Professional Documents
Culture Documents
Agama
Agama
Disusun Oleh :
Nama Nim
Wirmansyah Simanullang 5153311039
Rita Widiya Sari 515331103
Habibi F. Ma’ruf 515331103
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK BANGUNAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Makalah ini akan membahas tentang pentingnya menciptakan kerukunan antar umat
beragama dilingkungan masyarakat.
1.3. Tujuan
Tujuan Makalah ini adalah Untuk mempelajari tentang bagaimana cara manusia beragama,
fungsi dari beragama dan bagaimana kerukunan suatu masyarakat dalam beragama.
BAB II
PEMBAHASAN
Artinya:
Katakanlah: Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yang aku sembah Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.
Esensi dari persaudaraan terletak pada kasih sayang yang ditampilkan bentuk
perhatian, kepedulian, hubungan yang akrab dan merasa senasib sepenanggungan. Nabi
menggambarkan hubungan persaudaraan dalam haditsnya yang artinya ” Seorang mukmin
dengan mukmin yang lain seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh terluka, maka
seluruh tubuh akan merasakan demamnya. Ukhuwwah adalah persaudaraan yang berintikan
kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di akalangan muslim dikenal dengan
istilah ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan aqidah.
Persatuan dan kesatuan sebagai implementasi ajaran Islam dalam masyarakat
merupakan salah satu prinsip ajaran Islam. Salah satu masalah yang di hadapi umat Islam
sekarang ini adalah rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka
menjadi lemah. Salah satu sebab rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di kalangan umat
Islam adalah karena randahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Islam.
Persatuan di kalangan muslim tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata.
Perbedaan kepentingan dan golongan seringkali menjadi sebab perpecahan umat. Perpecahan
itu biasanya diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan muslim terhadap suatu
fenomena. Idealnya intern umat yang seagama memang harus rukun, namun fakta yang
terjadi di masyarakat justru ada saja hal-hal yang menjadi kendala terwujudnya kerukunan
yang dilandasi jiwa ukhuwah (persaudaraan).
Di dalam kalangan umat Islam misalnya, sering terjadi sedikit permasalahan yang
berakar dan berawal adanya perbedaan pemahaman dan pengalaman terhadap suatu kaidah
agama. Sebenarnya perbedaan pemahaman dan pengalaman adalah suatu hal yang wajar dan
manusiawi, yang penting perbedaan-perbedaan tersebut jangan sampai mengarah ke rusaknya
“ukhuwah islamiyah”.
Allah SWT memberi petunjuk dengan firman Nya di QS. Ali Imron (3):103: “Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-
berai...............”.
Kerangka pluralitas dalam pandangan islam dipahami sebagai ayat ( tanda kekuasaan ) dari
ayat Allah yang tidak tergantikan. Ayat –ayat tersebut berdiri di atas kekuasaan Allah untuk
kemaslahatan dan kemanusiaan.
dalam kaitan ini Allah berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 22 :
Artinya : Dan tanda-tanda-Nya adalah penciptaan langit dan bumi, dan perbedaan bahasa
dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah benar -benar terdapat
tanda – tanda bagi orang yang mengetahui.
Dengan adanya jaminan tersebut, maka setiap pemeluk agama tidak perlu merasa
khawatir untuk menjalani kehidupan bermasyarakat dengan pemeluk agama yang lainnya.
Bagaimana dengan masyakat sendiri menanggapi perbedaan tersebut? Masyarakat haruslah
senantiasa menyadari bahwa selain diciptakan sebagai makhluk individu, manusia juga
diciptakan sebagai makhluk sosial, artinya manusia tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan
dari manusia lainnya. Oleh karena itu setiap manusia dituntut untuk mampu berinteraksi
dengan kehidupan di lingkungan sekitarnya yang terdiri dari berbagai kalangan manusia yang
memiliki keanekaragaman karakter, sifat, kepercayaan, agama, dan lain sebagainya.
Agama Islam juga menerangkan betapa pentingnya menjalin hubungan di antara sesama
makhluk ciptaan-Nya.
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an Surat As- Syura ayat 13 yang artinya:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada -Nya orang yang kembali.”
Adapun solusi agar kita bisa hidup bersama dengan orang-orang yang hidup di tengah
masyarakat yang memiliki perbedaan tersebut adalah dengan saling menghormati dan
menghargai perbedaan tersebut. Sikap seperti itu bisa dikatakan dengan toleransi.
Pengertian Toleransi Antar Umat Beragama
Apakah yang dimaksud dengan toleransi antar umat beragama itu? Sebelumnya, ada baiknya
jika kita mengetahui arti kata toleransi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi berasal dari kata toleran
yang artinya batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan.
