Professional Documents
Culture Documents
Makalah Hipersensitivitas Tipe 4
Makalah Hipersensitivitas Tipe 4
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah swt, atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul:
“Hipersensitivitas Tipe 4”
Penulis menyadar ibahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan
tuntunan bapak dosen dan tidak lepas dari bantuan teman-teman dan pihak lain, untuk itu
dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan
baik oleh karenanya, penulis dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna
penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
JUDUL
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat
bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan
berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan
seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme
genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap
alergen tertentu.
1
1.2. Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan Hipersensitivitas ?
Bagaimana Hipersensitivitas Tipe 4 yang tergolong tipe lambat ?
Bagaimana Patofisiologinya ?
Bagaimana Inflamasi Granulomatosanya ?
Seperti apa Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T ?
Bgaimana Manifestasi Klinisnya ?
Bagaimana Klasifikasinya ?
1.3. Tujuan
Agar mengerti apa yang di maksud dengan Hipersensitivitas.
Agar Mengerti Pembahasan Hipersensitivitas Tipe 4 ini.
Agar Mengetahui Patofisiologinya.
Agar Mengetahui Inflamasi Granulomatosanya.
Agar mengerti Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T.
Agar mengetahui Manifestasi Klinisnya.
Agar mengetahui Klasifikasinya.
2
1.5.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari 3 bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
2.3. Etiologi
2.4. Patofisiologi
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
3
BAB II
PEMBAHASAN
Hipersensitivitas adalah reaksi yang terjadi akibat terpajan antigen yang berulang
yang menyebabkan memicu reaksi patologi. Ada beberapa ciri-ciri yang umum pada
hipersensitivitas yaitu antigen dari eksogen atau endogen dapat memicu reaksi
hipersensitivitas, penyakit hipersensitivitas biasanya berhubungan dengan gen yang dimiliki
setiap orang, reaksi hipersensitivitas mencerminkan tidak kompaknya antara mekanisme
afektor dari respon imun dan mekanisme kontrolnya.
4
2.2. Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas
humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai
macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus,
serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat
mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal
ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun).
Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga
menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor
utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi
tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai
puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga
digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara
perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+
perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit.
Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan
permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin;
penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin. Respons
tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang pernah terpejan
tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi,
imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan
respons tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.
5
2.3. Patofisiologi
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II
pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium
tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam
sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai
kecendurungan untuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang
mengaktivasi sel T naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin
berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah
diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar
biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya
bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan,
sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut:
IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi
awal
dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan
sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan
sumber sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi
IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling
penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan
Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat,
yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblas
kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus
6
IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang
termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik,
meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen
penyerang asal.
TNFdan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel
endotel:
meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan
aliran darah melalui vasodilatasi local
meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan
perlekatan sel mononuclear
induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama
memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.
DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen
intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat
dalam penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe
lambat tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu
terhadap patogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu.
Bakteri akan dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti
pembentukan granuloma, terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk
mengatasi mikroba yang menginvasi.
7
Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu
penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh
hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol
(juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy atao poisin oak) pada penjamu
yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya
sama dengan mekanisme pada sensitivitas tuberculin.
Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1 tersensitisasi akan
berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di dalam epidermis.
Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan
terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal.
Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1)
pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung
pada ligan Fas- Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam
granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin melubangi
membran plasma pada sel target; hal tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi
molekul perforin untuk membentuk suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel
dan akhirnya menyebabkan lisi osmotik.
8
2.6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi
reaksi obat.
2.7. Klasifikasi
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut
biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka
terhadap siklofosfamid. Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH)
merupakan bentuk CMI yang tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah suntikan
antigen intradermal yang berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya
berupa eritem tanpa indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi
sel basofil.
9
2. Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontak
Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik
tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi
epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang peranan pada
reaksi ini. Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang
perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali disebabkan oleh
benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk
membentuk antigen-antigen baru. Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada
orang-orang yang menjadi peka karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan
kimia seperti prikil klorida dan kromat. Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon
sel-T yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon seperti
yang terjadi pada CMI. Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel epitel (spongiosis)
menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini menimbulkan dikeluarkannya cairan dan
terbentuknya gelembung
3. Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak
dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel
mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit
dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen
kulit.
4. Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila
keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan
sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila
keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan
sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.
10
Dalam inflamasi kronik ini, monosit dan makrofak mempunyai 3 peranan penting sebagai
berikut:
Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.
Modulasi respon imun dan fungsi sel-T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin.
Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin.
Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang
persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkolin merupakan respon imun seluler yang
terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi oleh antigen mikroorganisme
yang sama, misalnya M. Tuberculosis dan M. Leprae. Granuloma juga terjadi pada
hipersensitivitas terhadap zarkonium, sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti
bedak (talkum). Dalam hal-hal tersebut makrofag tidak dapat memusnahkan benda anorganik.
Granuloma immunologic ditandai dengan inti yang terdiri atas sel epiteloid dan
makrofag. Disamping itu dapat ditemukan fibrosis atau timbunan serat kolagen yang terjadi
akibat proliferasi fibroblast dan peningkatan sintesis kolagen.
11
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs ada 4, yaitu reaksihipersensitivitas
tipe 1 (anafilaktik), reaksi hipersensitivitas tipe 2 (sitotoksik), reaksi hipersensitivitas
tipe 3 (kompleks imun), dan reaksi hipersensitivitas tipe 4 (tipe lambat).
Untuk menentukan diagnosis suatu penyakit hipersensitivitas, perludiketahui mediator
apa yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitasnya.
Pada kasus pertama, terjadi reaksi hipersensitivitas tipe 1 dimana mediator yang
berperan adalah IgE dan sel mast.
Pada kasus kedua didapatkan glomerulonefritis akut pasca infeksistreptokokus yang
mana bisa digolongkan kedalam reaksi hipersensitivitas 2 maupun reaksi
hipersensitivitas.
Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis danmenentukan
jenis terapi yang tepat.
3.2. Saran
Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lengkap untuk setiap penyakit dengan
hipersensitivitas.
Dokter harus bisa memilih jenis pemeriksaan yang tepat terkait dengan penegakkan
diagnosis agar dapat menentukan tipe hipersensitivitas yangnantinya akan sangat
membantu dalam usaha pemberian terapi.
Informasi yang lengkap dan akurat sangat dibutuhkan tentang suatu penyakit mulai
dari manifestasi klinis, diferensial diagnosis hingga penatalaksanaannya untuk
menjadi dokter yang profesional.
12
DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/22281380/Hipersensitivitas-Makalah
http://www.scribd.com/doc/45935846/ASKEP-HIPERSENSITIVITAS-Bayu
http://www.scribd.com/doc/53018964/LBM-1-Hipersensitivitas-BASTIAN
http://agathariyadi.wordpress.com/tag/hipersensitivitas/
http://dc397.4shared.com/doc/eRZzmnzk/preview.html
http://www.jacinetwork.org/index.php?option=com_content&view=article&id=63:alergi-
obat&catid=39:allergy-a-hypersensitivity&Itemid=65
Bratawidjaja, K. Garna, Et All ; Imunologi Dasar, Edisi V, Interna Publishing, 2009, Jakarta.
Price, Sylvia. A, Et All ; Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6 , 2006.
Robbins, L. Stanley, Et All ; Buku Ajar Patologi, Edisi VII, EGC, 2007, Jakarta.
13