You are on page 1of 38

Laporan Kasus

PPOK EKSASERBASI AKUT

Disusun oleh:
dr. Archi Cherrya Oktiandini

Pembimbing :
dr. Amir, Sp.P

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


ANGKATAN II PERIODE JUNI 2018- JUNI 2019
RSUD DR. ADJIDARMO LEBAK
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
“Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Internship Dokter Indonesia di RSUD Dr.Adjidarmo Lebak.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Amir,
Sp.P dan seluruh dokter maupun perawat dan staf di RSUD Dr.Adjidarmo atas
bimbingannya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.

Lebak, 30 Agustus 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

LAPORAN KASUS ........................................................................................ 1


TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 10
1.1.Latar Belakang ............................................................................... 10
2.1.1. Definisi .............................................................................. 11
2.1.2. Epidemiologi ..................................................................... 11
2.1.3. Faktor risiko ...................................................................... 11
2.1.4. Patogenesis ........................................................................ 14
2.1.5. Patofisiologi....................................................................... 16
2.1.6. Diagnosis ........................................................................... 18
2.1.7. Derajat PPOK .................................................................... 23
2.1.8. Penatalaksanaan................................................................. 25
2.1.9. Komplikasi ........................................................................ 32

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 35

iii
LAPORAN KASUS

Nama Lengkap : Tn. J


Tanggal Lahir : 19 Juni 1955 Umur : 63 Thn Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Kp.Pasir Turi RT 001/002
No. Telepon : -
Ds.Sukamanah Kec.Rangkasbitung
Pekerjaan : - Status: Menikah
Pendidikan : Tamat SMP Jenis Suku : Sunda Agama : Islam

ANAMNESIS
√ Autoanamnese 26 Juli 2018
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
A.Keluhan Utama : Sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS

B.Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD diantar oleh keluarga dengan keluhan sesak nafas yang
memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan sudah sejak 3 bulan SMRS yang
menetap sepanjang hari. Sesak bertambah berat ketika beraktifitas (+) dan diikuti
dengan keluhan batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan, jika keluar dahak
berwarna bening, demam 1 hari SMRS, nyeri dada (+) saat batuk. Bengkak pada
kaki (-). Penurunan berat badan (-), keringat malam (-). Riwayat merokok (+)
sejak usia 20 tahun dan baru berhenti 1 tahun yang lalu, os menghabiskan rokok
sebanyak 1 bungkus dalam sehari. Mual (-) Muntah (-). BAK dan BAB tidak ada
kelainan. Riwayat pengobatan paru selama 6 bulan disangkal.

Sebelumnya OS sudah ada riwayat penyakit paru dan biasanya rutin kontrol
ke poli paru di RS Kartini. Os juga ada obat-obatan yang diminum rutin. Obat-
obatan yang sering diminum yaitu omeprazole 1x1, vitamin B complex 1x1,
ranitidine 2x1, teosal 3 x 1/2tab, symbicort 2x1 puff, Brochifar 3x1.

Sekitar 6 bulan yang lalu OS dirawat di RS Kartini selama kurang lebih 4 hari
karena keluhan yang sama.

1
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat Asma, TB Paru (-)
2. Riwayat Alergi obat (-)
3. Riwayat HT (-)
4. Riwayat DM (-)

D. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga (-)

E. Riwayat Sosio Ekonomi


Pasien sudah tidak bekerja dan mempunyai seorang istri dan 5 orang anak.
Dahulu pasien sempat bekerja sebagai tukang bangunan.

F. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok sejak usia 20 tahun, sehari 1 bungkus. Sudah berhenti
dari 1 tahun yang lalu

G. Riwayat Pengobatan
Os menyangkal pernah mengkonsumsi obat OAT selama 6 bulan. OS rutin
berobat ke poli paru di RS Kartini, sebulan sekali. Namun terakhir OS
terlambat kontrol dan sesak bertambah berat.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Status gizi : BB 47 Kg, TB 162 cm. IMT= 17,9 kg/m2 (underweight)

Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 110x/menit
Laju Nafas : 22x/menit
Suhu : 36.5oC

Status Generalis

Kepala
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : Sclera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), pupil bulat
isokor, RCL +/+, RCTL +/+
2
Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), Epistaksis (-), secret (-)
Telinga : Gangguan pendengaran (-),Perdarahan dari liang telinga(-)
Mulut : Sianosis (-), Pursed lips breathing (-) Bibir kering (-),
Perdarahan gusi (-), Hipertrofi gusi (-), karies dentis (+)

Leher
Tekanan vena jugularis (JVP) :5+2
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Limfe : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Getah Bening Submandibula, Leher, Supraklavikula, Ketiak dan Paha
tidak ada pembesaran.

Thorax
Paru-Paru
Inspeksi : Tampak retraksi sela iga, Barrel chest (-)
Palpasi : Tidak teraba adanya masa ataupun benjolan, tidak terdapat
nyeri tekan dan nyeri lepas, fremitus vokal dan taktil simetris
kanan dan kiri.
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan, depan-belakang.
Auskultasi :Vesikuler +/+ (paru-paru depan-belakang), Ronkhi -/-,
Wheezing -/-,
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tak teraba.
Perkusi : Batas jantung kanan ICS V linea midclavicula dextra
Batas jantung kiri ICS VI line midclavicula sinistra

Batas pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, Gallop (-), Murmur (-)

3
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak membuncit dan tidak ada luka
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Terdengar suara timpani di seluruh kuadran abdomen,
Shifting dullness (-), ketok CVA (-)
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh 4
kuadran abdomen, Pembesaran hepar, lien, ginjal, kandung
kemih tidak teraba,Undulasi (-)

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, edema -/-.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil laboratorium
Darah
Tanggal 26 Juli 2018
PEMERIKSAAN HASIL NILAI
RUJUKAN
Leukosit 13.490 3.800-10.600/µL
Eritrosit 4.72 4.40-5.90
10jt/µL
Hemoglobin 11.40 13.20-17.30
gr/dL
Hematokrit 36.2 40.0-52.0%
MCV 76.7 80.0-100.0 fL
MCH 24.2 26.0-34.0 pg
MCHC 31.5 32.0-36.0 g/dl
Trombosit 339.000 150.000-
440.000/ µL
Hitung Jenis Leukosit:
- Basofil 1 0 -1 %
- Eosinofil 18 2 -4 %
- Batang 0 3 -5 %
- Segmen 53 50-70 %
- Limfosit 19 25 -40 %

4
- Monosit 9 2-8%
KIMIA DARAH
- Glukosa Sewaktu 148 70-140 mg/dL
- Fungsi Hati
SGOT 40 < 50 U/L
SGPT 40 < 50 U/L
- Fungsi Ginjal
Ureum 28.89 20-40
Kreatinin 0.99 0.62-1.17
ELEKTROLIT
- Natrium 141 135-147 mEg/L
- Kalium 4.5 3.5-5.0 mEg/L
- Chlorida 105 95-105 mEg/L

Analisa Gas Darah


Tanggal 26 Juli 2018
PEMERIKSAAN HASIL NILAI
RUJUKAN
ANALISA GAS DARAH
- pH 7.46 7.37- 7.45
- pCO2 36.1 33-44
- Kelebihan Base 3.2 -2.0 – 3.0
- HCO3 26.5 22 – 29
- Total CO2 27.7 23 – 27
- Saturasi O2 98.6 94 – 98 %
- pO2 104.1 71 – 104

Interpretasi: AGD dalam batas normal

5
Rontgen Thorax
Tanggal 26 Juli 2018

Cor : Bentuk normal, tear drop shape, tampak klasifikasi aortic knob
Pulmo : Corakan bronkovaskuler normal. Tampak hiperlusen pada kedua lapang
paru
Sinus pleural kanan dan kiri tajam
Tulang-tulang : tidak tampak kelainan
Kesan : Emphysematous lung

EKG
Tanggal 26 Juli 2018

Irama Sinus takikardi, HR 150 x/menit, Axis normal, gelombang P


normal, QRS kompleks normal, perubahan gelombang ST (-).

6
DIAGNOSIS KERJA
PPOK eksaserbasi akut

DIAGNOSIS BANDING
Asma bronkial

PENATALAKSANAAN
- O2 3lpm nasal kanul
- IVFD RL 500cc/12jam
- Combivent inhalasi/8jam
- Pulmicort inhalasi/12jam
- Ambroxol 3x30mg
- Azitromicin 1x500mg drip
- Salbutamol 3x2mg
- Omeprazole 1x40mg
- Symbicort puff 2x1

FOLLOW UP

Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
27/08/18 - Sesak Sens : Compos PPOK  IVFD RL/24jam -
Mentis
berkurang
TD : 120/80
eksaserbasi  Combivent
- Batuk mmHg akut Nebule / 8 jam
Nadi : 92 x/m
RR : 24 x/m  Pulmicort/12jam
T : 36,80C  Salbutamole 3x2
mg
 Ambroxol 3x1
 Azitromicin
1x500
 Symbicort puff
2x1
 OMZ 1x1
 Latihan lepas
Oksigen

7
Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
28/08/18 - Sesak Sens: Compos PPOK  IVFD -
mentis
dan batuk eksaserbasi RL/24jam
TD:110/80
berkurang mmHg akut  Combivent
HR : 90 x/m
RR : 24 x/m Nebule / 8
Temp : 37,2 jam
oC
 Pulmicort/12
jam
 Salbutamole
3x2 mg
 Ambroxol
3x1
 Azitromicin
1x500
 Symbicort
puff 2x1
 OMZ 1x1
 MP 3x8mg
 Respira 1x1

RESUME MEDIS

Pasien Tn. J usia 63 tahun, datang dengan keluhan sesak napas sesak nafas
yang memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan sudah sejak 3 bulan SMRS.
Sesak muncul secara tiba – tiba, tidak berhubungan dengan cuaca, suhu, waktu,
dan perubahan posisi. Terbangun tengah malam karena sesak (-), sesak ketika
beraktifitas (+) namun hal ini hanya sesekali dialami os, bengkak pada ekstremitas
(-). Sesak nafas diikuti dengan keluhan batuk dengan dahak yang sulit
dikeluarkan, dan jika keluar dahak berwarna bening, demam 1 hari SMRS,

8
nyeri dada (+) saat batuk. Penurunan berat badan (-), keringat malam (-). Riwayat
merokok (+) sejak usia 20 tahun dan baru berhenti 1 tahun yang lalu, os
menghabiskan rokok sebanyak 1 bungkus dalam sehari. Riwayat pengobatan paru
selama 6 bulan disangkal.

