You are on page 1of 6

PENDAHULUAN

Gender merupakan salah satu persoalan yang serius dalam kehidupan masyarakat. Tak
ayal persoalan gender ini banyak menimbulkan permasalahan yang mana dampaknya ialah
penempatan perempuan pada posisi kedua setelah laki-laki. Dalam kurun waktu yang
panjang, perempuan di seluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia terbelenggu dalam
pandangan umum bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup dalam lingkungan rumah
tangga. Tugas ini ialah tugas yang diberikan alam kepadanya. Perempuan ditugaskan oleh
alam untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak dalam rumah tangga. Perempuan juga
ditugaskan untuk memasak dan memperhatikan suami agar sebuah rumah tangga tenteram.
Laki-laki memiliki tugas lain, yaitu pergi ke luar mencari makan untuk keluarganya. Yang
mana pandangan ini merujuk pada pemikiran bahwa perempuan tidak wajib mendapatkan
pendidikan dan perlakuan yang sama dengan laki-laki, sebab peran dan tanggung jawab laki-
laki lebih besar daripada perempuan.[1]
Dalam budaya beberapa agama bahkan memarginalisasi kaum perempuan dengan
menekankan dominasi dari kaum laki-laki dengan tidak menyebutkan partisipasi dari kaum
perempuan dalam aktivitas sosial maupun agama. Padahal apabila kita melihat dengan teliti
pada masa-masa terdahulu banyak perempuan-perempuan yang memiliki kontribusi besar
dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan, membantu menyebarkan agama (berdakwah)
dan juga memberikan pelayanan baik dalam posisi yang besar maupun sebagai rakyat biasa
yang mana berjuang kala itu untuk kaum laki-laki saja terasa sulit untuk dikerjakan.
PEMBAHASAN

A. Perempuan pada Masa Kerajaan Hindu


Pada masa Hinduisme di Indonesia, sebelum masuknya Islam, kehidupan perempuan
lebih terbuka. Beberapa laporan dan prasasti pada masa itu menunjukkan bahwa banyak
perempuan yang mempunyai jabatan tinggi dan memegang posisi penting. Dari laporan Xin
Tangshu diketahui bahwa pada tahun 674, kerajaan Heling mempunyai ratu perempuan yaitu
Sima (Xi-mo). Di Jawa Tengah, ditemukan prasasti berangka tahun 842 M, yang dinamakan
prasasti Teru I Tepusan, yang menyatakan dibukanya lahan persawahan milik Sri Kahulunan,
seorang permaisuri raja yang berkuasa (Lombard, 2000:92). Dari Jawa Timur, ditemukan
prasasti yang lebih baru, yang memuat tentang dibukanya yayasan oleh Ratu Rakryan
Binihaji Parameswari Dyah Kebi, di bawah pemerintahan Sindok, dan satu lagi oleh Ratu
Maharaja Nari pada masa menjelang pemerintahan Airlangga.
Sementara itu, prasasti Kinawe berangka tahun 928 M, yang ditemukan di Kediri
menyebutkan tentang didirikannya tanah milik oleh perempuan bangsawan bernama Dyah
Muatan (Lombard, 2000:92).
Semasa kejayaan Majapahit, juga ditemukan beberapa catatan yang menyebutkan
peranan kaum perempuan. Catatan pertama berasal dari kitab Negara Kertagama, yang
menyebutkan tentang peran Rajapatmi (isteri R. Wijaya, sebagai penghubung antara
Singasari yang merupakan cikal bakal dari kerajaan yang lebih besar, Majapahit). Semasa
Majapahit memasuki jaman keemasan, kerajaan ini juga pernah diperintah oleh seorang ratu
perempuan yakni Ratu Tribhuwana (ratu sebelum Hayam Wuruk). Ini menunjukkan kaum
perempuan memegang peran politik pada zamannya (Lombard, 2000:93). Tokoh-tokoh
perempuan juga banyak muncul dalam kedewaan Hindu-Jawa: Dewi Sri dan Durga, atau
sering juga disebut Uma.
Dari hal tersebut dapat dilihat, bahwa pada masa itu masih ada ruang-ruang terbuka bagi
kaum perempuan untuk menunjukkan jati dirinya, bahkan ada yang memegang jabatan
politik—walaupun ini tidak bisa dijadikan ukuran untuk melihat tidak adanya penindasan
terhadap kaum perempuan. Sistem Hindu, walaupun ada pengkastaan, masih memberikan
tempat kepada perempuan untuk berkiprah.
Sebagai gambaran lain, pada mitologi kuno dikenal adanya Dewi Sri, yaitu dewi padi
yang merupakan simbol pemberi kehidupan pada rakyat. Sampai saat ini, di beberapa desa di
Jawa, kepercayaan tersebut masih terus dianut. Sedangkan candi Prambanan, yang di
dalamnya terdapat sebuah patung perempuan, merupakan contoh lain dari penghormatan
kepada kaum perempuan pada masa itu. Menurut mitos, patung itu adalah Roro Jongrang
yang dikutuk Bandung Bondowoso. Akan tetapi, sebenarnya itu adalah patung Durga, salah
satu dewi penguasa dunia (Lombard, 2000:93). Gambaran belum adanya bias gender juga
bisa kita lihat pada masa Majapahit. Kaum perempuan dibolehkan bekerja dengan leluasa
seperti halnya kaum laki-laki. Mereka secara bersama-sama berperan sebagai pemutar
baling-baling ekonomi.

