You are on page 1of 17

REFERAT

MYASTENIA GRAVIS

DISUSUN OLEH:

Intan Mauliza Dewi

NIM. 16174052

PEMBIMBING:

dr. Deza Yumardika, M. Ked (Oph). Sp.M

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA RSUD KOTA LANGSA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
ACEH 2017
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3

A. Anatomi dan Fisiologi ........................................................................ 3

1. Otot-otot Mata ............................................................................... 3

2. Neuromuscular Junction ............................................................... 4

B. Myastenia Gravis ................................................................................ 7

1. Definisi .......................................................................................... 7

2. Etiologi .......................................................................................... 7

3. Manifestasi Klinis .......................................................................... 8

4. Patofisiologi ................................................................................... 9

5. Diagnosis ....................................................................................... 10

6. Diagnosa Banding ......................................................................... 12

7. Penatalaksanaan ............................................................................. 12

8. Prognosis ....................................................................................... 13

BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN

Myastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada


manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala
Myastenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR).
Sedangkan pada manusia yang menderita Myastenia gravis, ditemukan adanya
defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada neuromuscular junction. Pada
tahun 1977, karakteristik autoimun pada Myastenia gravis dan peran patogenik dari
antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini
meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita
Myastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia
ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post
sinaptik, dan efek menguntungkan dari plasmaparesis.1

Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan


fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara
konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada
Myastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana
antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih
jauh.1

Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi
karena berbagai faktor. Hal ini menyebabkan sindrom miastenik kongenital banyak
diteliti dan diinvestigasi. Akhirnya, kelainan pada transmisi neuromuskular yang
berbeda dari Myastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome
ternyata juga merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona
partikel aktif dari membran presinaptik merupakan target dari autoantibodi yang
patogen baik secara langsung maupun tidak langsung. 1

Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi Myastenia gravis yang


berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan

1
imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya,
beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian
tentang imunopatogenesis masih sangat kurang. 2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


1. Otot-otot Mata
Otot penggerak bola mata atau otot ekstrinsik mata yang terdiri dari
musculus rectus superior, musculus rectus inferior, musculus rectus
lateralis, musculus rectus medialis, musculus obliquus superior, dan
musculus obliquus inferior. Otot-otot tersebut berinsertio pada sclera.
Musculus rectus lateralis mata kanan bersama musculus rectus medialis
mata kiri memutar bola mata kearah kanan. Musculus obliquus superior dan
musculus obliquus inferior mempunyai semacam katrol sebelum
berinsertio. Dengan demikian, kontraksi musculus obliquus superior akan
memutar bola mata ke inferior dan lateral. Musculus rectus lateralis
dipersarafi oleh nervus abducens, musculus obliquus superior oleh nervus
trochlearis dan otot-otot lain oleh komponen motoris nervus oculomotorius.
Saraf-saraf tersebut mencapai cavitas orbitalis melalui fissura orbitalis
superior.

Gambar 1. Otot Penggerak bola mata

3
2. Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang Myastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat
suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuskular4,5. Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian
akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah
yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran
saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan
bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.5

Gambar 2. Neuromuscular Junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan


membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi
oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat
retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara
difusi. 5

Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi


asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal

4
namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang
kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu
lempeng akhir motorik (motor end plate)4,5.

Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125


kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps.
Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi
dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini
kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin.
Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan
asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi
sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik4,5.

Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction


dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:5

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan


menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi
reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-


membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam
vesikel ini.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps


merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui
eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran
presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar
10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu
vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga
menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau
sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi

5
sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang
sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran
masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang
melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam
rongga sinaps.

4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi


celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional
fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate
yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan
yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2
molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor
ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran
dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi
membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan
ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di
dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan
disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.

5. Jika saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan


dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi
reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam
lamina basalis rongga sinaps

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme


transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali
bagi sintesis asetilkolin.

6
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar
dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin.
Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-
masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin
memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran
tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post
sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial
setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic
potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium
telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot
yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot. 4,5

B. Myastenia Gravis
1. Definisi
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian
kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya
gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.3,4

2. Etiologi
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan tubuh menghasilkan
antibodi yang menghalangi atau menghancurkan banyak reseptor otot untuk
neurotransmiter yang disebut asetilkolin. Dengan semakin sedikit reseptor
menerima sinyal syaraf, mengakibatkan kelemahan. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai factor antara lain: factor Herediter, Stress, dan
penggunaan obat – obatan seperti beta blockers, quinidine gluconate,
quinidine sulfate, quinine, phenytoin, beberapa obat-obatan anestesi dan
beberapa antibiotic.

