You are on page 1of 41

CASE REPORT

PENANGANAN ANESTESI PADA G1P0A0 GRAVIDA ATERM DENGAN


EKLAMPSIA

Oleh:
NADYA MUTIA RISKY 1102013203
PARAMITHA FAJARCAHYANINGSIH 1102013223
PUTRI SHABRINA AMALIA 1102013235

Pembimbing:

dr. Hj. Hayati Usman, SpAn


dr. Dhadi Ginanjar, SpAn

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF ANESTESI RSUD DR. SLAMET GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis tunjukkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report dengan judul “Penanganan
anestesi pada pasien dengan G1P0A0 Gravida Aterm dengan Eklampsia”. Case report ini
disusun sebagai salah satu persyaratan kelulusan kepaniteraan bagian Anestesi di RSUD Dr.
Slamet Garut.
Berbagai kendala penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan Case Report ini, namun
demikian semuanya tidak terlepas dari adanya bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Hj. Hayati Usman Sp.An dan Dr. Dhadi Ginanjar, Sp.An selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan pengarahan dalam penulisan Case Report ini.
2. Para penata, perawat anestesi, perawat di bagian Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Slamet
Garut
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr. Slamet Garut
Semoga dengan adanya case report ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi
semua pihak. Penulis menyadari bahwa Case Report ini jauh dari sempurna untuk itu penulis
mengharapkan kritik serta saran sebagai perbaikan dalam penyusunan yang akan datang.
Akhir kata penulis mengaharapkan case report ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca,
khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan menjalani aplikasi ilmu.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Garut, Maret 2018

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Eklampsia merupakan penyebab dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas


maternal dan perinatal. Insiden preeklampsia dan eklampsia di negara berkembang di Amerika
Utara dan Eropa sama dengan di USA. Insiden preeklampsia berkisar 5-10% dan eklampsia 5-7
pada setiap kelahiran.2. Di Indonesia pre-eklampsia dan eklampsia berkisar 1,5 % sampai 25 %.
Komplikasi signifikan yang mengancam jiwa ibu akibat eklampsia adalah edema pulmonal, gagal
hati dan ginjal, DIC, sindrom HELLP dan perdarahan otak.
Eklampsia disebut dengan antepartum, intrapartum, atau pascapartum. Bergantung pada
apakah kejang muncul sebelum, selama atau sesudah persalinan. Eklampsia paling sering terjadi
pada trimester terakhir dan menjadi semakin sering menjelang aterm.
Pemilihan teknik anestesi pada pasien preeklampsia-eklampsia tergantung dari berbagai
faktor, termasuk cara persalinan (per vaginam, bedah Caesar) dan status medis dari pasien (adanya
koagulopati, gangguan pernafasan, dll). Jika persalinan dilakukan secara bedah Caesar maka
pemilihan teknik anestesia di sini termasuk epidural, spinal, combine spinal-epidural dan anestesia
umum. Spinal anestesi lebih menjadi pilihan pada bedah Caesar dibanding anestesi regional yang
lain dikarenakan efek samping yang lebih kecil.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. T
Umur : 17 Tahun
Alamat : Cisurupan
No. RM : 010893xx
Tanggal Masuk RS : Jumat, 16 Maret 2018
Tanggal Operasi : Jumat, 16 Maret 2018
Tanggal Pulang : Senin, 19 Maret 2018
Kamar : Kalimaya
Bagian : Obgyn
Diagnosa Pre Op : G1P0A0 Gravida Aterm d/ Eklamsia
Jenis Pembedahan : Sectio Caesaria + IUD
Diagnosa Post Op : P1A0 Partus Maturus Post SC a.i Eklamsia + IUD
Dokter Anestesi : Dr. Dhadi Ginanjar ,Sp.An
Perawat Anestesi : Fitri
Dokter Bedah : Dr. Dhanny Sp.OG

B. ANAMNESIS
Autoanamnesis

1. Keluhan Utama
G1P0A0 merasa hamil 9 bulan, datang ke ruang operasi dengan penurunan

kesadaran setelah kejang kurang lebih 1 jam sebelum masuk ruang operasi.

2.Riwayat Penyakit Sekarang


G1P0A0 merasa hamil 9 bulan, datang ke ruang operasi dengan penurunan

kesadaran setelah kejang kurang lebih 1 jam sebelum masuk ruang operasi. Menurut

keluarga pasien, sebelumnya pasien kejang 1 kali ketika di PONEK selama kurang
lebih 5 menit dan pasien tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya. Keluarga pasien

mengaku, pasien dirujuk bidan karena pasien memiliki tekanan darah 160/90 disertai

nyeri kepala dan muntah. Keluhan mules-mules yang masih jarang dan kurang kuat

sejak 1 hari SMRS. Keluar air-air disangkal. Keluar lendir campur darah disangkal.

Keluarga pasien mengaku pasien jarang kontrol kehamilannya ke bidan atau dokter

karena jarak rumah pasien yang jauh.

Keluarga pasien mengaku pasien terakhir makan kurang lebih 1 jam sebelum

masuk ruang operasi.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat sakit hipertensi, asma, belum pernah menjalani
operasi sebelumnya, tidak memiliki riwayat trauma, diabetes melitus, jantung (-), dan
penyakit kronik lain. Pasien juga tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan
maupun makanan. Memakai gigi palsu dan terdapat gigi yang goyang disangkal

3. Riwayat Kebiasaan
Pasien biasa makan tidak teratur, 2-3 x/hari. Pasien tidak pemilih dan tidak
mempunyai kebiasaan makan tertentu terhadap makanan manis, asin, atapun
berlemak. Kebiasaan merokok, meminum minuman keras, dan menggunakan obat-
obatan terlarang disangkal pasien.

4. Riwayat Keluarga
Pada keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat sakit asma, hipertensi,
jantung, diabetes melitus, maupun riwayat alergi obat-obatan maupun makanan.

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama suami dan anak-anaknya.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis:
Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : Somnolen E2 M4 VX
 Airway : Tidak Terintubasi

Tanda-tanda vital:
 Tekanan Darah: 161/100
 Nadi : 123x/menit
 RR : 22 x/menit
 SpO2 : 92 % (Terpasang nasal canul O2 2L/mnt)
 BB : 70 kg
 TB : Tidak diperiksa
 Golongan Darah :A
 Kepala: normosefal, wajah tampak simetris.
 Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
 Telinga: ADS tampak simetris dan berbentuk anatomis normal, retroaurikula
DS tidak tampak kelainan.
 Hidung: deviasi septum (-), discharge (-).
 Mulut: mukosa bibir tampak kering, gigi geligi tampak lengkap, lidah tak
tampak kelainan.
 Leher: pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), perabaan massa (-), pembesaran
tiroid (-), arteri karotis teraba di kedua sisi.
 Toraks:
 Pulmo:
Inspeksi: hemitoraks kanan dan kiri tampak simetris dalam statis dan dinamis, lesi (-),
retraksi (-).
Palpasi: fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri.
Perkusi: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: suara nafas vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
 Cor:
Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
Palpasi: ictus cordis teraba pada ICS III linea midklavikularis sinistra
Perkusi: Batas kanan jantung: ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas atas jantung: ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kiri jantung: ICS V linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen :
Inspeksi : Cembung, sikatriks (-), caput medusae (-), sagging of flank(-),smiling
umbilicus (-), spider navy (-), striae (-), venektasi (-).
Auskultasi : BU (+) 6 x/menit di 4 kuadran
Perkusi : Dull pada seluruh kuadran abdomen, shifting dullnes (-).
Palpasi : Nyeri tekan (-). Nyeri ketok CVA (-), defans muskular (-), hepatomegali
(-), splenomegali (-), undulasi (-).
 Ekstremitas: akral hangat, edema tungkai (-/-).
 STATUS FISIK : ASA III E