Ditinjau dari etimologinya, toleransi adalah suatu bentuk kesabaran, ketahanan
emosional, serta kelapangan dada yang dimiliki seseorang.
Menurut istilah (terminologi), toleransi diartikan sebagai sikap atau sifat menghargai,
membiarkan, membolehkan pendirian seseorang baik itu pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, dsb yang berbeda atau yang bertentangan dengan
pendiriannya.
Menurut pengertian yang lebih luas, toleransi didefinisikan sebagai sikap atau
perilaku seseorang yang sesuai dengan aturan yang berlaku, di mana orang tersebut
selalu berusaha untuk menghormati serta menghargai setiap tindakan atau perilaku
yang dilakuakan oleh orang lain.
Jadi dengan demikian jika dilihat dari konteks kehidupan beragama, toleransi merupakan
sikap dan tingkah laku yang tidak mendiskriminasikan golongan atau kelompok yang
memiliki perbedaan keyakinan. Dan selanjutnya toleransi tersebut dikenal dengan toleransi
antar umat beragama. Toleransi beragama juga dapat diartikan sebagai sikap menghormati
serta menghargai adanya keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lainnya yang
mana keyakinan dan kepercayaan tersebut berbeda kelompok satu dengan lainnya berbeda-
beda. Toleransi juga dapat diartikan sebagai sikap yang dimiliki manusia sebagai umat
beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati serta menghargai manusia yang
beragama lain. Lalu apa saja manfaat toleransi antar umat beragama?
Banyak manfaat yang bisa didapatkan dari toleransi antar umat beragama, di mana ini
merupakan salah satu hal yang berperan penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Akan
tetapi dalam melakukannya harus dengan sewajarnya dan tidak boleh berlebih-lebihan,
karena hal itu dapat mengganggu kepentingan maupun hak orang lain, dapat menyinggung
perasaan orang lain, dan justru dapat merugikan diri kita sendiri, seperti ibadah maupun
pekerjaan kita.
Adapun manfaat yang bisa didapatkan dari toleransi antar umat beragama di antaranya adalah
Hal ini sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surat Ali- Imron ayat 103, yang artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka,
lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Jadi dengan menjaga kerukunan antar sesama manusia dan menghindari dari
perbuatan bercerai berai akan dapat menambah nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, dan
hal itu tentu saja akan semakin mempertebal keimanan yang dimiliki oleh seseorang.
Tentunya dalam agama islam manfaat beriman kepada Allah akan membuat hamba tersebut
semakin dekat dengan Allah dan tentunya jaminan atas Surga firdaus atas ketaatannya
tersebut.
2.4. Kendala-Kendala
1. Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang
ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance)
sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan
tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang
sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah
keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang
berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain.
Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan
satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi
hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat
menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan
timbullah yang dinamakan konflik.
2. Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai
tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang
paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah
dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun,
dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya.
Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan
antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan
mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang
terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri
ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-
saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup
secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan
alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3. Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang.
Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan
yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman
keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran
agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan
dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam.
Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima
di sisi Allah. Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing
sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para
pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin.
Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain
memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan.
Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok
Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang
percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan
bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan
dianugerahi salvation atau keselamatan abadi.
Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama
teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.Dari uraian diatas, sangat jelas
sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik
sekejap maupun berkepanjangan.
2.5. Solusi
1. Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir
keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam
perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada
politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan
mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang
disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut
sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political
history).
Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan
sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut
kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling
pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara
damai (peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain)
akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi
teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan
agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup
eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh
kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat,
yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah
menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas
tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama.
Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu,
khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu
ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis
pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya
tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama.
Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran
(exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat
disebut sebagai “non-agama.”
Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan
keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di
Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai
tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan,
pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
2. Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka,
saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap
pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam
menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.Paling tidak ada tiga hal yang dapat
membuat kita bersikap optimis.
Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam
maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari
misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat
Studi Agama-agama dan Lintas Budaya.
Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan
bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih
manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA
di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham
pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif
baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik
secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan
berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini.
Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama,
tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang
pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita lebih mementingkan
bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang
menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami
dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan,
baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun
berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah
bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi
agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni
pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di
negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar
teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi
selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk
dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai
kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dari pembahasan dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa berbagai macam masalah
mengenai kerukunan antar umat beragama yaitu kendala- kendala yang dihadapi dalam
mencapai kerukunan antar umat beragam ada beberapa hal yaitu rendahnya sikap toleransi,
kepentingan politik, sikap fanatisme.
3.2. Saran
Adapun solusi nya adalah dengan melakukan dialog antar pemeluk Agama dan menanamkan
sikap optimis terhadap tujuan untuk mencapai kerukunan antar umat beragama termasuk di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA