You are on page 1of 11

PENDAHULUAN

A. Filsafat Islam adalah pengetahuan tentang segala yang ada dan harus di
buktikan melalui metode atau cara yang digunakan untuk menyelidiki asas dan
sebab suatu benda tersebut berdasarkan pemikiran agama islam yang sesuai dengan
al-quran dan al-hadits. Filsafat islam masuk dan di jumpai kaum muslimin pada
abad ke-8 M/ 2 H melalui filsafat Yunani. Kebudayaan dan filsafat Yunani masuk
ke daerah – daerah islam (Siriah, Persia, Mesopotamia dan Mesir) melalui ekspansi
Alexander Agung. Alexsander datang dengan tidak menghancurkan perdaban dan
kebudayaan Persia, bahkan sebaliknya ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani
dan Persia. Dan pada zaman Al-Makmun melakukan penerjemahan naskah –
naskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa arab.
Ketersediaan buku – buku terjemahan tersebut dimanfaatkan oleh kalangan muslim
untuk berkenalan denga ilmu pengetahuan dan filsafat. Dari wilayah – wilayah dari
belahan timur tersebut terutama Baghdad, ilmu filsafat dalam islam mulai
berkembang luas.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana pengaruh filsafat yunani dan tradisi persia terhadap lahirnya


ilmu baru islam ?

2. Bagaimana fatwa fatwa yang berbeda dari khulafaurrosyidin ?

3. bagaiman perkembangan ilmu baru pada masa tabi’in ?

C. Tujuan

Tujuanya untuk mengetahui pengaruh filsafat yunani dan tradisi persia


terhadap lahirnya ilmu baru islam dan mengetahui fatwa – fatwa yang berbeda dari
khulafaurrosyidin dan membahas perkembangan ilmu ilmu pada masa kholifah dan
tabi’in.
PEMBAHASAN

A. Pengaruh Filsafat Yunani Dan Tradisi Persia Terhadap Lahirnya Ilmu


Baru Islam

Dalam buku History of The Arabs, Philip K. Hitti, seorang profesor dari
Universitas Princeton,Dia berpendapat bahwa kedokteran arab, filsafat arab, atau
matematika arab itu sebnarnya bukan murni dari pemikiran orang-orang Arab yang
asli tinggal di Jazirah Arab tetapi pemikiran itu berbentuk dalam sebuah buku yang
di tulis dalam bahasa Arab yang sumbernya didapat dari pemikiran Yunani, Persia,
India, atau yang lainnya yang diramu dengan budaya lokal Arab.

Kalau kita melihat kenyataanya bahwa filsafat berasal dari bahasa Yunani
yang tersusun dari dua kata yaitu Philein yang berarti cinta dan Sophos yang berarti
hikmat, kebijaksanaan (wisdom). Akan tetapi orang Arab memindahkan kata
Yunani Philosophia ke dalam bahasa Arab dengan menyesuaikannya dengan tabiat
susunan kata-kata Arab, yaitu falsafa)‫(فلسف‬dengan wazan fa’lala, fa’lalatan dan
fi’lal. Dengan demikian kata benda dari kata kerja falsafa)‫(فلسف‬adalah
falsafah)‫(فلسفة‬dan filsaf)‫(فلساف‬, yang memiliki arti hikmah. Hikmah menurut Ibnu
Arabi adalah proses pencarian sesuatu dan perbuatan. Akan tetapi Ar-Raghib
memberikan definisi yang lebih simpel, yaitu )‫( (أصبة الحق بالعلم و العقل‬memperoleh
kebenaran dengan ilmu dan akal).

Sejarah mencatat kelahiran ilmu baru dalam islam seperti ilmu filsafat islam
dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke
dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak awal periode Abbasiyah. Para
cendekiawan ketika itu berusaha memasukkan filsafat Yunani sebagai bagian dari
metodologi dalam menjelaskan Islam, terutama akidah dan fiqih sebagai alat untuk
membantu persesuaian antara wahyu dan akal.

Tentu saja, aktifitas para filsuf muslim di atas bersentuhan dengan


penafsiran al-Qur’an. Bahkan kecenderungan menafsirkan al-Qur’an secara
filosofis besar sekali.Al-Kindi misalnya yang dikenal sebagai Bapak Arab dan
Muslim, berpendapat bahwa untuk memahami al-Qur’an dengan benar isinya harus
ditafsirkan secara rasional bahkan filosofis.Al-Kindi berpendapat bahwa al-Qur’an
mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-
peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam dibalik terbit
tenggelamnya matahari, berkembang menyusutnya bulan, pasang surutnya air laut
dan seterusnya.Ajakan ini merupakan seruan untuk berfilsafat.Seperti halnya Al-
Kindi, Ibn Rusyd pun berpendapat demikian.Lebih jauh, Ibnu Rusyd menyatakan
bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan
berbuat benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan agama sebab tujuan agama pun
tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan
menunjukan jalan yang benar bagikehidupan yang praktis.