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 HEMATOLOGI 16 MARET 2018


PT-INR
Masa Protrombin (PT) 14.0 detik 9.8-13.8
INR 0.91 % 0.83-1.16
APTT 29.8 detik 16.5-36.5
Darah Rutin
Hemoglobin 11,1 g/dl 12-16g/dl
Hematokrit 34 % 33-47 %
Leukosit 21.860/mm3 3.800-10.600mm3
Trombosit 467.000/mm3 130.000-440.000/mm3
Eritrosit 4.14
 IMUNOSEROLOGI
HIV NON REAKTIF
HBsAg NON REAKTIF
 KIMIA KLINIK
AST (SGOT) 28 U/L
ALT (SGPT) 11 U/L
Ureum 14 mg/dL
Kreatinin 0.7 mg/Dl
 ELEKTROLYTE
Natrium (Na) 131 mEq/L
Kalium (K) 4.4 mEq/L
Klorida (Cl) 110 mEq/L
Kalsium (Ca Bebas) 3.78 mEq/L
 URINE RUTIN
Kimia Urine
Berat Jenis Urine 1.025
Blood Urine POS (++)
Leukosit Esterase Negatif
Ph Urine 60.0
Nitrat Urine Negatif
Protein Urine POS (+++)
Glukosa Urine Negatif
Keton Urine Negatif
Urobilinogen Urine NORMAL
Bilirubin Urine Negatif
E. DIAGNOSA
G1P0A0 Gravida Aterm d/ Eklamsia

F. PENATALAKSANAAN
 R/ Sectio Caesaria CITO
 Cek hematologi darah lengkap
 4 g MgSO4 40% dalam 100 cc NaCL : habis dalam 30 menit (73 tpm)
 Co/Anastesi
BAB III
STATUS ANESTESI
A. PRE-OPERATIF
1. Informed consent: memberikan penjelasan kepada keluarga pasien mengenai rencana,
resiko, komplikasi, durasi, dan waktu pemulihan pasien.
2. Anamnesis (alloanamnesis):
Riwayat asma/alergi : disangkal
Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat minum kopi : disangkal
Makan terakhir : 16 Maret 2018, Pukul 10.30 WIB
Minum Terakhir : 16 Maret 2018, Pukul 10.30 WIB
3. Pemeriksaan fisik:
a. Keadaan umum: tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Somnolen E2 M4 VX
c. Kesan gizi: Cukup
d. Tanda-tanda vital:
Tekanan darah : 160/100 mmHg Suhu : 36.7OC
Nadi : 123x/menit Frekuensi nafas : 28 x/menit
e. Airway:
 Hidung: sekret -/-, deviasi septum (-)
 Mulut:
o Mallampati : 1
o Gigi patah (-), gigi goyah (-), gigi tanggal (-), gigi palsu (-).
f. Breathing:
 Pulmo: suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
 Pola pengembangan dada tampak simetris hemitoraks kanan dan kiri dalam
keadaan dinamis dan statis.

g. Circulation:
 Cor: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Perifer: akral hangat, capillary refill <2 detik (lambat), edema tungkai +/+
h. Sistem hepatobilier: jaundice (-), hepar dan lien tidak dapat diperiksa.
i. Sistem genitourinaria: dalam batas normal.
j. Sistem muskuloskeletal: dalam batas normal.
k. Klasifikasi ASA: III E
l. Premedikasi:
 Ondansentron 4mg
 RL 500 mL

B. PERI-OPERATIF
Status Medis Saat Masuk Kamar Operasi
Kesadaran : Somnolen
GCS : 7X (E2 M4 VX)
Airway : Tidak terintubasi
Tekanan Darah : 161/100 mmHg Nadi : 123 x/menit regular/adekuat
Respirasi : O2 2L/menit RR : 22 x/menit
SpO2 : 92 %
BB : 70 kg TB : Tidak ditanyakan
Gol. Darah : A+
Laboratorium (terlampir)

Pemeriksaan Lain :-
Penyakit Penyerta :
Sistem saraf : (-)
Sistem respirasi : (-)
Sistem kardiovaskuler : Hipertensi dalam kehamilan
Sistem gastrointestinal : (-)
Sistem urinarius : (-)
Sistem muskuloskletal : (-)
Sistem metabolik : (-)
Lain-lain : (-)
Terapi Medikamentosa : (-)

Premedikasi : IV
Jam : 11.30 WIB
Obat : Ondansetrone 4 mg
Hasil : Memuaskan

Jenis Anestesi
Umum
Monitoring
Jam T N R S
11.45 160/100 80 20 AF
12.00 160/100 80 20 AF
12.15 150/95 118 20 AF
12.30 170/120 125 20 AF

Medikasi
1. Analgetik (Fentanyl 150 mcg dan Ketorolac 30 mg)
2. Hipnotik (Propofol 100 mg)
3. Muscle Relaxan (Atracurium 20 mg)
4. Antiemetic ( Ondansentron 4mg)
5. Kortikosteroid, anti-inflamasi ( dexametason 10 mg)
6. Antagonis non-depolarizing (Neostigmin 1 mg)
7. Anti-kolinergik( Sulfas Atropine 0.5 mg)
8. Diuretik (Furosemid 10 mg)
9. Oxytocin 5 U
Pemberian cairan
1. RL 500 mL
Masalah durante operasi :-
Tindakan :-
KEADAAN SELAMA OPERASI
Letak Penderita : Supine
Airway : Single lumen ETT
Ukuran : 7,0 Balon
Lama anestesi : 3-4 jam
Lama operasi : 1 jam

CAIRAN
Total asupan cairan :
1. Kristaloid : 500 mL

Total keluaran darah :


1. Pendarahan (EBL) : 250 mL
2. Diuresis : 100 mL
3. Cairan lain :-

C. POST OPERATIF
Pasien masuk ke ruang ICU dalam keadaan:
Kesadaran : Somnolen
GCS : 6X, E2M4VX
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 101 x/menit Reguler / Adekuat
Respirasi : Terpasang nasal canul 3L/mnt
RR : 20 x/menit, Kanul Nasal
Komplikasi : (-)
Pasien di observasi selama 30 menit kemudian pindah ruangan. Selama observasi tidak
ditemukan mual dan muntah.

Aldrette score:
 Aktivitas = 2
 Pernafasan = 2
 Sirkulasi = 1
 Kesadaran = 1
 Saturasi =1
TOTAL =7

D. INSTRUKSI PASCA BEDAH


 O2 2 L selama 4 jam post-operasi
 Observasi tanda-tanda vital dan perdarahan 1 jam pertama setiap 15 menit, dan 1
jam kedua dan seterusnya setiap 30 menit.
 Pasien dipuasakan hingga bising usus (+)
 Analgetik Fentanyl 100 mcg dalam RL 500 mL, 15 gtt/ menit
 Pasien pindah ke ruangan bila Aldrete’s Score >9
 Durogesik patch dilepas tanggal 19 Maret 2018
 Observasi urin output dalam 24 jam pertama.
 Cefotaxime 2 x 1gr IV
 Metronidazole 2 x 500 gr Inf
 Kaltrofen Supp 2 x 100 mg
 Cek hematologi darah rutin Post-Operasi
 Transfusi jika Hb < 10 mg/dL
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

IV.1. PRE-EKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA


I. DEFINISI
Preeklampsia dan eklampsia merupakan penyakit sistemik. Preeklampsia ditandai dengan
adanya hipertensi yang disertai proteinuria, terjadi pada kehamilan setelah minggu ke 20 dari
kehamilan (terjadi lebih awal jika ada penyakit trophoblast) dan dapat juga terjadi segera setelah
kelahiran.
Hipertensi selama kehamilan menurut American College of Obstetrician and Gynecologist
adalah berdasarkan :
a) Kenaikan tekanan sistolik 30 mm Hg
b) Kenaikan tekanan diastolik 15 mm Hg
c) Kenaikan Mean Arterial Pressure 20 mm Hg dari nilai baseline sebelumnya.
Namun jika tidak didapatkan data baseline tersebut, maka pada 2 kali pengukuran dengan
interval 6 jam, diagnosis hipertensi selama kehamilan dapat ditegakkan dengan kriteria sebagai
berikut :
a) Tekanan sistolik 140 mm Hg atau lebih
b) Tekanan diastolik 90 mm Hg atau lebih
c) Mean Arterial Pressure 105 mm Hg atau lebih

- Klasifikasi hipertensi selama kehamilan:


I. Pregnancy-induced hypertension
A. Preeclampsia
1. Mild
2. Severe
B. Eclampsia
II. Chronic hypertension preceding pregnancy
III. Chronic hypertension with superimposed pregnancy-induced hypertension
IV. Gestational hypertension
Preeklampsia dibagi menjadi ringan dan berat. Preeklampsia disebut berat jika ditandai
dengan adanya satu atau lebih hal-hal berikut:1,2,3
1. tekanan darah sistolik 160 mmHg atau lebih
2. tekanan darah diastolic 110 mmHg atau lebih
3. proteinuria 5 g atau lebih dalam urine 24 jam atau 3+, 4+
4. produksi urin 24 jam kurang dari 500 ml
5. gangguan serebral atau penglihatan
6. edema pulmonal atau sianosis
7. nyeri epigastrik
8. gangguan fungsi hati
9. trombositopenia
10. DIC
11. HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Platelets) syndrome
Gejala-gejala di atas berkaitan dengan morbiditas ibu dan anak.