“Orang takkan melihat adanya suami istri berjalan-jalan bersama di siang hari. Namun
wanita nampak di mana-mana, bekerja di bawah capil bambu anyaman, di pelataran
rumah, di pinggir jalan, di pasar kota dan bandar sendiri. Mereka melakukan segala
macam pekerjaan yang juga dikerjakan oleh pria. Dan mereka bekerja sambil
berdendang. Juga mereka berkain batik seperti kaum pria” (Toer, 2001:22).
Gambaran di atas menunjukkan bahwa sebelum bangsa Eropa mendengungkan
emansipasi, bangsa Indonesia sudah lama mengenalnya. Keterlibatan kaum perempuan
dalam kerja ini, secara langsung menunjukkan bahwa penindasan terhadap kaum
perempuan, kecil terjadinya—karena antara laki-laki dan perempuan mempunyai peran
yang sama dalam kerja.
Persoalan tentang kedudukan perempuan dalam agama Hindu sangat menarik
sebab perempuan merupakan bagian yang terpisah dalam kehidupan masyarakat.
Dalam sejarah Hindu, dalam momentum tertentu wanita dilecehkan seperti dalam
kisah Ramayana (Dewi Sita) danMahabhrata (Dewi Drupadi). Dapat kita lihat pula
dalam sejarah penyebaran agama Hindu di Bali terjadi diskriminasi terhadap
perempuan sebagai seorang istri dikarenakan penggunaan dari sistem wangsa yang
merupakan penyimpangan terhadap sistem warna dalam agama Hindu. Sebagai contoh
dapat dilihat dalam perkawinan seorang warga yang secara tradisi
disebut Triwangsa dengan seorang perempuan di Bali dari kalangansudra, dengan
mengganti nama perempuan tersebut menjadi Jero yang dikatakan bahwa untuk
mengangkat status perempuan tersebut, yang hakikat sebenarnya bertujuan
untuk merendahkan harkat dan martabat perempuan yang bersangkutan termasuk
keluarganya, karena pandangan masyarakat yang berkembang pada masyarakat feodal
masih diberlakukan.[2]
Pada saat agama Hindu berkembang di Indonesia, kehidupan perempuan kala itu sangat
terbuka. Banyak laporan dan peninggalan pada masa itu yang menunjukkan bahwa
perempuan banyak yang memegang jabatan yang tinggi.
Pada masa kerajaan-kerajaan yang berdasarkan agama Hindu pun demikian, ditemukan
beberapa catatan yang menyebutkan peranan kaum perempuan yang turut memakmurkan dan
menaikan pamor kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa jauh sebelum Eropa mendengungkan
emansipasi, bangsa Indonesia sudah mengenalnya terlebih dahulu. Terlihat dari keterlibatan
perempuan dalam dunia politik, sekalipun hal ini tidak menjadi tolak ukur bahwa tidak
adanya penindasan terhadap kaum perempuan masa itu.
Misalnya pada kerajaan Majapahit, pada awal masa kerajaan, status perempuan lebih
rendah daripada laki-laki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka yang hanya untuk melayani
dan menyenangkan hati para suami mereka saja. Wanita tidak boleh ikut campur dalam
