You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah adanya pola menetap dari
inatensi yang disertai hiperaktifitas dan impulsivitas, umumnya terjadi pada anak usia
dini dan usia sekolah. Gejala dapat diketahui sebelum usia 7 tahun dan dapat menetap
sampai masa remaja dan dewasa. ADHD dapat mengganggu fungsi dasar seorang anak,
permasalahan dalam hal belajar, dan kesulitan membina hubungan dengan teman. ADHD
merupakan gangguan yang kompleks dari fungsi otak yang menimbulkan masalah dalam
pendidikan dan sosial serta membutuhkan biaya yang cukup besar. Sampai saat ini belum
ada satu jenis terapi yang diakui dapat menyembuhkan anak dengan ADHD secara total.
Berdasarkan National Institute of Mental Health serta organisasi profesi lainnya di dunia
seperti AACAP penanganan anak dengan ADHD ialah dengan pendekatan komprehensif
yang multidisiplin dan multimodal. Penanganan pada anak dengan ADHD melibatkan
multidisipliner ilmu termasuk dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi bersama
tim termasuk psikolog, okupasi terapi, sosial medik, orang tua, guru, care giver dan
lingkungan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)


Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan salah satu kelainan
perkembangan terbanyak pada masa anak dan dapat berlangsung sampai masa remaja dan
dewasa. Pada ADHD terjadi gangguan perkembangan neural yang bersifat kompleks dengan
gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif. Kenyataannya, ADHD tidak selalu disertai
dengan gangguan hiperaktif. Oleh karena itu, makna istilah ADHD di Indonesia, lazimnya
diterjemahkan menjadi Gangguan Pemusatan Perhatian dengan/tanpa Hiperaktif (GPP/H).
ADHD memiliki suatu pola yang menetap dari kurangnya perhatian dan atau hiperaktivitas,
yang lebih sering dan lebih berat bila dibandingkan dengan anak lain pada taraf
perkembangan yang sama. Biasanya didapatkan ciri-ciri ADHD ini pada dua atau lebih
situasi yang berbeda seperti di rumah, di sekolah, dan di tempat kerja. Anak dengan ADHD
selalu memiliki tiga komponen ciri utama yang sama yaitu inattention, impulsivity, dan
hyperactivity.

2.2 Epidemiologi Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)


ADHD merupakan gangguan neuro-behavioral pada anak yang terbanyak, mencakup
sekitar 50% yang dirujuk ke neurologis anak, neuropsikologis, behavioral pediatrician, dan
psikiatri anak. Prevalensi gangguan ini sebesar 2,2% untuk tipe hiperaktif-impulsif, 5,3%
untuk tipe campuran hiperaktif-impulsif dan inatensi, serta 15,3% untuk ADHD tipe inatensi.
ADHD terjadi pada 3-5% populasi anak dan didiagnosis 2-16% pada anak usia sekolah.
Terdapat kecenderungan ADHD lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan dengan perbandingan 3 : 1.

2.3 Etiopatofisiologi Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)


Faktor Genetik
ADHD lebih sering didapatkan pada keluarga yang menderita ADHD. Keluarga
keturunan pertama dari anak ADHD didapatkan lima kali lebih banyak menderita ADHD

2
daripada keluarga anak normal. Angka kejadian orangtua kandung dari anak ADHD lebih
banyak menderita ADHD daripada orangtua angkat.
Saudara kandung dari anak ADHD didapatkan 2-3 kali lebih banyak menderita
ADHD daripada saudara anak normal. Angka kejadian saudara kembar satu telur
(monozygot) anak ADHD (79%) lebih tinggi daripada saudara kembar dua telur (dizygot)
(32%). Kembar identik atau monozigot memiliki kemiripan gen 100%. Sebaliknya, kembar
fraternal atau dizigotik tidak lebih mirip secara genetik dengan saudara kandung, dan
karenanya hanya berbagi 50% dari gen mereka. Jika sebuah penyakit dipengaruhi oleh faktor
genetik, maka resiko penyakit kembar akan menjadi paling besar ketika saudara kembar
adalah monozigot. Resiko kembar dizigotik seharusnya melebihi resiko terhadap kontrol
tetapi seharusnya tidak lebih besar daripada resiko pada saudara kandung.
Studi-studi pada keluarga secara konsisten mendukung pernyataan bahwa ADHD
diwariskan dalam keluarga. Studi-studi ini menemukan bahwa orang tua dengan anak anak
ADHD memiliki peningkatan dua hingga delapan kali lipat untuk resiko ADHD. Sehingga,
mereka menegaskan adanya factor genetik pada ADHD dan sekaligus menyediakan bukti-
bukti untuk validitas diagnosisnya pada orang dewasa.
Barr et al, 2000 dan Smalley et al, 1998 menyatakan bahwa gejala ADHD
berhubungan juga dengan Dopamine Transporter Gene (DATI) dan Dopamine D4 receptor
Gene (DR D4 gene). Diperkirakan ada 29% anak, remaja, dan orang dewasa didapatkan DR
D4 gene dengan 7 repeat allele.
Faraone et al, 2001 menunjukkan bahwa pada 5 dari 8 case control studies yang
diteliti didapatkan hubungan yang bermakna antara ADHD dan DR D4, 7 repeat allele.
Transmisi saraf tak berjalan dengan baik (blunted), mengganggu fungsi kognitif dan emosi
anak ADHD bila dopamine terikat dengan DR D4 7 repeat allele. DR D4 gene melakukan
aktifasi dopamin di celah paska sinaptik.
Spencer et al, 2000 menyatakan bahwa adanya varian Dopamine Transporter Gene
(DATI) menyebabkan timbulnya gejala ADHD. Dopamine transporter gene (DATI)
menyebabkan inaktivasi dopamin di celah prasinaptik (Gill, 1997). Pemberian obat stimulant
(terutama methylphenidate) akan mengikat DATI gene sehingga meningkatkan aktivasi
dopamin di celah sinaps dan dapat menurunkan gejala hiperaktivitas.

3
Untuk kelainan-kelainan baik dalam jumlah maupun struktur kromosom biasanya
mengarah kepada gangguan dengan manifestasi klinis yang lebih buruk (misalnya
perlambatan mental dan cacat fisik). Sekalipun belum banyak studi-studi sistematik dari
kelainan kromosomal pada ADHD, namun ada beberapa laporan yang menyatakan bahwa
kelainan kromosom tersebut juga berasosiasi dengan timbulnya hiperaktivitas dan/ atau
defisit perhatian, yang diantaranya meliputi sindrom fragile X, duplikasi kromosom Y pada
anak laki-laki, dan hilangnya sebuah kromosom X pada perempuan.