Sebelumnya OS sudah ada riwayat penyakit paru dan biasanya rutin kontrol
ke poli paru di RS Kartini. Os juga ada obat-obatan yang diminum rutin. Obat-
obatan yang sering diminum yaitu omeprazole 1x1, vitamin B complex 1x1,
ranitidine 2x1, teosal 3 x 1/2tab, symbicort 2x1 puff, Brochifar 3x1. Sekitar 6
bulan yang lalu OS dirawat di RS Kartini selama kurang lebih 4 hari karena
keluhan yang sama.

Pada pemeriksaan fisik inspeksi thorax didapatkan retraksi sela iga. Pada
pemeriksaan lab darah didapatkan leukosit yang meningkat. Pada rontgen thorax
terlihat kelainan yaitu tampak hiperlusen, sela iga melebar, diafragma mendatar
dan jantung menggantung. Maka berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang pasien di diagnosis PPOK eksaserbasi akut.

9
TINJUAN PUSTAKA

1.1. Latar Belakang


Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit paru kronik
yang ditandai oleh adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversible. Penyakit tersebut biasanya progresif dan berhubungan
dengan respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya atau gas
beracun.1
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari
kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya pajanan
faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian
PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda,
serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat
kerja.2
Diperkirakan 65 juta penduduk dunia menderita PPOK sedang sampai berat.
Pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK, menyumbang
5% dari seluruh penyebab kematian. Data mengenai morbiditas dan mortalitas
PPOK tersebut didapatkan sebagian besar dari negara dengan penghasilan tinggi.
Pada tahun 2002, PPOK merupakan penyebab kematian ke-5, diperkirakan akan
meningkat menjadi ke-3 pada tahun 2030 dengan total peningkatan kematian
30% dalam 10 tahun.3
PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita, termasuk
pasien yang berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas penderitanya.
Padahal mereka masih dalam kelompok usia produktif namun tidak dapat bekerja
maksimal karena sesak napas yang kronik. 4
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah
progresivitas dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap
aktivitas, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi,
mencegah dan menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian.1,2
10
2.1.1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun /berbahaya, disertai efek ekstra paru yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Karakteristik hambatan aliran udara
pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil
(obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada
setiap individu.2
Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada beratnya penyakit ini.1

2.1.2. Epidemiologi
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu penyakit yang
menjadi masalah kesehatan global saat ini. Data prevalensi, morbiditas, dan
mortalitas berbeda di tiap negara dan terus mengalami peningkatan. Hal ini
berhubungan dengan meningkatnya usia harapan hidup rata-rata masyarakat dan
semakin tingginya pajanan terhadap faktor risiko.5
Jumlah penderita PPOK pada tahun 2006 untuk wilayah Asia diperkirakan
sekitar 56,6 juta dengan prevalensi 6,3%. Di Cina angka kasus mencapai 38,16
juta jiwa, sedangkan di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta jiwa pasien
dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa meningkat seiring semakin banyaknya
jumlah perokok, karena 90% penderita PPOK adalah perokok atau mantan
perokok.5

2.1.3. Faktor Risiko


Banyak hal yang dapat menjadi penyebab penyakit paru obstruktif kronis,
diantaranya yaitu:
1. Merokok
Penelitian menyebutkan bahwa kebiasaan merokok merupakan penyebab
terbanyak terjadinya PPOK. Kejadian PPOK karena merokok mencapai 90%

11
kasus. Merokok sigaret mempengaruhi makrofag untuk melepaskan faktor
kemotaktik dan elastase, yang akan menyebabkan kerusakan jaringan. Secara
signifikan, PPOK berkembang pada 15% perokok sigaret, walaupun jumlah ini
pasti bukan nilai sebenarnya. Usia memulai merokok, jumlah bungkus
pertahun, dan status merokok saat ini memprediksi mortalitas. 6
Orang yang merokok mengalami penurunan FEV1. Secara fisiologis
normal, penurunan FEV1 diperkirakan sekitar 20-30 ml/tahun, tetapi pada
pasien PPOK biasanya menurun 60 ml/tahun atau lebih besar. Sebuah studi
menyimpulkan bahwa gangguan fungsi paru dan perubahan struktural paru
sudah muncul pada perokok sebelum tanda klinis obstruksi muncul.6

2. Faktor Lingkungan
PPOK juga dapat terjadi pada individu yang tidak pernah merokok.
Walaupun peran polusi udara sebagai etiologi PPOK tidak jelas, efeknya lebih
kecil bila dibandingkan dengan merokok. Pada negara berkembang,
penggunaan bahan bakar biomass serta memasak dan memanaskan dalam
ruangan kemungkinan juga menjadi penyumbang terbesar dalam prevalensi
PPOK.6

3. Infeksi saluran napas bawah berulang


Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara
bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan
menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat
dewasa.2