urusan apapun selain mengurusi dapur rumah tangga mereka. Dalam undang-undang kerajaan
Majapahit pun para perempuan yang sudah menikah dilarang untuk bercakap-cakap dengan
laki-laki lain, dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas antara
laki-laki an perempuan pada masa itu.
Namun lambat laun seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Majapahit status
perempuan yang hanya diwajibkan berada di dapurnya saja kemudian berubah, dimana dapat
kita dengan dua perempuan yang diberi tempat untuk memimpin kerajaan.
Disebutkan dalam masyarakat Jawa Kuno seorang laki-laki dan perempuan dapat
menjabat jabatan-jabatan publik asalkan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan.
Tokoh Perempuan pada Masa Kerajaan Hindu
1. Dyah Gayatri (Rajapatni),
Beliau tercatat sebagai ratu yang sukses di Kerajaan Majapahit. Dyah Gayatri adalah istri
Raden Wijaya pendiri dan Raja I dari Kerajaan Majapahit. Dia naik tahta setelah wafanya
Raja Majapahit II, Jayanegara (1309–1328). Akan tetapi, karena pada saat itu dia telah
menjadi seorang pertapa, urusan pemerintahan diserahkan kepada putrinya, Sryi Gitarya
Tribhuanattunggadewi Jayawisnu Wardhani (1328–1350) M. Pemerintahan Dyah Gayatri
berhasil mempersiapkan Majapahit menjadi negara terkuat di Nusantara, setelah Hayam
Wuruk (1350–1389) diangkat menjadi Raja Majapahit IV. Tujuan menjadi negara yang kuat
itu pun dapat terlaksana dengan lebih mudah. Pada masa pemerintahannya, Gajah Mada
mengucapkan Sumpah Palapa yang sangat terkenal. Selanjutnya, baru pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk tercapai apa yang menjadi Sumpah Gajah Mada.
2. Dyah Suhita (1400–1447), menjadi Ratu di Kerajaan Majapahit.
Dyah Suhita adalah cucu Hayam Wuruk. Selama tahun (1401–1429), Dyah Suhita dibantu
ayahnya Wikrama Wardhana dalam menjalankan pemerintahan dan memadamkan
pemberontakan Bhre Wirabhumi (1401–1406). Ratu Suhita dimahkotai pada umur 20 tahun.
Meskipun begitu, ia telah membuktikan kecakapannya dalam memerintah Kerajaan
Majapahit tak kalah dengan pendahulunya, Tribhuwana Wijayatunggadewi. Masih ingatkah
Anda dengan kisah Damarwulan? Damarwulan yang memenangkan sayembawa untuk
mengalahkan Minak Jingo dan berhak menikah dengan Ratu Suhita. Atas pernikahannya
tersebut lahirlah Prabu Brawijaya V sebagai raja terakhir Majapahit.[3]
Terlepas dari keterbukaan kerajaan Majapahit terhadap peran perempuan tidak dapat
dipungkiri bahwa masih saja terdapat sikap-sikap atau budaya-budaya yang berarah pada
marginalisasi perempuan. Meskipun demikian, hampir disemua aspek kehidupan masyarakat
kedudukan dan peranan perempuan telah setara dengan laki-laki. Perempuan pada masa itu,
telah menjadi mitra yang sejajar dengan laki-laki. Mereka juga dapat bergerak di ranah
domestik maupun publik.