Faktor neurobiologis
Anak-anak dengan ADHD tidak terbukti mengalami kerusakan berat di otak. Banyak
anak dengan kelainan neurologis yang disebabkan oleh trauma kapitis berat justru tidak
menunjukkan adanya gejala-gejala gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas.
Faktor-faktor yang justru menyokong timbulnya gejala ADHD adalah faktor prenatal
(infeksi, keracunan logam berat/ bahan toksik lain), prematuritas, trauma kelahiran, maupun
komplikasi kehamilan karena ibu banyak merokok dan mengkonsumsi alkohol saat hamil
yang berpengaruh terhadap perkembangan sistim saraf.
Hasil penelitian 10-15 tahun akhir-akhir ini mendukung adanya pengaruh gangguan
perkembangan neurologis yang mempengaruhi timbulnya gejala ADHD. Penelitian dengan
CT Scan dan MRI telah membuktikan bahwa ada beberapa tempat di otak yang berfungsi
abnormal pada individu dengan ADHD yakni meliputi regio cortex prefrontalis, cortex
frontalis, cerebellum, corpus callosum dan dua daerah ganglia basalis yakni globus pallidus
dan nucleus caudatus. Demikian juga dari hasil pemeriksaan PET Scan (Positron
EmissionTomography) padaanak-anak ADHD didapatkan penurunan metabolisme glukose
di korteks prefrontal dan frontal terutama sebelah kanan.
Penelitian dari National Institute of Mental Health di USA telah menunjukkan bahwa
area globus pallidus dan nucleus caudatus secara bermakna lebih kecil pada anak ADHD
daripada anak normal. Nucleus caudatus dan globus pallidus berfungsi melakukan koordinasi
lalu lintas transmisi rangsang saraf pada berbagai area di korteks. Ternyata didapatkan juga
volume area korteks prefrontal lebih kecil pada anak ADHD daripada anak normal. Beberapa
anak menunjukkan kelambatan perkembangan otak (maturational delay) pada anak ADHD

4
yang biasanya tampak gejalanya pada usia 5 tahun. Perkembangan otak yang normal,
biasanya menunjukkan pertumbuhan secara cepat terjadi pada usia 3-10 bulan, 2-4 tahun, 6-
8 tahun, 10-12 tahun dan 14-16 tahun.
Cerebellum mempunyai fungsi eksekutif yakni mengatasi masalah, perhatian,
“reasioning”, perencanaan, dan pengaturan tugas individu. Hasil pemeriksaan dengan
menggunakan MRI didapatkan bahwa ada penurunan aktivitas metabolik di daerah daerah di
atas pada individu dengan ADHD. Para peneliti menyatakan bahwa ada permasalahan dalam
pengaturan transmisi saraf (regulatory circuits) antara korteks prefrontal, ganglia basal, dan
cerebellum yang diduga merupakan penyebab terjadinya gejala ADHD.
Komunikasi dalam otak dalam area di atas menggunakan neurotransmiter dopamin
dan noradrenalin. Pada anak ADHD terjadi hipofungsi dopamin dan noradrenalin.
Neurotransmiter catecholamine yakni dopamine dan norepinephrine berperan besar dalam
hal atensi, konsentrasi yang dihubungkan dengan fungsi kognitif misalnya motivasi,
perhatian dan keberhasilan belajar seseorang. Dalam hal norepinephrine, ditekankan peran
“prefrontal noradrenergic pathways” dalam mempertahankan dan memusatkan perhatian
seperti memberikan enersi pada kelelahan, motivasi dan perhatian. Sedangkan sistem
dopaminergik, peran proyeksi mesokortikal dopamin mempengaruhi juga fungsi kognitif
seperti kelancaran bicara, proses belajar yang berurutan (serial learning), waspada pada
tugas eksekutif, mempertahankan dan memusatkan perhatian, mengutamakan perilaku yang
berhubungan dengan aspek sosial.
Inervasi noradrenalin di otak berasal dari locus ceruleus (dorsolateral pontine
tegmentum) dan berakhir pada korteks. Peran noradrenalin di korteks melakukan
diskriminasi stimulasi lingkungan secara relevan dan terutama pada stimulasi baru daripada
stimuli yang spesifik. Noradrenalin diperkirakan mempunyai efek pada fungsi kognitif
individu melalui “postsinaptic alpha 2A adrenergic receptor”pada neuron kortikal.
Noradrenalin berperan penting pada fungsi kognitif yakni pada tuntutan proses yang tinggi
(temporal discrimination dan timed choice reaction). Penekanan pada fungsi noradrenalin
menyebabkan kesukaran melakukan tugas-tugas yang berbeda-beda (timed choice reaction)
dimana tugas-tugas tampak terganggu bila dibutuhkan ketekunan khusus untuk
menyelesaikan tugas tersebut.

5
Fungsi hemisphere kanan terutama untuk mempertahankan attensi pada stimulasi
baru dan fungsi hemisphere kiri terutama untuk memusatkan perhatian pada stimulasi
selektif.
Sistem dopaminergik terdiri dari dua cabang utama: (3,18) Cabang mesokortiko
limbik yang berasal dari area tegmentalis ventral dan diproyeksi ke korteks prefrontal,
nucleus accumbens, dan tuberculus olfactorius. Hipofungsi pada system ini berhubungan
dengan memendeknya “delay gradient” yang berhubungan dengan terjadinya impulsivitas,
hiperaktivitas dan gangguan mempertahankan perhatian. Anak ADHD cenderung lebih
memilih rewards yang kecil tetapi yang dapat diperolehnya dengan segera daripada rewards
yang lebih besar tetapi ditunda waktu perolehannya (delay gradient memendek). Anak
normal lebih cenderung memaksimalkan perolehan rewards walaupun harus menunda
waktunya.
Cabang nigrostriatal yang berasal dari substansia nigra dan diproyeksikan terutama
ke neostriatum (kompleks nucleus caudatus, putamen). Hipofungsi pada sistem ini
menyebabkan timbulnya beberapa gejala sistem extrapyramidal (EPS) yang berhubungan
dengan ADHD yakni adanya gangguan motorik halus dan kasar (clumsiness), memanjangnya
“reaction time”, “response timing” yang buruk, gangguan pengendalian gerak cepat pada
mata, tulisan tangan yang jelek dan sebagainya.
Gejala impulsivitas dan hiperaktivitas pada anak ADHD terutama disebabkan oleh
hipofungsi dopamin, sedangkan gejala inattensi terutama disebabkan oleh hipofungsi
noradrenalin. Anak ADHD bila diberikan pekerjaan yang lebih sukar dan perlu ketekunan
serta ketelitian maka akan mudah bosan, mudah marah serta mudah teralih perhatiannya.

Faktor Lingkungan
Aspek lingkungan baik lingkungan biologis maupun psikososial telah banyak diteliti
sebagai salah satu faktor resiko untuk ADHD. Ide bahwa makanan tertentu dapat
menyebabkan ADHD mendapat cukup banyak perhatian. Beberapa peneliti mengklaim dapat
menyembuhkan ADHD dengan menghilangkan bahan-bahan aditif makanan dari diet. Teori
populer lainnya menyebutkan bahwa intake gula yang berlebihan akan menuju pada

6
simptomatologi ADHD. Meskipun beberapa studi mendukung ide ini, namun ada beberapa
penelitian sistematik terkontrol yang tidak mendukungnya (Wolraich et al., 1995).
Berbeda dengan sebagian studi negatif tentang faktor-faktor makanan, beberapa
toksin telah terbukti berpengaruh dalam etiologi ADHD. Beberapa kelompok studi telah
menunjukkan bahwa kontaminasi timah terbukti terkait dengan kebingungan, hiperaktivitas,
kegelisahan, dan pemfungsian intelektual yang lebih rendah (Needleman, 1982), meskipun
banyak juga anak-anak dengan ADHD yang tidak menunjukkan adanya kontaminasi timah
dan banyak anak dengan eksposur timah yang tinggi tidak menunjukkan adanya gejala-gejala
ADHD.
Literatur yang meneliti asosiasi dari ADHD dengan kehamilan dan komplikasi
kelahiran (Pregnancy and Delivery Complications/ PDCs) menunjukkan hasil-hasil yang
berlawanan tetapi cenderung untuk mendukung ide bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi
anak-anak menuju ADHD (Sprich-Buckminster et al., 1993). PDCs spesifik yang terlibat
dalam ADHD meliputi toxemia atau eklampsia, buruknya kesehatan ibu, usia maternal, post
maturitas fetal, durasi persalinan, fetal distress, berat badan lahir yang rendah, dan
perdarahan antepartum. PDCs yang terkait dengan ADHD lebih sering terjadi pada kasus-
kasus hypoxia dan eksposur kronis pada fetus seperti toxemia, disbanding dengan kejadian
traumatik akut, seperti pada komplikasi kelahiran.
Suatu eksposur kronis yang telah dipelajari secara luas adalah ibu yang merokok
selama kehamilan. Dengan mengeksposur fetus pada nikotin, ibu yang merokok dapat
merusak otak pada waktu-waktu kritis proses perkembangan. Karena reseptor nikotin
memodulasi aktivitas dopaminergic dan disregulasi dopaminergic yang dapat terlibat dalam
patofisiologi ADHD,secara teoritis hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bahwa ibu
hamil yang merokok sebagai faktor resiko untuk ADHD. Selain itu, ibu yang merokok telah
terbukti berada pada peningkatan resiko akan antepartum hemorrhage, berat badan ibu yang
rendah, dan abruptio placenta. Fetusnya ada pada resiko berat badan lahir yang rendah, yang
semua itu berhubungan dengan timbulnya ADHD. Konsisten dengan peran nikotin dalam
etiologi ADHD, peningkatan resiko gangguan ini berhubungan dengan onset usia dari
perokok tersebut. Makin awal atau makin muda mulai merokoknya, makin tinggi resiko
anaknya terhadap gangguan ini. Dua studi menemukan bahwa pemberian nikotin terbukti