II. ETIOLOGI 3,4,13

Sampai saat ini penyebab eklampsia belum diketahui secara pasti dan belum dapat
menjawab semua pertanyaan memuaskan. Zweifel menyebutkan bahwa preeklampsia adalah ”the
disease of theories”.
Saat ini ada 4 hipotesis utama yang paling banyak diteliti :
1). Iskemik Plasenta
Menurut kelompok Oxford, PE merupakan penyakit plasenta yang terdiri atas 2 tahap. Pada
tahap pertama iskemik mempengaruhi arteri spiralis sehingga terjadi defisiensi aliran darah utero
plasenta. Tahap kedua adalah merupakan kelanjutan iskemik plasenta baik pada ibu maupun janin.
2). VLDL versus aktivitas anti toksin
Pada PE, asam lemak bebas sudah meningkat 15-20 minggu sebelum onset penyakit. Di
antara asam lemak bebas ini, asam oleat, asam linoleat dan asam palmitat meningkat sebesar
berturut-turut 37%, 25% dan 25%. Inkubasi asam linoelat menurunkan kadar monofosfat guanosin
siklik pada endotel sampai 70% sehingga kemampuannya untuk menginhibisi agregasi platelet
sebesar 40%. Plasma albumin merupakan zat isoelektrik dengan kadar isoelektrik ISO (isoelectric
point) pH 4,8 – 5,6. Semakin banyak asam lemak bebas terikat ke albumin maka pH 5,6 akan
menurun menjadi 4,8 yang akan mengakibatkan toksisitas VLDL tidak tercegah dan terjadi PE.
3). Maladaptasi Imun
Pada manusia, transplantasi organ akan ditolak bila terdapat perbedaan HLA donor
resipien. Pada kehamilan normal tampak bahwa sel-sel trofoblas yang berhubungan dengan darah
ibu tidak mengandung MHC kelas I dan kelas II alloantigen, sedang yang berhubungan dengan
darah ibu mengandung adalah MHC kelas I positif. Sel-sel desidua banyak mengandung CD45
yang berasal dari sumsum tulang. Pada endometrium fase sekresi lanjut akan ditemukan CD56
yang tidak umum dijumpai, suatu marker leukosit granul besar pada pembuluh darah perifer yang
bersifat dominan. Leukosit ini sangat mirip dengan ”natural killer – NK” (penghancur alamiah)
sel-sel walaupun tidak sekuat sel-sel NK pada pembuluh darah perifer.
4). Genetic Imprinting

Cooper dan Liston meneliti bahwa penyakit PE dan E diwariskan melalui suatu gen
tunggal. Hipotesa ini baru hanya sampai pada lambat berkembang mungkin disebabkan besarnya
dana yang dibutuhkan serta teknologi dan peralatan yang sangat kompleks dan mahal yang
dibutuhkan untuk membuktikan hipotesa ini. Namun menarik untuk diperhatikan bahwa salah satu
predisposisi PE dan E yang kita kenal bukanlah lagi primigravida tetapi ”primi paternal”.
Walaupun seorang ibu multigravida, tetapi bila ia hamil dengan suami yang baru maka ia
mempunyai kemungkinan yang sama besarnya untuk menderita PE/E dibanding dengan
primigravida. Demikian juga kehamilan secara inseminasi buatan atau bayi tabung dengan
menggunakan sperma donor.

III. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi preeklampsia-eklampsia melibatkan hampir semua sistem organ tubuh.
Pendapat dahulu mengatakan patofisiologi primer adalah vasokonstriksi dengan segala akibatnya,
meskipun ternyata vasokontriksi memang memainkan peranan besar. Bahkan bertentangan dengan
yang diyakini sebelumnya ternyata preeklampsia berhubungan dengan keadaan kardiovaskular
yang hiperdinamik.
Kehamilan dan persalinan menyebabkan perubahan fisiologik pada sistem kardiovaskular
maternal. Proses vasokonstriksi tersebut melibatkan semua organ mayor termasuk uterus dan
plasenta. Vasokonstriksi umum ini kemudian akan menurunkan perfusi ke seluruh tubuh sehingga
menyebabkan disfungsi organ.
 Volume darah
Pada kehamilan normal, volume darah meningkat sekitar 35%, volume plasma meningkat 45%
dan volume sel darah merah 20%. Hal sebaliknya terjadi pada preeklampsia, di mana volume
plasma turun sekitar 9% lebih rendah dibandingkan wanita hamil dengan tekanan darah normal.
Volume plasma pada preeklampsia berat 30-40% lebih rendah daripada kehamilan normal pada
usia kehamilan yang sama. Jika pada pertengahan masa kehamilan (20 – 24 minggu), volume
plasma tetap rendah, maka dapat dikatakan akan terjadi gangguan pertumbuhan janin, janin yang
kecil untuk masa kehamilan. Selain penurunan volume plasma, volume ekstravaskular dan
interstitial juga meningkat. Penurunan volume plasma juga akan menyebabkan hemokonsentrasi
dan peningkatan viskositas darah. Perubahan tersebut akan makin menyebabkan area yang infark
pada plasenta bertambah. Maternal hematokrit dan hemoglobin berhubungan langsung dengan
kekerapan infark pada plasenta.
 Sistem pernafasan
Kenaikan retensi Na dan air yang disertai penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat
proteinuria dan kebocoran dari kapiler mengakibatkan transudasi air ke ruang interstitial.
Penurunan PaO2 menunjukkan adanya edema pulmonal. Pasien menjadi lebih beresiko terhadap
terjadinya edema pulmonal karena pemberian cairan intravena. Edema tampak pada daerah muka,
ekstremitas dan pre lumbosakral. Edema jalan nafas atas dan laring yang terjadi pada kehamilan
menjadi lebih berat pada preeklampsia dan eklampsia. Perubahan bentuk dari epiglotis akan
menyulitkan intubasi dan pembebasan jalan nafas. Penyempitan diameter laring dapat mencapai
5,5 mm ID sehingga menyebabkan kesulitan pada saat intubasi. Angka kejadian
edema paru 2,9% dari pasien preeklampsia/ eklampsia dan 70% terjadi pada 72 jam pasca
persalinan4. Penyebab edema paru adalah turunnya tekanan koloid osmotic disertai kenaikan
tekanan hidrostatik intravaskuler dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Tekanan koloid
osmotik berfungsi mencegah cairan keluar dari kapiler dan PCWP (pullmonary capillary wedge
pressure) adalah tekanan hidrostatik yang bekerja sebaliknya.
Penyebab kenaikan tekanan hidrostatik dari kapiler paru adalah akibat kegagalan ventrikel kiri,
pemberian cairan dan kembalinya cairan ekstravaskuler ke dalam intravaskuler pada pasca
persalinan. Kenaikan PCWP pasca persalinan akan menyebabkan mobilisasi cairan ekstravaskuler
ke dalam intravaskuler dan pemberian cairan tanpa monitoring yang ketat akan meningkatkan
resiko terjadinya edema paru.5
 Sistem Kardiovaskuler
Hipertensi preeklampsia/eklampsia disebabkan adanya vasospasme yang hebat, vasokonstriksi
arterial sistemik dan disertai volume plasma yang menurun, Systemic Vascular Resistance
meningkat, PCWP normal atau menurun dan Central Venous Pressure yang menurun. Pada
preeklampsia/eklampsia tidak terjadi protective hypervolemia seperti pada kehamilan normal yang
rata-rata mencapai 50%, tetapi justru terjadi penurunan volume. Secara klinis penurunan volume
plasma ini tampak pada preeklampsia berat. Meskipun terjadi hipovolemia ternyata pasien tidak
mampu menampung tambahan volume untuk mendapatkan cardiac output yang normal. Akibatnya
dapat mengakibatkan terjadi edema paru.
 Sistem Susunan Saraf Pusat
Pemeriksaan CT scan tidak selalu dilakukan. Dari gambaran CT scan pada eklampsia
didapatkan 45% adanya edema serebri dan dari jumlah tersebut 95% terdapat kelainan EEG.
Edema serebri merupakan 20% penyebab kematian dari preeklampsia. Perdarahan otak merupakan
60% dari penyebab kematian pasien preeklampsia/eklampsia. MAP (mean arterial pressure)
mencapai 140mmHg merupakan penyebab terjadinya perdarahan otak. Nyeri kepala terjadi pada
40% dari pasien dengan preeklampsia dan 80% dari pasien tersebut akan menjadi eklampsia. Nyeri
kepala dapat disertai dengan mual, gelisah, ketakutan dan gangguan penglihatan.6
 Ginjal
Pasien preeklakmpsia/ eklampsia terjadi iskemia utero plasenta yang menyebabkan
pengeluaran renin like substance yang akan meningkatkan produksi angiotensin dan aldosteron.
Keadaan tersebut menyebabkan penurunan perfusi ke ginjal dan GFR (glomerular filtration rate)
ringan sampai sedang yang ditandai dengan meningkatnya kadar serum kreatinin.
 Sistem koagulasi
Pemanjangan bleeding time, gangguan pembekuan, dapat terjadi karena terjadi penurunan
jumlah trombosit menjadi 100.000. Pengukuran bleeding time dan jumlah trombosit diperlukan
pada tindakan anestesi regional. Pada pasien dengan trombosit kurang dari 100.000, ada korelasi
0,45% terjadinya hematoma epidural. Pemanjangan dari bleeding time ditemukan pada 10-25%
pasien pre-eklampsia dan 11-50% ditemukan trombositopenia (< 150.000).
IV. TERAPI PREEKLAMPSIA-EKLAMPSIA
Tujuan utama terapi adalah
• Mencegah timbulnya kejang
• Mengontrol dan menstabilkan tekanan darah
• Optimalisasi volume intravascular
Terapi definitive untuk preeklampsia-eklampsia adalah mengeluarkan janin dan plasenta.
Sampai hal tersebut dapat dilakukan yang harus diperhatikan adalah mengendalikan perjalanan
penyakit. Kehamilan dapat diteruskan selama kondisi intrauterine masih adekuat untuk
mempertahankan pertumbuhan dan maturasi dari janin tanpa membahayakan ibu.Terapi yang
dilakukan bersifat simptomatik. Pada preeklampsia berat, eklampsia dan HELLP syndrome,
persalinan harus dilakukan segera tanpa memperhatikan berat dan maturitas janin. Memperpanjang
masa gestasi pada kehamilan seperti itu sering sangat berbahaya dengan angka mortalitas janin
yang tinggi dan timbulnya berbagai komplikasi maternal. Selama janin dapat mentoleransi
kontraksi uterus, induksi dan persalinan pervaginam dapat dilakukan dan bukan merupakan
kontraindikasi pada preeklampsia. Namun jika terjadi perburukan pada janin atau ibu, maka
diperlukan tindakan bedah Caesar.
Terapi dilakukan untuk meminimalkan vasospasme, memperbaiki sirkulasi, terutama
uterus, plasenta dan ginjal, memperbaiki volume intravascular, mengkoreksi gangguan
keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Jika preeclampsia dapat dideteksi secara dini dan diterapi
dengan tepat, perubahan patofisiologis yang terjadi dapat diminimalkan dan kehamilan dapat
diteruskan sampai aterm. Meskipun preeklampsia berhubungan dengan retensi air dan garam,
beberapa klinisi masih melakukan restriksi cairan dan garam karena berpendapat hal tersebut
berhubungan dengan edema pulmonal dan edema serebral. Namun opini yang dominan adalah
pemberian cairan yang adekuat, volume intravascular yang cukup dengan cairan garam fisiologis
berguna untuk menurunkan tekanan darah ibu dan memperbaiki aliran darah plasenta dan janin.
Pada masa lalu, yang direkomendasikan adalah restriksi berat natrium, hal yang ternyata
dapat menuju kekurangan natrium dan kemungkinan peningkatan produksi renin, angiotensin dan
aldosteron. Cairan intravena yang diberikan harus mengandung natrium untuk mencegah water
intoxication dan kejang.
 Terapi magnesium
Di Amerika Utara dan di banyak negara dunia ketiga pemberian magnesium secara parenteral
dianggap sebagai terapi baris pertama untuk mengontrol preeklampsia-eklampsia. Magnesium
adalah anti konvulsan yang efektif, bersifat tokolitik dan vasodilator sistemik ringan. Mekanisme
anti konvulsan magnesium adalah kemampuannya untuk mendepresi sistem saraf pusat. Meskipun
berbagai jenis anti konvulsan lain seperti barbiturat, diazepam dan phenytoin telah pernah
digunakan, namun tidak ada yang terbukti lebih baik dari magnesium baik efektifitasnya maupun
efek sampingnya. Efek tokolitik dari magnesium menjadikannya berguna pada preeklampsia, di
mana kadang kala uterus menjadi hiperaktif. Magnesium menyebabkan vasodilatasi ringan dengan
mendepresi kontraksi otot polos dan menekan pelepasan katekolamin
Berbagai mekanisme kerja Magnesium Sulfat pada Preeklampsia-eklampsia :
1. Antikonvulsan
2. Vasodilatasi :
a) Meningkatkan aliran darah uterus
b) Meningkatkan aliran darah ginjal
c) Antihipertensi
3. Meningkatkan pelepasan prostacyclin oleh sel endotelial
4. Menurunkan aktivitas renin plasma
5. Menurunkan angiotensin-converting enzymes
6. Meningkatkan respons vaskular terhadap substansi yang bersifat pressor
7. Mengurangi agregasi trombosit
8. Bronkodilatasi
9. Tokolisis: memperbaiki aliran darah uterus dan mengantagonis hiperaktivitas uterus
Kadar terapeutik magnesium dalam darah maternal adalah berkisar antara 4–6 mEq/liter,
dengan toksisitas terjadi pada kadar plasma mencapai 10 mEq/liter.7 Namun ada juga yang
mengemukakan kadar terapeutik magnesium berkisar 5-7 mg/dL, dengan toksisitas terjadi jika
mencapai kadar 119 mg/dL1. Over dosis terjadi biasanya setelah pemberian bolus berulang atau
melalui infus pada kasus-kasus dengan penurunan fungsi ginjal. Gejala over dosis adalah
kelemahan maternal, insufisiensi pernafasan dan bahkan gagal jantung. Semua komplikasi tersebut
tidak terjadi begitu saja tapi didahului adanya penurunan reflex tendon, sehingga dengan demikian
pemberian magnesium harus dikurangi atau dihentikan bila adanya penurunan refleks tendon.
Terapi dari gejala-gejala over dosis biasanya berupa topangan kardiorespirasi dan pemberian
calcium chlorida.Terapi hipertensi bila dengan pemberian magnesium atau antikonvulsan lain dan
tirah baring, tekanan darah maternal tetap tidak lebih rendah dari sistolik 160 mm Hg dan diastolik
110 mm Hg, maka diperlukan antihipertensi lain. Antihipertensi meskipun berguna untuk maternal
tapi sepertinya tidak memperbaiki keadaan janin. Sampai saat ini antihipertensi yang paling
banyak digunakan adalah hydralazine, yang mekanisme kerja primernya adalah menurunkan
resistensi pre capillary arteriolar.Penggunaan hydralazine dapat meningkatkan cardiac output dan
menyebabkan takikardia yang dapat mengganggu efek antihipertensinya. Hydralazine juga
meningkatkan aliran darah ginjal.7 Meskipun masih dipergunakan secara luas, penggunaan
hydralazine mulai digantikan oleh antihipertensi lain, metyldopa. Metyldopa telah banyak
digunakan sebagai terapi hipertensi pada preeklampsiaeklampsi terutama di daratan Eropa.
Penggunaannya terutama pada kronik hipertensi yang pada awalnya telah terkontrol dengan
hydralazine atau untuk kontrol tekanan darah jangka panjang pada masa post partum. Efek
samping terhadap janin minimal. Clonidine dan prazosin,juga sudah dipergunakan α1 dengan hasil
baik pada preeklampsia. Penggunaan β-bloker pada preeklampsia dan pada wanita hamil dengan
hipertensi juga lebih umum dilakukan. Pada mulanya dikhawatirkan bahwa propanolol
berhubungan dengan peningkatan aktivitas uterus, penurunan aliran darah uterus dan plasenta,
penurunan laju nadi janin, penurunan toleransi janin terhadap hipoksia dan mempengaruhi kondisi
janin setelah lahir. Meskipun penelitian terhadap penggunaan β bloker masih jarang, namun
dikatakan bahwa secara klinis penggunaannya aman terhadap ibu hamil dan janinnya. Beberapa
penulis tidak menganjurkan pemberian derivate thiazide karena dapat menyebabkan diuresis pada
keadaan volume darah yang sudah berkurang, selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan
keseimbangan elektrolit, peningkatan viskositas darah, intoleransi glukosa baik pada janin atau
ibu. Thiazide juga meningkatkan kadar asam urat dalam darah yang memang sudah meningkat.
Diuretik jarang diindikasikan untuk terapi hipertensi pada kehamilan, kecuali sebagai terapi edema
pulmonal yang disebabkan gagal jantung kongestif atau faktor lain. Bila memberikan
antihipertensi pada preeklampsia-eklampsia, laju nadi janin harus dimonitor secara ketat.
Penurunan yang tiba-tiba dari tekanan darah maternal akan mengakibatkan gawat janin.
IV.2. PEMILIHAN TEKNIK ANESTESI
Pemilihan teknik anestesi pada pasien preeklampsia tergantung dari berbagai faktor,
termasuk cara persalinan (per vaginam, bedah Caesar) dan status medis dari pasien (adanya
koagulopati, gangguan pernafasan, dll). Jika persalinan dilakukan secara bedah Caesar maka
pemilihan teknik anestesia di sini termasuk epidural,spinal, combine spinal-epidural dan anestesia
umum. Meskipun kemungkinan terjadinya hipotensi yang berat pada pasien preeklampsia yang
menjalani anesthesia regional (terutama spinal anestesia), banyak data yang mendukung pemilihan
anestesia regional baik pada bedah Caesar yang berencana ataupun darurat.3,4 Anestesia umum pada
bedah Caesar pada preeklampsia berat dikatakan berhubungan dengan peningkatan yang bermakna
pada tekanan arteri sistemik dan pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan epidural
anestesia. Pada anestesia umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan intubasi
endotrakeal yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring.3 Apapun teknik anestesia
yang dipilih, harus diingat bahwa meskipun persalinan adalah terapi untuk preeklampsia, pada
periode post partum perubahan kardiovaskular, cardiac output dan status cairan, harus tetap
dimonitor.3
A. PENANGANAN PRA ANESTESIA
Dengan banyaknya organ yang mengalami perubahan patologis, evaluasi pre anestesi
dilakukan lebih dini karena tindakan pembedahan Caesar pada preeklampsia/eklampsia dapat
dilakukan secara semi elektif atau darurat. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk menentukan pilihan cara anestesinya. Pemeriksaan laboratorium meliputi platelet,
fibrinogen, PT/APTT, ureum, creatinin, fungsi liver dan konsentrasi Mg, dilakukan setiap 6-8 jam
sampai dengan pasca bedah dini. Monitoring dilakukan terhadap fetus dan fungsi vital ibu, yaitu
tekanan darah, cairan masuk dan keluar, refleks tendon, pelebaran serviks, dan frekuensi kontraksi
uterus. Tekanan darah dan pulsasi nadi diukur setiap 15 menit selama minimum 4 jam sampai
stabil dan seterusnya setiap 30 menit. Dilakukan pemasangan kateter urin dan urin output diukur
setiap jam disesuaikan dengan pemberian cairan. Monitoring preeklampsia/eklampsia dapat
mendeteksi dini kelainan irama jantung yang diduga penyebab edema paru yang mengakibatkan
kematian mendadak. Pada eklampsia penanganan pertama ditujukan pada jalan nafas, pemberian
oksigen, left uterine displacement dan penekanan cricotiroid.Intubasi dilakukan bila jalan nafas
tidak dapat dipertahankan bebas, terjadi kejang yang lama atau regurgitasi. Setelah tindakan
pertama dilanjutkan dengan penanganan terhadap kejang dan menurunkan tekanan darah. Kejang
dapat diatasi dengan thiopental atau diazepam. Pilihan obat anti kejang adalah obat yang tidak
mengganggu neurologis. Pada preeclampsia kejang dapat dicegah dengan pemberian magnesium
sulfat. Stabilisasi, monitoring fungsi vital, dan evaluasi gejala neurologis yang teratur dapat
mengurangi penyulit yang mungkin terjadi pada ibu akibat persalinan dan anestesia.
 Terapi cairan
Pasien dengan preeklampsia murni cenderung untuk mempertahankan tekanan darahnya
meskipun adanya blokade regional. Jika hal ini terjadi maka loading cairan tidak mutlak dilakukan
dan dapat menimbulkan gangguan keseimbangan cairan. Dengan demikian, loading cairan pada
preeklampsia seharusnya tidak dilakukan sebagai profilaksis atau secara rutin, namun harus selalu
dipertimbangkan dan dilakukan secara terkontrol. Hipotensi jika terjadi dapat dikontrol dengan
pemberian efedrin. Pada pasien preeklampsia kebutuhan cairan pada bedah Caesar harus
dipertimbangkan dengan hati-hati dan pemberian cairan lebih dari 500 ml, kecuali untuk
menggantikan kehilangan darah, semestinya dilakukan dengan hati-hati..

