You are on page 1of 24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1.Pengertian Bahasa

Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga


membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti.
Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai berikut:

1. suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.


2. suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke
dalam pikiran orang lain
3. suatu kesatuan sistem makna
4. suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan
antara bentuk dan makna.
5. suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh:
Perkataan, kalimat, dan lain-lain.)
6. suatu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.

Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada manusia, dinyatakan bahwa bahasa
adalah fungsi kognisi tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan, ilmu yang mengkaji
bahasa ini disebut sebagai linguistik.

Menetapkan perbedaan utama antara bahasa manusia satu dan yang lainnya sering
amat sukar. Chomsky (1986) membuktikan bahwa sebagian dialek Jerman hampir
serupa dengan bahasa Belanda dan tidaklah terlalu berbeda sehingga tidak mudah
dikenali sebagai bahasa lain, khususnya Jerman.

Ada beberapa bahasa artifisial (buatan) yang dikenal, salah satunya adalah bahasa
Esperanto. Bahasa ini diciptakan oleh L. L. Zamenhof di mana bahasa ini merupakan
paduan dari berbagai unsur bahasa, khususnya bahasa-bahasa Roman yang
dicampurkan dengan unsur-unsur bahasa Slavia dan bahasa-bahasa Eropa lainnya,
serta digunakan untuk mempermudah pembelajaran bahasa karena kesederhanaan tata
bahasanya.

Sebagian pakar bahasa, seperti J.R.R. Tolkien, telah menciptakan bahasa


rekaan, untuk tujuan di bidang sastera . Salah satunya adalah bahasa Quenya, yakni
satu bentuk bahasa yang dipakai oleh kaum Elvish. Quenya mempunyai abjad dan
istilah tersendiri serta dapat digunakan oleh manusia. Di samping bahasa Quenya,
juga diciptakan bahasa Klingon yang pernah dipakai dalam film Star Trek.

2.1 Fungsi Sosial Bahasa dalam Masyarakat

Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam hidup manusia.

Manusia sudah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi antar sesamanya sejak

berabad-abad silam. Bahasa hadir sejalan dengan sejarah sosial komunitas-komunitas

masyarakat atau bangsa. Pemahaman bahasa sebagai fungsi sosial menjadi hal pokok

manusia untuk mengadakan interaksi sosial dengan sesamanya.Bahasa bersifat

manasuka (arbitrer). Oleh karena itu, bahasa sangat terkait dengan budaya dan sosial

ekonomi suatu masyarakat penggunanya. Hal ini memungkinkan adanya diferensiasi

kosakata antara satu daerah dengan daerah yang lain.

Perkembangan bahasa tergantung pada pemakainya. Bahasa terikat secara

sosial, dikontruksi, dan direkonstruksi dalam kondisi sosial tertentu dari pada tertata

menurut hukum yang diatur secara ilmiah dan universal. Oleh karena itu, bahasa

dapat dikatakan sebagai keinginan sosial (Suara Karya, 2006)


Disamping fungsi sosial, bahasa tidak terlepas dari perkembangan budaya

manusia. Bahasa berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia. Bahasa

dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga,

bahasa dapat disebut sebagai cermin zamannya.Sumarsono dan Paini Partana dalam

Sosiolinguistik (2006, hal) menyatakan bahwa bahasa sebagai produk sosial atau

produk budaya. Bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan manusia. Sebagai

produk sosial atau budaya, bahasa berfungsi sebagai wadah aspirasi sosial, kegiatan

dan perilaku masyarakat, dan sebagai wadah penyingkapan budaya termasuk

teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu.

Keraf (1980:3) yang menyatakan bahwa bahasa apabila ditinjau dari dasar dan

motif pertumbuhannya, bahasa berfungsi sebagai (1) alat untuk menyatakan ekspresi

diri, (2) alat komunikasi, (3) alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan

(4) alat untuk mengadakan kontrol sosial.

Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri dipergunakan untuk

mengkespresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan

penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal yaitu

oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari

mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa tulis dapat dilihat

dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Ekspresi diri dari pembicaraan

seseorang memperlihatkan segala keinginannya, latar belakang pendidikannya, sosial,


ekonomi. Selain itu, pemilihan kata dan ekspresi khusus dapat menandai indentitas

kelompok dalam suatu masyarakat.