7
meningkatkan timbulnya gejala-gejala ADHD. Studi lain menemukan bahwa analog nikotin
(ABT-418) juga terbukti meningkatkan munculnya gejala-gejala ADHD. ABT-418 adalah
sebuah aktivator channel cholinergic selektif yang merupakan sebuah agonist selektif untuk
reseptor-reseptor alpha4beta2 subtipe nicotinic (Decker et al., 1994).

Faktor psikososial
Palfrey et al 1985, Barkley 1998 menunjukkan hasil penelitiannya bahwa pendidikan
ibu yang rendah, kelas sosioekonomi yang rendah, dan orangtua tunggal (single parenthood)
adalah faktor yang penting sebagai penyebab timbulnya gejala ADHD. Hasil penelitiannya
menyatakan bahwa ibu-ibu dari anak-anak dengan ADHD menunjukkan pola komunikasi
yang lebih buruk dengan anak, lebih sering marah, dan lebih sering terjadi konflik dengan
anak dibanding ibu-ibu dari anak yang normal. Biederman et al, 1995 menyatakan bahwa
konflik yang khronis, keakraban keluarga yang menurun, adanya kelainan psikopatologis
orangtua terutama ibunya, lebih sering terjadi pada keluarga anak ADHD dibanding keluarga
anak yang normal.
Anak-anak yang tinggal di yayasan sosial sering menunjukkan gejala hiperaktif dan
rentang perhatian yang pendek. Gejala ini disebabkan oleh terjadinya deprivasi emosional
yang berlangsung lama dan bila deprivasi emosional dihilangkan, misalnya ditempatkan pada
foster home atau dijadikan anak angkat oleh sebuah keluarga maka gejala ADHD berkurang
atau hilang. Faktor predisposisi terjadinya gejala ADHD pada anak juga dapat terjadi karena
faktor temperamen anak (highlyactive child), faktor genetic, dan tuntutan masyarakat yang
mengharapkan anak berperilaku dan berprestasi dengan baik.
Rutter et al., pada tahun 1975 mengungkap 6 resiko faktor dalam lingkungan keluarga
yang berkorelasi secara signifikan dengan gangguan mental masa kanak-kanak:
(1)pertengkaran perkawinan yang berat, (2) kelas sosial yang rendah, (3) ukuran keluarga
yang besar, (4) kriminalitas ayah, (5) gangguan mental ibu, dan (6) penempatan anak angkat.
Penelitian ini menemukan bahwa kombinasi dari beberapa faktor tersebut berpengaruh lebih
besar terhadap munculnya gangguan disbanding dengan faktor tunggal manapun.
Selfand dan Tetti, 1990 mendapatkan bahwa ibu-ibu yang depresi mempunyai sikap yang
kurang peka, kurang akrab, banyak bermusuhan dan tidak setuju dengan tingkah laku

8
anaknya. Ibu yang depresi mempunyai persepsi negatif dengan tingkah laku anaknya. Ibu
yang depresi dapat memperberat konflik keluarga dan memberikan pola asuh yang buruk
pada anak sehingga dapat menimbulkan bentuk nongenetik dari ADHD. Faktor psikososial
di atas cenderung menyebabkan gangguan fungsi adaptasi dan kesehatan emosional anak dan
bukan sebagai penyebab yang spesifik untuk timbulnya gangguan ADHD.
Meskipun banyak studi menyediakan bukti yang kuat akan pentingnya
ketidakcocokan psikososial terhadap ADHD, faktor-faktor ini cenderung untuk muncul
sebagai predictor universal dari kesehatan emosional dan pemfungsian adaptif anak-anak,
bukan prediktor-presdiktor yang spesifik pada ADHD. Sehingga, faktor-faktor tersebut dapat
dikonseptualkan sebagai pemicu non spesifik yang mempengaruhi jalur/ perjalanan penyakit
ini.

2.4 Klasifikasi Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)


Tidak mudah untuk membedakan penyandang ADHD terutama yang tergolong
ringan dengan anak normal yang sedikit lebih aktif dibanding anak yang lainnya. Tidak ada
tes untuk mendiagnosis secara pasti jenis gangguan ini, mengingat gejalanya bervariasi
tergantung pada usia, situasi, dan lingkungan. Hal ini menunjukkan ADHD merupakan suatu
gangguan yang kompleks berkaitan dengan pengendalian diri dalam berbagai variasi
gangguan tingkah laku.
Ciri-ciri ADHD muncul pada masa kanak-kanak awal, bersifat menahun, dan tidak
diakibatkan oleh kelainan fisik yang lain, mental, maupun emosional. Ciri utama individu
dengan gangguan pemusatan perhatian meliputi: gangguan pemusatan perhatian
(inattention), gangguan pengendalian diri (impulsivity), dan gangguan dengan aktivitas yang
berlebihan (hiperactivity).
Terdapat 3 subtipe ADHD, yaitu:
1. Predominan hiperaktif-impulsif (ADHD/ HI): Simtom terbanyak (≥6) ialah kategori
hiperaktif-impulsif; <6 simtom inatensi.
2. Predominan inatensi: Simtom terbanyak (≥6) ialah kategori inatensi dan <6 simptom dari
hiperaktif-impulsif. Anak dengan subtipe ini kurang berperan atau mempunyai kesulitan

9
bersama dengan anak lain. Mereka duduk tenang, tetapi tidak memberikan perhatian kepada
apa yang dilakukan. Orang tua mungkin tidak memperhatikan simtom ADHD
3. Kombinasi hiperaktif-impulsif dan inatensi: ≥6 simtom inatensi dan ≥6 simtom hiperaktif-
impulsif.
Kebanyakan anak dengan ADHD mempunyai tipe kombinasi.

2.5 Diagnosis Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)


Kriteria diagnostik ADHD berdasarkan DSM-IV ialah satu dari kriteria (1) atau (2)
berikut:
1. Gangguan pemusatan perhatian (inatensi):
≥6 gejala inatensi berikut telah menetap selama sekurang-kurangnya 6 bulan bahkan
sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan.
a. Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detil dan tidak teliti dalam
mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas lainnya.
b. Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian terhadap tugas atau
aktivitas bermain.
c. Sering tampak tidak mendengarkan apabila berbicara langsung.
d. Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah, pekerjaan sehari-
hari, atau tugas di tempat kerja (bukan karena perilaku menentang atau tidak dapat mengikuti
instruksi).
e. Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas.
f. Sering menghindari, membenci atau enggan untuk terlibat dalam tugas yang memiliki
usaha mental yang lama (seperti tugas di sekolah dan pekerjaan rumah).
g. Sering menghilangkan atau ketinggalan hal-hal yang perlu untuk tugas atau aktivitas
(misalnya tugas sekolah, pensil, buku ataupun peralatan)
h. Sering mudah dialihkan perhatiannya oleh stimulasi dari luar.
i. Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari.