B. TATALAKSANA ANESTESI
Penanganan preeklampsia berat dan eklamsia dalam bidang obstetri sama, kecuali pelaksanaan
tindakan terminasi dari kehamilan. Pada preeklampsia berat persalinan harus dilakukan dalam 24
jam, sedangkan pada eklampsia persalinan harus terjadi dalam waktu 12 jam setelah timbul gejala
eklampsia. Jika ada gawat janin atau dalam 12 jam tidak terjadi persalinan dan janin masih ada
tanda-tanda kehidupan harus dilakukan bedah Caesar. Masalah koagulopati merupakan hal yang
perlu dipertimbangkan sebelum tindakan operasi pada pasien preeklampsia/ eklampsia. Bedah
Caesar pada eklampsia merupakan tindakan darurat, anestesi umum merupakan pilihan pertama
kecuali bila pasien sudah terpasang kateter epidural.Waktu persiapan untuk tindakan anestesi
sangat pendek. Persiapan yang dilakukan untuk anestesi umum dan regional tidak jauh berbeda
pada pasien dengan kehamilan. Pencegahan aspirasi dengan mengosongkan lambung, neutralisasi
asam lambung dan mengurangi produksi asam lambung dilakukan sebelum tindakan anestesi
dilakukan. Persiapan dimulai dari pemeriksaan jalan nafas, ada tidaknya distress pernafasan,
tekanan darah, kesadaran pasien dan pemeriksaan darah. Edema dari jalan nafas yang mungkin
terjadi pada pasien tersebut menyebabkan kesulitan untuk intubasi. Intubasi sadar dapat dilakukan
pada edema jalan nafas dan distress yang mungkin disebabkan aspirasi pada saat kejang. Jalan
nafas orotrakeal yang disediakan lebih kecil dari ukuran wanita dewasa. Dengan pemberian
anestesi topical yang baik, intubasi sadar dapat dilakukan dengan baik. Dilakukan pemberian
anestesi topical dengan lidokain spray. Tekanan darah pasien preeklampsia/ eklampsia diturunkan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi penurunan pada aliran darah ke plasenta dan otak. Penyulit
saat intubasi yang paling berbahaya adalah meningkatnya tekanan darah yang berakibat terjadinya
edema paru dan perdarahan otak. Pemberian obat anti hipertensi sangat diperlukan sebelum
dilakukan anestesi umum. Pada anestesi umum, pemberian lidokain 1,5 mg/kg BB secara intravena
dapat mengendalikan respons hemodinamik saat intubasi. Efek farmakologi enflurane yang
dianggap merugikan ginjal dan menurunkan nilai ambang terhadap kejang dan pengaruh halotan
terhadap hepar, menjadikan isoflurane sebagai pilihan pertama obat anesthesi inhalasi. Pemakaian
magnesium sulfat sebagai anti konvulsan dapat terjadi potensiasi dengan obat pelumpuh otot
golongan non depolarisasi, sehingga pemberian suksinil kolin harus dikurangi. Lambung
dikosongkan secara aktif terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi dan
diberikan antasida.
Setelah dilakukan pemasangan infus dan disiapkan peralatan intubasi dengan ukuran jalan
nafas orotrakeal yang lebih kecil dari ukuran wanita normal, pasien ditidurkan left tilt position
dan dilakukan preoksigenasi dengan O2 100%. Saat intubasi posisi head up 45 derajat dan
dilakukan maneuver Sellick. Induksi dapat dilakukan dengan lidokain 1,5 mg/kg BB, thiopental 4
mg/kg BB, suksinil kolin 1 mg/kg BB yang kemudian dilanjutkan dengan N2O/O2 50% dan
isoflurane. Pembedahan Caesar tidak mutlak membutuhkan relaksasi dan apabila diperlukan dapat
dipikirkan pemberian atracurium. Setelah anak lahir pada pemberian anestesi umum dan anestesi
regional, oksitosin diberikan secara kontinyu, hal ini untuk mengantisipasi akibat efek tokolitik
dari magnesium.Monitoring yang dilakukan selama anestesi diteruskan hingga pasca bedah.
Pemberian cairan pasca bedah harus memperhitungkan adanya mobilisasi cairan yang terjadi mulai
dalam 24 jam. Jika tidak terjadi diuresis yang memadai akibat belum kembalinya fungsi ginjal
kemungkinan dapat terjadi peningkatan cairan intravaskuler yang beresiko terjadinya edema paru.
Jumlah trombosit dan fungsinya akan kembali 4 hari setelah persalinan. Kejang pasca bedah terjadi
pada 27% pasien. Obat anti hipertensi masih dibutuhkan selama pasca bedah. Pemberian cairan
selama masa antenatal harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah kelebihan cairan. Total
cairan intravena harus dibatasi sebanyak 1 ml/kg/jam.
C. MONITORING POST PARTUM
Pemberian cairan pada post partum harus dibatasi dengan memperhatikan diursesis spontan
yang kadang terjadi dalam 36-48 jam setelah persalinan.Total cairan intravena yang diberikan 80
ml/jam: Ringer Laktat atau yang ekuivalen. Pemberian cairan oral dapat diberikan secara lebih
bebas. Urin output harus dimonitor setiap jam dan tiap 4 jam dijumlahkan dan dicatat. Jika total
cairan yang masuk lebih dari 750 ml dari cairan yang keluar dalam waktu 24 jam, maka diberikan
furosemid 20 mg iv. Kemudian dapat diberikan gelofusine jika sudah terjadi diuresis.
Jika total cairan yang masuk kurang dari 750 ml dari cairan yang keluar dalam waktu 24
jam, maka diberikan 250 ml gelofusine. Jika urin output masih kurang, maka diberikan furosemide
20 mg iv. Terminasi kehamilan pada pre-eklampsia/eklampsia melalui bedah Caesar memerlukan
kerjasama dan komunikasi yang baik dari berbagai keahlian terkait agar dapat tercapai hasil yang
optimal. Diperlukan monitoring yang ketat serta terapi, tindakan dan pilihan cara anestesi yang
tepat, diawali sejak pra pembedahan sampai pasca bedah untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas.