Menurut Pateda (1987:4) bahwa bahasa merupakan saluran untuk menyampaikan

semua yang dirasakan, dipikirkan, dan diketahui seseorang kepada orang lain. Bahasa

juga memungkinkan manusia dapat bekerja sama dengan orang lain dalam

masyarakat. Hal tersebut berkaitan erat bahwa hakikat manusia sebagai makhluk

sosial memerlukan bahasa untuk memenuhi hasratnya.

Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural.

Bahasa sebagai fungsi sosial adalah sebagai alat perhubungan antar anggota

masyarakat. Sedangkan sebagai aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian

budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek

kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan kehidupan manusia yang tidak

terlepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia.

Bahasa berperan meliputi segala aspek kehidupan manusia. Termasuk salah

satu peran tersebut adalah untuk memperlancar proses sosial manusia. Hal ini sejalan

dengan pendapat Nababan (1984:38) bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan

dan bahasalah yang memungkinkan pengembangan kebudayaan sebagaimana kita

kenal sekarang.
Bahasa dapat pula berperan sebagai alat integrasi sosial sekaligus alat adaptasi

sosial, hal ini mengingat bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa yang majemuk.

Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai pemersatu keberseragaman

tersebut. Di sinilah fungsi bahasa sangat diperlukan sebagai alat integrasi sosial.

Bahasa disebut sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat

yang memiliki perbedaan adat, tata krama, dan aturan-aturan dari tempatnya berasal.

Proses adaptasi ini akan berjalan baik apabila terdapat sebuah alat yang membuat satu

sama lainnya mengerti, alat tersebut disebut bahasa. Dari uraian ini dapat kita tarik

kesimpulan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia.

Kartomiharjo (1982:1) menguraikan bahwa salah satu butir sumpah pemuda

adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan,bahasa Indonesia. Dengan dengan

demikian bahasa dapat mengikat anggota-anggota masyarakat pemakai bahasa

menjadi masyarakat yang kuat, bersatu, dan maju.

2.2 Variasi Bahasa

Manusia merupakan mahluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja

sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal

tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa

memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan

kebutuhannya untuk hidup bersama.


Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat secara individu. Keterikatan

individu-individu dalam kelompok ini sebagai identitas diri dalam kelompok tersebut.

Setiap individu adalah anggota dari kelompok sosial tertentu yang tunduk pada

seperangkat aturan yang disepakati dalam kelompok tersebut. Salah satu aturan yang

terdapat di dalamnya adalah seperangkat aturan bahasa.

Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya

berbeda. Dari adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang

dipergunakan bervariasi. Kebervariasian bahasa ini timbul sebagai akibat dari

kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi

konteks sosialnya. Oleh karena itu, variasi bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah

kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam.

Lebih sederhana, Sumarsana dan Partana (2000: hal 79) mencoba

mengelompokkan apakah dua bahasa merupakan dialek atau subdialek atau hanya

sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya.

Jika persamaannya hanya 20 % atau kurang, maka keduanya adalah dua bahasa.

Tetapi kalau bisa mencapai 40%-60%, maka keduanya dua dialek; dan kalau

mencapai 90% misalnya, jelas keduanya hanyalah dua variasi dari sebuah bahasa.

Dalam variasi bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang

sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan pola-pola yang

dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Di


samping itu, variasi bahasa dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu,

pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan

pemakaiannya/ragam (Pateda, 1987: 52)

Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa bervariasi. Yang dimaksud dengan

tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik dibatasi oleh

sungai, lautan, gunung, maupun hutan. Kebervariasian ini mengahsilkan adanya

dialek, yaitu bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda namun masih dipahami oleh

pengguna dalam suatau masyarakat bahasa walaupun terpisah secara geografis.

Variasi bahasa dilihat dari segi waktu secara diakronis (historis) disebut juga

sebagai dialek temporal. Dialek tersebut adalah dialek yang berlaku pada kurun

waktu tertentu. Perbedaan waktu itu pulalah yang menyebabkan perbedaan makna

untuk kata-kata tertentu. Hal ini disebabkan oleh karena bahasa mengikuti

perkembangan masyarakat pemakai bahasanya. Itulah mengapa bahasa bersifat

dinamis, tidak statis.