2. Hiperaktivitas-impulsivitas:

10
≥6 gejala hiperaktivitas-impulsivitas berikut ini telah menetap selama sekurang-
kurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat
perkembangan.
Gejala hiperaktivitas ialah sebagai berikut:
a. Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau sering menggeliat-geliat di tempat duduk.
b. Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau di dalam situasi yang diharapkan anak
tetap duduk.
c. Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak seharusnya.
d. Sering mengalami kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas waktu
luang secara tenang.
e. Sering dalam keadaan “siap bergerak/ pergi” (atau bertindak seperti digerakkan oleh
mesin).
f. Sering bicara berlebihan.
Gejala impulsivitas ialah sebagai berikut:
g. Tidak sabar, sering menjawab pertanyaan tanpa berpikir lebih dahulu sebelum pertanyaan
selesai.
h. Sering sulit menunggu giliran.
i. Sering menyela atau mengganggu orang lain sehingga menyebabkan hambatan dalam
lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan gangguan telah


ada sebelum usia 7 tahun. Beberapa gangguan akibat gejala ada selama dua atau lebih situasi.
Harus terdapat bukti jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi sosial,
akademik, atau fungsi pekerjaan. Gejala tidak semata-mata selama perjalanan gangguan
perkembangan pervasif, skizofrenia, atau gangguan psikotik lain, dan tidak diterangkan lebih
baik oleh gangguan mental lain.

Kode berdasarkan tipe ialah sebagai berikut:


- 314.01 ADHD tipe kombinasi: jika kriteria A1 dan A2 ditemukan selama 6 bulan yang lalu.

11
- 314.00 ADHD predominan tipe inatensi: jika kriteria A1 ditemukan tetapi kriteria A2 tidak
ditemukan selama 6 bulan yang lalu.
- 314.01 ADHD predominan tipe hiperaktif-impulsif: jika kriteria A2 ditemukan tetapi
kriteria A1 tidak ditemukan selama 6 bulan yang lalu.

Kriteria diagnosis ADHD menurut DSM IV dan DSM IV-TR ini telah mengalami
revisi melalui DSM V. Daftar gejala pada DSM V tidak berbeda dengan DSM IV dan IV-
TR. Perbedaan yang tampak ialah pada DSM V setelah dituliskan gejala akan diberikan
beberapa contoh yang dapat muncul pada penderita ADHD, termasuk contoh gejala yang
timbul pada masa remaja dan dewasa. Selain itu perbedaan ditunjukkan pada onset timbulnya
gejala ADHD yang dimulai pada usia 12 tahun.

2.6 Diagnosis Banding Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)


Dalam praktik sehari-hari, ADHD sering kali memiliki gejala yang tumpang tindih
dengan autism spectrum disorder (ASD) dan communication disorder - speech delayed.
Pada penderita speech delayed harus dipastikan ada tidaknya gangguan pendengaran,
retardasi mental atau kurang stimulasi. Persamaan ADHD dengan ASD ialah adanya
gangguan konsentrasi, tak mampu menunggu giliran, meminta sesuatu dengan cara non-
verbal, kurang peduli dengan lingkungan dan bila marah sulit ditenangkan.

2.7 Penatalaksanaan Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)


ADHD merupakan gangguan yang bersifat heterogen dengan manifestasi klinis beragam.
Sampai saat ini belum ada satu jenis terapi yang dapat diakui untuk menyembuhkan anak dengan
ADHD secara total. Berdasarkan National Institute of Mental Health, serta organisasi profesi
lainnya di dunia seperti American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP),
penanganan anak dengan ADHD dilakukan dengan pendekatan komprehensif berdasarkan
prinsip pendekatan yang multidisiplin dan multimodal.

Tujuan utama penanganan anak dengan ADHD ialah:

12
 Memperbaiki pola perilaku dan sikap anak dalam menjalankan fungsinya sehari-hari
terutama dengan memper-baiki fungsi pengendalian diri.
 Memperbaiki pola adaptasi dan penyesuaian sosial anak sehingga terbentuk kemampuan
adaptasi yang lebih baik dan matang sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

Berdasarkan prinsip pendekatan yang multidisiplin dan multimodal ini maka terapi
yang diberikan dapat berupa obat,diet, latihan, terapi perilaku, terapi kognitif dan latihan
keterampilan sosial; juga psikoedukasi kepada orang tua, pengasuh serta guru yang sehari-
hari berhadapan dengan anak tersebut.

1. Medikamentosis:
Pengobatan yang dianjurkan utama adalah pemakaian psikostimulan pada anak
ADHD (first line treatment). Psikostimulan yang dianjurkan digunakan adalah
Methylphenidate (gold standard), Amphetamine (d amphetamine, d,l amphetamine),
Pemoline
D amphetamine (Dexedrin) meningkatkan pengeluaran dopamine dan norepinephrine
dan sedikit serotonin. D amphetamine juga memblokir reuptake DA & NE ke presynaps dan
memblokir katabolisme DA & NE oleh Monoamine oxidase (MAO). Hal ini menyebabkan
penambahan kosentrasi DA & NE di synapse (Shenkez, 1992).
Methylphenidate utama memblokir reuptake DA & NE, juga meningkatkan
pelepasan DA & NE dari vesikel presynapse. Methylphenidate dibandingkan d amphetamine
lebih kurang efeknya pada NE dan efek juga minimal pada serotonin. Methylphenidate
tampak lebih banyak melepaskan vesikel (pool) DA yang berbedabeda daripada d
amphetamine. D amphetamine melepaskan DA yang baru disintese dan methylphenidate
melepaskan DA dari banyak vesikel (pool) DA (Solanto, 1984). Efek methylphenidate
kurang cepat dibandingkan d amphetamine, namun efek methylphenidate berlangsung lebih
lama daripada d Amphetamine.
L amphetamine banyak melepaskan norepinephrine, juga dopamine dengan
mekanisme yang sama. Campuran d,l amphetamine berefek lebih baik daripada d
amphetamine karena keuntungannya efek lebih banyak pada norepinephrine.

13
Methamphetamine tidak dipakai sebagai obat ADHD karena potensial ketergantungan zat
lebih besar.
Obat pemoline (cylert) jarang digunakan karena ada efek toksisitas pada liver. Efek
pemoline pada anak ADHD kurang jelas. Efek dopaminergik pemoline lebih lemah meskipun
lebih selektif daripada stimulan lain.
Tetapi bila terapi psikostimulan tidak efektif atau tidak toleran dengan psikostimulan
maka dianjurkan pemakaian antidepresan. Antidepresan yang dianjurkan adalah tricyclic
antidepressant, monoamine oxidase inhibitors dan bupropion (second line treatment).
Pemakaian adrenergic agonists misalnya clonidine (antihypertensive = Catapres) dan
guanfacine (Tinex) utama berefek pada alpha 2 NE receptor. Efek kedua obat ini pada gejala
anak ADHD adalah melakukan stimulasi pada autoreceptor yakni mengurangi transmisi NE
pada korteks dan mengurangi respon yang berlebihan pada stimuli lingkungan sehingga
dapat memperbaiki performans anak ADHD dalam menyelesaikan tugasnya dalam waktu
lebih lama (lebih tekun dan teliti). Clonidine lebih banyak mempunyai efek sedatif dan
hipotensi daripada guanfacine (Arnsten et al,1996)
Obat tricyclic antidepresant (TCA) yang berguna untuk anak ADHD misalnya
imipramine (Tofranil), desipramine (Norpramin), nortryptyline (Pamelor) dan amitriptyline
(Elavil). Namun obat TCA kurang efektif terhadap penurunan gejala ADHD dibandingkan
dengan obat stimulansia (Spencer, 1996). Efek TCA adalah meningkatkan pengeluaran
catecholamine, terutama norepinephrine (NE) (Shenker, 1992). Ternyata efek dopaminergik
dari TCA lebih rendah daripada obat stimulansia. Obat monoamine oxidase inhibitor (MAOI)
meningkatkan tersedianya catecholamine di sinaps dengan menghambat pemecahan
catecholamine (DA & NE).
MAO ada 2 macam, MAO type A yang memecah keduanya DA & NE (MAO A
inhibitor = clorgyline & tranylcypromine) dan MAO type B yang hanya memecah DA.
Clorgyline dan tranylcypromine yang efektif mengobati gejala ADHD dan obat deprenyl
pada dosis rendah menghambat MAO B sedangkan pada dosis lebih tinggi menghambat
MAO A dan MAO B. Deprenyl dilaporkan kurang efektif untuk gejala ADHD pada dosis
rendah (15 mg/hari) tetapi efektif pada sindroma Tourette. Pemakaian MAO I jarang dipakai
untuk mengobati gejala ADHD karena harus disertai diet yang ketat. Efek samping