IV.3. REGIONAL ANASTESI


Apabila pasien harus menjalani operasi hernia inguinalis, maka jenis anestesi yang paling
cocok adalah regional anestesi (RA), baik epidural, spinal, ataupun CSE (combined spinal-
epidural). Teknik yang populer adalah blok epidural. Sebelumnya, blok spinal dianggap berbahaya
oleh karena resiko tinggi terjadinya edema paru dan penurunan curah jantung. Akan tetapi semakin
banyak bukti baru yang menunjukkan bahwa anestesi spinal dan CSE pun aman bagi pasien,
terutama setelah ditemukannya jarum spinal ujung pensil.
Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan orang-orang dengan penyakit
sistemik seperti penyakit pernapasan kronis, hati, ginjal dan gangguan endokrin seperti diabetes.
Banyak pasien dengan penyakit jantung ringan mendapat manfaat dari vasodilatasi yang menyertai
anestesi spinal kecuali orang-orang dengan penyakit katub pulmonalis atau hipertensi tidak
terkontrol. Sangat cocok untuk menangani pasien dengan trauma yang telah mendapatkan
resusitasi yang adekuat dan tidak mengalami hipovolemik.
Indikasi:
 Bedah ekstremitas bawah
 Bedah panggul
 Tindakan sekitar rektum perineum
 Bedah obstetrik-ginekologi
 Bedah urologi
 Bedah abdomen bawah
 Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan anesthesia
umum ringan. Berikut adalah tabel yang membandingkan tekanan darah antara general
anestesi (GA), epidural blok (EDB), dan teknik CSE.

Tabel 1. Tekanan arterial sistemik selama operasi Caesar dengan general anestesi (GA), epidural
blok (EDB), dan combined spinal-epidural (CSE)3

Tekanan arterial GA EDB CSE


Tekanan sistolik tertinggi 170 163 158
Tekanan diastolik tertinggi 108 103 102
Tekanan sistolik terendah 112 110 110
Tekanan diastolik terendah 60 59 61

Namun pada pasien ini tidak dapat dilakukan regional anastesi karena pada pasien sudah terjadi
yang merupakan kontraindikasi dilakukan regional anestesi. Berikut kontraindikasi dilakukan
general anastesi.
Kontra indikasi absolut:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relatif:
1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Panduan untuk RA dalam kasus ini sama dengan panduan RA klasik :
a) Spinal: gunakan jarum ujung pensil berukuran 25G atau yang lebih kecil, dengan
bupivacaine 0.5% dalam 1.6-2.0 ml dekstrosa, tergantung dari tinggi dan ukuran lingkar
perut pasien. Pasien yang lebih tinggi diberikan dosis yang lebih banyak, sementara
pasien yang lebih berat diberikan lebih kecil, karena tekanan ruang spinalnya lebih tinggi.
Tinggi blok biasanya pada level T6.
b) Epidural: kanula diposisikan di ruang L2/3 atau L3/4, dan dosis uji standar digunakan.
Dosis utama (loading dose) diberikan tahap demi tahap untuk menaikkan tinggi blok
dengan perlahan, sampai mencapai level T6.
Untuk menambah kekuatan blok sensoris, dapat ditambahkan fentanyl dosis 10 mcg pada
spinal dan dosis 50-100 mcg pada epidural.
Hipotensi yang terjadi biasanya tidak dapat ditangani hanya dengan kristaloid. Adalah lebih
baik untuk menyeimbangkan antara koloid sintetis (500 ml starch solution) dengan kristaloid
(Ringer’s lactate 1000 ml), ditambah efedrin dengan peningkatan dosis 5 mg setiap kali.