Dari segi pemakai, bahasa dapat menimbulkan kebervariasian juga. Istilah

pemakai di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Variasi bahasa

dilihat dari segi penutur oleh Pateda (1987: 52) dibagi menjadi tujuh, yaitu glosolalia

(ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan), idiolek (berkaitan dengan aksen,

intonasi, dsb), kelamin, monolingual (penutur bahasa yang memakai satu bahsa saja),
rol (peranan yang dimainkan oleh seorang pembicara dalam interaksi sosial), status

sosial, dan umur.

Variasi bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam

situasi resmi dan bahasa yang dipakai dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi, bahasa

yang digunakan adalah bahasa standar. Kesetandaran ini disebabkan oleh situasi

keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman.

Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti

bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peranan apa yang disandang oleh

bahasa. Sebuah bahasa, bahasa Indonesia, dapat memiliki berbagai macam status

apakah ia sebagai bahasa ibu, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa pemersatu, atau

bahasa negara.

Sedangkan Kridalaksana (1984: 142) mengemukakan bahwa ragam bahasa

adalah variasi bahasa menurut pemakaiannya yang dibedakan menurut topik,

hubungan pelaku, dan medium pembicaraan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa

menurut pemakaianya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan

adanya variasi tersebut.

Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada pemakaian bahasa

dalam bidang tertentu, seperti, bidang jurnalistik (persuratkabaran), kesusastraan, dan

pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pelaku dalam pembicaraan atau


gaya penuturan menunjuk pada situasi formal atau informal. Medium pembicaraan

atau cara pengungkapan dapat berupa sarana atau cara pemakaian bahasa, misalnya

bahasa lisan dan bahasa tulis. Sehingga, masing-masing ragam bahasa memiliki ciri-

ciri tertentu, sehingga ragam yang satu berbeda dengan ragam yang lain.

Pemakaian ragam bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi

pemakaian. Hal ini sebagai indikasi bahwa kebutuhan manusia terhadap sarana

komunikasi juga bermacam-macam. Untuk itu, kebutuhan sarana komunikasi

bergantung pada situasi pembicaraan yang berlangsung. Dengan adanya

keanekaragaman bahasa di dalam masyarakat, kehidupan bahasa dalam masyarakat

dapat diketahui, misalnya berdasarkan jenis pendidikan atau jenis pekerjaan

seseorang, bahasa yang dipakai memperlihatkan perbedaan.

Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasi

perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat

dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang

ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa

termasuk bahasa gaul remaja menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat

kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing menghendaki kesesuaian

bahasa yang digunakan.


2.5 Sejarah Pemakaian Bahasa Gaul

Bahasa prokem awalnya digunakan para preman yang kehidupannya dekat

dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman keras. Istilah-istilah baru

mereka ciptakan agar orang-orang di luar komunitas tidak mengerti. Dengan begitu,

mereka tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk membicarakan hal negatif yang

akan maupun yang telah mereka lakukan (Laman Wilkipedia Indonesia, 2005).

Para preman tersebut menggunakan bahasa prokem di berbagai tempat.

Pemakaian bahasa tersebut tidak lagi pada tempat-tempat khusus, melainkan di

tempat umum. Lambat laun, bahasa tersebut menjadi bahasa yang akrab di

lingkungan sehari-hari, termasuk orang awam sekalipun dapat menggunakan bahasa

sandi terebut.

Karena begitu seringnya mereka menggunakan bahasa sandi tersebut di

berbagai tempat, lama-lama orang awam pun mengerti maksud bahasa tersebut.

Akhirnya mereka yang bukan preman pun ikut-ikutan menggunakan bahasa ini dalam

obrolan sehari-hari sehingga bahasa prokem tidak lagi menjadi bahasa rahasia.

Sebuah artikel di Kompas berjudul So What Gitu Loch….(2006: 15)

menyatakan bahwa bahasa prokem atau bahasa okem sebenarnya sudah ada sejak

1970-an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi
obrolan dalam komunitas tertentu. Oleh karena sering digunakan di luar

komunitasnya, lama-lama istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.

Lebih lanjut, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa pada tahun 1970-

an, kaum waria juga menciptakan bahasa rahasia mereka. Pada perkembangannya,

para waria atau banci lebih rajin berkreasi menciptakan istilah-istilah baru yang

kemudian ikut memperkaya khasanah perbendaharaan bahasa gaul.