14
psikostimulan yang tersering adalah insomnia, berkurangnya nafsu makan sampai berat
badan menurun, kadang-kadang sakit kepala. Bila sebelum dan saat pengobatan anak ADHD
menunjukkan gejala sukar makan, maka perlu diberikan vitamin untuk nafsu makan misalnya
curcuma plus, atau cyproheptidine tablet serta pemberian obat stimulansia bersama dengan
makan. Bila timbul gejala efek samping sukar tidur, sebaiknya pemberian malam hari tak
dilakukan, dilakukan membaca lebih dahulu sebelum tidur (bedtime reading), dapat
diberikan obat tidur bila sangat diperlukan (adjunctive agent).

2. Diet: Meta-analisis menemukan bahwa menghindari pewarna makanan buatan dan bahan
pengawet sintetik secara statistik bermanfaat mencegah terjadinya gejala ADHD.
Keseimbangan diet karbohidrat dan asam amino (triptophan sebagai serotonin substrate)
juga dapat menjadi upaya lain. Belum ada bukti bahwa pemanis buatan seperti aspartam
memperburuk ADHD.

3. Rehabilitasi medik: Mengembangkan kemampuan fungsional dan psikologis seorang


individu dan mekanismenya sehingga dapat mencapai kemandirian dan menjalani hidup
secara aktif.

Penanganan rehabilitasi medik pada anak dengan ADHD


Terapi okupasi
Terapi okupasi terdiri dari terapi relaksasi, terapi perilaku kognitif (cognitive
behavior therapy), terapi sensori integrasi, terapi snoezellen, dan terapi musik.

Terapi relaksasi adalah terapi yang menggunakan kekuatan pikiran dan tubuh untuk
mencapai suatu perasaan rileks. Terapi relaksasi bertujuan untuk dapat mengontrol ansietas,
stres, ketakutan dan ketegangan, memperbaiki konsentrasi, meningkatkan kontrol diri,
meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri, serta meningkatkan kreativitas.

Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengubah perilaku seseorang dengan mengubah
pemikiran dan persepsi terutama pola berpikirnya. Terapi perilaku berfokus untuk

15
mengurangi respon kebiasaan (seperti marah, takut, dan sebagainya) dengan cara mengenal
situasi atau stimulus. Terapi ini melatih kemampuan berpikir, menggunakan pendapat dan
membuat keputusan, dengan fokus memperbaiki defisit memori, konsentrasi dan atensi,
persepsi, proses belajar, membuat rencana, serta pertimbangan. Pada anak-anak, terapi ini
memerlukan dukungan penuh dari orang tua atau anggota keluarga lain. Intervensi pada
terapi ini juga harus menarik seperti menggunakan media gambar kartun, role play,
menggunakan bahasa menarik sesuai usianya, media latihan yang menyenangkan dan penuh
warna. Bentuk lain dari intervensi ini dapat juga berupa metode self recording.

Terapi sensori integrasi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan proses sensoris dengan
cara:
- Mengembangkan modulasi sensoris yang berhubungan dengan atensi dan kontrol perilaku
- Mengintegrasikan informasi sensoris untuk membentuk skema persepsi baik sebagai dasar
ketrampilan akademis, interaksi sosial dan kemandirian fungsional.
- Fokus terapi diarahkan untuk memunculkan motivasi intrinsik anak untuk bermain
interaktif dan bermakna.
Terapi sensori integrasi memberikan stimulasi sensori dan interaksi fisik untuk dapat
meningkatkan integrasi sensori dan peningkatan kemampuan belajar dan perilaku. Terapi ini
merupakan terapi modalitas yang kompleks dan memerlukan partisipasi aktif pasien dan
bersifat individual melalui aktivitas yang bertujuan melibatkan stimulasi sensorik untuk
perbaikan organisasi dan proses neurologis.

Terapi snoezellen dilakukan untuk memengaruhi sistem saraf pusat melalui pemberian
rangsangan yang cukup pada sistem sensori primer (penglihatan, pendengaran, peraba,
perasa lidah, penciuman) dan juga pada sistem sensori internal (vestibular dan proprioseptif).
Dalam bahasa Belanda kata snoezellen merupakan gabungan dari 2 kata, yaitu: “snufflen”
yang berarti eksplorasi aktif dan “doezelen” yang berarti relaksasi atau pasif.

Tujuan terapi snoezellen pada anak ADHD ialah:


- Anak mampu konsentrasi dan atensi terhadap satu stimulus

16
- Anak mampu rileks secara psikis sehingga mengurangi perilaku impulsif
- Anak mampu memberikan reaksi yang tepat terhadap lingkungan
- Anak mampu melakukan kontak dengan orang lain
- Anak punya rasa percaya diri
- Anak mampu mengeksplorasi lingkungan
- Anak mampu rileks secara fisik yang ditandai dengan penurunan muscle tension
Ruangan snoezellen khusus dirancang untuk memberi stimulasi pada berbagai
sensasi, menggunakan efek lampu/cahaya, warna, musik, wangi-wangian dan sebagainya.
Kombinasi dari bahan berbeda pada dinding dieksplorasi menggunakan sensasi taktil, dan
pada lantai disesuaikan untuk merangsang sensasi keseimbangan. Idealnya, snoezellen
merupakan terapi yang tidak diarahkan dan dapat bertahap memberikan pengalaman multi
sensorik atau fokus pada 1 sensorik saja, secara sederhana melalui adaptasi terhadap
lampu/cahaya, atmosfer, suara, dan tekstur kepada kebutuhan spesifik pasien. Lingkungan
snoezellen memberikan stimulasi langsung dan tidak langsung dari modalitas sensorik dan
dapat digunakan secara individu atau berkelompok untuk memberikan pendekatan sensorik.
Peralatannya disesuaikan dengan tiap-tiap anak ADHD:
 Stimulasi visual: serat optik semprot, proyektor dengan gambar.
 Stimulasi pendengaran (suara): kaset relaksasi, getaran suara dari peralatan musik.
 Olfaktori (bau): aroma terapi dapat mengurangi tingkat kecemasan.
 Gustatori (rasa): setiap zat makanan menyediakan rasa yang berbeda atau tekstur.
 Stimulasi taktil (sentuhan): bantal dan kasur dengan vibrasi, kain bertekstur.
 Rangsangan proprioseptif dan vestibular (gerakan): kursi goyang, rocking horses.

