You are on page 1of 7

PERNIKAHAN DINI DALAM KACA MATA ISLAM

Dinda Ayu Firdayanti

Pendahuluan

Hukum asal dalam perbuatan-perbuatan (mukallaf) adalah terikat dengan


hukum syara’.1Jadi perbuatan seorang muslim pasti mempunyai status hukum
syara’, tidak terlepas atau terbebas dari ketentuan hukum-hukum Allah, apa pun
juga perbuatan itu. Maka dari itu, seorang muslim wajib mengetahui hukum syara’
akan suatu perbuatan, sebelum dia melakukan perbuatan itu, apakah perbuatan itu
wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.

Seorang muslim wajib mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkaitan


dengan perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan itu berkaitan dengan
aktivitasnya sehari-hari, atau akan segera dia laksanakan, hukumnya fardhu ‘ain
untuk mempelajari dan mengetahui hukum-hukumnya. Misalnya seorang muslim
yang kan menikah, wajib ‘ain baginya untuk mengetahui hukum-hukum seperti
hukum khitbah, akad nikah, nafkah, hak-kewajiban suami isteri, thalaq, ruju’, dan
sebaginya.

Adapun jika perbuatan itu tidak berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari,


atau baru akan diamalkan di kemudian hari, hukumnya fardhu kifayah mengetahui
hukum-hukumnya.2 Misalkan seorang muslim yang mempelajari hukum-hukum
jihad untuk diamalkan pada suatu saat nanti (tidak segera), maka hukumnya
adalah fardhu kifayah.

1
Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 19
2
Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II, hal. 5-6
Pembahasan

Mempelajari hukum-hukum nikah hukumnya adalah fardhu bagi setiap muslim.


Fardhu kifayah bagi mereka yang akan melaksanakannya di kemudian hari, dan
fardhu ‘ain bagi yang akan bersegera melaksanakannya dalam waktu dekat.

 Hukum Menikah
Menikah mempunyai hukum asal yaitu sunnah (mandub) sesuai firman Allah
SWT :

َ‫اب لَ ُك ْم ِمن‬
َ ‫ط‬َ ‫طوا فِي ْاليَتَا َم ٰى فَا ْن ِك ُحوا َما‬
ُ ‫َوإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَ اَّل ت ُ ْق ِس‬
‫احدَة ً أَ ْو‬
ِ ‫ع ۖ فَإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ اَّل تَ ْع ِدلُوا فَ َو‬
َ ‫ث َو ُر َبا‬ َ ‫اء َمثْن َٰى َوث ُ ََل‬ ِ ‫س‬ َ ِ‫الن‬
‫ت أ َ ْي َمانُ ُك ْم ۖ ٰذَ ِل َك أَ ْدن َٰى أَ اَّل تَعُولُوا‬
ْ ‫َما َملَ َك‬

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.” (QS An Nisaa` : 3)

Perintah untuk menikah dalam ayat di atas merupakan tuntutan untuk


melakukan nikah (thalab al fi’il). Namun tuntutan tersebut tidak bersifat
pasti/keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin
dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan
tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum
sunnah, tidak wajib.

Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain,
misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum
nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlaknya kecuali
dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian
(‘iffah) dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat
terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya.

Dapat juga pernikahan menjadi haram, jika menjadi perantaraan kepada


yang haram, seperti pernikahan untuk menyakiti isteri, atau pernikahan yang akan
membahayakan agama isteri/suami.

Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia
tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub).3

 Hukum Menikah Dini


Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh
mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang
masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada
yang secara umum harus ada pada semua pernikahan, namun ada pula hukum
yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti kondisi
mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.

Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-


syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih
paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :

1. kesiapan ilmu
2. Kesiapan materi/harta
3. Kesiapan fisik/kesehatan

Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik untuk yang menikah dini
maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini
dalam konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah, adalah
sebagai berikut:

3
Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam
 Hukum Menikah Bagi Mahasiswa Sedangkan Dia Masih Dapat Menjaga
Dirinya
Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu
kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah
tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara
kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram
meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus
ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih
didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan
daripada menikah. Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah,
tidak wajib, namun dia dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut
(menuntut ilmu dan menikah) dalam waktu bersamaan secara baik, tidak
mengabaikan salah satunya, disertai dengan keharusan memenuhi kesiapan
menikah seperti diuraikan di atas, yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik.
 Hukum Menikah Bagi Mahasiswa Sedangkan Dia Tidak Dapat Menjaga
Dirinya
Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak
segera menikah maka dia akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti
zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan
berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum asal menikah yang
sunnah telah menjadi wajib baginya.
Hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan
kewajiban lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus
dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini memang cukup berat dan sulit. Tapi
mau bagaimana lagi jika menikah wajib dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah,
maka Syariat Islam pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan
keteguhan jiwa (tawakkal), manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus
mewajibkan mahasiswa tersebut memenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
1. kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan.
2. kewajiban yang berkaitan dengan kesiapan pernikahan nikah harus
diwujudkan,
Kewajiban menjaga pergaulan pria-wanita untuk menjaga kesucian jiwa (‘Iffah)
Syariat Islam sebenarnya telah secara preventif menetapkan hukum-hukum yang
jika dilaksanakan maka kesucian jiwa dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda
terhindar dari kemungkinan berbuat dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini
beberapa hukum tersebut :

1). Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar
menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya

2). Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun kaum wanita agar menjauhi
perkara-perkara yang syubhat, dan menganjurkan sikap hati-hati agar tidak
tergelincir dalam perbuatan ma’siyat kepada Allah

3). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan disebabkan oleh
keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat ‘iffah, dan mampu mengendalikan
nafsu

4). Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama lain melakukan khalwat

5). Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj

6). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian


sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak
tangannya

7. Islam melarang seorang wanita melakukan perjalanan dari suatu tempat ke


tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali apabila disertai dengan
mahramnya

8. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamaah kaum
wanita terpisah (infishal) dari jamaah kaum pria, begitu juga di dalam masjid,
di sekolah dan lain sebagainya

9). Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita
hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalah.
Kesimpulan

Perkawinan pada dasar nya merupakan fitrah yang di berikan oleh ALLAh
SWT. dan juga pada setiap agama di anjurkan untuk meneruskan keturunan dalam
kelangsungan hidup manusia. Namun walaupun pernikahan yang di lakukan pada
usia muda memiliki banyak hal yang di kewatirkan pada usia muda tersebut, yang
bisa menimbulkan perceraian dalam pernikaha tersebut, akan bisa terjadi
persedian buruk pada wanita di bawah umur yang secara biologis belum dewasa
dan juga terputusnya peluang tuk mencapai segala yang di cita-citakan.

Setiap muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam setiap


perbuatannya, termasuk dalam hal menikah dini. Menikah dan juga menikah dini
memiliki hukum yang sama yaitu sunnah. Tidak semua pernikahan akan memiliki
hukum yang sunah. Bahkan pernikahan tersebut dapat dihukumi wajib dan ada
yang dihukumi haram. Pernikahan dihukumi wajib apabila orang tersebut sudah
waktunya untuk menikah, sudah mempunyai modal untuk menikah, dan sudah
siap untuk menikah. Disisi lain, pernikahan dihukumi haram apabila orang
tersebut memiliki tujuan yang buruk saat melaksanakan pernikahan, misalnya
untuk balas dendam atau menguasai harta pasangannya.

Menikah dini dihukumi sunnah bagi mahasiswa yang masih dapat


mengendalikan diri mereka selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan
akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram meskipun tidak
menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan lebih didahulukan
daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada
menikah.

Menikah dini dihukumi wajib apabila mahasiswa tidak dapat menjaga


dirinya sendiri, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus kedalam
perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat
menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka
hukum menikah yang asalnya sunnah telah menjadi wajib baginya.
Daftar Pustaka

Shiddiq Muhammad, Pernikahan Dini,. 2001, Yogyakarta.

Ali, Ash-Shobuni. 2008. Pernikahan Islam. Solo: Mumtaza

Prof. H. Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, 1964, Jakarta: Pustaka
Mahmudiah, Cetakan ketiga.

You might also like