You are on page 1of 8

Tugas Individu : Dosen Pengampu

Linkungan Bisnis Dan Hukum Komersil Dr. Nasrizal, SE, M.Si, Ak, CA

HAK PEMEGANG SAHAM DAN


PERLINDUNGAN HUKUM
(Tinjauan Beberapa Kasus Pelanggaran Hak Pemegang Saham Minoritas Di Indonesia)

Disusun Oleh :

NIA AZURA SARI (1710246063)

FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS RIAU
2018
Konflik pemegang saham merupakan permasalahan yang sering terjadi di dalam
perusahaan, terutama pada perusahaan besar yang terdaftar di bursa saham, baik itu berupa
konflik antar sesama pemegang saham mayoritas, antara pemegang saham mayoritas dengan
pemegang saham minoritas, ataupun konflik antara manajemen perusahaan dengan para
pemegang sahamnya. Permasalahan yang sering terjadi biasanya terkait dengan pelanggaran
hak dari para pemegang saham akibatb dari tidak adanya transparansi dari pihak manajemen
perusahaan, dan yang biasanya yang selalu menjadi korban adalah para pemegang saham
minoritas. Pemegang saham minoritas yang posisinya sering terlupakan, kerap kali hak nya
terabaikan oleh perusahaan. Berikut disajikan beberapa contoh pelanggaran hak pemegang
saham yang pernah terjadi di Indonesia.

Kasus PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk


Kasus sengketa di Sumalindo cukup menarik perhatian karena melibatkan pemegang
saham mayoritas sekaligus pendiri perusahaan (Sampoerna dan Sunarko), dengan pemegang
saham minoritas (Deddy Hartawan Jamin). Konflik di Sumalindo dipicu oleh anjloknya
kinerja perusahaan, bahkan terus merugi setiap tahunnya. Padahal dalam laporan tahunan
perusahaan patungan keluarga Sampoerna dan Sunarko pada 2012, total menguasai lebih dari
840 ribu hektar hutan alam dan 73 ribu hektar Hutan Tanaman Industri (HTI).
Dengan kapasitas produksi kayu lapis hingga 1,1 juta meter kubik per tahun, Sumalindo
menguasai lebih dari 30 persen pasar Indonesia dan termasuk lima besar produsen kayu di
dunia. Sejak 1980-an, keluarga Hasan Sunarko sudah malang melintang di bisnis kayu
dengan bendera Hasko Group dan PT Buana Alam Semesta. Adapun Sampoerna baru masuk
ke industri hutan pada 2007 dengan mengibarkan bendera Samko Timber, Ltd di bursa
Singapura.
Sebagai perusahaan raksasa pemegang hak penguasaan hutan terbesar, hal itu tentu
bukanlah sebuah hal yang wajar. Indikator paling nyata adalah harga saham perusahaan yang
pada 2007 senilai Rp 4.800, terjun bebas di kisaran Rp 100 pada 2012. Terkait hal tersebut,
Deddy Hartawan Jamin, pemilik 336,27 juta saham atau 13,6 persen, sejak awal
mempertanyakan duduk soalnya kepada direktur utama Amir Sunarko bin Hasan Sunarko.
Ketika itu, direktur utama hanya menjawab bahwa Sumalindo merugi karena dampak krisis
ekonomi 2008. Sementara upaya untuk mendapat keterbukaan selalu kandas, bahkan di
RUPS upaya ini selalu digagalkan melalui voting, karena manajemen mendapat dukungan
dari pemegang saham mayoritas / pengendali.
Kenyataan bahwa selalu kalah dalam voting ketika meminta audit perusahaan, Deddy
Hartawan Jamin akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ada
dua hal yang dituntutnya, yakni audit terhadap pembukuan perusahaan dan audit dalam
bidang industry kehutanan. Hasilnya, pada 9 Mei 2011 majelis hakim PN Jakarta Selatan
mengabulkan permohonan tersebut. Upaya memperjuangkan keterbukaan ini sempat
mendapat halangan dari Sumalindo dengan mengajukan kasasi di MA, namun mendapat
penolakan tahun 2012.
Selain persoalan tersebut. Deddy Hartawan Jamin merasa yakin untuk memperkarakan
konflik tersebut ke meja hijau karena adanya sejumlah temuan penting, yakni: Pertama, pada
laporan keuangan Sumalindo tercetak “Piutang Ragu-Ragu” tanpa ada penjelasan sedikit pun
tentang siapa yang menerima utang tersebut. Padahal selama ini laporan keuangan PT.
Sumalindo Lestari Jaya, Tbk diaudit oleh auditor Ernst & Young, belakangan diketahui
bahwa Piutang Ragu-Ragu tersebut adalah pinjaman tanpa bunga sama sekali yang diberikan
kepada anak perusahaan Sumalindo, yakni PT. Sumalindo Hutani Jaya (SHJ) mencapai lebih
dari Rp 140 miliar sejak 1997.
Kejanggalan kedua, adalah terkait pernyataan direktur utama kepada pemegang saham
publik minoritas bahwa PT. Sumalindo Hutani Jaya telah dijual kepada PT. Tjiwi Kimia Tbk.
Selain tidak memiliki manfaat sama sekali bagi Sumalindo, penjualan tersebut dinilai sangat
merugikan. Pada 1 Juli 2009, SHJ telah menerbitkan Zero Coupon Bond (surat utang tanpa
bunga) atas utangnya kepada Sumalindo sebesar 140 miliar lebih, untuk jangka waktu satu
tahun.
Atas dasar itulah, bisa dikatakan arah dan tujuan penjualan anak perusahaan ini cukup
merugikan. Pada 15 Juli 2009, tak lama setelah surat utang diterbitkan, Sumalindo dan pabrik
kertas Tjiwi Kimia menandatangani akta pengikatan jual beli. Selain memberi uang muka,
Tjiwi Kimia membayar kepada Sumalindo dengan cara mencicil selama tiga tahun, sebagian
lainnya dibayar dengan kayu hasil tebangan yang ada di areal eks lahan SHJ. Penentuan nilai
aset SHJ pun sarat kongkalikong, karena penilaian hanya didasarkan atas saham dan besaran
utang kepada Sumalindo. Padahal, banyaknya pohon yang ada di areal SHJ pun seharusnya
masuk dalam perhitungan aset.
Ketiga, Surat Menteri Kehutanan yang menyetujui penjualan SHJ kepada Tjiwi Kimia
patut dipertanyakan. Menteri Kehutanan merilis surat persetujuan pengalihan saham tersebut
tertanggal 1 Oktober 2009. Padahal Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB)
yang mengagendakan penjualan SHJ baru dilangsungkan pada 15 Oktober 2009. Apalagi
dalam satu klausulnya, ditegaskan bahwa jika terjadi sengketa di antara pemegang saham,
maka hal tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan dan tidak melibatkan Kementeriaan
Kehutanan.