Uraian di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang
setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani, seperti yang
disebutkan, baik oleh Ahmad Fuad Al-Ahwani maupun Nurkholis Madjid yang
menyatakan bahwa pemakaian kata “filsafat” di dunia Islam digunakan untuk
menerjemahkan kata “hikmah” yang ada dalam teks-teks keagamaan Islam, seperti
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Nurcholis Madjid bahwa orang-orang


Islam berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang telah ditafsirkan
dan diolah oleh orang-orang Syria dan itu berarti bahwa masuknya unsur-unsur
Neoplatonisme. Cukup menarik bahwa sebagian orang Islam begitu sadar tentang
Aristoteles dan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka
tidak sadar atau sedikit sekali mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonisme di
dalamnya. Ini menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme
yang paling berpengaruh terhadap filsafat Islam itu karena memang terkait satu
sama lainnya.

Sekalipun begitu, masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas


Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan
jelas dalam berbagai paham tasauf. Ibnu Sina misalnya dapat dikatakan sebagai
seorang Neo-Platonis disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan rohani
menuju Tuhan seperti dimuat dalam kitabnya, Isharat. Memang, Neoplatonisme
yang spritualis itu banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi,
dan yang paling menonjol adalah yang ada dalam ajaran sekelompok orang Muslim
yang menamakan diri mereka Ikhwan Ash-Shafa.

Akan tetapi, mustahil melihat filsafat Islam sebagai carbon copy


Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, semua pemikir Muslim
berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan karena itu
mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan
Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat An-Nubuah. Mereka juga banyak
mencurahkan banyak tenaga untuk kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak
terdapat padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum
Hellenis Kristen. Para filsuf muslim juga membahas masalah baik dan buruk,
pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan
keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan dan seterusnya, yang semuanya
itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal
serupa dalam Hellenisme.

