterior seringkali
memberikan gambaran klinis yang khas berupa : (1) perdarahan per-uretram,
(2) retensi urine dan (3) pada pemeriksaan colok dubur terdapat floating
prostate (prostat melayang) di dalam suatu hematom. Pada pemeriksaan
ultrasonografi retrograde mungkin terdapat elongasi uretra atau ekstravasasi
kontras pada pars prostate membranasea
12
Prostat dan buli-buli terpisah dengan uretra pars membranasea dan
terdorong ke atas oleh penyebaran dari hematoma pada pelvis. High riding
prostat merupakan tanda klasik yang biasa ditemukan pada ruptur uretra
posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur pelvis kadang-
kadang menghalangi palpasi yang adekuat pada prostat yang ukurannya
kecil. Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat yang normal
mungkin adalah hematoma pada pelvis. Pemeriksaan rektal lebih penting
untuk mengetahui ada tidaknya jejas pada rektal yang dapat dihubungkan
dengan fraktur pelvis. Darah yang ditemukan pada jari pemeriksa
menunjukkan adanya suatu jejas pada lokasi yang diperiksa
c. Tindakan
Ruptur uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ
lain (abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa
perdarahan. Oleh karena itu sebaiknya dibidang urologi perlu melakukan
tindakan yang invasive pada uretra. Tindakan yang berlebihan akan
menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih banyak pada kavum pelvis
dan prostat serta menambah kerusakan pada uretra dan struktur
neurovascular di sekitarnya. Kerusakan neurovascular menambah
kemungkinan terjadinya disfungsi ereksi dan inkontinensia .
Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan
sistostomi untuk diversi urine. Setelah keadaan stabilsebagian ahli urology
melakukan primary endoscopic realignment yaitu melakukan pemasangan
kateter uretra sebagai splint melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini
diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan.
Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca rupturdan kateter uretra
dipertahankan selama 14 hari. Sebagian ahli urologi lain mengerjakan
reparasi uretra (uretroplasti) setelah 3 bulan pasca trauma dengan asumsi
13
bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga tindakan
rekronstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.
Menurut Tanagho dkk (2008), penanganan trauma uretra posterior
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
14
eksisi langsung pada striktur uretra dan anastomosis dari bulbus uretra
langsung ke bagian apeks prostat. Setelah itu dimasukkan kateter silicon
16F dengan sistostomi suprapubik. Kateter dilepaskan sekitar satu bulan,
dan pasien bisa berkemih seperti biasa.
15
Cara pemasangan kateter tersebut adalah sebagai berikut:
1. Selang karet atau plastik diikat ketat pada ujung sonde dari meatus uretra
2. Sonde uretra pertama dari meatus eksternus dan sonde kedua melalui
sistotomi yang dibuat lebih dahulu saling bertemu, ditandai bunyi denting
yang dirasa di tempat ruptur
3. Selanjutnya sonde dari uretra masuk ke kandung dengan bimbingan sonde
dari buli-buli
4. Sonde dicabut dari uretra
5. Sonde dicabut dari kateter Nelaton dan diganti dengan ujung kateter
Foley yang dijahit pada kateter Nelaton
6. Ujung kateter ditarik kearah buli-buli
7. Selanjutnya dipasang kantong penampung urin dan traksi ringan sehingga
balon kateter Foley tertarik dan menyebabkan luka ruptur merapat. Insisi
di buli-buli ditutup
d. Penyulit
Penyulit yang terjadi pada ruptur uretra adalah striktur uretra yang
seringkali kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urine. Disfungsi
ereksi terjadi pada 13-30 % kasus disebabkan karena kerusakan saraf
parasimpatetik atau terjadinya insufisiensi arteria. Inkontinensia urine lebih
jarang terjadi, yaitu 2-4 % yang disebabkan karena kerusakan sfingter uretra
eksterna. Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktur (12-15
%) yang dapat diatasi dengan uretrotomia interna (sachse). Meskipun masih
bisa kambuh lagi, striktur ini biasanya tidak memerlukan tindakan
uretroplasti ulangan.
