You are on page 1of 5

Ini Cita-citaku, Apa Cita-citamu?

Sang Bawang

“Aduh…!” Terdengar teriakan lirih seorang gadis yang terkena lemparan segumpal
kertas dari teman sekelasnya yang sedang asyik bermain kertas di dalam kelas. Namun,
gadis itu masih terpaku pada posisinya. Sekejap dia hanya menoleh ke belakang dan
menatap teman-teman yang bermain kertas itu dengan senyuman manisnya, lalu ia
melanjutkan kembali pekerjaannya yang sempat terhenti.

Gadis kecil yang selalu ceria di kelas itu tampak serius mengajarkan sesuatu kepada
anak laki-laki yang tak lain adalah teman satu kelompok belajarnya yaitu kelompok
PELANGI. Dia seolah-olah berperan sebagai guru bagi anak laki-laki tersebut. Anak
laki-laki itu terlihat berbeda dari teman-temannya. Kedua matanya yang tak lagi
sempurna untuk menatap dan kondisinya yang sulit mengikuti apa yang dilakukan oleh
teman-temannya membuat gadis kecil yang bernama Tia itu sering membantunya
ketika di dalam kelas. Selain anak laki-laki itu, di dalam kelompok belajar PELANGI
juga ada Cahyo, Wahyu dan Hendi. Mereka berempat tak lain adalah teman-teman
bermain Tia ketika di rumah.

“Anak-anak, menggambarnya sudah selesai atau belum?” Tanya bu Dewi, guru yang
sedang mengajar di dalam kelas Tia.

“Sudah bu…..”. Jawab anak-anak di dalam kelas secara serentak.

Tak lama kemudian anak-anak mengumpulkan hasil karya mereka ke meja bu Dewi.
Namun berbeda dengan Ipin, di saat teman-temannya mengumpulkan hasil karya
mereka, Ipin masih duduk dengan santai di tempat duduknya yang berwarna biru laut,
sesekali ia melempar senyum tetapi entah kepada siapa lemparan senyum itu diberikan.
Tak jarang teman-teman yang sudah selesai menggambar mengejek dan
menertawakannya.
“Pin, yuk kita kumpulin gambar ini ke bu Dewi!”. Ajak Tia pada Ipin yang masih asyik
menggoyang-goyangkan pensil warnanya. Tia pun menggandeng dan menuntun Ipin
untuk mengumpulkan hasil menggambarnya.

Sesampai di meja Bu Dewi, Tia mendapat ucapan terima kasih dari bu Dewi karena
telah membantu Ipin menyelesaikan pekerjaannya. Walaupun tanpa imbalan ataupun
ucapan terima kasih dari Ipin, setiap hari Tia masih bersedia membantu Ipin. Gadis
yang pemberani di dalam kelas ini terkadang juga dibuat jengkel oleh kelakuan Ipin
yang sering mengamuk sendiri tanpa diketahui penyebabnya, namun,ia tak pernah sakit
hati akan hal itu.

“Tia cantik, kamu yang sabar ya sayang, anak yang sabar disayang Allah.” Itulah kata-
kata yang sering diucapkan bu Dewi untuk memotivasi Tia.

Entah Gadis yang berusia lima tahun itu sudah mengerti maksud perkataan bu Dewi
atau belum, tetapi dia memang salah satu anak yang paling pandai di antara teman-
temannya di dalam kelas.

Selesai menggambar, guru yang penyabar itu memberikan sebuah pertanyaan kepada
murid-muridnya.

“Siapa yang sudah punya cita-cita?” Tanya bu Dewi dengan serius, namun tak seorang
pun yang mengangkat tangannya kecuali Tia. Kemudian Tia ditanya kembali oleh Bu
Dewi.

“Tia, apa cita-citamu jika sudah besar nanti?” Tanya bu Dewi.

“Ingin menjadi guru bu…” jawab Tia dengan lantang dan penuh percaya diri.

Segera bu Dewi mengacungkan kedua jempolnya untuk Tia. Sorak-sorak dari teman
sekelas pun seketika memberikan kebanggaan tersendiri bagi Tia. Di dalam hatinya ia
berkata bahwa pada hari itu juga ia akan memulai mewujudkan cita-citanya itu menjadi
kenyataan.
Tanpa disadari, semua yang dilakukan Tia di sekolah, dari membantu Ipin belajar di
kelas, dan menghadapi Ipin dengan penuh kesabaran, telah mengajarkan dia cara-cara
untuk menjadi seorang guru. Bukan karena kesombongannya Tia mau membantu Ipin,
tetapi karena kerendahan hatinya lah yang sering membuat Bu Dewi takjub kepada
anak bawang ini. Dia seolah-olah memiliki naluri sebagai seorang guru. Bahkan ketika
Bu Dewi merasa kuwalahan dengan murid-murid yang lain, ia berani menawarkan diri
untuk membantu Bu Dewi mengajarkan apa yang diketahuinya kepada teman-
temannya.

Dari Bawang Menjadi Pawang

Selesai mengenyam pendidikan di bangku TK, gadis berhati emas ini melanjutkan
sekolah di sekolah dasar. Suatu ketika, gadis itu juga diberikan pertanyaan yang sama,
dan jawabannya masih tetap sama, ingin menjadi seorang guru. Pertanyaan itu sering
dilontarkan oleh guru-guru di sekolah dasarnya dari dia kelas satu SD hingga kelas
enam SD.