Kosakata bahasa gaul yang berkembang belakangan ini sering tidak beraturan

dan cenderung tidak terumuskan. Bahkan kita tidak dapat mempredeksi bahasa

apakah yang berikutnya akan menjadi bahasa gaul.

Pada mulanya pembentukan bahasa slang, prokem, cant, argot, jargon dan

colloquial di dunia ini adalah berawal dari sebuah komunitas atau kelompok sosial

tertentu yang berada di kelas atau golongan bawah (Alwasilah, 2006:29). Lambat

laun oleh masyarakat akhirnya bahasa tersebut digunakan untuk komunikasi sehari-

hari.

Terdapat berbagai alasan kenapa masyarakat tersebut menggunakan bahasa-

bahasa yang sulit dimengerti oleh kelompok atau golongan sosial lainnya. Alasan

esensialnya adalah sebagai identitas sosial dan merahasiakan sesuatu dengan maksud

orang lain atau kelompok luar tidak memahami.


Kompas (2006: 50) menyebutkan bahwa bahasa gaul sebenarnya sudah ada

sejak tahun 1970an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu digunakan untuk

merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Tapi karena intensitas pemakaian

tinggi, maka istilah-istilah tersebut menjadi bahasa sehari-hari.

Hal ini sejalan dengan laman Wilimedia Ensiklopedi Indonesia (2006), yang

menyatakan bahwa bahasa gaul merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia

sebagai bahasa untuk pergaulan. Istilah ini mulai muncul pada akhir ahun 1980-an.

Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai bahasa para bajingan atau anak jalanan

disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan sebagai preman. Lebih lanjut dalam

Pikiran Rakyat, tercatat bahwa bahasa gaul pada awalnya merupakan bahasa yang

banyak digunakan oleh kalangan sosial tertentu di Jakarta, kemudian secara perlahan

merambah kalangan remaja terutama di kota-kota besar.

Dalam sebuah milis (2006) disebutkan bahwa bahasa gaul memiliki sejarah

sebelum penggunaannya popular seperti sekarang ini. Sebagai bahan teori, berikut

adalah sejarah kata bahasa gaul tersebut:

1). Nih Yee...

Ucapan ini terkenal di tahun 1980-an, tepatnya November 1985. pertama kali

yang mengucapkan kata tersebut adalah seorang pelawak bernama Diran. Selanjutnya

dijadikan bahan lelucon oleh Euis Darliah dan popular hingga saat ini.
2) Memble dan Kece

Dalam milis tersebut dinyatakan bahwa kata memble dan kece merupakan

kata-kata ciptaan khas Jaja Mihardja. Pada tahun 1986, muncul sebuah film berjudul

Memble tapi Kece yang diperankan oleh Jaja Mihardja ditemani oleh Dorce

Gamalama.

3) Booo....

Kata ini popular pada pertengahan awal 1990-an. Penutur pertama kata

Boo…adalah grup GSP yang beranggotakan Hennyta Tarigan dan Rina Gunawan.

Kemudian kata-kata dilanjutkan oleh Lenong Rumpi dan menjadi popular di

lingkungan pergaulan kalangan artis. Salah seorang artis bernama Titi DJ kemudian

disebut sebagai artis yang benar-benar mempopulerkan kata ini.

4) Nek...

Setelah kata Boo... popular, tak lama kemudian muncul kata-kata Nek... yang

dipopulerkan anak-anak SMA di pertengahan 90-an. Kata Nek... pertama kali di

ucapkan oleh Budi Hartadi seorang remaja di kawasan kebayoran yang tinggal

bersama neneknya. Oleh karena itu, lelaki yang latah tersebut sering mengucapkan

kata Nek...

5) Jayus

Di akhir dekade 90-an dan di awal abad 21, ucapan jayus sangat popular. Kata

ini dapat berarti sebagai ‘lawakan yang tidak lucu’, atau ‘tingkah laku yang disengaca

untuk menarik perhatian, tetapi justru membosankan’. Kelompomk yang pertama kali

mengucapkan kata ini adalah kelompok anak SMU yang bergaul di kitaran Kemang.
Asal mula kata ini dari Herman Setiabudhi. Dirinya dipanggil oleh teman-

temannya Jayus. Hal ini karena ayahnya bernama Jayus Kelana, seorang pelukis di

kawasan Blok M. Herman atau Jayus selalu melakukan hal-hal yang aneh-aneh

dengan maksud mencari perhatian, tetapi justru menjadikan bosan teman-temannya.

