You are on page 1of 18

Diagnosis HIV / AIDS

Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan

laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau

pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS untuk

kepentingan surveilance ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau limfosit

CD4+ kurang sari 200/mm3(Djoerban, et al., 2006).

Tabel 1 Cara menentukan diagnosis dini infeksi HIV berdasarkan riwayat dan pemeriksaan

fisik (WHO, 2010)

Infeksi Oportunistik / Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS

Cytomegalovirus (CMV) (selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening)

CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)

Ensefalopati HIV (a)

Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau

esophagitis, Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu, Isosporiasis, dengan diare kronik

(lebih dari 1 bulan)


Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru

Kandidiasis esophagus

Kanker serviks invasive

Koksidiodomikosis, diseminata atau ekstraparu

Kriptokokosis, ekstraparu

Kriptosporidiosis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)

Leukoensefaloapti multifocal progresif

Limfoma, Burkitt

Limfoma, imunoblastik

Limfoma, primer pada otak

Mikrobakterium avium kompleks atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu

Mikobakterium tuberculosis, paru atau ekstraparu

Mikobakterium, spesies lain atau spesies yang tidak dapat teridentifikasi, diseminata atau

ekstrapulmoner

Pneumonia Pneumcystis carinii

Pneumonia rekuren (b)

Sarkoma Kaposi

Septikemia Salmonella rekuren

Toksoplasmosis otak

Wasting syndrome (c)

NB :

(a) Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang menggangu kerja

atau aktivitas sehari – hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab lain selain infeksi HIV.

Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemriksaan lumbal punksi dan pemeriksaan

pencitraan otak (CT Scan atau MRI)


(b) Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun

(c) Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10 % ditambah diare kronik (minimal 2 kali

selama > 30 hari, intermitten atau konstan), tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit / kondisi

lain (mis : kanker, tuberculosis, enteritis spesifik) selain HIV

Untuk keperluan surveilans epidemiologi seorang dewasa ( < 12 tahun ) dianggap

menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang

sesuai dan sekurang – kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor dan gejala

– gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan – keadaan lain yang tidak berkaitan dengan

HIV :

1. Gejala Mayor : Berat badan menurun > 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang

berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, penurunan

kesadaran dan gangguan neurologis, demensia atau HIV ensefalopati.

2. Gejala Minor : Batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalisata yang gatal,

adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang, kandidiasis oro – faringeal, herpes

simpleks kronis progresif, limfadenopati generalisata, infeksi jamur berulang pada alat

kelamin perempuan.

Tes HIV

Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang

terinfeksi HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru

terlihat setelah bertahun – tahun lamanya.Terdapat beberapa jenis pemeriksaan

laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi

menjadi :

1. Pemeriksaan serologic untuk mendeteksi adanya antibody terhadap HIV

2. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV.


Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus,

deteksi antigen, dan deteksi materi genetic dalam darah pasien (UNAIDS,1997).

Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap

antibody HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik :

1. ELISA ( enzyme – linked immunosorbent assay )

2.Aglutinasi atau dot – blot immunobinding assay.

Metode yang biasa digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA (UNAIDS,1997)

Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus

mendapatkan konseling pra tes.Hal ini harus dilakukan agar ia mendapatkan informasi

yang sejelas – jelasnya mengenai infeksi HIV / AIDS sehingga dapat mengambil keputusan

yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk

keperluan survey tidak diperlukan konseling pra tes karena orang yang dites tidak akan

diberitahu hasil tesnya (UNAIDS,1997).

Untuk memberitahu hasil tes juga diperluakn konseling pasca tes, baik hasil tes

positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai

pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika

hasilnya negative, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana

mempertahankan perilaku yang tidak berisiko (UNAIDS,1997).