B. Fatwa Fatwa Yang Berbeda Dari Khulafaurrosyidin

Fatwa secara syariat bermakna, Penjelasan hukum syariat atas suatu


permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil
yang berasal dari Al-Qur‟an, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad.
Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen bagi manusia, dikarenakan tidak
semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat jika mereka diharuskan
memiliki kemampuan itu, yakni hingga mencapai taraf kemampuan berijtihad
untuk menentukan suatu hukum.
Pada masa sahabat, hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan
semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan perubahan
kondisi sosial pada masa itu. Banyak sekali persoalan-persoalan baru yang muncul
di kalangan umat Islam pada masa itu yang memerlukan penentuan hukum. Oleh
karena itu dalam memutuskan setiap perkara, para sahabat selalu berpedoman pada
al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam pertama. Namun bila tidak
dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para sahabat menggunakan ijtihad
sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menggunakan akal (ra’yu). Kebanyakan
mereka mencela ra’yu. Yang mereka cela bukanlah apa yang mereka lakukan, tetapi
mereka mencela apabila mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa tanpa bersandar
pada pokok agama. Dengan demikian, pada masa sahabat ada empat sumber
hukum, yaitu:
1. Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
2. As-Sunah
3. Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4. Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
Alasan para sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasulullah
melakukan ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus
Mu’adz ibn Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz,“Dengan apa engkau
menghukumi sesuatu?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab
Allah.” Kemudian Rasul bertanya lagi, “Jika tidak kamu jumpai dalam Kitab
Allah?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah Rasulullah.” Dan
Rasul bertanya lagi, “Dan jika kamu tidak menjumpai dalam Sunnah
Rasulullah?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian
Rasul membenarkannya seraya memuji Allah atas limpahannya Taufik-Nya.
Para sahabat yang pernah mengalami hidup bersama Nabi Muhammad,
diantara mereka banyak yang hafal Al-Qur’an dan Hadits. Karena keistimewaan
inilah mereka memiliki keahlian untuk menjelaskan nash-nash tersebut jika ada
pertanyaan atau persoalan yang muncul pada masa itu. Karena para sahabat
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sebab-sebab Nabi
bersabda, maka mereka memahami tentang ketetapan hukum serta maksud dan
tujuan ditetapkan hukum untuk menjamin kemaslahatan ummat. Diantara para
sahabat yang termasyhur yakni, Abu bakar, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab,
Usman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Musa, Abdullah bin
Amir bin As, Zaid bin Tsabit dll.
Dan dalam berijtihad tidak jarang para sahabat berbeda pendapat. Keputusan
yang berbeda ini karena beberapa hal :
1. Perbedaan persepsi dalam menjawab persoalan dan pertanyaan yang muncul.
Misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah berdiri ketika menyaksikan
jenazah orang Yahudi. Ini melahirkan keragaman penafsiran, apakah Nabi tidak
tahu bahwa jenazah tersebut adalah orang Yahudi, sehingga, andaikata Nabi
mengetahui ia tidak akan berdiri, atau apakah Nabi tahu, sehingga penghormatan
jenazah itu perlu tanpa memandang agama si mayit, ataukah Nabi tidak mau kalau
ketika mayit melintas, posisi Nabi lebih rendah sehingga beliau berdiri.
2. Perbedaan pendapat juga dapat terjadi karena sebuah hadits diketahui oleh orang
tertentu yang tidak dipakai atau diketahui oleh orang lain. Contohnya perbedaan
pendapat tentang najis mughalladzah, do’a qunut dalam shalat subuh dll.
3. Hadits yang dipandang tidak kuat, sehingga harus ditinggalkan. Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa Fatimah binti Qais bersaksi di hadapan Umar bahwa ia
ditalak suaminya tiga kali, dan Rasulullah tidak menentukan baginya nafkah dan
tempat tinggal. Umar menolak kesaksiannya itu dan berkata, “Saya tidak akan
meninggalkan Kitab Allah hanya karena ucapan seorang wanita yang tidak saya
ketahui benar dan tidaknya. Dia berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal”.
4. Keragaman pengetahuan tentang nash juga melahirkan perbedaan pendapat. Nabi
pernah memberi keringanan kepada sahabat untuk nikah mut’ah pada tahun
Khaibar dan Authas, kemudian melarangnya. Berdasarkan keputusan Nabi tadi,
sebagian orang Islam mengatakan bahwa nikah mut’ah yang tadinya diperbolehkan
itu telah dinasakh dengan larangannya, dan tidak pernah diperbolehkan itu telah
diperbolehkan lagi. Sebagian lain berpendapat bahwa dilarang dan
diperbolehkannya nikah mut’ah itu karena pertimbangan tertentu, bukan tanpa
alasan seperti pendapat pertama.

C. perkembangan ilmu pada masa tabi’in


Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran
pada masa Utsman bin Affan dan Hadits pada masa Umar bin Abd Aziz, sebagai
pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para ulama pun sudah faham betul
dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama yang dahulu dalam
menghadapi kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan sehingga
keputusan-keputusan itu dapat dijadikan yurespudensi hakim saat ini.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang,
maka perkembangan ilmu pengetahuan keagaamaan pun (Islam) mendapat tempat
yang cukup Istimewa pula, karena pada periode ini sebagai masa keemasan bagi
perkembangan ajaran-ajaran Islam,Antata lain seperti Aqidah, ilmu Tafsir, Ilmu
Hadits dan lain sebaginya, untuk menyaingi perkembangan ilmu pengetahuan yang
diimport dari dunia barat, terutama filsafat Socrates, Plato, Aristoteles, yang datang
dari Yunani.

Periode imam-imam mujtahid besar dirasah islamiyah pada masa keemasan


Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun (101H-350H/720-961M).
Periode ini juga disebut sebagai periode pembinaan dan pembukuan hukum islam.
Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan pesat sekali. Penulisan dan
pembukuan hukum islam dilakukan secara intensif, baik berupa penulisan hadis-
hadis nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan
pendapat-pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqh.

Pada masa ini lahirlah pemikir-pemikir besar dengan berbagai karya


besarnya, seperti Imam Abu Hanifiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal
Abu Yusuf(Penyusun kitab ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik dengan
kitab al-Muwatha’, Imam Syafe’I dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam
Ahmad dengan kitabnya Musnad, dan beberapa nama lainnya beserta karya tulis
dan murid-muridnya masing-masing.