General Anestesi (GA)


Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari
hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi
umum. Meskipun teknik RA merupakan teknik yang dipilih dalam kebanyakan operasi hernia,
terutama pada pasien-pasien sehat, teknik GA tetap dibutuhkan dalam kasus tertentu. Teknik ini
digunakan untuk pembedahan abdomen yang luas, intraperitoneum, toraks, intrakranial,
pembedahan yang berlangsung lama, dan operasi dengan posisi tertentu yang memerluakn
pengendalian pernafasan. Pada pasien ini dilakukan general anestesi dikarenakan adanya factor
kontraindikasi dari regional anastesi.
Tabel berikut menyajikan perbandingan keuntungan dan kerugian relatif dari RA dan GA :
Tabel 2. Keuntungan dan kerugian relatif dari RA dan GA
RA GA
Keuntungan Kerugian Keuntungan Kerugian
Jalan nafas  Tidak ada Tidak dapat Kontrol  Respon
respon intubasi dikontrol intubasi yang
 Tidak ada berlebihan
resiko gagal  Resiko gagal
intubasi intubasi
Kejang -  Tidak dapat Kontrol
dikontrol
 Resiko kejang
Obat dan Tidak perlu  Resiko kejang  Kecemasan ibu
teknik obat-obatan  Resiko blok  Depresi fetal
sedative tinggi
Onset Spinal – cepat: Epidural – Cepat – kurang
5-10 menit lambat: 20-30 dari 5 menit
menit
Kontrol  Katekolamin Resiko hipotensi Minim resiko  Katekolamin ↑
tekanan darah lebih rendah hipotensi  ↑ TD, PAWP,
 Lebih stabil CVP dg
intubasi
Koagulasi Tidak ada Resiko Menghindari Resiko
instrumen hematoma spinal perdarahan
airway hematoma airway

Resiko utama dari GA adalah kesulitan manajemen jalan nafas (airway). Resiko utama
yang juga tinggi adalah resiko aspirasi isi lambung; hanya sekitar 30 ml aspirasi asam lambung
dibutuhkan untuk terjadinya pneumonitis yang fatal (sindroma Mendelson’s). Resiko aspirasi dan
gagal intubasi meningkat pada GA karena adanya perubahan anatomis dan fisiologis jalan nafas
pada pasien-pasien cito. Perubahan fisiologis ini meliputi tekanan intraabdominal yang meningkat,
sekresi asam lambung yang meningkat, serta penurunan motilitas gaster dan intestinal.
Pada pasien dengan syok, GA memberikan kontrol yang lebih baik atas fisiologis jantung
dan juga onset kerja yang lebih cepat dibandingkan epidural blok, sehingga operasi dapat segera
dilangsungkan.
Panduan untuk GA:
A. Penilaian jalan nafas – edema jalan nafas tidak selalu dapat diprediksi, tetapi adanya stridor
dan/atau edema wajah dapat merupakan petunjuk. Laserasi lidah atau mukosa pasca-kejang
mungkin menjadi penyulit intubasi; dalam kasus ini, mungkin diperlukan intubasi
nasotrakeal (pasien dalam keadaan bangun). Semakin lengkap ketersediaan alat-alat untuk
menangani berbagai kesulitan jalan nafas (introducer, LMA, surgical airway) maka
semakin baik.
B. Induksi.
o Pre-oksigenasi sedikitnya 3 menit diikuti dengan agen induksi kerja cepat:
thiopentone (thiopental) 4-5 mg/kg atau etomidate 0.2 mg/kg, dan suxamethonium 1-
1.5 mg/kg.
C. Intubasi.
a. Untuk menangani respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi, dapat
dipilih:

INTUBASI TRAKEA
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.sedangkan ekstubasi trakea adalah tindakan
pengeluaran pipa endotrakeal. Intubasi trakea bertujuan untuk :
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi intubasi trakea adalah: tindakan resusitasi, tindakan anestesi, pemeliharaan jalan nafas,
dan pemberian ventilasi mekanis jangka panjang. Komplikasi tindakan intubasi trakea dapat terjadi
saat dilakukannya tindakan laringoskopi dan intubasi, selama pipa endotrakeal dimasukkan, dan
setelah ekstubasi.

 INDUKSI
DI-ISOPROPYL PHENOL (PROPOFOL, DIPRIVAN)
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10% minyak kedelai, 2,25%
gliserol, dan 1,2 % phosphatide telur. Pemberian intravena propofol (2 mg/kg BB) menginduksi
anestesi secara cepat seperti tiopental. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai dengan phlebitis atau trombosis. Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemik
otot jantung. Sesudah pemberian Propofol IV terjadi depresi pernapaasan sampai apnea selama 30
detik. Hal ini diperkuat dengan premedikasi dengan opiat. Propofol tidak merusak fungsi hati dan
ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakanial akan menurun. Tak jelas
adanya interaksi dengan obat pelemas otot. Keuntungan Propofol karena bekerja lebih cepat dari
tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal. Terjadi mual, muntah dan sakit kepala mirip
dengan thiopental. Cepatnya induksi dan pemulihan dari anestesi berguna dalam pasien rawat jalan
yang memerlukan prosedur yang cepat dan singkat.
Sediaan : dalam ampul, 200mg/20cc
Dosis : 1,5-2,5 mg/kg BB
Pemberian : IV

 PEMELIHARAAN
Obat anestesi maintenance yang digunakan dalam kasus ini adalah:
 Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari
udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat
CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan
cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap
SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi
karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat
dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam
anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O: O2 adalah sebagai berikut 60%:40% ; 70% :
30% atau 50% : 50%.

ANALGETIK
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil
merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah
menembus sawar jaringan.
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan jaringan
lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek
sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari spesifik opioid tergantung
ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat
menghambat presinaptik dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti
asetilkolin) dari neuron nosiseptif. Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten.
Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin. Awitan
yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil
dibandingkan dengan morfin. Fentanil meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi.
Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan
hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil
dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.

Sistem kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus
otot pembuluh darah. Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi penurunan
aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada pemberian meperidin atau
morfin karena adanya pelepasan histamin.
Sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi nafas, dengan
jumlah volume tidal yang menurun. PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga
kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu menimbulkan depresi
pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang
refleks batuk pada dosis tertentu.

Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga terhambat.

Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anesthesia dan
pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.
Fentanil bersifat lipofilik yang memungkinkan obat ini masuk susunan saraf pusat dengan
cepat.. Kadar puncak fentanil dalam darah dicapai dalam 5–15 menit, onset secara suntikan
intravena tercapai dalam 30 detik, dan diikuti lama kerjanya obat dalam darah selama 30–60 menit.
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan
morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir
oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan
lewat urin. Indikasi fentanyl:
 Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya.
 Anestesi general : anestesi durante operasi, induksi anestesia.
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan
pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH,
rennin, aldosteron dan kortisol.Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang
dimetabolisir oleh esterase plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang
singkat, tidak seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.
Dosis 1-3 mg/kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg
BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi
bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah
cairan injeksi 50 mg/ml.

OBAT PELUMPUH OTOT


Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan
kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan
yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat
kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan
menguragi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang
dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. 2 golongan obat pelumpuh otot yaitu:
a. Depolarisasi.
- Ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan antikolinesterase
- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik
- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik
- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot non depolarisasi dan
asidosis
- Contoh: suksametonium (suksinil kolin)

b. Non depolarisasi
- Tidak ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi, eter, halothane,
enfluran, isoflurane
- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik
- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
- Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium bromida), norkuron
(pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida).

Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :


1. Atrakurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur
benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan
atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah :
• Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang
disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
• Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang.
• Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Kemasan dibuat
dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atrakurium besilat. Stabilitas larutan
sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap
penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada umumnya mula kerja
atrakurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedangkan lama kerja atrakurium dengan dosis
relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi syaraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama
kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Atrakurium dapat menjadi
obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung, hati, dan ginjal yang berat.
BAB V
DISKUSI

Dengan banyaknya organ yang mengalami perubahan patologis, evaluasi pre anestesi
dilakukan lebih dini karena tindakan pembedahan Caesar pada preeklampsia/eklampsia dapat
dilakukan secara semi elektif atau darurat. Pemeriksaan laboratorium meliputi platelet, fibrinogen,
PT/APTT, ureum, creatinin, fungsi liver dan konsentrasi Mg, dilakukan setiap 6-8 jam sampai
dengan pasca bedah dini. Monitoring dilakukan terhadap fetus dan fungsi vital ibu, yaitu tekanan
darah, cairan masuk dan keluar, refleks tendon, pelebaran serviks, dan frekuensi kontraksi uterus.
Tekanan darah dan pulsasi nadi diukur setiap 15 menit selama minimum 4 jam sampai stabil dan
seterusnya setiap 30 menit. Dilakukan pemasangan kateter urin dan urin output diukur setiap jam
disesuaikan dengan pemberian cairan.