7
3. Manifestasi Klinis
Myastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila
sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang
hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4.
Kelemahan pada otot itu dapat berupa Kelemahan pada otot ekstraokular
atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus
okulomotorius, sering menjadi keluhan utama penderita Myastenia gravis.
Walupun pada Myastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun
ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap
lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
Myastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan
kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.4

Gambar 3. Penderita Myastenia Gravis yang mengalami kelemahan


otot esktraokular (ptosis).

Pada perkembangannya kelemahan otot penderita semakin lama


akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari
otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-
waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari
otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbul kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan

8
suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat
keluar dari hidungnya.4

4. Patofisiologi
Myasthenia gravis merupakan penyakit autoimun chanelopati.
Beberapa penyakit lain yang mirip biasanya memiliki reaksi silang dengan
agen infeksi. Namun untuk myasthenia gravis tidak diketahui patogennya.
Penyakit ini memiliki predisposisi genetik yang menyangkut kelainan pada
HLA (DR1 yang lebih menyebabkan okular myasthenia gravis, sedangkan
B8 dan DR3 berkaitan dengan Myasthenia gravis generalisata). 75% pasien
disertai abnormalitas timus dan 10% nya terdapat timoma baik itu jinak
ataupun ganas.
Kelainan yang terjadi adalah adanya antibody yang melawan
reseptor acetilkolin nikotinik (AChR), yaitu suatu reseptor di motor endplate
untuk neurotransmitter asetilkolin yang menstimulasi kontraksi otot.
Beberapa antibodi juga menyebabkan asetikolin sulit menempel pada
reseptor (AChR). Antibodi juga merusak reseptor lewat adanya fiksasi
komplemen atau adanya endolisis oleh sel otot yang merusak reseptor
(AChR).

Gambar 4. Patofisiologi Myasthenia Gravis

9
Dalam kondisi normal aktifasi reseptor asetilkolin nikotinik (AChR)
akan menyebabkan sodium influx sehingga terjadi depolarisasi sel otot dan
terjadi pembukaan voltage gated sodium channel. Dengan adanya ion influx
kalsium akan dilepaskan dari reticulum sarkoplasma, dan bila kalsium
meningkat akan terjadi kontraksi otot. Pada myasternia gravis jumlah
reseptor asetilkolin nikotinik (AChR) menurun sehingga terjadi penurunan
depolarisasi yang menyebabkan gangguan kontraksi otot. . Jika gangguan
terjadi pada otot kelopak mata (musculus levator palpebral), maka kelopak
mata akan jatuh atau biasanya dikenal sebagai ptosis, jika mengenai otot
extraocular maka pasien akan mengalami strabismus dan penglihatan
menjadi dobel (diplopia). 1,3

5. Diagnosis
 Anamnesis
Pasien dapat ditanyakan beberapa hal seperti: 6
 Apakah munculnya kelemahan otot (ptosis) fluktuatif dan meningkat
dengan aktivitas fisik?
 Apakah kelemahan meningkat sepanjang hari dan pulih dengan
istirahat?
 Apakah pasien memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit
yang sama?
 Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium 1,6
1. Edrophonium (Tensilon) Test
Edrophonium chloride menghambat asetilkolinesterase,
sehingga memperpanjang keberadaan asetilkolin pada
neuromuscular junction. Hal ini menghasilkan kekuatan otot yang
meningkat. Tes ini hanya dapat dilakukan pada pasien dengan gejala
objektif yang terukur pada pemeriksaan fisik, seperti ptosis atau
tropia. Pada ptosis, tes positif adalah elevasi kelopak mata pada 2-5
menit pasca pemberian Tensilon. Respon negatif tidak ada perbaikan
dalam 3 menit. Uji Tensilon memiliki sensitivitas yang relatif rendah,

10
sekitar 60% untuk mendiagnosis MG. Hasil positif palsu terjadi pada
pasien dengan Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome (LEMS) dan
Amyothrophic Lateral Sclerosis (ALS). Edrophonium chloride dapat
menyebabkan overaktivasi sistem parasimpatis, dan menyebabkan
efek samping yang tidak diinginkan seperti pingsan, pusing, buang
air besar tanpa disengaja, bradikardia berat, apnea, dan bahkan
serangan jantung. jika efek samping tersebut terjadi dapat diberikan
atropin.
2. Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Test
Adalah tes elektrodiagnostik yang paling sering digunakan
untuk MG, dengan spesifisitas 95%. Saraf yang harus diperiksa
dirangsang secara elektrik enam sampai sepuluh kali pada 2 sampai
3 Hertz. Potensi potensial otot majemuk (CMAP) dicatat melalui
elektroda permukaan yang ditempatkan pada otot yang bersangkutan.
Tes positif adalah penurunan progresif amplitudo CMAP dalam
rangsangan 4-5 pertama. Tes RNS positif pada sekitar 75% pasien
dengan MG umum, namun positif hanya 50% pasien dengan MG
okular. Positif palsu terlihat pada LEMS, ALS dan polyomyositis.
3. Single Fiber EMG
Single Fiber EMG sangat sensitif terhadap Myastenia okular,
dengan sensitivitas 88-99%. Merupakan pilihan terbaik untuk
diagnosis MG Kongenital
4. Sleep Test
Tes tidur adalah tes klinis sederhana. Pasien diminta untuk
mencatat jika terjadi perbaikan gejala pada saat terbangun.
5. Ice Test
Merupakan tes diagnostik sederhana yang bisa dilakukan di
klinik. Hal ini sangat sensitif dan spesifik untuk diagnosis MG.
Lakukan kompres dingin dengan menggunakan es pada kelopak mata
yang terkena selama 5 menit. Tes positif apabila terjadi perbaikan
sesaat dari ptosis > 2mm atau lebih. Terjadinya perbaikan sesaat ini