Stadium Klinis HIV/AIDS

WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak dimana

stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika dilihat dari gejala

yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai berikut (WHO. 2009):

 Stadium 1

- Asymptomatic

- Persistent generalized lymphadenopathy


 Stadium 2

- Moderate unexplained weight loss (under 10% of presumed or measured body

weight)

- Recurrent respiratory tract infections (sinusitis, tonsillitis, otitis media,

pharyngitis)

- Herpes zoster

- Angular cheilitis

- Recurrent oral ulcerations

- Papular pruritic eruptions

- Seborrhoeic dermatitis

- Fungal nail infections

 Stadium 3

- Unexplained severe weight loss (over 10% of presumed or measured body

weight)

- Unexplained chronic diarrhoea for longer than 1 month

- Unexplained persistent fever (intermittent or constant for longer than 1 month)

- Persistent oral candidiasis

- Oral hairy leukoplakia

- Pulmonary tuberculosis

- Severe bacterial infections (e.g. pneumonia, empyema, meningitis,

pyomyositis, bone or joint infection, bacteraemia, severe pelvic inflammatory

disease)

- Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis or periodontitis


- Unexplained anaemia (below 8 g/dl ), neutropenia (below 0.5 x 109/l) and/or

chronic thrombocytopeni

- Antiretroviral therapy for HIV infection in adults and adolescents

- Recommendations for a public health approach

 Stadium 4

- HIV wasting syndrome

- Pneumocystis jiroveci pneumonia

- Recurrent severe bacterial pneumonia

- Chronic herpes simplex infection (orolabial, genital or anorectal of more than

1 month’s duration or visceral at any site)

- Oesophageal candidiasis (or candidiasis of trachea, bronchi or lungs)

- Extrapulmonary tuberculosis

- Kaposi sarcoma

- Cytomegalovirus disease (retinitis or infection of other organs, excluding liver,

spleen and lymph nodes)

- Central nervous sistem toxoplasmosis

- HIV encephalopathy

- Extrapulmonary cryptococcosis including meningitis

- Disseminated nontuberculous mycobacteria infection

- Progressive multifocal leukoencephalopathy

- Chronic cryptosporidiosis

- Chronic isosporiasis

- Disseminated mycosis (histoplasmosis, coccidiomycosis)

- Recurrent septicaemia (including nontyphoidal Salmonella)

- Lymphoma (cerebral or B cell non-Hodgkin)

- Invasive cervical carcinoma


- Atypical disseminated leishmaniasis

- Symptomatic HIV-associated nephropathy or HIV-associated cardiomyopathy

Penatalaksanaan

HIV / AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.

Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa

pengobatan denagn kombinasi beberapa obat anti HIV ( obat anti retroviral, disingkat obat

ARV ) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang

dengan HIV / AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif.Manfaat ARV

dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha

terhadap infeksi oportunistik.

Terapi untuk infeksi HIV/AIDS meliputi penatalaksanaan secara fisik,

psikologis, sosial dan medik. Penatalaksanaan medik meliputi: 1) pengobatan suportif,

dengan pemberian nutrisi dan vitamin yang cukup makupun psikoterapi; 2) pencegahan

serta pengobatan infeksi oportunistik dan kanker; 3) pemberian imunomodulator, dengan

menggunakan interferon maupun levamisol; dan 4) pengobatan antiretroviral, pemberian

antiretroviral diberikan baik saat asimtomatik maupun dengan gejala. Pengobatan

kombinasi dengan 3 obat sering digunakan, terdiri dari dua buah inhibitor reverse

transkriptase dan satu enzim inhibitor protease. Monoterapi (ddI atau d4T) hanya

dipertimbangkan bila pengobatan kombinasi tidak dapat dilakukan atau pasien telah

menggunakan monoterapi dalam waktu yang lama dan hasil klinis maupun pemantauan

laboratorium tetap baik (CD4+ baik) (Mansjoer, et al., 2001).

Terapi Antiretroviral (ARV)


Gambar 1 Langkah-langkah dalam pengobatan infeksi HIV (WHO, 2010)

Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan odha menjadi jauh lebih

baik.Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah

ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo

dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan. Pneumonia Pneumocystis carinii

pada odha yang hilang timbul, biasanya mengharuskan odha minum obat infeksi agar tidak

kambuh.Namun sekakrang dengan minum obat ARV teratur, banyak odha yang tidak

memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia.

Terdapat penurunan kasus kanker yang terkait dengan HIV seperti Sarkoma

Kaposi dan limfoma dikarenakan pemberian obat – obat antiretroviral tersebut.Sarcoma

Kaposi dapat spontan membaik tanpa pengobatan khusus.Penekanan terhadap replikasi

virus menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi

pertumbuhan Sarkoma Kaposi.Selain itu pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh

dapat membentuk respons imun yang efektif terhadap human herpesvirus 8 (HHV – 8)

yang dihubungkan dengan kejadian Sarcoma Kaposi.


Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase

inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleoside reverse transcriptase

inhibitor, dan inhibitor protease.Tidak semua ARV tersedia di Indonesia (Tabel 2.9.2).

Tabel 2 Obat ARV yang Beredar di Indonesia

Nama Dagang Nama Golongan Sediaan Dosis (per

Generik hari)

Duviral Tablet. 2 x 1 tablet

Kandungan :

zidovudin 300

mg +

lamivudin 150

mg

Stavir, Zerit Stavudin (d4T) NsRTI Kapsul : 30 mg, > 60 kg : 2 x 40

40 mg mg

< 60 kg : 2 x 30

mg

Hiviral, 3TC Lamivudin NsRTI Tablet 150 mg 2 x 150 mg.

(3TC) Lar. Oral 10 mg < 50 kg :

/ ml 2mg/kg, 2x/hr

Viramune, Nevirapin NNRTI Tablet 200 mg 1 x 200 mg

Neviral (NVP) selama 14 hari,

dilanjutkan 2 x

200 mg

Retrovir, Zidovudin NsRTI Kapsul 100 mg 2 x 300 mg,

Adovi, Avirzid (ZDV, AZT) atau 2 x 250 mg


Videx Didanosin NsRTI Tablet kunyah > 60 kg : 2 x

(ddI) 100 mg 200 mg, atau 1

x 400 mg

< 60 kg : 2 x

125 mg, atau 1

x 250 mg

Stocrin Efavirenz NNRTI Kapsul 200 mg 1 x 600 mg,

(EFV, EFZ) malam

Nelvex, Nelfinavir PI Tablet 250 mg 2 x 1250 mg

Viracept (NFV)

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat

ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Berikut ketentuanya:

1. ARV dimulai pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam

kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah

limfosit CD4+.

2. ARV dimulai pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 350 sel /

mm3.

3. ARV dimuali pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200 – 350 sel / mm3.

4. ARV dapat dimulai atau ditunda pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih

dari 350 sel / mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml.

5. ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3

dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.

Tabel 3 Keadaan klinik dalam penentuan pemberian terapi ARV (WHO, 2010)
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3

obat ARV.Terdapat beberaoa regimen yang dapat dipergunakan (Tabel 4), dengan

keunggulan dan kerugianya masing – masing.Kombinasi obat antiretroviral lini pertama

yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV) / lamivudin

(3TC), dengan nevirapin (NVP).

Tabel 4 Kombinasi Obat ARV untuk Terapi Inisial

Kolom A Kolom B

Lamivudin + zidovudin Evafirenz *

Lamivudin + didanosin

Lamivudin + stavudin

Lamivudin + zidovudin Nevirapin

Lamivudin + stavudin

Lamivudin + didanosin

Lamivudin + zidovudin Nelvinafir

Lamivudin + stavudin

Lamivudin + didanosin

* Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang berpotensi tinggi

untuk hamil.
Catatan : kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah : zidovudin + stavudin.

Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan

profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV

(post – exposure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi.

Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV

penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa bayi di

Indonesia yang tertular HIV dari ibunya.Efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi adalah

sebesar 10 – 30 %. Artinya dari 100 ibu hamil yang terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi

yang akan tertular. Sebagian besar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan, dan

sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melaui air susu ibu.

Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli obat ARV.Obat ARV

yang dianjurkan untuk PTMCT adalah zidovudin (AZT) atau nevirapin.Pemberian

nevirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat mudah untuk diterapkan dan

ekonomis.Sebetulnya pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV yang dikombinasikan

dengan operasi Caesar, karena dapat menekan penularan sampai 1 %.Namun sayangnya di

negara berkembang seperti Indonesia tidak mudah untuk melakukan operasi section

caesaria yang murah dan aman.

Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini

pertama dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk mengganti

terapi. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.9.5 di bawah ini :
Tabel 5 Langkah pertimbangan untuk mengganti terapi ARV (WHO, 2010)

Tabel 6 Terapi lini kedua pengobatan ARV (WHO, 2010)

Pengembangan vaksin HIV yang efektif merupakan tantangan yang besar

karena HIV memiliki karakteristik yang kompleks dan adanya mutasi genetic. Vaksin ideal

seyogyanya dapat memicu imunitas humoral dan selular. Saat ini sudah dimulai dan sedang

dilakukan uji – uji klinis terhadap efektivitas vaksin seiring dengan semakin banyaknya

informasi mengenai HIV yang diketahui. Namun, program pencegahan HIV yang terpadu

mencakup tidak saja pengembangan vaksin tetapi juga riset dan pendidikan yang ditujukan

untuk mencegah penularan virus (Price, et.al., 2005)

PEMBAHASAN
Alur diagnosis HIV

Anamnesis (Autoanamnesis)

Dari keterangan yang didapat, pasien Mengeluh lemah badan sejak 2 minggu

sebelum masuk rumah sakit. Lemah badan disertai pusing, nafsu makan yang menurun,

perut pasien terasa mual yang disertai muntah. Muntah sehari sekitar 5 kali. Muntahan

berisi air. Selain itu pasien mengeluh dari mulut banyak bercak-bercak putih seperti

sariawan.

Pasien mengeluh badan terasa demam sejak 3 hari SMRS. Demamnya tidak tinggi. Pasien

mengeluh diare sejak 3 hari SMRS. Diare tampak berlendir, sehari frekuensi 3x, tidak ada

darah. Berat badan pasien juga terus menurun sejak 1 bulan terakhir. Penurunan sekitar 5

sampai 6 kilogram.

Untuk menggali faktor resiko, maka ditanyakan tentang riwayat pekerjaan dan

kehidupan sosial pasien. Dari anamnesis selanjutnya, didapatkan keterangan pasien bekerja

swasta di bengkel motor. Pasien riwayat menikah 2x. Istri yang pertama meninggal.

Diketahui istri pasien pernah perawatan inap di RSSA, dirawat di ruang 29, terdiaagnosa

HIV dan meninggal) . istri yang kedua saat ini ada di probolinggo.

Pasien riwayat pengguna narkoba suntik sejak SMP, jenisnya obat heroin, pasien berhenti

sejak 6 tahun yang lalu (saat bom bali).pasien sehari bisa 1-2 kali suntik bersama temannya

bergantian. Pasien riwayat merokok sejak SD, sehari sekitar 3 pak. Riwayat free sex (-)

Selain itu, anamnesis yang lebih menguatkankan lagi adalah 1 hari SMRS pasien

cek darah (tes HIV) di RS probolinggo, hasil tes positif (+) terjangkit HIV.

Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien normoweight namun berada pada batas

bawah, yaitu 19,9 kg/m2 (normoweight 19,5-24,5). Terdapat conjunctiva yang anemis juga

oral thrush di rongga mulut dan lidah. Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan

pada epigastrium. Selain itu tidak didapatkan kelainan.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan awal sederhana yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah

lengkap dan hitung jenis.Pada penderita dengan immunocompromissed state, dapat

ditemukan penurunan jumlah limfosit < 2000/ul. Pada kasus ini, jumlah limfosit pasien

tanggal 13 juni 2012 adalah : 13% x 9900 = 1287. Selanjutnya, pada kasus yang telah

dicurigai infeksi HIV maka pasien dapat dikonsulkan ke bagian VCT (Voluntary

counceling and Testing) untuk dilakukan dua tahap pemeriksaan khusus, yaitu skrining

awal berupa Rapid Test dan Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA), dan yang kedua adalah

Uji konfirmasi berupa Western Blot test untuk mendeteksi antibody spesifik pada pasien.

Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis

pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda

dan 1 pemeriksaan ELISA (WHO, 2010).