Kasus PT. Blue Bird Taxi


Inilah.com, Jakarta – Perseteruan pemilik saham PT. Blue Bird Taxi semakin panas.
Mintarsih A Latief, salah satu pemilik saham merasa sahamnya perlahan dikuasai oleh bos
besar Blue Bird Group, Purnomo Prawiro. Sadar dengan hal itu, Mintarsih menilai banyak
kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan oleh Purnomo untuk menyingkirkan sahamnya dari
Blue Bird. Kejanggalan tersebut menurut Mintarsih, mulai dari penentuan sendiri nilai aset
PT. Blue Bird Taxi hingga adanya modus penambahan modal dari para pemegang saham.
“Upaya itu kami tolak, karena sebagian pemilik saham tidak bisa mendapat akses untuk
memeriksa pembukuan perusahaan, mereka juga tidak pernah mendapat dividen”, ungkap
Mintarsih di Jakarta, Sabtu (27/2/2016).
Dia khawatir, jika hal ini dibiarkan maka aka nada upaya lain untuk mengambil alih
sahamnya karena nilainya dikondisikan menyusut. “Mereka melakukan penghitungan dengan
cara tidak adil. Bayangkan saja, satu unit mobil aset perusahaan dihargai di bawah Rp 3 juta.
Mana mungkin harganya segitu! Harga motor saja jauh lebih mahal, ini mobil Toyota yang
masih beroperasi sebagai taksi harganya sekian. Padahal mobil bekas yang sudah tidak
dipakai saja jualnya diatas Rp 70 juta, tapi dia hitung hanya dibawah Rp 3 juta per taksi, jadi
habis saham saya karena diambil oleh dia”, paparnya.
Sementara itu pada laporan keuangan, kata Mintarsih, pihak Purnomo cs menunjuk sendiri
akuntan untuk menghitung nilai aset perusahaan. Hal itu dinilai aneh karena sebuah
perusahaan dengan nilai aset besar dan kepemilikan yang beragam seharusnya menggunakan
kantor penilai aset publik yang disepakati seluruh pemegang saham.
“Sampai saat ini putusan dalam pengadilan selalu dimenangkan oleh pihak yang kuat
secara materi. Saya sudah biasa dikalahkan dalam putusan pengadilan. Memang keadilan
tidak pernah ada dan belum terlihat adanya suatu keadilan, serta tidak ada kejelasan hukum”,
kesalnya. Secara terpisah. Pakar hukum dari Universitas Pancasila, Barkah berpendapat, nilai
aset sebuah perusahaan harus dikeluarkan oleh appraisal yang ditentukan pada saat RUPS.
“Apa yang dilakukan Purnomo cs dengan tujuan untuk menurunkan nilai saham, itu tandanya
dia mau membeli sahamnya. Nanti kalau misalkan ada si pemegang saham mau menjual
saham, pakai harga yang paling murah”, ujarnya.
Dikutip dari sumber berita okezone.com, sengketa kepemilikan saham ini bermula kala
Mintarsih yang juga memiliki saham di perusahaan tersebut dinyatakan telah mengundurkan
diri dari PT. Blue Bird Taxi yang dimiliki oleh Purnomo Prawiro. Padahal, meski telah
mundur dari jajaran direksi PT. Blue Bird Taxi, dirinya tidak pernah melepas kepemilikan
saham di perusahan taksi tersebut. Mintarsih memiliki sepertiga saham mayoritas di CV.
Lestiani atau setara 15 persen saham di PT. Blue Bird Taxi. CV. Lestiani sendiri diketahui
memiliki 45 persen saham di PT. Blue Bird Taxi.
Seperti yang diberitakan, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan
Mintarsih dengan alasan yang bersangkutan telah mengundurkan diri dari CV. Lestiani.
Dimana, pengunduran diri dari CV. Lestiani dikuatkan dengan penetapan PN Jakarta Pusat
pada 30 April 2001 silam. Pengesahan pengunduran diri itupun turut tertuang dalam akta
notaris.

