Professional Documents
Culture Documents
Gender merupakan salah satu persoalan yang serius dalam kehidupan masyarakat. Tak
ayal persoalan gender ini banyak menimbulkan permasalahan yang mana dampaknya ialah
penempatan perempuan pada posisi kedua setelah laki-laki. Dalam kurun waktu yang
panjang, perempuan di seluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia terbelenggu dalam
pandangan umum bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup dalam lingkungan rumah
tangga. Tugas ini ialah tugas yang diberikan alam kepadanya. Perempuan ditugaskan oleh
alam untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak dalam rumah tangga. Perempuan juga
ditugaskan untuk memasak dan memperhatikan suami agar sebuah rumah tangga tenteram.
Laki-laki memiliki tugas lain, yaitu pergi ke luar mencari makan untuk keluarganya. Yang
mana pandangan ini merujuk pada pemikiran bahwa perempuan tidak wajib mendapatkan
pendidikan dan perlakuan yang sama dengan laki-laki, sebab peran dan tanggung jawab laki-
laki lebih besar daripada perempuan.[1]
Dalam budaya beberapa agama bahkan memarginalisasi kaum perempuan dengan
menekankan dominasi dari kaum laki-laki dengan tidak menyebutkan partisipasi dari kaum
perempuan dalam aktivitas sosial maupun agama. Padahal apabila kita melihat dengan teliti
pada masa-masa terdahulu banyak perempuan-perempuan yang memiliki kontribusi besar
dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan, membantu menyebarkan agama (berdakwah)
dan juga memberikan pelayanan baik dalam posisi yang besar maupun sebagai rakyat biasa
yang mana berjuang kala itu untuk kaum laki-laki saja terasa sulit untuk dikerjakan.
PEMBAHASAN
“Orang takkan melihat adanya suami istri berjalan-jalan bersama di siang hari. Namun
wanita nampak di mana-mana, bekerja di bawah capil bambu anyaman, di pelataran
rumah, di pinggir jalan, di pasar kota dan bandar sendiri. Mereka melakukan segala
macam pekerjaan yang juga dikerjakan oleh pria. Dan mereka bekerja sambil
berdendang. Juga mereka berkain batik seperti kaum pria” (Toer, 2001:22).
Gambaran di atas menunjukkan bahwa sebelum bangsa Eropa mendengungkan
emansipasi, bangsa Indonesia sudah lama mengenalnya. Keterlibatan kaum perempuan
dalam kerja ini, secara langsung menunjukkan bahwa penindasan terhadap kaum
perempuan, kecil terjadinya—karena antara laki-laki dan perempuan mempunyai peran
yang sama dalam kerja.
Persoalan tentang kedudukan perempuan dalam agama Hindu sangat menarik
sebab perempuan merupakan bagian yang terpisah dalam kehidupan masyarakat.
Dalam sejarah Hindu, dalam momentum tertentu wanita dilecehkan seperti dalam
kisah Ramayana (Dewi Sita) danMahabhrata (Dewi Drupadi). Dapat kita lihat pula
dalam sejarah penyebaran agama Hindu di Bali terjadi diskriminasi terhadap
perempuan sebagai seorang istri dikarenakan penggunaan dari sistem wangsa yang
merupakan penyimpangan terhadap sistem warna dalam agama Hindu. Sebagai contoh
dapat dilihat dalam perkawinan seorang warga yang secara tradisi
disebut Triwangsa dengan seorang perempuan di Bali dari kalangansudra, dengan
mengganti nama perempuan tersebut menjadi Jero yang dikatakan bahwa untuk
mengangkat status perempuan tersebut, yang hakikat sebenarnya bertujuan
untuk merendahkan harkat dan martabat perempuan yang bersangkutan termasuk
keluarganya, karena pandangan masyarakat yang berkembang pada masyarakat feodal
masih diberlakukan.[2]
Pada saat agama Hindu berkembang di Indonesia, kehidupan perempuan kala itu sangat
terbuka. Banyak laporan dan peninggalan pada masa itu yang menunjukkan bahwa
perempuan banyak yang memegang jabatan yang tinggi.