16
tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan uretra yang terjadi berupa:
kontusio dinding uretra, ruptur parsial, atau ruptur total dinding uretra.
a. Patologi
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus
spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia
buck dan fasia colles. Jika terjadi rupture beserta korpus spongiosum, darah
dan urine keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia buck, dan secara
klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia buck
ikut robek, ekstravasasi urine dan darah hanya dibatasi oleh fasia colles
sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau dinding abdomen. Oleh
karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga
disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.
b. Diagnosis
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram
atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat
17
adanya hematom pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini
seringkali pasien tidak dapat miksi. Pemeriksaan uretrografi retrograde pada
kontusio uretra tidak menunjukkan adanya ektravasasi kontras, sedangkan
pada rupture uretra tidak menunjukkan adanya ekstravasasi kontras di pars
bulbosa.
c. Tindakan
Kontusio uretra tidak memerlukan tindakan khusus, tetapi mengingat
cedera ini dapat menimbulkan penyulit striktura uretra di kemudian hari,
maka setelah 4-6 bulan diperlukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada
rupture uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi
untuk mengalihkan aliran urine. Kateter sistostomi dipertahankan sampai 2
minggu, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi
bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktur uretra.
Namun jika timbul striktur uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.
Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine
dan hematom yang luas sehinga diperlukan debridement dan insisi
hematoma untuk mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan
Sedangkan tatalaksana trauma uretra anterior menurut Tanagho dkk
(2008) dialkukan beberapa tindakan sebagai berikut :
1. Tindakan Umum
Kehilangan banyak darah biasanya tidak terjadi. Jika pendarahan berat
tidak terjadi, maka tekanan lokal untuk pengendalian dan diikuti oleh
resusitasi diperlukan.
2. Tindakan Spesifik
a. Urethral Contusion
Pasien dengan luka memar uretra menunjukkan tidak ada bukti
pengeluaran darah, dan uretra tetap utuh. Setelah urethrography,
18
pasien diperbolehkan untuk buang air; dan jika buang air terjadi
seperti biasanya, tanpa rasa sakit atau pendarahan, tidak ada
perlakuan tambahan diperlukan. Jika pendarahan terus berlanjut,
drainase kateter uretra dapat dilakukan.
b. Urethral Laceration
Sebuah irisan kecil garis tengah di daerah suprapubik dengan
mudah mengekspose kubah kandung kemih sehingga tabung
suprapubik cystostomy dapat disisipkan, sehingga memungkinkan
pengalihan kemih lengkap dimana sementara itu terjadi
menyembuhkan luka uretra. Percutaneous cystostomy mungkin juga
dapat digunakan dalam luka tersebut. Penyembuhan pada tempat
cedera dapat menghasilkan pembentukan striktur. Sebagian besar
striktur tidak parah dan tidak membutuhkan bedah rekonstruksi.
kateter cystostomy suprapubik mungkin dilepaskan jika tidak ada
ekstravasasi yang terjadi. Tindak lanjut dengan dokumentasi dari laju
aliran kemih akan menunjukkan apakah terjadi obstruksi uretra akibat
striktur.
19
2.8 Komplikasi
Komplikasi dini setelah rekontruksi uretra adalah infeksi, hematoma,
abses periuretral, fistel uretrokutan, dan epididimitis.
Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra. Khusus
pada ruptur uretra posterior dapat timbul komplikasi impotensi dan
inkontinensia.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera
iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tersebut harus didiagnosis efisien
dan efektif diobati agar mencegah gejala sisa jangka panjang yang serius.
Trauma uretra secara klinis dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan
trauma uretra posterior. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis
menyebabkan ruptur uretra pars membranasea (Uretra pars posterior), sedangkan
trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan ruptur
uretra pars bulbosa (uretra pars anterior).
21
DAFTAR PUSTAKA
Pienero Luis M., et all. 2010. EAU Guidelines on Urethral Trauma. European
Association Of Urology (http://uroweb.org/wp-content/uploads/2010-Urethral-
Trauma.pdf ), diakses 22 Desember 2016.
Purnomo B. 2003. Dasar-dasar urologi. Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto. Hal .199-202
Purnomo B., Daryanto B., Seputra P. Kenta. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi
(SMF Urologi Laboratorium Ilmu Bedah). RSU Dr. Saiful Anwar:Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
22