Salah satu temannya bernama Sonny Hassan atau Oni Acan sering memberi

komentar jayus kepada Herman. Ucapan Oni Acan inilah yang kemudian diikuti

teman-temannya di daerah Sajam, Kemang lalu kemudian merambat populer di

lingkungan anak-anak SMU sekitar.

6. Jaim

Ucapan jaim ini di populerkan oleh Bapak Drs. Sutoko Purwosasmito, seorang

pejabat di sebuah departemen, yang selalu mengucapkan kepada anak buahnya untuk

menjaga tingkah laku atau menjaga image.

itu

7. Gitu Loh...(GL)

Kata GL pertama kali diucapin oleh Gina Natasha seorang remaja SMP di

kawasan Kebayoran. Gina mempunyai seorang kakak bernama Ronny Baskara

seorang pekerja event organizer. Sedangkan Ronny punya teman kantor bernama

Siska Utami. Suatu hari Siska bertandang ke rumah Ronny. Ketika dia bertemu Gina,

Siska bertanya dimana kakaknya, lantas Gina ngejawab di kamar, Gitu Loh. Esoknya

si Siska di kantor ikut-ikutan latah dia ngucapin kata Gitu Loh...di tiap akhir

pembicaraan.
2.4 Ciri- ciri Bahasa Gaul

Ragam bahasa ABG memiliki ciri khusus, singkat, lincah dan kreatif. Kata-

kata yang digunakan cenderung pendek, sementara kata yang agak panjang akan

diperpendek melalui proses morfologi atau menggantinya dengan kata yang lebih

pendek seperti ‘permainan – mainan, pekerjaan – kerjaan.

Kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan berstruktur kalimat tunggal.

Bentuk-bentuk elip juga banyak digunakan untuk membuat susunan kalimat menjadi

lebih pendek sehingga seringkali dijumpai kalimat-kalimat yang tidak lengkap.

Dengan menggunakan struktur yang pendek, pengungkapan makna menjadi lebih

cepat yang sering membuat pendengar yang bukan penutur asli bahasa Indonesia

mengalami kesulitan untuk memahaminya. (Nyoman Riasa)

2.5. Distribusi Geografis Bahasa Gaul

Bahasa gaul umumnya digunakan di lingkungan perkotaan. Terdapat cukup

banyak variasi dan perbedaan dari bahasa gaul bergantung pada kota tempat

seseorang tinggal, utamanya dipengaruhi oleh bahasa daerah yang berbeda dari etnis-

etnis yang menjadi penduduk mayoritas dalam kota tersebut. Sebagai contoh, di

Bandung, Jawa Barat, perbendaharaan kata dalam bahasa gaulnya banyak

mengandung kosakata-kosakata yang berasal dari bahasa sunda.


2.6. Jargon

Dalam “Thesaurus: Oxford Thesaurus of English” oleh Maurice Waite (2004)

dinyatakan bahwa jargon adalah bahasa khas, teknis, idiom tertentu, selanga dan lain

sebagainya yaitu “specialized language, technical language, slang, cant, idiom, argot,

patter, patois, vernacular, computerese, legalese, bureaucratese, journalese,

psychobabble, unintelligible language, obscure language, gobbledegook, gibberish,

double Dutch”.

Menurut “The Oxford Companion to the English Language” oleh Tom

McArthur (1996) istilah jargon ini muncul pada abad ke-14 yang merupakan istilah

Bahasa Inggris Abad Pertengahan (Midle English) yaitu ”iargo(u)n”, “gargoun”,

“girgoun” yang berarti kicauan, nyanyian burung-burung, pembicaraan yang tidak

bermakna, merepet /membual atau mericau.

Jargon ini juga terdapat dalam istilah Bahasa Perancis yaitu “jargoun”,

“gargon” dan “gergon”. Kemungkinan makna asalnya yaitu bunyi “echo” dan

merupakan istilah umum yang seringkali mengacu kepada bahasa asing pedalaman

yang bermacam-macam. Hal itu dapat ditemukan dalam ucapan yang dirasakan

sebagai merepet atau ucapan-ucapan kosong (mumbo jumbo), slang, bahasa pidgin

atau bahasa khas dalam perdagangan, profesi atau kelompok lainnya.