Diantara faktor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu


fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai
berikut:
1. Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh
khususnya.
2. Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi
ilmiah diantara para ulama.
3. Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an
(pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn
Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang
dirintis Ibnu Abbas (w.68H) dan muridnya Mujahid(w104H) dan kitab-
kitab lainnya.
Periode ini berlangsung selama ± 250 tahun, dimulai dari awal abad
kedua hijrah sampai pertengahan abad keempat hijrah.Ada dua hal penting
tentang Al-Qur’an pada masa ini, yaitu :

1. Adanya kegiatan menghafal Al-Qur’an

2. Memperbaiki tulisan Al-Qur’an dan memberi syakal terhadap Qur’an.


Ini penting sebab orang muslim non arab bisa salah dalam membaca
Al-Qur’an. Maka Gubernur Irak waktu itu Ziyad bin Abihi meminta
kepada Abu al-Aswad Aduali untuk memberi syakal. Maka Abu al-
Aswad Aduali memberi syakal di setiap akhir kata, yaitu diberi satu titik
huruf diatas sebagai fathah, satu titik di bawah sebagai kasrah dan satu
titik di samping sebagai dhammah. Kemudian Al-Kholilbin
Ahmadmemperjelas bentuk tanda-tanda ini dengan alif diatas huruf
sebagai tanda fathah, ya dibawah huruf sebagai kasrah dan wawu diatas
huruf sebagai dhammah. Disamping itu yang diberi tanda bukan hanya
huruf akhir kata tetapi seluruh huruf. Gubernur Irak Al-Hajaj bin Yusuf
atas perintah Khalifah Abdul Malik bin Marwan meminta kepada
Nashr-pun memberi tanda satu titik atau dua titik pada huruf-huruf
tertentu, seperti qof dengan dua titik, fa dengan satu titik dan
seterusnya.

Untuk Hadist pun sebagai sumber hukum yang kedua pada masa
ini mulai dibukukan, antara lain yang sampai pada kita sekarang Kitab al-
Muwatho yang disusun olehimam malik pada tahun 140H. Kemudian pada
abad kedua hijriah dibukukan pula kitab-kitab musnad, antara lain musnad
Ahmad ibnu Hanbal. Pada abad ketiga hijriah dibukukanlah Kutubu Sittah,
yaitu Shahih Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Anasa’i, Aturmudzi dan Ibn
Majah.

Pada masa ini seluruh cara berijtihad yang kita kenal sudah
digunakan meskipun para ulama setiap daerah memiliki warna masing-
masing dalam berijtihad. Misalnya : Abu Hanifah dan murid-muridnya di
Irak selain Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma, lebih menekankan penggunaan
qiyas dan istihsan. Imam Malik di Hijaz selain Al-Qur’an, Sunnah dan
Ijma, lebih menekankan penggunaan al-maslahah al-mursalah.

Adapun sebab-sebab berkembangnya ilmu fiqh dan bergairahnya


ijtihad pada periode ini antara lain, adalah :

a. Wilayah Islam sudah sangat meluas ke Timur sampai ke Tiongkok


dan ke Barat sampai ke Andalusia (Spanyol sekarang) dengan jumlah
rakyat yang banyak sekali, kondisi ini mendorong para ulama untuk
berijtihad agar bisa menerapkan syari’ah untuk semua wilayah yang
berbeda-beda lingkungannya dan bermacam-macam masalah yang
dihadapi.

b. Para ulama telah memiliki sejumlah fatwa dan cara berijtihad yang
didapatkan dari periode sebelumnya, serta Al-Qur’an telah tersebar di
kalangan muslimin juga Al-Sunnah sudah dibukukan pada permulaan
abad ketiga hijriah.

c. Seluruh kaum muslimin pada masa itu mempunyai keinginan keras


agar segala sikap dan tingkah lakunya sesuai denga Syari’ah Islam
baik dalam ibadah mahdhah maupun dalam ibadah ghair mahdhoh
(muamalah dalam arti luas). Mereka meminta fatwa kepada para
ulama, hakim dan pemimpin pemerintahan.

d. Pada periode ini dilahirkan ulama-ulama potensial untuk menjadi


mujtahid. Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-
Syafi’idanImam Ibnu Hanbal beserta murid mereka masing-masing.
KESIMPULAN

Secara historis ilmiah menunjukkan bahwa ada keterkaitan pemikiran yang


berkembang antara budaya, pola pikir dan wawasan keilmuan antara Islam dengan
Yunani, dibuktikan dengan beberapa bentuk pengembangan keilmuan dan
penerjemahan karya seseorang. Selain penggunaan teori-teori filosof Yunani
diambil oleh filsuf Islam.

Ilmu pengetahuan sejak masa Rasulullah sampai masa Ulama tabi’in dan
seterusnya semakin berkembang. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari
banyak factor diantaranya pemimpin yang memprioritaskan keilmuan juga
keterlibatan semua pihak yang dengan ikhlas demi kemajuan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution Harun. 1973 Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang.

Panuju Panut. 1994, Kuliah Filsafat Islam, Lampung : Gunung Pesagi.

Philip K.Hitti, History of The of Arabs, London: the Mac Millan Press Ltd., 1970
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia,2011

You might also like