11
dikarena penurunan acetylcholinesterase break-down dari asetilkolin
pada sambungan neuromuskular. 1
6. Anti-asetilkolin reseptor antibodies
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimanaterdapat hasil yang
postitif pada 74% pasien.80% dari penderita miastenia gravis
generalisatadan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolinreseptor antibodi yang
positif.Pada pasienthymomatanpa miastenia gravis sering kali
terjadifalse positive anti-AChR antibodi. 6

6. Diagnosa Banding
Bila tampak ada ptosis dan atau strabismus kemungkinan terdapat
lesi pada N.III yang juga dapat ditimbulkan oleh kelainan diantaranya :6

 Meningitis basalis (tuberkulosa atau leutika).


 Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
 Aneurisma di sirkulus arteriosus willisii.
 Paralisis post infeksi difteri.
 Pseudoptosis pada trakhoma.

7. Penatalaksanaan
Myastenia gravis merupakan kelainan neuro-oftalmologik yang dapat
diobati. terapi imunomodulasi dan Antikolinesterase (asetilkolinesterase
inhibitor) seperti neostigmin dan piridostigmin merupakan terapi utama
pada Myastenia gravi. Antikolinesterase biasanya digunakan pada
Myastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan Myastenia
gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.4
Pada Myastenia gravis generalisata Terapi imunosupresif dan
imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan
penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan
menurunkan morbiditas pada penderita Myastenia gravis generalisata.

12
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terapi yang memiliki onset lebih lambat
tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan.2

8. Prognosis
Dalam myasthenia gravis okuler tanpa pengobatan, > 50% kasus
berkembang ke myasthenia gravis umum dalam waktu satu tahun dan < 10%
kasus yang mengalami remisi spontan.7

13
BAB III
KESIMPULAN

Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. . Penyakit ini timbul
karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction3.
Sebelum memahami tentang Myastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Membran
presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah
sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi Myastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B
justru melawan reseptor asetilkolin.
Penatalaksanaan Myastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,
thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang
dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan Myastenia gravis.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Miller NR & Newman MJ. Neuro-Ophthalmology, Section 5. Basic and


Clinical Science Course, AAO, 2009-2010.
2. Goldenberg, William. Myasthenia Gravis. 20 Januari 2012. Diunduh
darihttp://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 22
Desember 2017.
3. Eric M, Eliahu S, Feen, Jose I. Myasthenia Gravis Crisis. Southern Medical
Journal. 2008; 101: 1: 69-63.
4. Keesey, John. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis.
Muscle& Nerve. 2004; 29:505-484.
5. Myasthenia Gravis and Related Disorders of The Neuromuscular Junction.
In: Ropper A, Brown R, eds. Adam and Victor’s : Principles of Neurology
8thed. McGraw Hill. 2005; 53:1264-1250.
6. Romi, Gilhus, Aarli. Myasthenia gravis: clinical, immunological,and
therapeutic advances. Acta Neurol Scand. 2005; 111: 141-134.
7. Kumala P, Komala S, Santoso AH, Sulaiman JR, Rienita Y. Kamus saku
Kedokteran Dorland. 25 ed.EGC. 1998: 723.
8. Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The
Neuromuscular JunctionKasper. In: Braunwald, Fauci, Hauser, Longo,
Jameson. Harrison’s : Principle of Internal Medicine 16th ed. McGraw Hill.
2005; 366: 2523-2518.
9. Burmester GR, Pezzutto A. Color Atlas of Immunology. 1sted. Thieme.
2003: 239-238
10. Myasthenia Gravis &Neuromuscular Junction (NMJ) Disorders. Diunduh
darihttp://neuromuscular.wustl.edu/synmg.html#acquiredmg, 23 Desember
2017.
11. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar

Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.

15

You might also like