Namun demikian, istilah ini juga sering dihubungkaitkan dengan ilmu tertentu

seperti hukum dan perundang-undangan, kedokteran dan ilmu pengetahuan yang

merupakan jargon teknis maupun jargon saintifik.


Bagi kelompok yang tidak professional maupun tidak berprofesi, penggunaan

bahasanya dinilai penuh dengan istilah maupun kalimat yang tidak seperti bahasa

umumnya sehingga sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Namun bagi anggota

kelompok professional tersebut, penggunaan istilah itu sangat akrab dan mencapai

matlamat yang sesungguhnya. Karena faktor kemudahan dan keakrabannya inilah,

jargon dapat menggungkapkan teknis dan gaya yang menjadi ciri khas dalam

kelompok tersebut.

Jargon ini antara lain berfungsi sebagai “Bahasa yang Mudah” dan

“Merupakan Identifikasi Kelompok Tertentu” yang dapat diterangkan sebagai

berikut:

a. Sebagai Bahasa yang Mudah

Bagi orang atau kelompok yang memahaminya, jargon merupakan bahasa

untuk mempermudah penuturnya mengungkapkan keterangan yang panjang dan

berbelit-belit. Ketika digunakan oleh anggota kelompok tertentu, jargon menjadi

bahasa yang efisien dan efektif. Bagi kelompok paramedis, istilah pemindahan organ

tubuh seperti kandung kemih, empedu (saluran kencing) melalui operasi disebut

dengan “cholecystectomy”.Dalam berbagai penelitian mengenai jargon ditemukan

bahwa bahasa ini digunakan selama operasi sebagai alat komunikasi dan informasi

yang faktual, ringkas dan jelas.

Dalam bidang Biologi, para pakar bidang ini menggunakan istilah-istilah

tertentu yang merujuk kepada tumbuhan ataupun tanaman tertentu seperti padi

dengan menggunakan istilah “Orriza Sativa” atau menyatakan tumbuhan yang


dikenal masyarakat umum sebagai pakis sarang burung dengan menggunakan istilah

“Asplenium Nidus” dan lain sebagainya.

Dalam profesi hukum dan perundang-undangan pula, istilah hukum tertentu

dihasilkan melalui proses yang panjang sehingga sampai kepada defenisi yang pas

sehingga dikenal sebagai jargon.Contohnya adalah istilah “involuntary conversion”

yang artinya sama dengan kehilangan atau kerusakan barang karena pencurian

ataupun kecelakaan.Bahasa jargon inipun dapat dijumpai dalam istilah komputer

seperti: “Dynamic random access memory”, “Read only memory” dan lain

sebagainya. Dalam dunia komunikasi pilot yang menerbangkan pesawat udara juga

dengan menggunakan istilah tertentu atau jargon sesuai dengan profesi penerbangan

sipil.

Dalam bidang Diplomatik pula dikenal beberapa istilah seperti “Kebebasan

Diplomatik” atau bahasa Inggrisnya adalah “Diplomatic Immunity” seperti dalam

kalimat berikut ini yang penulis kutip dari nota diplomatik dari Kementerian Hal

Ehwal Luar Negeri Negara Brunei Darussalam nomor: JPK 801/05 tanggal 18

Oktober 2005 kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bandar Seri Begawan

berikut ini:

“…………….. merujuk nota Kedutaan Besar bil. 0590/Prot/IX/2005 bertarikh 4

Oktober 2005 untuk mendapatkan kebebasan diplomatik bagi kapal Tentara Nasional

Indonesia (TNI AL) Jenis Landing Ship Tank Modified (LSTM) unit kenderaan

Pendarat (Ranratfib) mengadakan kunjungan muhibah ke Negara Brunei


Darussalam pada 19 Oktober hingga 22 Oktober 2005 seterusnya memohon

dikecualikan dari bayaran Port dan Marine Charges”.