Pada eklampsia penanganan pertama ditujukan pada jalan nafas, pemberian oksigen, left
uterine displacement dan penekanan cricotiroid.Intubasi dilakukan bila jalan nafas tidak dapat
dipertahankan bebas, terjadi kejang yang lama atau regurgitasi. Setelah tindakan pertama
dilanjutkan dengan penanganan terhadap kejang dan menurunkan tekanan darah. Kejang dapat
diatasi dengan thiopental atau diazepam. Pilihan obat anti kejang adalah obat yang tidak
mengganggu neurologis. Pada preeclampsia kejang dapat dicegah dengan pemberian magnesium
sulfat. Stabilisasi, monitoring fungsi vital, dan evaluasi gejala neurologis yang teratur dapat
mengurangi penyulit yang mungkin terjadi pada ibu akibat persalinan dan anestesia.

Bedah Caesar pada eklampsia merupakan tindakan darurat, anestesi umum merupakan
pilihan pertama kecuali bila pasien sudah terpasang kateter epidural.Waktu persiapan untuk
tindakan anestesi sangat pendek. Persiapan yang dilakukan untuk anestesi umum dan regional
tidak jauh berbeda pada pasien dengan kehamilan. Pencegahan aspirasi dengan mengosongkan
lambung, neutralisasi asam lambung dan mengurangi produksi asam lambung dilakukan sebelum
tindakan anestesi dilakukan. Persiapan dimulai dari pemeriksaan jalan nafas, ada tidaknya distress
pernafasan, tekanan darah, kesadaran pasien dan pemeriksaan darah. Edema dari jalan nafas yang
mungkin terjadi pada pasien tersebut menyebabkan kesulitan untuk intubasi.

Tekanan darah pasien preeklampsia/ eklampsia diturunkan sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi penurunan pada aliran darah ke plasenta dan otak. Penyulit saat intubasi yang paling
berbahaya adalah meningkatnya tekanan darah yang berakibat terjadinya edema paru dan
perdarahan otak. Pemberian obat anti hipertensi sangat diperlukan sebelum dilakukan anestesi
umum.

Di kamar operasi, dengan posisi pasien supine dilakukan preoksigenasi memakai oksigen
100% sebanyak 3 L selama kurang lebih 3 menit, dilanjutkan dengan koinduksi fentanyl 150 mcg
pelan-pelan. Induksi menggunakan propofol secara perlahan 100 mg iv, setelah tertidur kemudian
diberikan pelumpuh otot Atracurium 20 mg Pemberian Atracurium sebagai agen relaksan otot
skeletal juga membantu prosedur ini karena mencegah terjadinya spasme laring dan refleks jalan
nafas atas, sehingga memudahkan intubasi dan pengendalian pernafasan selama operasi. Setelah
ditunggu 60 detik dilakukan laringoskopi-intubasi dengan Sellick manouvre menggunakan pipa
endotracheal no 7,0 dengan cuff. Setelah memastikan posisi tube dan cuff dikembangkan Sellick
manouvre dilepaskan. Selama tindakan laringoskopi intubasi tidak terjadi regurgitasi. Selanjutnya
pemeliharaan anestesi dengan ventilasi kendali memakai O2 70% dan N2O 30% . Durante operasi
dilakukan monitoring secara ketat tekanan darah arterial, heart rate, saturasi oksigen, end tidal
CO2, tekanan vena sentral, produksi urin, dan perdarahan.
Pemberian cairan pada post partum harus dibatasi dengan memperhatikan diursesis spontan
yang kadang terjadi dalam 36-48 jam setelah persalinan. Jika total cairan yang masuk kurang dari
750 ml dari cairan yang keluar dalam waktu 24 jam, maka diberikan 250 ml gelofusine. Jika urin
output masih kurang, maka diberikan furosemide 20 mg iv. Terminasi kehamilan pada pre-
eklampsia/eklampsia melalui bedah Caesar memerlukan kerjasama dan komunikasi yang baik dari
berbagai keahlian terkait agar dapat tercapai hasil yang optimal. Diperlukan monitoring yang ketat
serta terapi, tindakan dan pilihan cara anestesi yang tepat, diawali sejak pra pembedahan sampai
pasca bedah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.

Bagaimana tata laksana pada pasien ini?


PERHITUNGAN RENCANA PEMBERIAN CAIRAN
BB : 70 kg
Puasa Pre Op : 1 Jam
Lama operasi : 1 Jam
Perdarahan : 850 cc
Cairan yang diberikan : Kristaloid 500 cc, koloid 500cc
Urin : 100 cc

Cairan Pre operatif


Kebutuhan cairan maintenance untuk pasien dengan berat badan 70 kg :
4 x 10 = 40
2 x 10 = 20
1 x 50 = 50 +
110 cc
Puasa = (keluarga pasien mengaku tidak makan selama 1 jam sebelum operasi)
= 1 x 110 cc = 110 cc

Cairan Durantee Operatif


Jumlah cairan selama operasi sedang (IWL) :
6 x 70 x 1 jam = 420 cc

Perdarahan selama operasi :


Suction = 250 cc
Cuci NaCl = 500 cc
Perdarahan 750 cc

Kassa besar = 10 kassa x 10 cc = 100 cc


Jumlah perdarahan = 850 cc
EBV = 70 cc/kgbb ( 70 x 70 ) = 4900 cc

Grade Perdarahan ;
850 x 100% = 17,34% (15-30%---PERDARAHAN SEDANG )
4900

Total cairan yang dibutuhkan :


Cairan selama operasi (IWL) = 420cc
Perdarahan = 850 cc
Urin = 100 cc

Koreksi cairan yang di berikan


Koloid = 500 cc = 500 cc
Kristaloid = 350 x 3 cc = 1050 cc

Intra Op : Koloid 500 cc, Kristaloid 500 cc, sisa kristaloid 550 cc untuk post op

Total cairan yang di butuhkan :


= Puasa + IWL + urin + 550
= 110 + 420 + 100 + 550
= 1.180 cc
Kebutuhan cairan post operasi :
= 24 – (1 + 1) X 110
= 22 x 110 = 2420 cc

Total cairan post operasi :


= (2420 + 1180) - 500 = 3100/ 22 jam
= 141 ml/jam / 4
= 35 gtt/menit

Untuk pasien eklamsia pemberian koloid dapat dilakukan bila sudah terdapat diuresis. Jika
urin output masih kurang, maka diberikan furosemide 20 mg iv.

Perawatan pascaoperasi
Pasien dirawat ICU hingga kondisi stabil karena pasien post kejang dan mengalami operasi
pembedahan dalam kondisi darurat.
DAFTAR PUSTAKA

1 .Cunningham F. Bary; Williams Obstetrics ; 21st edition; McGraw Hill, USA, 2001 in
Hypertensive Disorders in Pregnancy ; 567 - 609.
2. Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI; Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam
Kehamilan di Indonesia; edisi kedua; 2005.
3. Winknjosastro H; Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Jakarta, 1994 dalam Preeklampsia dan Eklampsia; hal 281 - 301.
4. Mochtar Rustam; Sinopsis Obstetri; Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi; Edisi 5; 1995; Penerbit
Buku Kedokteran EGC; halaman 218-230.
5. Foley R Michael; Strong Thomas; Obstetric Intensive Care; A Practical Manual; WB Saunders
Company; 1997; page 63 - 75.
6. Miller Alistrair WF; Callander Robin; Obstetrics Illustrated; Fourth edition; Churchill
Livingstone; Hypertension in Pregnancy ; 169 - 175.
7. Cohen Wayne R; Complications of Pregnancy ; Fifth Edition; Lippincott Williams & Wilkins
2000; Preeklampsia and Hypertensive Disorders ; 207 - 233.
8. Alarm International; a Program to Reduce Maternal Mortality and Morbidity;
Second edition; Pregnancy Induced Hypertension; 85 - 91.
9. Ratnam SS; Arulkumaran S; Problem Oriented Approach to Obstetrics and Gynaecology ;
Oxford University Press; 1997; Hypertension in Pregnancy ; 75 - 79.
10. Saifuddin AB; Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal; Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta 2002.
11. De Cherney AH, Phernol ML. Current Obstetric and Gynecologyic.Diagnosis and
Treatment, 8th ed, Appleton ang Lange, Norwalk 1994 : 380-8
12. Arias Fernando. Preeklampsia and Eklampsia: Practical Guide To High Pregnancy and
Delivery, 2nd ed, Mosby Year Book, 1993: 183-210

You might also like