B. Perempuan pada Masa Kerajaan Buddha


Sejak Buddha muncul di dunia dan menyebarkan ajarannya, dia tak pernah
membedakan status sosial masyarakat. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama
dalam menempuh jalan spiritual untuk mencapai Nirwana. Hal ini termaktub dalam teks :
“siapapun yang memiliki kendaraan seperti itu, baik perempuan maupun laki-laki
sesungguhnya dengan mempergunakan kendaraan tadi, ia akan mencapai Nirwana”.
Buddhisme juga memiliki ordo rahib perempuan yang dapat mencapai Nirwama. Namun
demikian, dalam aliran Buddha Mahayana, perempuan diposisikan lebih rendah daripada
laki-laki. Peran perempuan sering kali dianggap sepele, padahal perempuan juga berperan
besar dan memberi sumbangan kemanusiaan yang tak terkira. Panannda Susila dalam
“Nasehat Sang Buddha kepada Para Istri” mengungkapkan bahwa sang Buddha sering
menggunakan istilah matugama yang berarti ibu rakyat atauperhimpunan kaum ibu sebagai
gambaran betapa besarnya peranan perempuan dan juga menunjukkan pernghargaan yang
tinggi sang Buddha terhadap kaum perempuan. Seiring dengan majunya peradaban,
perempuan kemudian diberikan tempat dalam bidang-bidang yang selma ini hanya
dipercayakan pada laki-laki. Di Indonesia sendiri peran perempuan ditunjukkan dengan
berdirinya Sangha Wanita Indonesia, Sangha ini di bawah naungan Sangha Agung Indonesia.
Tugas mereka sebagai Bhikkuni sama persis Bhikku yaitu mengurus vihara, cetiya, maupun
pembinaan baik perempuan maupun laki-laki.[4]
Kerajaan Kalingga berkembang kira-kira pada abad ke 7 sampai abad ke 9 M. Letak
kerajaan Kalingga diperkirakan berada di Jawa Tengah. Kerajaan ini merupakan salah satu
contoh dari kerajaan beragama Buddha yang dimana telah disebutkan bahwa dalam agama
Buddha kedudukan perempuan tidaklah berbeda hala ini terlihat dari diberikannya ruang
gerak bagi perempuan.[5]
Jika perempuan selalu diidentikkan sebagai kanca wingking (teman di dapur) yang
sering ditafsirkan oleh masyarakat jawa pada umumnya sebagai kepasifan perempuan dan
tugasnya hanya pada urusan rumah tangga, maka berikut ini akan disebutkan kontribusi
perempuan tidak hanya sebatas sebagai penggembira. Ratu Sima dari Kerajaan Kalingga
(Keling) adalah raja wanita pertama yang memerintah pada kurun waktu 1.300 tahun yang
lalu. Berita Cina dari Dinasti Tang mengatakan bahwa kerajaan Holing (Kalingga) di Pulau
Jawa ini sangat kuat. Orang Ta-Shih pada tahun 674 M mengurungkan niatnya untuk
menyerang Negara ini disebabkan oleh keperkasaan Kalingga. Diberitakan pula bahwa di
bawah pemerintahan Ratu Sima, Kerajaan Kalingga menjadi pemerintahan negara yang
sangat menjunjung tinggi hukum. Bahkan, pernah saudara ratu sendiri terpaksa harus
dihukum karena berani melanggar peraturan.
Kepemimpinan Ratu Sima ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sebuah negara
dalam pengambilan keputusan sekalipun di bawah kendali seorang perempuan tidak berarti
akan mendorong pada kemunduran dan kegagalan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan tidak adanya protes atas
kepemimpinan Ratu Sima tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat jawa kala itu
sebenarnya sudah memberikan ruang yang besar pada perempuan untuk tidak hanya bergelut
dengan urusan rumah tangga tapi juga dapat turut campur dalam urursan kenegaraan.[6]
[1] Ida Rosyidah, Hermawati. Relasi Gender dalam Agama-agama. Jakarta: UIN Jakarta
Press. 2013

You might also like