Terdapat beberapa macam ruang snoezellen yang ditata dengan tujuan yang berbeda
contohnya:
 Ruang relaksasi: Ruang ini dipenuhi dengan warna yang lembut dan tidak mencolok,
lagu-lagu lembut atau musik relaksasi, pemberian aroma ruangan dengan aroma yang
lembut, .ampu penerangan yang lembut

17
 Ruang aktivitas/adventure: Ruangan ini dipenuhi dengan warna-warna yang
mencolok, stimulasi visual yang dinamis, musik yang dinamis, dan alat-alat
permainan aktif
 Ruang natural: Ruangan alami seperti kebun bunga/taman, kolam ikan/ akuarium,
terdapat pasir, tanah, dan air

Terapi musik merupakan terapi efektif dan alat edukasi untuk anak dengan ADHD sehingga
dapat mempengaruhi perubahan keterampilan yang penting pada gangguan belajar atau
perilaku. Terapi musik mencakup beberapa hal, yaitu:
 Keterampilan kognitif: Musik dapat menstimulasi dan memfokuskan atensi dan
terutama untuk orang yang tidak respon dengan intervensi lain. Seluruh intervensi
terapeutik akan terstruktur dengan musik, untuk mempertahankan atensi.
 Keterampilan fisik: Terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa ritme
 teratur dapat menstimulasi dan mengorganisasikan respon otot untuk menimbulkan
rasa rileks.
 Keterampilan komunikasi: Efektif untuk menstimulasi dan memotivasi bicara, serta
memberi ruang untuk komunikasi non-verbal.
 Keterampilan sosial: Memberi kesem-patan untuk orang dengan disabilitas
perkembangan untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain.
 Keterampilan emosional: Musik mem-beri kesempatan untuk mengekspresikan dan
merasakan berbagai emosi. Keinginan untuk berpartisipasi pada musik dapat
membantu untuk mengontrol emosi yang meledak-ledak, mengubah mood, serta
dapat mencapai efek positif dari harga diri.

Terapi psikologi
Psikoterapi yang diberikan pada penderita ADHD termasuk dalam pelatihan kepada
orang tua untuk memperbaiki lingkungan di sekitar rumah dan sekolah. Terdapat berbagai
pendekatan psikoterapi yang dapat dilakukan oleh seorang psikolog; penggunaannya

18
tergantung kepada pasien dan simptomnya yang meliputi support groups, parent training,
dan social skills training.
Memperbaiki lingkungan di sekitar rumah dan sekolah dapat memperbaiki perilaku
anak dengan ADHD, namun kendalanya ialah orang tua dari anak ADHD memperlihatkan
kekurangan yang sama terhadap diri mereka sendiri, sehingga mereka tidak dapat cukup
membantu anaknya dengan kesulitannya. Intervensi pendidikan yang berbeda untuk orang
tua disebut sebagai parent management training. Teknik ini meliputi operant conditioning
yaitu sebuah aplikasi rewards untuk suatu perilaku yang baik dan hukuman untuk perilaku
yang buruk.
Manajemen di dalam kelas (edukasi kepada guru) dilakukan sama dengan parent
management training yaitu guru diajari tentang ADHD dan teknik untuk memperbaiki
perilaku yang diaplikasikan di ruangan kelas. Strategi yang digunakan meliputi peningkatan
penyusunan aktivitas di kelas atau daily feedback.

Terapi sosial medik


Penanganan ADHD dalam peran sosial medik difokuskan pada bantuan perorangan
dan keluarga yang kesulitan dalam penyesuaian diri dan pelaksanaan fungsi-fungsi sosial
diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang disfungsi. Terapi ini berkaitan dengan usaha untuk
menjangkau dan memanfaatkan sumber dalam pemecahan masalah social dengan tujuan
pelayanan untuk sosialisasi dan pengembangan, penyembuhan, pemberian bantuan,
rehabilitasi dan perlindungan sosial, serta pemberian informasi dan nasehat.

Terapi perilaku
Strategi spesifik yang dapat dilakukan untuk terapi perilaku ini ialah:
 Reward system (anak diberikan ‘hadiah’ bila dapat menyelesaikan tugas atau
berperilaku baik).
 Time out (misal: anak yang memukul adiknya dihukum duduk di pojok ruangan
selama 5 menit).
 Response cost (misal: anak dilarang nonton TV bila tidak menyelesaikan PR).

19
 Token economy (anak mendapatkan ‘bintang’ bila menyelesaikan tugas dan
kehilangan ‘bintang’ bila berjalan-jalan di kelas. Jumlah bintang menentukan reward
yang diterima).

Penting pula ditekankan bahwa dukungan orang tua sangat menentukan suksesnya
terapi sehingga terapi perilaku ini disertai dengan edukasi dan pelatihan pasien serta
keluarganya.

Modifikasi lingkungan
Anak-anak dengan ADHD tidak beradaptasi dengan baik untuk mengubah dan tidak
berfungsi dengan baik dalam lingkungan yang sangat memberikan banyak stimulasi. Di
sekolah, mereka harus ditempatkan di barisan depan sehingga mereka dapat lebih
memperhatikan guru.
Seringkali, anak dengan ADHD mendapatkan keuntungan lebih dari metode
mengajar satu-satu atau pengajaran dalam kelompok kecil. Rutinitas kelas harus diprediksi
dan hanya satu tugas yang diberikan kepada anak pada suatu waktu. Rutinitas di rumah juga
harus terstruktur dengan baik dan teratur. Keluarga harus menghindari keramaian,
supermarket, dan pusat perbelanjaan besar yang dapat memberikan terlalu banyak stimulasi
bagi anak. Kelelahan juga harus dihindari ketika anak menjadi tak terkontrol dan
hiperaktivitas meningkat ketika anak menjadi lelah. Saran dari psikiater, dokter anak dan
social worker diperlukan dalam kasus-kasus individual karena mungkin ada kebutuhan untuk
penempatan sekolah khusus atau program khusus untuk modifikasi perilaku. Anak yang
cerdas juga dapat ditempatkan dalam program sekolah normal. Obat jarang diindikasikan
kecuali terdapt indikasi tertentu seperti hiperaktif atau ketidakstabilan suasana hati.

20
2.8 Tatalaksana Terkini Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
2.8.1 Terapi Vitamin-Mineral Memperbaiki Agresi dan Emosi Anak dengan ADHD

Hasil penelitian Rucklidge et al menunjukkan bahwa beberapa anak dengan ADHD


mendapat manfaat signifikan dari mikronutrien di berbagai hal, terutama mengurangi
inatensi, regulasi emosional dan agresi.

Penelitian blinded randomized controlled trial anak dengan ADHD yang bebas
pengobatan (n = 93) usia berkisar (7-12 tahun) yang diberikan mikronutrien (n = 47) atau
plasebo (n = 46) dalam rasio 1: 1, selama 10 minggu. Data penilaian diagnosis ADHD
dikumpulkan dari dokter, orang tua, partisipan dan guru yang dinilai berdasarkan: fungsi
umum dan penurunan fungsi, mood, agresi dan emosional.

DEN dipilih sebagai mikronutrien yang tepat untuk diselidiki karena mengandung
rangkaian mikronutrien komprehensif (13 vitamin, 17 mineral, dan empat asam amino)

Hasil Analisis intent-to-treat menunjukkan perbedaan signifikan antar kelompok


yang mendukung pengobatan mikronutrien pada Clinical Global Impression-Improvement
(ES = 0,46), dengan 47% dari mereka yang menggunakan mikronutrien diidentifikasi sebagai
'banyak' 'sangat' meningkat dibandingkan dengan 28 % pada plasebo.