Pada masa kerajaan-kerajaan yang berdasarkan agama Hindu pun demikian, ditemukan
beberapa catatan yang menyebutkan peranan kaum perempuan yang turut memakmurkan dan
menaikan pamor kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa jauh sebelum Eropa mendengungkan
emansipasi, bangsa Indonesia sudah mengenalnya terlebih dahulu. Terlihat dari keterlibatan
perempuan dalam dunia politik, sekalipun hal ini tidak menjadi tolak ukur bahwa tidak
adanya penindasan terhadap kaum perempuan masa itu.
Misalnya pada kerajaan Majapahit, pada awal masa kerajaan, status perempuan lebih
rendah daripada laki-laki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka yang hanya untuk melayani
dan menyenangkan hati para suami mereka saja. Wanita tidak boleh ikut campur dalam
urusan apapun selain mengurusi dapur rumah tangga mereka. Dalam undang-undang kerajaan
Majapahit pun para perempuan yang sudah menikah dilarang untuk bercakap-cakap dengan
laki-laki lain, dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas antara
laki-laki an perempuan pada masa itu.
Namun lambat laun seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Majapahit status
perempuan yang hanya diwajibkan berada di dapurnya saja kemudian berubah, dimana dapat
kita dengan dua perempuan yang diberi tempat untuk memimpin kerajaan.
Disebutkan dalam masyarakat Jawa Kuno seorang laki-laki dan perempuan dapat
menjabat jabatan-jabatan publik asalkan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan.
Tokoh Perempuan pada Masa Kerajaan Hindu
1. Dyah Gayatri (Rajapatni),
Beliau tercatat sebagai ratu yang sukses di Kerajaan Majapahit. Dyah Gayatri adalah istri
Raden Wijaya pendiri dan Raja I dari Kerajaan Majapahit. Dia naik tahta setelah wafanya
Raja Majapahit II, Jayanegara (1309–1328). Akan tetapi, karena pada saat itu dia telah
menjadi seorang pertapa, urusan pemerintahan diserahkan kepada putrinya, Sryi Gitarya
Tribhuanattunggadewi Jayawisnu Wardhani (1328–1350) M. Pemerintahan Dyah Gayatri
berhasil mempersiapkan Majapahit menjadi negara terkuat di Nusantara, setelah Hayam
Wuruk (1350–1389) diangkat menjadi Raja Majapahit IV. Tujuan menjadi negara yang kuat
itu pun dapat terlaksana dengan lebih mudah. Pada masa pemerintahannya, Gajah Mada
mengucapkan Sumpah Palapa yang sangat terkenal. Selanjutnya, baru pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk tercapai apa yang menjadi Sumpah Gajah Mada.
2. Dyah Suhita (1400–1447), menjadi Ratu di Kerajaan Majapahit.
Dyah Suhita adalah cucu Hayam Wuruk. Selama tahun (1401–1429), Dyah Suhita dibantu
ayahnya Wikrama Wardhana dalam menjalankan pemerintahan dan memadamkan
pemberontakan Bhre Wirabhumi (1401–1406). Ratu Suhita dimahkotai pada umur 20 tahun.
Meskipun begitu, ia telah membuktikan kecakapannya dalam memerintah Kerajaan
Majapahit tak kalah dengan pendahulunya, Tribhuwana Wijayatunggadewi. Masih ingatkah
Anda dengan kisah Damarwulan? Damarwulan yang memenangkan sayembawa untuk
mengalahkan Minak Jingo dan berhak menikah dengan Ratu Suhita. Atas pernikahannya
tersebut lahirlah Prabu Brawijaya V sebagai raja terakhir Majapahit.[3]
Terlepas dari keterbukaan kerajaan Majapahit terhadap peran perempuan tidak dapat
dipungkiri bahwa masih saja terdapat sikap-sikap atau budaya-budaya yang berarah pada
marginalisasi perempuan. Meskipun demikian, hampir disemua aspek kehidupan masyarakat
kedudukan dan peranan perempuan telah setara dengan laki-laki. Perempuan pada masa itu,
telah menjadi mitra yang sejajar dengan laki-laki. Mereka juga dapat bergerak di ranah
domestik maupun publik.