Kalimat di atas menyatakan bahwa “kebebasan diplomatik “ dimaksud adalah

merujuk kepada pengertian yang termuat dalam Konvensi Wina Tahun 1961

mengenai Hubungan-Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina Tahun 1963 tentang

Hubungan-Hubungan Konsuler Berikut Protokol Masing-Masing yang menyebutkan

bahwa bagi kalangan diplomatik diberikan keistimewaan dan perlakuan khusus ketika

berada di negara akreditasi. Bagi kalangan anggota dilomatik tertentu yang membawa

barang maupun peralatan mestilah diberikan kebebasan atau dikecualikan dari

pembayaran tax (pajak) dan tidak dilakukan pemeriksaan barang sebagaimana proses

untuk kalangan publik umumnya.

Begitu pula istilah “Landing Ship Tank Modified (LSTM)” dan kenderaan

“Pendarat (Ranratfib)” merupakan jargon dalam bidang profesi Ketentaraan yang

menunjukkan jenis kendaraan tempur tertentu.

b. Sebagai Identifikasi Kelompok Tertentu

Kemampuan untuk memahami dan menggunakan jargon dalam sebuah

kelompok tertentu merupakan label identifikasi. Kemampuan seseorang

menggunakan jargon akan berpengaruh terhadap kredibilitasnya dalam kelompok

tersebut. Kemampuan menggunakan jargon menunjukkan bahwa penutur tersebut

layak berada dalam kelompok tersebut sehingga dapat diterima karena kemampuan

memahami idea dasarnya. Disamping itu penggunaan jargon dapat meningkatkan


imej, citra dan prestige penggunanya apalagi jargon itu dikaitkan dengan profesi

tertentu yang dinikmati oleh kelas sosial yang tinggi.

Meskipun jargon memainkan peranan legitimasi, namun dalam prakteknya

istilah jargon tersebut sering pula mengalami penyalahgunaan oleh kalangan tertentu

yang menggunakan jargon untuk tujuan menyesatkan orang lain.

2.7. Argot

Dalam “Thesaurus: Oxford Thesaurus of English” oleh Maurice Waite (2004)

dinyatakan bahwa argot tersebut adalah “jargon, slang, idiom, cant, dialect, parlance,

patter, speech, vernacular, patois, terminology, language, tongue”.

Menurut “The Oxford Companion to the English Language” oleh Tom

McArthur (1996) istilah argot ini berasal dari Bahasa Perancis “argot” yaitu serikat

kerja pengemis, bahasa yang khas untuk golongan kriminal atau bahasa slang. Ini

artinya argot adalah sejenis bahasa slang kelompok sosial yang terbatas dan seringkali

dicurigai kegiatannya karena bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku.

Anggota kelompok tersebut memiliki argot masing-masing sebagai salah satu

identitas diri yang membedakannya dengan kelompok lain.Salah satu contoh adalah

tulisan Colin Smith dalam majalah ‘’Observer” keluaran tangal 26 May 1985 menulis

tentang tentara Inggris di Pulau Falkland sebagai berikut:

“They bimble, yomp or tab across the peat and couth a shirt in readiness for a

Saturday night “bop” with the Bennies (locals) “.

Berdasarkan “Kamus Slang Amerika”, Kesaint Blanc (1991) menyatakan

bahwa istilah “bop” tersebut memiliki pengertian makna yaitu: meninju, membunuh,
pukul, music jazz, perkelahian antar remaja. Berdasarkan konteks dalam cerita di atas

maka pengertian “bop” adalah kebiasaan perkelahian antara tentara Inggris dengan

orang Argentina di Pulau Falkland.

Contoh penggunaan argot lainnya dapat dilihat dalam tulisan James Kirkup

berjudul “Erotica and Exotica” yang dimuat dalam “Sunday Times” keluaran tanggal

30 Juni 1991 yaitu:

“I was obsessed by public lavatories – “cottages” or “tea-rooms” in the gay argot

that was so very far from gay.”

Cerita di atas menggambarkan tentang gaya hidup dari kelompok masyarakat

“homoseksual” yaitu kelompok masyarakat yang saling menyukai golongan sejenis.

Pengertian istilah “lavatory” bukanlah bermakna kamar kecil sebagaimana dipahami

oleh masyarakat luas melainkan suatu tempat yang biasa digunakan oleh kelompok

homoseksual untuk bercinta. Begitu pula pengertian istilah “tea-room” bukan pula

bermakna ruangan untuk minum teh sebagaimana penyediaan ruangan khusus untuk

merokok “smooking room” melainkan tempat yang disediakan untuk menghisap

ganja.