4. Sosial ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan
secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukinan yang padat,
nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial ekonomi
kemungkinan dapat menjelaskan hal ini. Peranan nutrisi sebagai faktor risiko

12
tersendiri penyebab berkembangnya PPOK belum jelas. Malnutrisi dan penurunan
berat badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena
penurunan masa otot dan kekuatan serabut otot. Kelaparan dan status
anabolik/katabolik berkembang menjadi emfisema pada percobaan binatang. CT
scan paru perempuan dengan kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa
menunjukkan seperti emfisema.2

5. Tumbuh kembang paru


Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan,
kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru
seseorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalias menyatakan
bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.2

6. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun
belum dapat disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study”
didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK
daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok. Penelitian lain 20% dari
asma akan berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya obstruksi jalan
napas ireversibel.2

7. Gen
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan
alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang,
paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia
muda dengan kelainan emphysema panlobular dengan penurunan fungsi paru
yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok dengan kekurangan alpha-1
antitripsin yang berat.
Risiko obstruksi aliran udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti
pada perokok yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian

13
menunjukkan keterkaitan bahwa faktor genetik mempengaruhi kerentanan
timbulnya PPOK.

2.1.4. Patogenesis
PPOK dapat terjadi karena berbagai mekanisme patogenesis. Patogenesis
terjadinya PPOK diantaranya adalah:
1. Hipotesis Proteinase-antiproteinase
Hipotesis proteinase-antiproteinase didasarkan pada asumsi bahwa
kerusakan jaringan dan emfisema terjadi karena ketidakseimbangan proteinase
dan inhibitornya. Telah dinyatakan bahwa ada peningkatan kuantitas enzim
pendegradasi elastik dibandingkan inhibitornya pada emfisema. Konsep ini
diusulkan untuk emfisema yang digambarkan dengan defisienasi AAT.8,9
Matrix metalloproteinases (MMP) memiliki kemampuan untuk membelah
protein struktural seperti kolagen dan elastin, sehingga berperan dalam
patogenesis PPOK. Peningkatan banyak Matrix Metalloprotein dilaporkan pada
emfisema karena rokok dan 3 MMP (MMP-2, -9, dan 12) mendegradasi elastin
Protease lain yang berperan penting dalam patogenesis PPOK adalah
cathapsins S, L (dalam makrofag), dan G, serta proteinase-3 (dalamnetrofil) 9

2. Mekanisme Imunologis
PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang abnormal
terhadap partikel atau gas berbahaya, terutama rokok.1 Pasien dengan PPOK
dilaporkan mengalami peningkatan netrofil di sputum, jaringan paru dan
bronchoalveolar lavage (BAL) dan neutrofil berperan penting dalam
patogensis PPOK.9

3. Keseimbangan Oksidan-antioksidan
Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan sel
endotel.9 Ketika oksidan melebihi antioksidan paru; modifikasi protein, lemak,
karbohidrat, dan DNA terjadi dan menghasilkan kerusakan jaringan. Oksidan
tersebut dapat memodifikasi elastin, sehingga lebih rentan terhadap

14
pembelahan proteolitik. Merokok dapat menginaktivasi histone deacetylase
(HDAC2) dan menyebabkan transkripsi kemokin/sitokin netrofil (TNF-α dan
IL-8) dan MMP sehingga terjadi degradasi matriks yang mendukung
terbentuknya emfisema. 9

4. Inflamasi Sistemik
PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmonal. Dinyatakan bahwa
inflamasi pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan
sitokin proinflamasi ke sirkulasi. Mediator ini dapat menstimulasi liver,
jaringan adiposa dan sumsum tulang untuk melepaskan sejumlah leukosit,
CRP, interleukin (IL)-6, IL-8, fibrinogen dan TNF-α ke sirkulasi dan
menyebabkan inflamasi sistemik .10 Inflamasi sistemik dapat memulai atau
memperburuk penyakit komorbid, seperti penyakit jantung iskemik,
osteoporosis, anemia normositik, kanker paru, depresi, dan lain-lain. 9

5. Apoptosis
Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam perkembangan
PPOK dan telah ditunjukkan adanya peningkatan apoptosis epitel alveolar dan
sel endotel di paru pasien PPOK. Karena tidak diimbangi dengan peningkatan
proliferasi protein struktural, maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan
jaringan paru dan emfisema.9

6. Perbaikan yang Tidak Efektif


Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan keterbatasan
kemampuan paru dewasa untuk memperbaiki alveolus yang rusak. 9

15
Patogenesis PPOK1

2.1.5. Patofisiologi
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh PPOK merupakan konsekuensi dari
mekanisme patofisiologi PPOK, diantaranya adalah:
1. Pembatasan Aliran udara dan Udara yang Terjebak
Inflamasi luas, fibrosis dan eksudat lumen pada saluran pernapasan kecil
berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC, dan mungkin
dengan percepatan penurunan FEV1 (karakteristik PPOK), obstruksi saluran
napas ini akan menjebak udara saat ekspirasi dan menyebabkan hiperinflasi.
Emfisema juga berperan dalam menjebak udara selama ekspirasi. Hiperinflasi
mengurangi kapasitas inspirasi demikian juga kapasitas residual fungsional
meningkat, khususnya selama aktivitas, menghasilkan peningkatan dispnea dan
keterbatasan kapasitas saat aktivitas. Hiperinflasi berkembang pada tahap awal
penyakit dan menjadi mekanisme utama dispnea saat aktivitas. 1