Kasus Transaksi Penjualan Aset PT. Karwell Indonesia, Tbk


Salah satu contoh kasus di bidang pasar modal yang ditengarai sebagai transaksi yang
mengandung benturan kepentingan dan dapat merugikan kepentingan pemegang saham
minoritas adalah kasus penjualan aset PT. Karwell Indonesia, Tbk kepada afiliasi yaitu PT.
Kaho Indah Citragarment. PT. Karwell Indonesia, Tbk merupakan perseroan yang bergerak
dalam bidang industri pakaian jadi.
PT. Karwell Indonesia, Tbk telah menjual sebagian kecil aset miliknya yaitu berupa
mesin-mesin produksi milik perseroan yang dimiliki oleh Divisi Jaket Karwell kepada PT.
Kaho Indah Garment pada tanggal 5 dan 15 Desember 2008 dengan Nilai Jual Total sebesar
Rp 10.636.053.000,00 dimana transaksi ini merupakan suatu transaksi yang memiliki sifat
benturan kepentingan. PT. Kaho Indah Citragarment merupakan pihak terafiliasi Karwell
dimana terdapat hubungan kepengurusan antara perseroan dengan PT. Kaho Indah
Citragarment.
Untuk dapat transaksi ini disetujui sebelumnya, perseroan harus memenuhi ketentuan
hukum dan peraturan yang berlaku di bidang pasar modal serta penerapan prinsip
keterbukaan sebagai perusahaan publik. Untuk itu transaksi ini harus mendapat pula
persetujuan pemegang saham independen melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa
(RUPS-LB) Perseroan. Akan tetapi, berdasarkan hasil pemeriksaan dan penyidikan dari
BAPEPAM-LK PT. Karwell Indonesia, Tbk tidak melakukan kewajiban RUPS-LB sehingga
hal ini tentu saja dapat merugikan kepentingan pemegang saham minoritas dalam perseroan.