Ketika memasuki gerbang SMP, si gadis yang mulai beranjak remaja ini juga diberikan
pertanyaan yang sama oleh guru-gurunya, namun tetap saja jawabannya tidak pernah
berubah. Keinginannya untuk menjadi seorang guru masih tak tergoyahkan oleh
usianya yang mulai menginjak dewasa. Bahkan saat dia menduduki bangku SMA pun
dari awal dia sudah berkeinginan jika dia lulus nanti, dia ingin masuk di perguruan
tinggi dengan prodi pendidikan. Entah apa yang dipikirkan oleh si gadis berbakat ini
mengenai sosok guru dari pandangannya, hingga begitu cintanya dia dengan profesi
guru.

Sampai pada saat SMA kelas dua belas, bu tia sempat menderita penyakit saraf terjepit,
dan saat itu juga bertepatan dengan pendaftaran perguruan tinggi. Namun apa daya ia
tidak diizinkan orang tuanya untuk masuk perguruan tinggi karena penyakit yang
dideritanya itu. Pecinta profesi guru itu seolah kehilangan semangat untuk mewujudkan
cita-citanya.
xDengan penuh perjuangan untuk meyakinkan orang tuanya bahwa dia akan segera
sembuh, akhirnya orang tuanya perlahan-lahan mulai menyetujui keputusan sang anak.
Perasaan bahagia pun berkecamuk di dalam hati sang anak. Sesegera mungkin ia
mengurus persyaratan untuk masuk perguruan tinggi. Rasa sakit yang semakin
menjadi-jadi tetap tak dihiraukan oleh anak yang keras kepala itu. Ia masih bertekad
untuk menggapai cita-citanya dalam keadaan apapun. Ia tidak ingin hanya berdiam diri
dan menunggu penyakitnya sembuh, tetapi ia ingin melawan penyakitnya dengan
caranya sendiri.

Seperti persamaan Energi total= energy kinetik + Energi Potensial, jadi dalam
mewujudkan impian, kita hanya memiliki dua pilihan, yaitu terus bergerak atau tetap
diam. Semakin besar energi gerak kita maka keadaan diam kita akan berkurang. Jadi
kita harus selalu mencoba dan berusaha. Yang penting adalah lakukan bukan hanya
menunggu!
Saat pengumuman penerimaan mahasiswa di pergurun tinggi tiba, anak yang masih
berharap agar menjadi guru itu, diterima di salah satu perguruan tinggi negeri dibidang
pendidikan. Padahal sebelumnya dia hanya mencoba-coba, dan jurusan yang ia pilih
sebenarnya juga coba-coba saja. Namun ia sudah sangat bahagia karena tak lama lagi
ia akan menjadi seorang guru. Betapa bahagianya ia menjalani kuliah di kampus itu.
Akhir Sang Bawang
Penyakit yang Tia derita sebenarnya masih bertengger di dalam tubuhnya. Terkadang
untuk berangkat kuliah ia harus berjalan terseok-seok sambil menahan rasa sakit di
kakinya, terkadang pula ia memegang kepalanya kuat-kuat untuk menghadang rasa
sakit yang bertengger di kepalanya. Tetapi semangatnya yang tiada henti telah
mengalahkan segalanya. Wanita yang memilih kuliah di jurusan fisika ini akhirnya
sampai pada tahap penyelesaian skripsi. Gelar sebagai sarjana pendidikan pun telah
ia raih.
Tak lama kemudian ia diterima menjadi seorang guru fisika di salah satu SMA.
Tercapailah cita-cita yang ia impikan sejak usia bawang dulu.
Singkat cerita, sang pawang fisika ini dipersunting oleh seorang dokter yang ramah dan
tampan, yang tak lain adalah teman sekelasnya dulu sewaktu masih duduk di bangku
SMA. Mereka dipertemukan kembali ketika Tia berobat ke tempat praktik dokter itu.
Dokter Aji adalah seorang dokter spesialis saraf. Dialah yang membantu Tia untuk
melakukan terapi setiap minggu. Sampai pada akhirnya lambat laun penyakit Tia pun
mulai beranjak dari tubuh mungil itu. Bu Tia Si pawang fisika melanjutkan
perjuangannya kembali menjadi seorang guru fisika dan usai sudah ia berjuang
melawan penyakit yang ia derita selama bertahun-tahun itu.
Tetesan air mata mulai mengalir deras dari bola mata Tiara, salah seorang guru fisika
di salah satu SMA usai menceritakan mendiang guru Fisikanya yang telah lama tenang
disisi.Nya. Bu Tia, lebih lengkapnya bu Tiana Sari yang baru satu bulan merasakan
sembuh dari penyakit saraf terjepit dan belum genap satu tahun menjadi guru Fisika
Tiara saat SMA, tak disangka harus segera menghadap sang Maha Kuasa.

“Anak-anak, kita dapat mengambil contoh dari cerita ibu tadi, bahwa ketika kita punya
keinginan atau cita-cita yang kuat, kita harus mempunyai usaha yang kuat juga untuk
mencapainya, tetapi harus sesuai dengan batas kemampuan kita, dan jangan sampai
kita menghalalkan segala cara. Jika kita merasa mampu dengan apa yang ingin kita
raih, percayalah dan lakukanlah usaha kalian, maka kalian akan mendapatkan apa yang
kalian inginkan, namun rejeki, maut, dan jodoh hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Seperti bu Tiana, beliau tak pernah menyangka bahwa penyakit lama beliau ternyata
masih belum sembuh. Tetapi semoga bu Tiana sudah bahagia karena beliau sudah
menggapai cita-cita beliau dari kecil“. Itulah nasihat bu Tiara usai bercerita tentang bu
Tiana guru kesayangannya sembari mengusap air mata yang tak kuasa dibendungnya.

You might also like