2. Abnormalitas Pertukaran Gas


Abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia.
Distribusi abnormal rasio ventilasi-perfusi adalah mekanisme pertukaran gas
11
abnormal pada PPOK. Umumnya transfer oksigen dan karbon dioksida
memburuk selama perjalanan penyakit. Hal ini menyebabkan retensi karbon

16
dioksida saat dikombinasikan dengan penurunan ventilasi selama kerja
pernapasan tinggi karena obstruksi berat dan hiperinflasi bersamaan dengan
gangguan dari otot ventilasi. 1

3. Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus adalah abnormalitas fisiologis pertama pada PPOK.
awalnya adalah stimulasi sekresi dari kelenjar mukus yang membesar. Lama
kelaman hipersekresi mukus terjadi karena metaplasia epitel skuamosa.
Hipersekresi mukus ini menghasilkan batuk produktif yang kronis. Pasien
dengan hipersekresi mukus adalah bila terjadi peningkatan jumlah sel goblet
dan pembesaran kelenjar submukosa. 11

4. Hipertensi Pulmonal
Terjadi pada kasus PPOK yang sudah lama, biasanya setelah terjadi
abnormalitas pertukaran gas. Faktor yang berkontribusi menyebabkan
hipertensi pulmonal pada PPOK termasuk vasokonstriksi, disfungsi endotel,
dan remodelling arteri pulmonal. Kombinasi ini mungkin suatu saat
11
menyebabkan pembesaran ventrikel jantung kanan. Ada respon inflamasi
pada pembuluh darah yang sama dengan yang terjadi pada saluran napas.
Emfisema dan hilangnya capillary bed juga berkontribusi terjadinya
peningkatan tekanan di sirkulasi pulmonal. 1

5. Gambaran Sistemik
Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi
fungsi jantung dan pertukaran gas. Mediator inflamasi ke sirkulasi mungkin
berkontribusi pada penurunan massa otot skeletal dan kaheksia, dan mungkin
memulai atau memperburuk penyakit komorbid seperti penyakit jantung
iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, sindroma
metabolik, dan depresi.1 Efek sistemik ini berkontribusi pada pembatasan
kapasitas aktivitas pada pasien dan memperburuk prognosis, tidak bergantung
pada fungsi paru mereka.

17
Patofisiologi PPOK14

2.1.6. Diagnosis
Dalam mendiagnosis PPOK sama seperti mendiagnosis penyakit lain,
yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis
klinis PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang mengalami dispnea,
batuk kronis atau produksi sputum berlebihan, dan riwayat terpajan faktor
resiko penyakit. Nilai spirometri dibutuhkan untuk membuat diagnosis dalam
konteks klinis. Adanya nilai FEV1/FVC postbronkodilator <0.70 memastikan
adanya pembatasan aliran udara yang persisten dan merupakan PPOK. 1

1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan beberapa hal untuk melihat adanya riwayat medis
pasien yang berhubungan dengan PPOK, yaitu:
a. Pajanan terhadap faktor resiko, seperti asap rokok, pajanan di pekerjaan
atau lingkungan
b. Riwayat medis terdahulu, termasuk asma, alergi, sinusitis, atau polip nasal;
infeksi respirasi saat anak-anak dan penyakit pernapasan lainnya
c. Riwayat PPOK pada keluarga atau penyakit pernapasan kronis lainnya
d. Pola perkembangan gejala: PPOK biasanya berkembang pada usia dewasa
dan kebanyakan pasien sadar akan peningkatan kesulitan bernapas dan

18
beberapa keterbatasan sosial beberapa tahun sebelum mencari bantuan
pengobatan medis
e. Riwayat eksaserbasi atau rawat inap karena penyakit pernapasan terdahulu
f. Adanya penyakit komorbid: gangguan jantung, osteoporosis, gangguan
muskuloskeletal, dan keganasan yang juga berperan dalam pembatasan
aktivitas.
g. Dampak penyakit dalam kehidupan pasien, kehilangan pekerjaan dan
dampak ekonomi, efek dalam rutinitas keluarga, merasa cemas dan depresi,
serta gangguan aktivitas seksual
h. Kemungkinan menurunkan faktor resiko, misalnya berhenti merokok

Dalam anamnesis juga akan didapatkan gejala dan keluhan-keluhan yang


disampaikan pasien tentang penyakitnya. Gejala-gejala pada PPOK
diantaranya adalah:
a. Batuk
Batuk bisa saja hanya sebentar (pagi awal) awalnya, secara progresif ada
terus sepanjang hari, tetapi jarang nokturnal. Batuk kronis biasanya
produktif dan sering diabaikan dengan anggapan sebagai konsekuensi
dari merokok. Sinkop batuk atau fraktur kosta karena batuk mungkin
terjadi.11
b. Produksi Sputum
Sputum mulai terjadi pada pagi hari tetapi lama-kelamaan akan muncul
terus sepanjang hari. Sputum bersifat mukoid dan berjumlah sedikit.
Produksi sputum ≥3 bulan dalam 2 tahun adalah definisi epidemiologi
dari bronkitis kronis. Perubahan warna sputum (purulen) atau volume
11
memberi kesan terjadi eksaserbasi infeksius. Produksi sputum sering
sulit dievaluasi karena pasien mungkin lebih memilih menelannya
dibandingkan membuangnya. Pasien yang memproduksi sputum dengan
jumlah besar mungkin memiliki penyakit bronkiektasis. 1