Dari beberapa contoh yang disajikan diatas, terlihat bahwa kebanyakan kasus konflik
pemegang saham yang terjadi di Indonesia berupa pelanggaran hak pemegang saham
minoritas akibat tidak adanya transparansi informasi terkait kondisi dan kegiatan bisnis
perusahaan. Pemegang saham minoritas merupakan pemegang saham yang posisinya
dibawah pemegang saham mayoritas sehingga haknya dalam perusahaan sering kali
terabaikan, karena kedudukannya yang demikian perusahaan sering melakukan tindakan
tanpa mementingkan akibatnya bagi pemegang saham minoritas. Padahal pemegang saham
minoritas juga merupakan bagian stakeholders perusahaan yang memiliki hak yang sama
dalam hal memperoleh informasi yang layak dan hak-hak lainnya sesuai kedudukan mereka.
Adapun perlindungan hukum mengenai hak para pemegang saham minoritas diatur dalam
Undang Undang Perusahaan Terbatas (UUPT) No. 40 Tahun 2007. Posisi pemegang saham
minoritas dalam pengambilan kebijakan suatu perusahaan yaitu, antara lain:
1. Pasal 61 ayat (1), setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan
ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak
adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, direksi, dan/atau dewan
komisaris.
2. Pasal 62, setiap pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli
dengan harga yang apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang
merugikan pemegang saham atau perseroan, berupa perubahan anggaran dasar,
pengalihan atau penjaminan perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% kekayaan
bersih perseroan atau peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.
3. Pasal 79 ayat (2), pemegang saham perseroan meminta diselenggarakannya RUPS,
pemegang saham minoritas hanya sekedar mengusulkan tanpa ada kewenangan untuk
memutuskan diadakannya RUPS.
Menurut Sumantor dalam Syofia (2017) , hak pemegang saham minoritas secara umum
dapat disebutkan antara lain:
 Hak untuk mengeluarkan suara
 Hak untuk mengetahui jalannya perusahaan
 Hak untuk menerima keuntungan
 Hak untuk memeriksa pembukuan perusahaan
 Hak-hak yang berhubungan dengan likuiditas perusahaan
 Hak untuk menentukan pengurusan perusahaan.
Pelaporan dan keterbukaan informasi dapat melindungi investor sebagai pemegang saham
minoritas dari pelanggaran dalam pasar modal, disebutkan dalam Pasal 85 Undang Udang
Pasar Modal (UUPM) mengenai pelaporan dan keterbukaan informasi dimana seluruh emiten
yang telah memperoleh izin persetujuan wajib melapor kepada OJK, dan bagi yang
melakukan kejahatan akan mendapatkan sanksi administratif yaitu sanksi yang dikenakan
oleh OJK yang diatur dalam Pasal 102 UUPM. Selain sanksi administratif, adapun denda
yang cukup besar apabila adanya pelanggaran dalam pasar modal.
Pemegang saham minoritas juga dilindungi dalam UUPT. UUPT juga memberikan
perlindungan hukum kepada pemegang saham minoritas seperti dalam pasal 54 ayat 1, pasal
55, pasal 66 ayat 2, pasal 67, pasal 110 ayat 3, pasal 117 ayat 1 huruf b. Pemegang saham
minoritas berhak untuk mendapatkan harga saham yang sesuai dengan harga pasar jika tidak
setuju dengan kebijakan perusahaan atau pemegang saham mayoritas, pemegang saham
minoritas berhak menentukan kebijakan perusahaan melalui RUPS. Selain hal diatas,
pemegang saham minoritas juga perlu diberikan hak untuk memaksa perusahaan untuk
mengelola perusahaan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Dengan demikian, sebagai bagian dari stakeholders suatu perusahaan sudah sepatutnya
bagi perusahaan untuk melakukan perlindungan bagi para pemegang sahamnya, terutama
bagi pemegang saham minoritas, sebab perlindungan bagi pemegang saham mayoritas sudah
terjamin melalui mekanisme RUPS, dan keputusan musyawarah yang dapat diterima oleh
mayoritas.
Konflik antar pemegang saham selalu berkaitan dengan kinerja buruk perusahaan.
Buruknya kinerja perusahaan selalu diikuti dengan pelanggaran terhadap prinsip akuntabilitas
dan transparansi, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan dan penuh curiga dari para pihak
yang berkepentingan. Keterbukaan adalah keharusan yang fundamental dan perlu dimiliki
oleh perusahaan bukan saja untuk menciptakan iklim kondusif bagi keuntungan perusahaan
tetapi juga terutama menciptakan iklim investasi yang baik bagi sebuah negara. Konflik
perusahaan yang berlarut tentu berpotensi pada anjloknya kepercayaan publik dan
menurunnya kinerja investasi. Oleh sebab itu, penting bagi perusahaan untuk menerapkan
prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik) dan mematuhi segala
Undang-Undang serta peraturan yang berlaku dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
Disamping itu baik perusahaan dan pemegang saham juga wajib mengetahui dan
menjalankan apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya, bagi perusahaan hal tersebut tentu
saja berguna untuk menjaga kepercayaan dari setiap stakeholdernya, dan bagi para pemegang
saham hal tersebut penting untuk memastikan semua haknya sudah terpenuhi dan apabila ada
pelanggaran atas hak mereka, mereka diharapkan dapat melakukan tuntutan secara tepat
sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku.
Daftar Pustaka
Gayatri, Syofia. 2017. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas Pada
Perusahaan Terbuka Di Indonesia. Skripsi. Bandar Lampung: Fakultas Hukum,
Universitas Lampung.
Roesadi, Lintang Agustina, Budiharto, dan Rinitami Njatrijani. 2017. Perlindungan
Pemegang Saham Minoritas Dalam Terjadi Pengambilalihan Saham Pada Anak
Perusahaan (Kasus PT. Sumalindo Lestari Jaya, Tbk). Diponegoro Law Journal.
Volume 6. Nomor 2.
https://m.inilah.com/news/detail/2277345/sengketa-pemilik-pt-taksi-blue-bird-kian-memanas
https://news.okezone.com/read/2014/03/02/500/948849/kasus-sengketa-saham-ini-alasan-
mintarsih-ajukan-banding#lastread
https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/mwikuz

You might also like