Pemeriksaan Western Bolt merupakan penentu diagnosis AIDS setelah test ELISA

dinyatakan positif. Bila terjadi serokonversi HIV pada test ELISA dalam keadaan infeksi

HIV primer, harus segera dikonfirmasikan dengan test WB ini. Hasil test yang positif akan

menggambarkan garis presipitasi pada proses elektroforesis antigen-antibodi HIV di

sebuah kertas nitroselulosa yang terdiri atas protein struktur utama virus. Setiap protein

terletak pada posisi yang berbeda pada garis, dan terlihatnya satu pita menandakan

reaktivitas antibodi terhadap komponen tertentu virus (WHO, 2010)

Pada kasus ini, pasien dilakukan pemeriksaan VCT di RS probolinggo yang terdiri

dari pemeriksaan DETERMINAN dan ELISA. Hasilnya positif. Dari kriteria mayor dan

kriteria minor, pada pasien ini didapatkan gejala mayor : berat badan menurun > 10 %
dalam 1 bulan, Dan pada gejala minor didapatkan : kandidiasis oral dan infeksi paru TB.

Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan

pasien menderita HIV stage III.

Pada pemeriksaan foto thorax, pada pasien didapatkan gambaran kavitas multipel

pada kedua lobus paru. Selain itu terdapat fibroinfiltrat pada semua lapang paru. Gambaran

ini mengindikasikan adanya infeksi tuberkulosis tipe far advanced lession. Pada CXR juga

didapat ada air bronchogram yang mengindikasikan terdapat pneumonia. Pada infeksi TB

sering didapatkan ko-infeksi berupa pneumonia.

Penatalaksanaan

Pada pasien ini, AIDS yang terdiagnosis adalah pada stadium III.

Diagnosis didasarkan pada temuan berat badan yang menurun >10%, disertai koinfeksi Tb

paru dan oral candidiasis. Terapi ARV diberikan berdasarkan panduan WHO 2010 untuk

AIDS. Pada AIDS stadium 1 dan 2, terapi ARV diberikan jika hasil hitung limfosit TCD4

<350. Pada stadium 3 dan 4, terapi ARV diberikan tanpa menunggu hasil hitung limfosit

TCD4. Selain itu, kondisi khusus pasien yang terdiagnosa AIDS disertai dengan ko-infeksi

TB paru aktif atau hepatitis B, maka pemberian ARV juga tanpa menunggu hasil hitung

limfosit TCD4. Pada pasien ini, terapi antiretroviral (ARV) diberikan tanpa menunggu

hasil dari hitung dari limfosit T CD4 karena stadium AIDS 3 dan disertai keadaan khusus

koinfeksi TB paru.

regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat

ARV. .Pemilihan ARV yang sesuai yaitu diberikan lini pertama adalah kombinasi dua obat

golongan NRTI dengan satu obat golongan NNRTI. Pada pasien ini, bisa diberikan

kombinasi duviral dan neviral. Duviral merupakan kombinasi dua jenis ARV NRTI yaitu

lamivudin dan zidovudin. Neviral mengandung ARV NNRTI yaitu nevirapin. Pemberian

kombinasi ARV ini sesuai dengan rekomendasi WHO.


DAFTAR PUSTAKA
CDC. 2007.CDC HIV/AIDS Fact Sheet :A Glance at the HIV/AIDS Epidemic. Diakses dari

http://www.cdc.gov/hiv

Djoerban Z. membidik AIDS : Ikhtiar memahami HIV dan odha. Ed 1.

Yogyakarta:Penerbit Galang;1999

Ditjen PPM & PL Depkes RI. Pedoman nasional – perawatan, dukungan dan pengobatan

bagi odha.Jakarta:Deoartemen Kesehatan RI,2003.

Djauzi S, Djoerban Z, Eka B, Djoko P, Sulaiman A, Rifayani A,dkk. Profile of drug

abusers in Jakarta’s urban poor community. Med J Ind 2003;Kustin, Djauzi,dkk.

Hasil survey pada wanita hamil di Jakarta 1999-2000. Yayasan Pelita Ilmu, 2000.

Maclean, 2001. Candidiasis esophageal. Diakses dari http://

www.catie.ca/pdf/facts/esophageal%20candidiasis.pdf

Missiouri Department Division of Environmental Health and Communicable Disease

Prevention. 2003. HIV/AIDS. Diakses dari http://911medicalcare.com/virus-diseases/hiv

aids-diseases-and-conditions/

UNAIDS-WHO. Revised recommendation for the selection and use of HIV antibody

test.Weekly Epidemiological Report 1997;72:81-8.

WHO. 2010. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescence. World

Health Organization; Austria

You might also like