19
c. Dispnea
Biasanya progresif dan seiring berjalan waktu menjadi persisten. Saat
onset, gejala ini terjadi saat aktivitas (naik tangga, mendaki bukit, dll)
dan dapat dihindari dengan perubahan perilaku yang tepat (mis.
menggunakan elevator). Bagaimanapun, selama penyakit berkembang,
11
dispnea bahkan akan muncul dalam aktivitas ringan atau istirahat.
Dispnea menjadi penyebab utama ketidakmampuan dan kecemasan yang
dialami pasien berhubungan dengan penyakitnya.
d. Mengi dan Dada Sesak
Mengi dan dada sesak merupakan gejala tidak spesifik dan mungkin
bervariasi setiap hari. Mengi yang dapat terdengar mungkin berasal dari
laring. Dada sesak sering diikuti usaha dalam bernapas, berasal dari
kontraksi isometrik otot-otot interkostal. 1
e. Gambaran pada Penyakit Berat
Lelah, penurunan berat badan dan anoreksia adalah masalah utama pasien
dengan PPOK gejala berat dan sangat berat. Sinkop batuk terjadi karena
peningkatan cepat dari tekanan intratorakal selama serangan jangka panjang
batuk. Batuk yang parah ini juga bisa menyebabkan fraktur kosta yang
biasanya asimptomatis. Tanda-tanda kor-pulmonale juga menunjukkan
keadaan penyakit yang buruk. Selain itu, mungkin pasien akan mengalami
gejala depresi atau gangguan kecemasan. 1

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK yang masih dini biasanya tidak
2
menunjukkan kelainan. Seiring dengan perjalanan penyakit, muncullah
beberapa tanda dan gejala yang makin lama akan makin khas menjadi
gejala PPOK. PPOK memberikan tanda berupa gangguan baik pada sistem
pernapasan maupun sistemik.
a. Tanda Pernapasan
Inspeksi: barrel chest, pursed-lips breathing, gerakan tidak normal dari
dada/abdomen dan penggunaan otot-otot pernapasan. Semua ini

20
merupakan tanda pembatasan aliran udara, hiperinflasi dan gangguan
mekanis dari bernapas 11
Palpasi: ditemukan fremitus melemah pada emfisema 2
Perkusi: penurunan letak diafragma, suara timpani karena hiperinflasi, hati
dapat teraba 11
Auskultasi: suara napas vesikuler normal, atau melemah, terdapat ronki
dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa,
ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh 2
b. Tanda Sistemik
Distensi vena leher, pembesaran hatidan edema perifer dapat terjadi
karena cor pulmonale atau selama inflasi yang parah.
Kehilangan massa otot dan kelemahan otot perifer yang konsisten dengan
malnutrisi dan/atau disfungsi otot skelet.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai dalam mendiagnosis PPOK
adalah:
a. Pemeriksaan darah rutin
Untuk melihat nilai Hb, Ht, leukosit, dll. Peningkatan sel darah merah
(eritrositosis), terjadi ketika level oksigen di darah rendah (hipoksemia)
dalam waktu yang lama. Sel darah merah membawa oksigen di darah.
Karena kerusakan paru, pasien PPOK tidak dapat memperoleh cukup
udara. Sehingga reaksi tubuh adalah meningkatkan produksi sel darah
merah untuk meningkatkan jumlah oksigen di darah. 1
b. Pemeriksaan faal paru dengan spirometri
Pemeriksaan faal paru merupakan hal yang esensial untuk diagnosis dan
penilaian keparahan penyakit, dan juga membantu memantau progresnya.
Nilai yang didapat dari pemeriksaan dengan spirometri adalah FVC,
FEV1dan FEV1 /FVC.Penurunan nilai dari ketiga parameter diatas
menunjukkan adanya gangguan dalam faal paru. Nilai FEV1 yang
didapatkan dari hasil spirometri adalah indeks yang paling sering