Berdasarkan laporan dokter, orang tua dan guru, mereka yang mendapat mikronutrien
menunjukkan perbaikan regulasi emosional, agresi dan fungsi umum yang lebih besar
dibandingkan dengan plasebo (ES berkisar 0,35-0,66). Gejala inatensi tampaknya lebih
membaik daripada gejala hiperaktif-impulsif, dengan 32% dari mereka yang menerima
mikronutrien menunjukkan pengurangan 30% pada subscale inattentive ADHD-RS-IV
versus 9% menerima plasebo (OR = 4,9; CI 95%: 1,5-16,3).

Mikronutrien meningkatkan fungsi keseluruhan, mengurangi kerusakan dan


memperbaiki inatensi, regulasi emosional dan agresi, namun bukan gejala hiperaktif /
impulsif, pada sampel anak-anak dengan ADHD ini.

Penelitian telah menyoroti pentingnya nutrisi untuk kesehatan otak, termasuk


pengaruh emosi, perilaku dan gejala ADHD (Nigg,Lewis, Edinger, & Falk, 2012). Makanan

21
olahan, pewarna makanan dan konsumsi buah dan sayuran yang rendah telah menunjukkan
hubungan dengan tingkat keparahan ADHD (Howard et al., 2011; Pelsser et al., 2011; Rios-
Hernandez, Alda, Farran-Codina, Ferreira-Garcia, & Izquierdo-Pulido, 2017).

Salah satu alasan logis dari penelitian ini adalah memberi anak-anak ADHD nutrisi
yang dibutuhkan untuk fungsi otak yang optimal. Dasar teoritis yang kuat untuk melengkapi
anak-anak dengan ADHD dengan spektrum mikronutrien (vitamin dan mineral) yang luas
mulai dari: memperbaiki kesalahan metabolisme bawaan yang memperlambat reaksi
metabolik (Ames,Elson-Schwab, & Silver, 2002), menangani kekurangan vitamin yang
ditemukan pada orang dengan ADHD(Landaas et al., 2016), memperbaiki mikroba (Kaplan,
Rucklidge, McLeod, & Romijn, 2015), memperbaiki defisiensi yang ada pada makanan barat
(Davis, 2009) dan / atau meningkatkan produksi adenosine triphosphate (ATP), sumber
energi yang dihasilkan oleh mitokondria (Gardner & Boles, 2005).

Selanjutnya, penelitian pada manusia menyatakan pengobatan mikronutrien


spektrum luas lebih bermanfaat untuk peningkatan mood dan perilaku daripada studi nutrisi
tunggal (untuk ulasan lihat: (Kaplan, Crawford, Field, & Simpson, 2007; Popper, Kaplan, &
Rucklidge, 2017; Rucklidge, Johnstone, & Kaplan, 2009; Rucklidge & Kaplan, 2013).

Tes darah menunjukkan bahwa mikronutrien tidak memberikan efek samping pada
tes fungsi hati, ginjal, tiroid dan hematologi. Seperti yang diantisipasi, kadar asam folat,
vitamin B12 dan D meningkat secara signifikan bagi mereka yang mengkonsumsi
mikronutrien, namun hal ini tidak terkait dengan efek samping. Lebih jauh, ada sedikit
laporan di antara partisipan kehilangan nafsu makan, meningkatnya iritabilitas dan mual,
efek samping yang sering dikaitkan dengan pengobatan stimulan (Thapar & Cooper, 2016).

Penurunan kadar homosistein terlihat pada partisipan, temuan yang konsisten dengan
penelitian lain menggunakan mikronutrien (terutama folat, B6 dan B12) sebagai pengobatan
untuk gejala psikologis (White, Cox, Peters, Pipingas, & Scholey, 2015), menunjukkan
bahwa zat gizi mikro mungkin memiliki dampak siklus metilasi / metionin, bertanggung
jawab untuk menghasilkan satu unit karbon yang diperlukan untuk sintesis DNA / RNA
(Kennedy, 2016). Tingkat homocysteine yang tinggi telah terlibat dalam meningkatkan stres

22
oksidatif, menghambat reaksi metilasi, dan meningkatkan kerusakan DNA (Kennedy, 2016).
Pengurangan kadar homosistein telah dikaitkan dengan peningkatan mood (Mech & Farah,
2016) dan fungsi kognitif (Smith et al., 2010). Micronutrients juga membantu siklus asam
sitrat dan rantai transpor elektron, bertindak sebagai ko-enzim dalam respirasi aerobik
mitokondria dan produksi energi (Kennedy, 2016).

Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa sejumlah anak dengan ADHD memperoleh
manfaat signifikan dari nutrisi mikronutrien di berbagai hasil, terutama di bidang inatensi,
regulasi emosional dan agresi. Dengan adanya temuan ini, masuk akal bahwa anak-anak
dengan ADHD yang memiliki tingkat disregulasi emosional tinggi mungkin merespons
secara istimewa terhadap nutrisi mikronutrien. Selain memberikan perbaikan gejala, nutrisi
mikronutrien aman dan dapat ditoleransi dengan baik selama percobaan selama 10 minggu
dan karena itu, mereka mungkin memiliki peran penting dalam pengobatan ADHD masa
kanak-kanak, terutama jika ada obat stimulan konvensional tidak layak, baik karena
ketidakefektifan, tolerabilitas yang rendah atau preferensi orang tua.

2.8.2 Terapi Asam Lemak Omega-3/6


Long-chain polyunsaturated fatty acids (LCPUFA) dan terutama asam lemak omega-
3 telah menjadi sorotan selama beberapa dekade. Yang merupakan pengatur utama
neurotransmisi otak, neurogenesis, dan neuroinflamasi, semuanya memiliki peran penting
dalam pencegahan dan pengobatan psikologis dan gangguan disfungsi perilaku.
Eicosapentaenoic asam (EPA) dan asam docosahexaenoic (DHA) adalah dua asam lemak
yang sangat terkonsentrasi di otak, menunjukkan efek antioksidan, antiinflamasi, dan
antiapoptosis. Asam gamma linolenat lemak omega-6 (GLA) adalah juga penting dalam
generasi asam arachidonic (ARA) yang berlimpah hadir di dalam otak . Sebuah Meta-analisis
baru-baru ini menemukan bahwa kombinasi omega-3 dan asam lemak omega-6 (EPA dan
GLA) membantu memperbaiki gejala kurangnya perhatian pada anak-anak dengan ADHD.

Lipid otak di dalam membran sel juga berperan sebagai media pensinyalan,
mendukung fungsi neurotransmitter dengan asam lemak omega-3 yang dianggap memainkan
peran kunci dalam hal ini yang dapat membantu dalam pencegahan gangguan kecemasan.
Penelitian laboratorium juga telah mengidentifikasi bahwa asam lemak omega-3 dapat

23
bertindak dengan cara yang mirip dengan "antipsikotik," yang mungkin dilakukan pada
reseptor otak dan membantu mengembalikan keseimbangan oksidatif.

Kekurangan Omega-3 telah ditemukan mengubah sistem dopaminergik dan


serotonergik, yang berpotensi memodifikasi reseptor serebral di daerah otak tertentu. EPA
dan DHA dianggap sebagai "asam lemak esensial (EFA)" yang perlu diperoleh dari sumber
makanan atau suplemen karena tidak dapat dibuat dalam jumlah yang cukup oleh tubuh
manusia.

Rasio asam lemak (omega-6: omega-3) yang lengkap untuk jalur enzim yang sama
juga dapat mempengaruhi transmisi neurotransmisi dan prostaglandin, yang keduanya sangat
penting dalam pemeliharaan fungsi otak normal. Selanjutnya, karena penyimpanan asam
lemak omega-3 terbatas, pasokan eksogen berkelanjutan diperlukan untuk mendapatkan
tingkat yang sesuai.