Penggunaan argot oleh kelompok tertentu yang seringkali dicurigai tersebut

dapat pula dijumpai dalam istilah berbahasa Indonesia.Dalam sebuah berita pada

majalah “Gatra” keluaran tanggal 10 Januari 2007 memuat berita mengenai kegiatan

kelompok pemalsu obat di Jakarta. Para anggota sindikat pemalsu obat termasuk para

penjual obat menggunakan istilah “lokal” dan “luar” untuk menyebut jenis obat-

obatan yang mereka produksi.


Para bandit pemalsu obat itu umumnya memilih obat yang banyak diperlukan

masyarakat namun harganya mahal. Mereka memproduksi secara besar-besaran dan

melakukan transaksi di “pasar gelap” Jakarta seperti di Pasar Pramuka dan Rawa

Bening. Apabila pembeli meminta obat berlabel “Ponstan” yaitu obat sakit kepala

atau “Deonil” yaitu obat untuk penyakit dibetes, anggota sindikat yang bertindak

sebagai penjaga toko akan menanyakan “Mau obat lokal atau obat luar?”. Yang

dimaksud dengan istilah “lokal” adalah obat yang diimpor resmi atau dibuat di

Indonesia, sebaliknya yang disebut sebagai “luar” adalah obat impor seludupan tanpa

surat-surat sah. Menurut World Health Organisation (WHO), obat lokal bisa

bercampur dengan obat palsu yang banyak beredar di masyarakat dengan kualitas

tidak baik karena sudah kadaluarsa (expired).

Dalam sebuah berita pada majalah “Gatra” keluaran tanggal 10 Januari 2007

memuat berita mengenai kegiatan kelompok anak muda seleberitis yang

mengamalkan pergaulan bebas seperti contoh berikut:

“…… sebelum “ngamar”, dia menjemput Alda di rumahnya di Bogor dan

berpamitan dengan Halimah. Di kamar hotel bertarif Rp 350 ribu semalam tersebut,

entah apa yang mereka perbuat. Tahu-tahu dua hari berselang petang harinya, Fery

membopong Alda dalam keadaan terkulai dan dikamarnya ditemukan pula “sarung”.

Menurut keterangan dokter Muknim Idris dari RS Cipto Mangunkusumo bahwa di

dalam urine ditemukan adanya Amfetamin dan Metamfetamin yaitu limbah yang

berasal dari ekstasi atau shabu-shabu dan heroin. Yang ditemukan di tubuh Alda
rumusnya MDM yang merupakan rumus ekstasi. Oleh tubuh, MDMA ini diolah

menjadi MDA atau “obat cinta”.

Dalam konteks cerita di atas, istilah “ngamar” pengertiannya adalah kegiatan

menyewa kamar hotel yang digunakan oleh pasangan anak muda untuk bercinta.

Sementara istilah “sarung” merujuk kepada “kondom” yaitu alat kontrasepsi yang

dipakai untuk mencegah kehamilan akibat hubungan seksual. Istilah “obat cinta” pula

bermakna obat-obatan yang seringkali digunakan anak muda pasangan yang dapat

menimbulkan halusinasi seksual.

Bahasa jargon dan argot menunjukkan fenomena bahasa yang faktual dan

empiris yang menunjukkan bahawa bahasa itu bukanlah berada dalam ruang yang

“vacuum” melainkan bersentuhan langsung dengan para penuturnya. Dengan kajian

Sosiolinguistik didapati bahawa penggunaan variasi bahasa tertentu dapat

menunjukkan latar belakang kelas sosial para penuturnya.

Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan

mestilah selalu berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia

menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok.

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya kepelbagaian bahasa di dunia

yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa

lainnya.

Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam

bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa

“Sosiolinguistik adalah bahagian linguistik yang berhubung kait dengan bahasa,


fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan

berhubung kait dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat

(Antropologi) bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psychologi sosial”.

Manakala, Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen

utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa. dimaksud adalah

fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk arahan dan fungsi interpersonal

yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk meneroka alam

fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah,

sedih, gembira dan apresiasi.

Perkembangan bahasa yang selari dengan perkembangan kehidupan manusia

di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan

penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi

bahasa seperti jargon dan argot.

You might also like