21
digunakan untuk menilai obstruki aliran udara, menilai beratnya PPOK
dan juga untuk memantau perjalanan penyakit.
c. Pemeriksaan Radiologi
Harus dilakukan pada semua pasien. Pemeriksaan radiologi memang
tidak sensitif untuk diagnosis, tetapi membantu dalam menyingkirkan
penyakit lain (pneumonia, kanker, efusi pleura, dan pneumotoraks).
Umum walaupun tidak spesifik, tanda emfisema adalah diafragma yang
11
mendatar, radiolusensi paru yang ireguler. Bronkitis kronis
berhubungan dengan peningkatan tanda bronkovaskular dan
6
kardiomegali. Dengan komplikasi hipertensi pulmonal, bayangan
vaskular hilus menjadi sering, dengan kemungkinan adanya pembersaran
ventrikular kanan.
d. Analisa Gas Darah Arteri (AGDA)
Analisa gas darah arteri memberikan petunjuk tentang keakutan dan
keparahan eksaserbasi dari penyakit. Pasien PPOK mengalami
hipoksemia ringan sedang tanpa hiperkapnia. Seiring perjalanan
penyakit, hipoksemia memburuk dan hiperkapnia mulai berkembang.
Mekanisme paru dan pertukaran gas memburuk selama eksaserbasi akut.
Umumnya ada mekanisme kompensasi ginjal yang terjadi bahkan saat
CO2 yang kronisbertahan dalam tubuh (bronkitis); sehingga pH biasanya
mendekati normal. Biasanya, bila didapati pH dibawah 7,3 dapat menjadi
tanda gangguan akut dari sistem pernapasan 6
e. Evaluasi Sputum
Pada bronkitis kronis stabil, sputumnya mukoid dan makrofag sangat
banyak. Dengan eksaserbasi, sputum menjad purulen karena adanya
neutrofil. Peningkatan jumlah sputum merupakan tanda eksaserbasi akut
(Mosenifar, 2013). Beberapa organisme yang sering ditemukan dari
kultur adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.
Moraxella catarrhalis juga sering, dan Pseudomonas aeruginosa dapat
ditemukan pada pasien dengan obstruksi berat.
f. Pemeriksaan Alfa-1 Antitripsin

22
Pasien dengan tingkat AAT rendah, diagnosis definitifnya membutuhkan
penentuan tipe Pi. Hal ini dilakukan dengan fokus isoelektris pada serum
yang mewakili lokus Pi untuk alel umum dan alel Pi lain yang jarang.
7
Molecular genotyping DNA dapat dilakukan untuk alel Pi yang umum.
Tingkat α1-antitripsinharus diperkirakan pada pasien PPOK muda (dekade 4
atau 5) dan memiliki riwayat keluarga yang kuat. Nilai serum α1-antitripsin
<15–20% dari batas normal merupakan tanda dari defisiensi α1-antitripsin 11

2.1.7. Derajat PPOK


Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru
Indonesia) maka PPOK dikelompokkan ke dalam : 13
a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa
produksi sputum dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Sedangkan
pemeriksaan Spirometrinya me-nunjukkan VEP1 ≥ 80% prediksi (normal) dan
VEP1/KVP < 70 %

b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan
atau produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan
pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80%
prediksi
c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad tiga atau
empat dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai
komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri
menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 % dengan
gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pe-meriksaan analisa gas
darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipokse-mia dengan
hiperkapnia.

Derajat PPOK Berdasarkan Kriteria GOLD


Kriteria GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease) adalah suatu kriteria yang dipakai secara internasional yang
merupakan kolaborasi antara National Institutes of Health (NIH) danWorld
23
Health Organization (WHO) dalam menentukan derajat keparahan pada pasien
PPOK.
Kriteria GOLD untuk PPOK mengklasifikasikan penderita PPOK
berdasarkan derajat pembatasan aliran udara (obstruksi). Selain untuk
mengklasifikasikan, kriteria GOLD ini juga berguna untuk mendiagnosis
obstruksi. Derajat keparahan PPOK dinilai berdasarkan nilai dari hasil
pemeriksaan spirometri. 1
Nilai spirometri yang digunakan dalam penentuan kriteria GOLD adalah:
1. FVC (Forced Vital Capacity)atau Kapasitas Vital Paksa adalah total volume
udara yang dapat pasien keluarkan secara paksa dalam sekali bernapas.
2. FEV1 (Forced Expiratory Volume in One Second)atau Volume Ekspirasi
Paksa detik 1 adalah volume udara yang dapat dikeluarkan pasien dalam detik
pertama saat ekspirasi paksa.
3. FEV1 /FVC adalah rasio FEV1 terhadap FVC yang dinyatakan dalam fraksi 1
Kriteria spirometri yang diperlukan dalam kriteria GOLD untuk diagnosis
derajat keparahan PPOK adalah FEV1 /FVC setelah pemberian bronkodilator1

Tabel 2.1 Kriteria GOLD untuk Derajat Keparahan PPOK 1

Derajat Karakteristik

I : PPOK Ringan FEV1/FVC < 0,70


FEV1 ≥ 80% prediksi
II: PPOK Sedang FEV1/FVC < 0,70
50% ≤ FEV1 ≤ 80% prediksi
III: PPOK Berat FEV1/FVC < 0,70
30% ≤ FEV1 ≤ 50% prediksi
IV: PPOK Sangat Berat FEV1/FVC < 0,70
FEV1< 30% prediksi atau
FEV1< 50% prediksi ditambah
Gagal nafas kronik

24
Mild COPD atau PPOK ringan, pada tahap ini pasien mungkin belum menyadari
bahwa fungsi parunya tidak normal.
Moderate COPD atau PPOK sedang, gejala biasanya berkembang pada tahap ini,
dengan napas yang memendek saat melakukan aktivitas.
Severe COPD atau PPOK berat, pemendekan nafas semakin buruk pada tahap
ini dan sering membatasi aktivitas harian pasien. Eksaserbasi biasanya mulai
dapat terlihat pada tahap ini.
Very severe COPD atau PPOK sangat berat, pada tahap ini kualitas hidup
sudah sangat terganggu dan eksaserbasi pada pasien bisa mengancam jiwa. 1

2.1.8. Penatalaksanaan
Adapun tujuan dari penatalaksanaan PPOK ini adalah:2
- Mencegah progresifitas penyakit
- Mengurangi gejala
- Meningkatkan tolenransi latihan
- Mencegah dan mengobati komplikasi
- Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
- Mencegah dan meminimalkan efek samping obat
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
- Menurunkan angka kematian
Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu
tujuan selama tata laksana PPOK.
a. Terapi Farmakologis
 Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau
obat berefek panjang (long acting).2
Macam-macam bronkodilator: 2
25
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidka dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.