Sejumlah penelitian telah mengukur status LCPUFA pada individu dengan ADHD.
Satu studi yang dilakukan pada orang dewasa muda (22,3 sampai 24,3 tahun) menemukan
bahwa proporsi asam lemak omega-3 secara signifikan lebih rendah pada fosfolipid plasma
dan sel darah merah pada peserta ADHD dibandingkan dengan kontrol, sementara kadar
asam lemak jenuh meningkat lebih tinggi.

Investigasi lain menemukan bahwa sementara remaja dengan ADHD mengkonsumsi


asam lemak omega-3 dan omega-6 yang sama dengan kontrol, status DHA mereka secara
signifikan lebih rendah, menunjukkan perbedaan metabolik penanganan asam lemak pada
ADHD. Demikian pula, percobaan lain menunjukkan bahwa proporsi asam lemak jenuh dan
tak jenuh ganda lebih tinggi dan lebih rendah pada pasien anak-anak dengan ADHD,
dibandingkan dengan kontrol yang mengindikasikan perbedaan profil lipid. Bukti meta-
analitis lebih lanjut menyimpulkan bahwa anak-anak dan remaja dengan ADHD memiliki
rasio darah tinggi omega-6/3 yang menunjukkan gangguan pada metabolisme asam lemak
pada individu-individu ini.

Salah satu penelitian terbaru menemukan bahwa anak-anak (umur 6 sampai 12 tahun)
menerima asam lemak omega-3/6 (Equazen) yang menghasilkan EPA 558mg, DHA 174mg,

24
dan GLA 60mg dalam rasio 9: 3: 1 selama periode 12 bulan tidak memerlukan dosis MPH
yang tinggi untuk mengelola dan mengurangi gejala ADHD mereka (0.8mg / kg / hari versus
1.0mg / kg / hari). Temuan ini menunjukkan bahwa asam lemak omega-3/6 dapat bertindak
sebagai terapi tambahan yang berguna bagi MPH, membantu meningkatkan tolerabilitas,
dosis, dan kepatuha.

Etiologi ADHD bersifat kompleks dan multifaktorial meskipun diet, nutrisi, dan
kelainan metabolisme LCPUFA dianggap memiliki peran mendasar. Tinjauan saat ini telah
menunjukkan bahwa asam lemak omega-3 dan omega-6 memiliki peran penting dalam
pengelolaan ADHD.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa tolerabilitas asam lemak omega-3


yang diberikan pada individu dengan ADHD tinggi hanya dengan efek samping ringan yang
dilaporkan seperti pendarahan hidung insidentil dan ketidaknyamanan gastrointestinal. Efek
samping yang parah belum didokumentasikan dan keluhan ringan ini dianggap kurang parah
daripada efek samping methylphenidate. Secara bersamaan, bukti klinis yang terbukti secara
klinis menunjukkan bahwa suplemen makanan yang menggunakan omega-3/6 PUFA dapat
membantu meningkatkan perawatan ADHD konvensional.

Penelitian yang dilakukan di Meksiko di National Health Institute dengan anak-anak


yang diresepkan dengan MPH dan mengkonsumsi asam lemak omega-3/6 menemukan
bahwa mereka memerlukan dosis obat yang lebih rendah dan mengalami lebih sedikit efek
samping obat-obatan. Demikian pula, ada penelitian yang menunjukkan bahwa suplementasi
omega-3/6 mengurangi keluhan kesulitan belajar pada anak-anak dengan ADHD yang tidak
bereaksi terhadap pengobatan MPH saja.

RCT lain menyimpulkan bahwa EPA adalah pilihan pengobatan pelengkap yang
aman pada anak-anak ADHD yang kekurangan omega-3, dengan cakupan untuk
mendapatkan subkelompok ADHD yang kurang responsif terhadap perawatan stimulan.

Sebuah tinjauan baru-baru ini terhadap 25 uji klinis juga menyimpulkan bahwa dua
kelompok pasien, khususnya, dapat memperoleh manfaat dari asam lemak omega-3. Yang
pertama adalah mereka dengan ADHD ringan dimana suplemen omega-3 bisa menggantikan

25
obat stimulan. Yang kedua adalah mereka dengan ADHD berat dimana suplemen omega-3
dapat mengurangi jumlah obat stimulan yang digunakan, yang pada gilirannya berpotensi
mengurangi gejala dari efek samping obat-obatan.

Dalam hal hasil studi, paling fokus pada gejala ADHD. Sementara penurunan
hiperaktif dan impulsif dilaporkan pada kebanyakan penelitian, hasil lain seperti perhatian
yang lebih baik, ketajaman visual, peningkatan pembacaan kata, dan kerja / short- memori
jangka juga diamati. Temuan ini menunjukkan bahwa suplementasi LCPUFA memiliki efek
luas, memiliki manfaat tambahan untuk belajar. Percobaan acak 2-fase 2 bulan terakhir
dengan 154 anak berusia 9 dan 10 tahun menunjukkan suplementasi asam lemak omega-3/6
memperbaiki kemampuan membaca dan memperbaiki fungsi kognitif pada anak-anak
dengan masalah perhatian.

Studi yang menggunakan dosis rendah (345mg DHA) cenderung tidak menghasilkan
temuan yang signifikan dalam hal gejala ADHD. Secara keseluruhan, tampak bahwa dosis
asam lemak dosis tinggi diperlukan untuk menghasilkan efek yang terukur.

26
BAB III

KESIMPULAN

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah adanya pola menetap dari
inatensi yang disertai hiperaktifitas dan impulsivitas, umumnya terjadi pada anak usia dini
dan usia sekolah. Prevalensi gangguan ini sebesar 2,2% untuk tipe hiperaktif-impulsif, 5,3%
untuk tipe campuran hiperaktif-impulsif dan inatensi, serta 15,3% untuk ADHD tipe inatensi.
Etiopatofisiologi ADHD dapat berpengaruh dari faktor genetic, faktor neurobiologis, faktor
lingkungan, dan faktor psikososial. ADHD merupakan gangguan yang bersifat heterogen
dengan manifestasi klinis beragam. Penanganan anak dengan ADHD dilakukan dengan
pendekatan komprehensif berdasarkan prinsip pendekatan yang multidisiplin dan
multimodal. Penanganan ADHD terdiri dari Medikamentosis, Diet, Rehabilitasi medik.
Terdapat tatalaksana terkini ADHD yaitu Terapi Vitamin-Mineral yang menunjukkan bahwa
beberapa anak dengan ADHD mendapat manfaat signifikan dari mikronutrien di berbagai
hal, terutama mengurangi inatensi, regulasi emosional dan agresi. Dan Terapi Asam Lemak
Omega-3/6 menunjukkan bahwa suplementasi omega-3/6 mengurangi keluhan kesulitan
belajar pada anak-anak dengan ADHD yang tidak bereaksi terhadap pengobatan MPH saja

27
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Catala-Lopez, F. et al., 2017. The pharmacological and non-pharmacological treatment of


attention deficit hyperactivity disorder in children and adolescents: A systematic review
with network meta-analyses of randomised trials. PLoS one, 12(7), p.e0180355.

Derbyshire, E., 2017. Do Omega-3/6 Fatty Acids Have a Therapeutic Role in Children and
Young People with ADHD? Journal of lipids, 2017.

Gomes, H., McGinley, J. & Vasserman, M., 2016. Review of Treatments for ADHD and
the Evidence Behind Them Written by members of the Pediatric Interest Professional
Affairs Committee of the New York State Association of Neuropsychology (NYSAN).

Rucklidge, J.J. et al., 2017. Vitamin-mineral treatment improves aggression and emotional
regulation in children with ADHD: a fully blinded, randomized, placebo-controlled trial.
Journal of Child Psychology and Psychiatry.

Susanto, B.D. & Sengkey, L.S., 2016. Diagnosis dan penanganan rehabilitasi medik pada
anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder. JURNAL BIOMEDIK, 8(3).

28

You might also like