 Kortikosteroid
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.2
 Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan: 2
Lini I: amoksisilin
Makrolid

26
Lini II: amoksisilin dan asam kluvanat
Sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
 Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. 2
 Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin. 2
b. Terapi non-farmakologis
 Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel
baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen: 2
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi:2
Pao2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%
Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan
Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit
paru lain.

27
 Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat
berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di
ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat digunakan dengan cara: 2
- Ventilasi mekanik dengan intubasi
Digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan
selama di rumah.
- Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Noninvasive Intermitten
Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pressure Ventilation (NPV).

 Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.2
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan: 2
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
 Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup pendita PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3
komponen yaitu: 2
- Latihan fisik
- Latihan pernapasan dan latihan endurance
- Rehabilitasi psikososial
28
Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut2
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :


a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau
frekuensi nadi > 20% baseline.

Penyebab eksaserbasi akut


Primer :
- Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
- Pnemonia
- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen yang tidak tepat
- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkunagn memburuk/polusi udara
- Aspirasi berulang

29
- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)

Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi


yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang
telah diedukasi dengan cara :
- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator
yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser
- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
- Menambahkan mukolitik
- Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.

Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat


jalan atau rawat inap dan dilakukan di :
1. Poliklinik rawat jalan
2. Unit gawat darurat
3. Ruang rawat
4. Ruang ICU
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi
gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus
diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneomonia

30
2. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam
jiwa. dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya
dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia.
gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28%
atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing,
tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai
kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam
penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure
Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan
intubasi.

3. Pemberian obat-obatan yang maksimal


Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a. Antibiotik
- Peningkatan jumlah sputum
- Sputum berubah menjadi purulen
- Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi
kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit
sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi
sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan
tunggal.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang
tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan
penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena
penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan
retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersamasama dengan bronkodilator

31
lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di
rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan
pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai
efek samping bronkodilator.
c. Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek
samping.

4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia


berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas

5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi
mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan
NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi

6. Kondisi lain yang berkiatan


- Monitor balans cairan elektrolit
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia

7. Evaluasi ketat progesiviti penyakit


Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan menyebabkan
kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat mencegah dan
gagal napas berat dan menghindari penggunaan ventilasi mekanik.

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi :


- Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit

32
- Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
- Kesadaran menurun
- Hipoksemia berat PaO2 < 50 mmHg
- Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi
- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma, efusi
pleura dan emboli masif
- Penggunaan NIPPV yang gagal

2.1.9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah: 2
1. Gagal napas
a. Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik:


- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun

2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi

33
kronik ini imun menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limfosit darah.

3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan

34
DAFTAR PUSTAKA

1. GOLD, 2013. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and


Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Updated 2013.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 10-17
2. PDPI, 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Persatuan Dokter Paru Indonesia, 1-32
3. World Health Organization. 2012. Chronic obstructive pulmonary disease
fact sheet. WHO Media Center [Online]. [Cited 2014 Aug 8]. Available
from: URL: http://www.who.int/mediacentre
4. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquet X, 2003.
Systemic Effect of COPD, Eur Respir J ; 21; p.347-360
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) diagnosis dan penatalaksanaan. Edisi ke-1. Jakarta: 2011
6. Mosenifar, Zab., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Available
from http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview. [Accessed
10 April 2013].
7. Reilly, J.J., Silverman, E.K., Shapiro, S.D., 2010. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. In: Loscalzo, J., ed. Harrison Pulmonary and Critical
Care 17th edition. New York, USA: Mc-Graw Hill, 178-189
8. Vijayan, V.K., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Indian J Med
Res, 137: 251-269
9. Shapiro, S.D., Ingenito, E.P., 2005. The Pathogenesis of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease: Advances in the Past 100 Years. Am J
Respir Cell Mol Biol, 32: 367-372.
10. Tkac, J., Man, S.F., Sin, D.D., 2007. Systemic Consequences of COPD.
Ther Adv Respir Dis, 1: 47-59
11. ATS-ERS, 2004. Standards of Diagnosis and Management of Patients of
COPD. American Thoracic Society and European Respiratory Society, 14-
43

12. Putra, G.N.W, Artika, I.D.M, 2013. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Paru Obstruktif Kronis. E-Jurnal Medika Udayana, 2(1)
13. Omeati, R. 2013 Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Media Litbangkes 23(2): 82-88
14. Rahman et al. Systemic oxidative stress in asthma, COPD and smokers. Am
J respire Crit Care Med 1996;154:1055-1060

35

You might also like